Selasa, 13 Mei 2025

Warga tewas demi logam bekas

Warga Tewas Demi Logam Bekas
Bunyi Logam di Pagi Buta

Tak ada yang istimewa dari hamparan semak ilalang itu selain suara burung dan hembusan angin pagi. Namun bagi sebagian orang, di sanalah rejeki berserakan dalam bentuk serpih-serpih logam. Sudah lama mereka hafal ritme dentuman yang terjadi tiap beberapa bulan sekali: dentum yang menandakan dimulainya pemusnahan amunisi oleh tentara.

Setelah dentuman mereda dan asap mengambang tinggi, beberapa orang akan datang diam-diam, menelusuri bekas ledakan dengan mata yang terlatih. Mereka mencari selongsong peluru, pecahan logam, dan segala yang bisa dijual ke pengepul barang bekas. Satu kantong kecil bisa berarti sebungkus nasi. Dua kantong, cukup untuk beli susu anak. Tak ada papan larangan, tak ada garis kuning, tak ada suara peringatan. Yang ada hanya insting bertahan hidup.

Pagi itu, mereka datang seperti biasa. Langit belum sepenuhnya biru ketika langkah-langkah kaki mendekati lokasi. Sebagian duduk menunggu, sebagian lain mulai mengamati dari kejauhan. Mereka tahu, lubang pertama dan kedua sudah diledakkan kemarin. Hari ini seharusnya tak lagi ada dentuman.

Tapi detik berikutnya, bumi bergetar. Langit bergemuruh. Ledakan tak diduga meledakkan bukan hanya tanah dan batu, tapi juga tubuh-tubuh yang tak sempat mundur. Debu membumbung tinggi. Jeritan menggema. Beberapa lari pontang-panting, beberapa tak sempat lari sama sekali.

Di pagi yang sunyi, rejeki yang mereka cari berubah menjadi reruntuhan tubuh. Di antara sisa logam yang berserakan, ada yang tak akan pernah kembali pulang.


Lubang Ketiga dan Ledakan yang Tak Dijadwalkan

Di kalender mereka yang berjaga, hari itu hanya menjadi penutup dari serangkaian prosedur rutin. Dua lubang sudah diledakkan sehari sebelumnya, dan tidak ada rencana besar selain merapikan sisa. Beberapa personel berseragam memeriksa lokasi, menandai tanah, lalu mulai menggali lubang ketiga. Di bawah langit yang tenang, semuanya tampak berjalan seperti biasa—hingga tidak lagi demikian.

Ledakan itu datang begitu cepat, tanpa aba-aba. Suaranya bukan sekadar memekakkan telinga, tapi juga membuyarkan seluruh sistem nalar. Asap mengembang liar, tanah terbelah, dan benda-benda logam berdesing tak tentu arah. Dalam sekejap, ruang kerja berubah menjadi medan maut.

Tidak semua yang berada di lokasi adalah personel terlatih. Di sela semak dan batu, tersembunyi mereka yang tak terdaftar di struktur operasi. Mereka bukan bagian dari barisan. Mereka datang membawa karung plastik dan tekad, bukan senjata atau pelindung tubuh. Saat gelombang panas menyapu, tubuh mereka tak punya perlindungan kecuali jarak—yang nyatanya terlalu dekat.

Petugas sempat mencoba menyelamatkan yang bisa diselamatkan. Tapi sebagian hanya bisa ditarik dari reruntuhan dalam keadaan yang tak lagi utuh. Ada yang tergeletak tanpa suara. Ada yang masih memanggil, lalu perlahan diam.

Dari lubang yang seharusnya memusnahkan amunisi sisa perang, justru muncul kematian baru. Tak ada yang tahu pasti apa yang meledak lebih dulu: apakah detonator yang tak stabil, ataukah prosedur yang meleset dari hitungan. Yang pasti, lubang itu tak hanya menelan logam tua, tapi juga nyawa segar yang tak semestinya ada di sana.


Prosedur vs Praktik: Siapa yang Lalai?

Pemusnahan amunisi bukan pekerjaan sepele. Di atas kertas, prosedur sudah tersedia dengan rapi: lokasi harus steril, perimeter harus dijaga, waktu diledakkan harus terukur, dan bahan peledak yang digunakan harus dikendalikan oleh tim berpengalaman. Sejumlah dokumen militer menyebutkan bahwa pemusnahan dilakukan di tempat terpencil, jauh dari pemukiman dan aktivitas sipil, dengan pengamanan berlapis dan batas jarak yang jelas.

Namun di medan nyata, kerap kali idealisme prosedural itu tak mampu menahan laju kenyataan. Lokasi yang dianggap aman, nyatanya masih bisa dijangkau oleh kaki-kaki warga. Pengamanan yang semestinya ketat, bisa saja melemah karena faktor kebiasaan, keterbatasan personel, atau sekadar rasa aman yang keliru.

Beberapa suara menyebut, warga memang kerap datang ke lokasi pemusnahan. Mereka tahu waktu-waktu dentuman, tahu kapan aman untuk mencari sisa-sisa logam. Ini bukan kejadian pertama mereka berkeliaran di sekitar zona militer. Tapi pertanyaannya bukan hanya soal mengapa warga nekat, melainkan mengapa mereka bisa masuk sejauh itu.

Apakah pagar pengaman tak dipasang? Apakah perimeter hanya imajinatif di peta, tapi tak hadir di tanah? Atau, lebih dari itu, apakah petugas sudah terlalu terbiasa dengan aktivitas sipil di sekitar lokasi hingga menganggapnya bagian dari “risiko yang bisa dimaklumi”?

Kecelakaan di lubang ketiga menyibak celah antara naskah dan realita. Mungkin saja prosedur telah dibacakan di briefing pagi, mungkin juga semua personel telah menjalankan tugasnya sesuai daftar cek. Tapi ledakan itu tetap terjadi. Dan di balik suara dentumannya, ada pertanyaan yang belum terjawab: kalau semua sudah sesuai standar, mengapa masih ada kematian?

Tak ada yang menyanggah bahwa pemusnahan amunisi adalah pekerjaan berbahaya. Tapi justru karena itu, tak boleh ada ruang untuk kelonggaran. Bukan hanya karena tuntutan profesionalisme, tapi karena logam tua itu menyimpan kekuatan yang tak bisa ditawar. Dan kali ini, ledakan itu seperti menjawab kelalaian dengan cara yang paling brutal.


Logam Bekas, Harga Nyawa

Bagi sebagian orang, ledakan adalah bahaya. Tapi bagi sebagian lainnya, itu adalah peluang ekonomi. Tak semua warga yang mendekati lokasi pemusnahan amunisi paham tentang bahan peledak, kaliber peluru, atau potensi reaksi susulan. Yang mereka tahu, setiap dentuman itu menyisakan serpihan besi, tembaga, atau kuningan—logam-logam kecil yang bisa ditimbang di pengepul.

Di desa-desa yang jauh dari pusat kota, pekerjaan semacam itu bukan sekadar sampingan, tapi bagian dari cara bertahan hidup. Ketika lahan pertanian kering, ketika pekerjaan formal sulit dicari, ketika harga sembako naik diam-diam—maka satu-satunya yang bisa diandalkan adalah peluang yang tidak sah tetapi nyata.

Bertahun-tahun, kegiatan “memulung logam militer” sudah menjadi rahasia umum. Tidak selalu diamini oleh aparat, tapi juga tidak selalu dicegah. Beberapa datang dengan niat mengais rejeki selepas pemusnahan, beberapa lain membawa anaknya ikut serta, berharap bisa membawa pulang satu karung kecil berisi logam yang nanti bisa ditukar dengan beras.

Di sinilah absurditas itu menganga. Negara yang memusnahkan amunisi karena dianggap berbahaya, tak berhasil memastikan bahwa bahaya itu benar-benar musnah bagi semua orang. Warga dibiarkan berada terlalu dekat dengan kematian, hanya untuk mengejar logam bekas yang harga kilonya tak sampai harga sebotol bensin eceran.

Tak ada kebijakan yang hadir untuk memberi alternatif. Tak ada pelatihan keterampilan, tak ada pendampingan ekonomi, bahkan tak ada sosialisasi yang sungguh-sungguh tentang apa yang sedang diledakkan di balik bukit itu. Maka yang muncul adalah ekosistem informal yang mempertaruhkan tubuh demi kepingan kuningan.

Dan seperti semua sistem yang dibiarkan tumbuh tanpa kontrol, akhirnya ia pecah. Kali ini secara harfiah. Nyawa-nyawa yang terkapar bukan hanya korban dari ledakan bahan peledak—tetapi juga korban dari pembiaran, dari kemiskinan yang kronis, dan dari ketidakhadiran negara di medan yang penuh risiko.


Tubuh yang Tak Kembali Utuh

Rumah sakit itu tak pernah benar-benar sepi, tapi pagi itu terasa berbeda. Sirine datang bergantian. Truk terbuka, ambulans darurat, kendaraan militer. Satu per satu kantong mayat diturunkan, sebagian tertutup rapat, sebagian memperlihatkan sobekan yang tak semestinya dilihat siapa pun. Ada bau mesiu yang menempel di kulit, bercampur dengan aroma duka yang lebih pekat dari formalin.

Keluarga korban berdiri di lorong, tak semuanya menangis. Ada yang kaku seperti batu, ada yang terduduk lemas tak tahu harus menunggu siapa. Mereka tidak datang untuk membawa pulang tubuh yang utuh, hanya potongan cerita yang tak akan selesai. Ada yang mengenali dari pakaian terakhir, ada yang dari gelang plastik, ada pula yang tak sempat dikenali karena tubuhnya tak bisa dikembalikan seperti sedia kala.

Salah satu kantong dibuka. Isinya bukan sosok, melainkan serpih-serpih tubuh. Seorang perempuan nyaris pingsan, ditopang oleh dua kerabat. Ia tak lagi bertanya siapa, karena ia tahu hanya satu orang dari keluarganya yang pergi ke bukit itu pagi tadi. Pertanyaannya berubah menjadi kenapa. Dan tak ada satu pun yang mampu menjawab.

Di ruang forensik, dokter bekerja dengan tenang. Mereka tak asing pada tubuh-tubuh yang pecah karena ledakan. Tapi kali ini mereka harus menjelaskan kepada keluarga, dengan bahasa yang manusiawi, bahwa yang tersisa tak lagi bisa disebut tubuh. “Ini bagian dari perut, ini kemungkinan dada, ini bagian bawah lutut,” ujar mereka pelan—mencoba menjaga detak jantung tetap stabil.

Petugas medis, paramedis, perawat, dan relawan saling bergantian. Bukan hanya karena jumlah korban, tapi karena setiap korban menyimpan beban psikis yang berat. Beberapa di antaranya bukan anggota militer, bukan terduga pelaku kriminal, bukan pengacau. Mereka hanyalah orang-orang biasa yang datang terlalu dekat pada bahaya yang tak pernah diberi jarak cukup jauh.

Di luar, di halaman rumah sakit, orang-orang mulai berkumpul. Bendera setengah tiang belum dinaikkan, tapi duka sudah menyebar. Di beberapa rumah, tenda sudah didirikan, kursi plastik berjajar. Doa mulai dibacakan. Tapi bagi mereka yang kehilangan, tidak ada doa yang cukup untuk membangunkan tubuh-tubuh yang tak kembali utuh.


 Tanggung Jawab dan Diam yang Panjang

Beberapa hari setelah ledakan, pernyataan resmi akhirnya keluar. Lembaga yang bertanggung jawab atas pemusnahan amunisi itu menyatakan duka cita dan menjelaskan bahwa prosedur sudah dijalankan sesuai standar operasional. Tak lama, media menyampaikan bahwa investigasi internal akan dilakukan. Kalimatnya rapi, bahasanya diplomatis. Tapi di baliknya, ada jeda panjang yang terasa seperti ruang kosong: tidak ada permintaan maaf langsung, tidak ada pengakuan kesalahan yang jelas, dan—yang paling terasa—tidak ada penjelasan rinci tentang celah yang memungkinkan warga sipil terbunuh di tanah militer.

Diam menjadi bahasa yang lebih sering terdengar dibandingkan tanggung jawab. Di lapangan, aparat berjaga lebih ketat dari biasanya. Lokasi ledakan dipagari, garis polisi dipasang, dan larangan keras diumumkan kepada warga. Tapi semua itu datang terlambat, setelah tanah memakan nyawa dan serpihan tubuh sudah dimakamkan.

Pertanyaan-pertanyaan menggantung di udara: jika memang SOP sudah dijalankan, mengapa ada warga sipil di lokasi itu? Jika ledakan sudah diperhitungkan, mengapa efeknya tak bisa dicegah? Jika pengamanan sudah sesuai protokol, mengapa ada begitu banyak kematian di luar skenario militer?

Tak ada satu pun pejabat tinggi yang datang langsung ke rumah duka. Tak ada konferensi pers terbuka yang menjelaskan bagaimana tragedi ini bisa terjadi secara teknis maupun manusiawi. Yang muncul justru upaya menenangkan opini publik dengan menyebut bahwa lokasi berada jauh dari permukiman—seolah jarak geografis bisa menggantikan tanggung jawab moral.

Di warung-warung kecil dan grup pesan daring, kabar ini dibicarakan dalam bisik-bisik. Ada yang mengutuk, ada yang pasrah, ada pula yang menyimpan dendam dalam diam. Sebab mereka tahu, jika tak ada korban sebesar ini, kemungkinan besar tidak akan ada yang berubah. Dan mereka khawatir, bahkan setelah ini pun, yang berubah hanya pagar dan patroli, bukan sistemnya.

Di tengah sunyi dan tanah yang mulai kembali hijau, rasa kehilangan tidak begitu saja pergi. Ia tertanam dalam diam—dan sayangnya, diam pula yang digunakan untuk menghindari perhitungan. Karena dalam tragedi semacam ini, yang paling cepat hadir bukan keadilan, tapi pengalihan perhatian.


Satu Nyawa, Satu Selongsong

Di tanah bekas ledakan itu, hari-hari berlalu seperti biasa. Angin tetap bertiup dari lembah, matahari tetap naik dari balik bukit. Tapi bagi keluarga yang kehilangan, waktu tak lagi berjalan dengan utuh. Ia terhenti di satu dentuman, satu pagi, satu lubang yang seharusnya hanya menyimpan serpihan logam—bukan serpihan tubuh.

Selongsong peluru yang dulunya dicari karena bisa dijual lima ribu per kilo, kini seolah menyimpan kutukan. Tak ada lagi yang berani menginjakkan kaki untuk mengais. Tapi rasa kehilangan yang tertinggal jauh lebih berat dibanding logam itu sendiri. Satu nyawa, satu selongsong. Barangkali itu tak sepadan secara ekonomi. Tapi begitulah realitas ketika hidup manusia dipertaruhkan dalam sistem yang longgar, prosedur yang rapuh, dan pengawasan yang hanya hidup ketika ada korban.

Tidak semua kematian melahirkan perubahan. Ada yang hanya tercatat dalam berita seminggu, lalu tenggelam oleh agenda-agenda baru. Tapi ada juga yang membekas dalam tanah, dalam ingatan, dalam derak hati orang-orang kecil yang tahu bahwa hidup mereka selalu berada di garis pinggir—bahkan ketika negara sedang menjalankan rutinitasnya sendiri.

Jika tragedi ini hanya dianggap sebagai kecelakaan, maka akan ada lubang-lubang berikutnya. Akan ada suara dentum yang menggelegar lagi. Akan ada orang-orang yang datang lagi—karena lapar lebih kuat dari rasa takut.

Yang hilang bukan hanya nyawa, tapi juga pelajaran. Dan jika pelajaran tak dipelajari, tragedi bukan sekadar nasib buruk—ia adalah siklus yang menunggu giliran berikutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar