Angka yang Menenangkan, Masa Depan yang Menyesatkan.
Tepuk Tangan yang Terlalu Cepat
Ruang sidang itu ramai oleh tepuk tangan. Grafik kemiskinan yang ditampilkan di layar besar memperlihatkan kurva yang konsisten menurun. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan Indonesia per Maret 2024 turun menjadi 9,36 persen, angka terendah sejak Reformasi. Pejabat publik menyambutnya dengan rasa bangga. Media arus utama menuliskannya sebagai keberhasilan pembangunan. Di mata pemerintah, itu adalah bukti bahwa Indonesia berada di jalur yang benar menuju Visi Emas 2045.
Namun, dua hari setelah euforia itu, di sebuah gang sempit kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara, seorang ibu rumah tangga bernama (kita sebut saja) Bu Wati justru sibuk mencatat utang warung. Ia baru saja meminjam Rp20 ribu untuk membeli beras, dan berharap bisa membayar minggu depan setelah suaminya mendapatkan pekerjaan lepas sebagai kuli bangunan. Meski hidupnya jauh dari layak, Bu Wati tidak lagi dianggap miskin oleh negara, sebab pengeluaran keluarganya—meski fluktuatif—sekitar Rp 600 ribu per kapita per bulan, lebih tinggi dari garis kemiskinan nasional versi BPS yang ditetapkan sebesar Rp 550.458.
“Saya bukan orang miskin katanya, tapi kalau anak saya sakit, saya harus ngutang dulu,” ujar Bu Wati dengan mata yang tak berani menatap lurus.
Di sinilah letak permasalahannya: angka tidak pernah lapar, tidak tahu rasanya menunda beli susu anak, atau dilema antara membeli gas dan bayar listrik. Statistik memang penting, tapi ketika dijadikan satu-satunya kompas arah pembangunan, ia bisa membawa bangsa ini berlayar dengan peta yang menyesatkan.
Bukan hanya pengamat independen yang mulai gusar. Said Didu, mantan Sekretaris Kementerian BUMN, secara terbuka mempertanyakan batas garis kemiskinan yang digunakan BPS. Menurutnya, dengan ambang batas pengeluaran sebesar Rp 550 ribuan per bulan, seseorang bisa dianggap tidak miskin walau hidup dalam rumah semi permanen tanpa akses air bersih. Ia menyebut pendekatan itu sebagai tidak rasional dan tidak manusiawi.
Tak jauh berbeda, Benny Batara (Bennix), pakar bisnis dan investor publik, menyebut bahwa jika pendekatan Bank Dunia digunakan—yakni garis kemiskinan sekitar Rp 1,2 juta per bulan per kapita—maka jumlah penduduk miskin Indonesia bisa melonjak drastis menjadi lebih dari 60%. Dalam satu video yang viral, ia menyindir, “Kita ini bukan negara miskin, kita ini negara yang pintar menyembunyikan kemiskinan.”
Jika semua itu benar, maka tepuk tangan pada ruang sidang itu terdengar terlalu cepat. Mungkin juga terlalu keras.
Definisi yang Dikecilkan
Dalam dunia kebijakan, siapa yang memegang definisi, memegang arah. Itulah mengapa garis kemiskinan menjadi pusat dari seluruh retorika pengentasan kemiskinan. Di Indonesia, definisi itu dikelola oleh Badan Pusat Statistik (BPS)—lembaga yang punya otoritas menghitung siapa tergolong miskin dan siapa yang tidak.
BPS menetapkan bahwa seseorang dianggap miskin jika pengeluarannya berada di bawah Rp 550.458 per kapita per bulan (per Maret 2024). Angka itu dihitung berdasarkan dua komponen utama: kebutuhan makanan setara 2.100 kilokalori per hari dan kebutuhan non-makanan dasar seperti perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Metode ini dikenal sebagai pengukuran moneter, yakni pendekatan berbasis jumlah pengeluaran minimum untuk hidup.
Namun pendekatan ini sudah lama dikritik, terutama karena terlalu minimalis. Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) yang sebelumnya aktif di INDEF, menilai pendekatan BPS ini hanya menangkap dimensi permukaan dari kemiskinan, dan tidak memotret kerentanan yang lebih dalam seperti kehilangan pekerjaan, kurangnya akses terhadap layanan kesehatan, atau keterbatasan mobilitas sosial.
“Kemiskinan hari ini bukan hanya soal isi dompet, tapi juga soal apakah seseorang bisa bangkit ketika jatuh,” ujar Bhima dalam sebuah wawancara media.
Kritik terhadap pendekatan tunggal BPS juga datang dari kalangan internasional. Bank Dunia menggunakan standar yang lebih tinggi dan bersifat global, yakni US$2,15 hingga US$6,85 PPP per hari, tergantung kategori negara. Jika disesuaikan untuk Indonesia sebagai negara menengah bawah, maka garis kemiskinan global bisa setara Rp 1,2 juta per kapita per bulan. Jauh di atas batas BPS.
Bahkan menurut perhitungan Benny Batara (Bennix), jika garis kemiskinan versi Bank Dunia diterapkan, maka jumlah orang miskin di Indonesia bisa mencapai lebih dari 60% penduduk. Ini bukan sekadar selisih angka, tapi selisih realitas.
“Garis kemiskinan Indonesia terlalu rendah hingga tidak manusiawi,” tegas Bennix dalam kanal YouTube-nya. “Kalau pakai standar begitu, kita sedang menipu diri sendiri.”
Lebih tajam lagi, The PRAKARSA, sebuah lembaga riset kebijakan sosial, menemukan bahwa bahkan ketika angka kemiskinan moneter turun, kemiskinan multidimensi tetap tinggi. Dalam laporan mereka, pada 2021 saja, 14,3% penduduk Indonesia masih mengalami deprivasi dalam berbagai aspek kehidupan seperti akses air bersih, sanitasi, pendidikan, dan jaminan sosial. Sementara BPS hanya mencatat 9,7% penduduk miskin secara moneter pada tahun yang sama.
Semua ini menunjukkan bahwa definisi kemiskinan kita terlalu dikecilkan, agar mudah diklaim sebagai keberhasilan. Tapi ukuran yang dikecilkan tak akan membuat masalah mengecil. Ia hanya menyembunyikan luka dengan plester data.
Negara Maju dari Jendela Statistik
Tahun 2045 adalah milestone yang dicanangkan penuh gairah. Dalam berbagai pidato resmi, dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), hingga forum internasional, Indonesia menegaskan ambisinya: menjadi negara maju di usia 100 tahun kemerdekaannya. Dengan PDB sebesar US$7,3 triliun dan pendapatan per kapita US$25.000, Indonesia ingin masuk lima besar ekonomi dunia. Visi itu diberi nama indah: Indonesia Emas 2045.
Namun ada pertanyaan penting yang jarang diangkat dalam ruang-ruang strategis: Jika masa depan dirancang hanya berdasarkan angka statistik lama, ke mana sebenarnya kita melangkah?
Bank Dunia, dalam laporan kebijakan regionalnya, menyebut bahwa untuk menjadi negara maju, Indonesia harus memiliki kelas menengah yang kuat, kemiskinan struktural yang diatasi, dan ekosistem layanan publik yang merata. Tapi jika pengukur kesejahteraan kita masih menggunakan garis kemiskinan yang bahkan tidak mencapai Rp 20.000 per hari, maka yang sedang dibangun bukanlah negara maju, melainkan negara yang merasa cukup dengan definisi lama.
Di lapangan, fakta-fakta kontras justru muncul. Sebuah desa di Kabupaten Sumba Timur, NTT, dinyatakan telah keluar dari status “miskin ekstrem” berdasarkan indikator nasional. Namun di sana, tidak ada dokter yang menetap, anak-anak berjalan 5 km untuk mencapai sekolah dasar, dan listrik hanya hidup 4 jam sehari. Menurut BPS, mereka tidak lagi miskin. Menurut kenyataan, mereka belum pernah tahu seperti apa rasanya hidup cukup.
The PRAKARSA, dalam publikasi tahun 2022, menyebutkan bahwa sebagian besar rumah tangga yang keluar dari status miskin moneter belum tentu keluar dari kemiskinan fungsional. Artinya, mereka mungkin bisa makan dua kali sehari, tapi tidak punya tabungan darurat, tidak punya jaminan kesehatan, dan tidak memiliki akses kredit untuk meningkatkan taraf hidup.
“Ini bukan tentang siapa miskin, tapi tentang siapa yang masih rentan dan tak punya arah naik,” kata tim peneliti The PRAKARSA.
Di sektor tenaga kerja, Indef mencatat bahwa per 2023, sekitar 59% pekerja Indonesia berada di sektor informal. Mereka tidak punya jaminan pensiun, tidak terlindungi BPJS Ketenagakerjaan, dan pendapatannya bergantung pada cuaca, musim, dan mesin motor yang tak mogok hari itu. Mereka bukan pengangguran menurut data. Tapi apakah mereka benar-benar aman?
Di sisi lain, revolusi digital dan transformasi ekonomi yang jadi fondasi Indonesia 2045 masih didominasi kota besar. Di luar Jawa, jutaan pemuda produktif masih bekerja sebagai buruh tani musiman, buruh bangunan, atau driver harian. Mereka tidak masuk statistik kemiskinan, tapi mereka juga tidak punya jalur nyata menuju kelas menengah.
Jika masa depan dibaca dari jendela statistik lama, maka kita bisa terkecoh oleh pemandangan yang terlihat indah. Tapi begitu kita buka jendela itu, udara kemiskinan masih terasa pengap.
Kenyataan yang Tidak Terdata
Angka tak pernah berkeringat. Ia hanya menunggu waktu untuk dituliskan dan disajikan dalam grafik. Tapi hidup rakyat berjalan jauh lebih liar, lebih tidak terduga, dan terlalu berlapis untuk sekadar direkam oleh baris angka. Di balik angka-angka yang tampak menggembirakan, tersembunyi kenyataan yang tidak terdata—realitas yang sunyi, tapi mengguncang fondasi narasi Indonesia Emas.
Ambil kisah Pak Mursid, petani tembakau di Buer, Sumbawa. Dalam data nasional, ia bukan orang miskin. Penghasilannya setahun cukup tinggi dari hasil panen—jika dihitung secara rata-rata bulanan, ia melampaui garis kemiskinan BPS. Namun ia tidak punya jaminan sosial, tidak memiliki akses ke asuransi gagal panen, dan ketika dua musim panen gagal berturut-turut, ia terpaksa meminjam dari tengkulak dengan bunga tinggi. Saat anaknya sakit paru-paru, satu-satunya mobilitas yang ia punya adalah pinjaman motor tetangga.
“Saya cuma butuh rumah sakit yang bisa cepat terima anak saya, bukan formulir bantuan yang rumit,” katanya pelan.
Kisah Pak Mursid hanyalah satu dari jutaan warga rapuh yang tergolong ‘tidak miskin’, tetapi hidup tanpa sistem penyangga. Mereka adalah kelas rentan, yang terlihat stabil di atas kertas, tetapi retak dalam kenyataan. Mereka tidak masuk daftar penerima bantuan sosial, karena tidak lolos dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), yang inputnya hanya diperbarui secara terbatas dan jarang.
The PRAKARSA, dalam riset multidimensinya, mencatat bahwa deprivasi sering tidak tertangkap oleh data moneter. Contohnya, sekitar 13% rumah tangga di Indonesia tidak memiliki akses ke air bersih dan sanitasi layak, padahal pengeluaran bulanannya di atas garis kemiskinan. BPS tidak menangkap itu sebagai kemiskinan, karena pendekatannya tidak memasukkan dimensi lingkungan hidup.
Sementara itu, di kota-kota besar, ada jutaan pekerja sektor informal seperti pengemudi ojek daring, buruh proyek harian, dan penjual keliling yang tidak pernah tahu berapa penghasilan mereka bulan depan. Mereka tidak terdaftar sebagai “orang miskin”, tetapi tidak pernah merasa aman. Ketika harga telur naik, anaknya berhenti sarapan. Ketika cuaca buruk datang, pendapatannya amblas.
Mereka hidup dalam statistik yang membanggakan negara, tapi tidak pernah mengangkat beban hidup mereka.
Lebih ironis, banyak dari mereka dikeluarkan dari daftar penerima bantuan hanya karena “pernah” melaporkan penghasilan yang naik sementara. Bennix, dalam videonya yang viral, menyebut bahwa sistem data sosial kita tidak hidup dan tidak adil. "Orang bisa turun dari kemiskinan hari ini, tapi jatuh lagi minggu depan. Tapi data kita tidak pernah ikut jatuh bersamanya."
Kenyataan seperti ini tidak akan ditemukan dalam publikasi resmi. Tidak akan terlihat di laporan triwulanan. Ia bersembunyi dalam percakapan di warung kopi, dalam antrean di posyandu, dan di balik pintu rumah kontrakan.
Inilah yang disebut kemiskinan yang tak terekam—bukan karena tak ada, tapi karena negara memutuskan untuk tidak melihatnya lebih dalam.
Kritik dan Kata Para Ahli
Di luar ruang sidang yang penuh tepuk tangan, suara-suara kritis mulai mengeras. Bukan untuk meremehkan kerja keras negara, tapi untuk mempertanyakan: apakah angka-angka yang disajikan benar-benar mencerminkan kenyataan rakyat?
Salah satu suara yang paling lantang datang dari Benny Batara, lebih dikenal publik sebagai Bennix. Dalam kanal YouTube-nya, ia menyebut angka kemiskinan versi BPS yang hanya 9,36 persen sebagai “angka yang tidak manusiawi dan jauh dari realitas.” Menurutnya, jika garis kemiskinan mengikuti pendekatan Bank Dunia—sekitar Rp 1,2 juta per kapita per bulan—maka penduduk miskin Indonesia bisa mencapai 60 persen lebih. Ia menyindir:
“Kita ini bukan negara yang tidak punya orang miskin. Kita ini negara yang pintar menyembunyikannya lewat angka.”
Kritik itu bukan suara tunggal. Said Didu, mantan Sekretaris Kementerian BUMN, dalam wawancara dengan media nasional, menyebut bahwa garis kemiskinan BPS terlalu rendah untuk ukuran hidup layak. Ia mempertanyakan bagaimana seseorang yang berpenghasilan Rp550 ribuan per bulan dianggap tidak miskin, padahal harga kebutuhan pokok dan transportasi naik tiap tahun.
“Kalau ukuran negara hanya ‘asal tidak kelaparan’, maka Indonesia akan gagal menciptakan manusia merdeka,” ujarnya.
Kritik yang lebih struktural datang dari The PRAKARSA, lembaga riset yang telah mengembangkan Indeks Kemiskinan Multidimensi Indonesia (IKM) sejak 2012. Dalam laporan mereka tahun 2021, disebutkan bahwa 14,3% penduduk Indonesia mengalami kemiskinan multidimensi, jauh lebih tinggi dari angka kemiskinan moneter BPS saat itu, yaitu 9,7%.
Dr. Putu Selly Andini, peneliti senior The PRAKARSA, menekankan bahwa kemiskinan bukan hanya soal berapa uang yang dibelanjakan, tapi juga soal akses terhadap air bersih, layanan kesehatan, pendidikan, dan jaminan sosial. Ia menyebut pendekatan BPS sebagai "penglihatan satu mata dalam dunia yang penuh warna."
“Jika negara ingin mencapai Indonesia Emas 2045, maka harus mulai melihat kemiskinan dengan dua mata, bahkan dengan kacamata mikroskop,” tegasnya.
Organisasi internasional pun menyuarakan hal serupa. UNDP, bersama Oxford Poverty and Human Development Initiative (OPHI), melalui laporan MPI 2024, menyebutkan bahwa 3,6% penduduk Indonesia tergolong miskin secara multidimensi, dan 4,7% lainnya sangat rentan untuk masuk ke dalamnya. UNDP menekankan pentingnya kebijakan berbasis indikator sosial yang komprehensif, bukan hanya angka pengeluaran.
Bhima Yudhistira, Direktur CELIOS, mengingatkan bahwa kemiskinan masa kini adalah kemiskinan mobilitas—orang tidak hanya miskin secara ekonomi, tapi juga miskin kesempatan, miskin pilihan, dan miskin daya tahan. Menurutnya, angka kemiskinan BPS tidak cukup untuk membangun sistem negara maju.
“Statistik yang nyaman hanya melahirkan kebijakan yang malas,” ujarnya.
Kritik-kritik ini seharusnya menjadi alarm, bukan gangguan. Karena jika negara terus-menerus menggunakan alat ukur yang tidak memadai, maka kebijakan pun akan meleset dari sasarannya. Dan yang akan menanggung akibatnya bukan lembar data, tetapi jutaan rakyat yang tidak pernah tercatat dalam keberhasilan.
Harapan dan Koreksi
Kritik boleh tajam, tetapi harapan tidak pernah sepenuhnya padam. Visi Indonesia Emas 2045 bukanlah kemustahilan. Namun untuk mencapainya, bangsa ini perlu melakukan satu hal mendasar: mengganti kaca mata dalam membaca kenyataan.
Kaca mata itu adalah metode pengukuran kemiskinan yang dipakai untuk merancang kebijakan. Selama ini, kita terlalu mengandalkan data moneter sempit dari BPS, yang hanya mengukur apakah seseorang dapat hidup pada ambang minimum. Tapi masa depan bangsa tidak bisa dibangun di atas fondasi yang hanya mengejar cukup makan. Ia harus mengejar hidup layak, produktif, dan bermartabat.
Langkah korektif telah mulai dibangun. The PRAKARSA, lewat kerja sama dengan berbagai instansi, telah mengembangkan Indeks Kemiskinan Multidimensi (IKM) yang lebih komprehensif. Indeks ini mengukur lima dimensi kemiskinan: kesehatan, pendidikan, perumahan, fasilitas dasar, dan partisipasi sosial. Temuan mereka menunjukkan bahwa meski angka kemiskinan moneter turun, kemiskinan dalam aspek-aspek ini masih sangat tinggi di sebagian besar wilayah Indonesia.
“IKM adalah cara melihat kemiskinan dari realitas yang sebenarnya,” kata Dr. Putu Selly Andini dari PRAKARSA. “Dan kami mendorong pemerintah agar mengadopsinya secara nasional.”
Di sisi internasional, UNDP dan OPHI juga mendorong Indonesia agar menyelaraskan pengukurannya dengan Indeks MPI global, yang telah diterapkan di lebih dari 100 negara. MPI dinilai lebih cocok untuk menavigasi arah pembangunan jangka panjang karena memotret kapasitas bertahan dan tumbuh, bukan sekadar bertahan hidup.
Pemerintah sendiri sebenarnya mulai merespons. Dalam dokumen RPJPN 2025–2045, Bappenas menyebutkan perlunya pengukuran kesejahteraan yang lebih luas, mencakup kualitas layanan publik, ketahanan keluarga, hingga keterlibatan masyarakat dalam pembangunan. Namun hingga kini, operasionalisasinya masih belum terasa. Di lapangan, indikator yang dipakai kementerian dan daerah masih bersandar pada angka kemiskinan versi BPS sebagai indikator utama keberhasilan.
“Selama kita menyusun APBN dan evaluasi kinerja daerah dengan ukuran yang terlalu sederhana, maka kita tidak sedang membangun masa depan, kita sedang merawat ilusi,” tegas Bhima Yudhistira dari CELIOS.
Koreksi bukan berarti menolak angka, tapi melengkapi angka dengan makna. Kita butuh statistik yang bukan hanya turun, tapi juga menggambarkan naiknya martabat rakyat. Kita butuh survei yang bukan hanya menghitung kalori, tapi juga mengukur peluang dan rasa aman.
Dan lebih dari itu, kita perlu mendengar rakyat yang diam. Mereka yang tak masuk data, tak punya kartu bansos, tak pernah diajak rapat RT, tapi terus mencoba bertahan di ujung lorong kehidupan.
Indonesia Emas bukan soal emasnya grafik, tapi soal emasnya kehidupan rakyat. Jika kita berani mengubah cara ukur hari ini, mungkin kita masih bisa tiba di sana dengan benar.
Laporan Tak Pernah Lapar, Tapi Rakyat Pernah
Di ruang-ruang sidang, laporan kemiskinan selalu hadir dalam sampul rapi, dilengkapi tabel turun-naik, grafik berwarna, dan ringkasan eksekutif yang meyakinkan. Tapi di ruang-ruang sempit rumah petak, tak ada grafik yang bisa menjelaskan mengapa seorang ibu harus menukar gelang kawin dengan obat batuk anaknya. Tak ada ringkasan eksekutif yang bisa menjawab mengapa warung langganan menolak memberi utang lagi.
Laporan tak pernah lapar. Tapi rakyat pernah—dan masih.
Dalam dunia data, seseorang berhenti menjadi miskin jika pengeluarannya naik beberapa ribu rupiah dari garis batas. Tapi dalam dunia nyata, seseorang baru merasa tidak miskin ketika ia bisa memilih hidup, bukan hanya bertahan. Ketika anaknya bisa sekolah tanpa takut ditagih. Ketika sakit tidak berarti bencana ekonomi. Ketika masa depan bukan mimpi mahal yang dikubur sebelum sempat ditanam.
Indonesia mungkin akan mencapai usia emasnya di 2045. Tapi usia bukanlah ukuran kedewasaan. Kedewasaan bangsa ditentukan oleh cara ia melihat yang lemah, mengukur yang tak kasat mata, dan mengakui kenyataan tanpa malu. Jika kita terus berjalan dengan angka-angka yang menenangkan namun menyesatkan, maka yang akan kita capai bukanlah Indonesia Emas, tapi Indonesia yang merasa emas—padahal masih tembaga dalam banyak hal.
Kita tidak perlu takut pada kenyataan. Yang perlu kita takutkan adalah negara yang terlalu percaya diri pada ilusi sendiri.
Mungkin sudah saatnya kita ganti pertanyaan. Bukan lagi: “Berapa persen penduduk miskin?” Tapi:
“Berapa banyak rakyat yang merasa hidupnya pantas diperjuangkan oleh negara?”
Jika kita bisa menjawab itu dengan jujur—tanpa angka, tanpa euforia statistik—maka mungkin, untuk pertama kalinya, kita benar-benar menuju kemajuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar