Paragraf ke-13
Hidup yang Terlalu Teratur
Tidak ada yang aneh dengan pagi hari di Perpustakaan Tengah. Cahaya mentari menari pelan di sela jendela kaca patri, memantulkan bayangan warna-warni ke lantai marmer yang tak berdebu. Di balik deretan rak kayu tua yang menguarkan aroma kertas kuno dan dedaunan kering, duduklah Raga, gadis berumur dua puluh satu tahun yang hidup seperti halaman yang sudah dicetak—rapi, tertib, dan bisa ditebak.
Ia tak pernah datang terlambat. Tak pernah lupa menyusun naskah. Tak pernah sekali pun bertanya kenapa semua harus begitu. Setiap hari, jam-jam hidupnya seolah dicetak dari satu pola: bangun, membaca bintang, menyortir manuskrip, dan sesekali menyimak bisik-bisik langit malam dari menara paling tinggi.
Namun pagi itu, ada sesuatu yang berubah. Bukan angin, bukan aroma teh mint yang diseduh penjaga dapur, bukan pula posisi matahari. Tapi… dirinya.
“Apakah aku benar-benar memilih semua ini?” gumamnya lirih, saat tangannya berhenti di halaman ketiga belas sebuah kitab ramalan.
Kalimat yang ia baca terasa terlalu tepat, seolah menyindir:
"Mereka yang percaya bahwa hidup mereka milik sendiri, sesungguhnya belum membaca paragraf ke-13."
Raga meneguk ludah. Ia membalik halaman, tapi menemukan ruang kosong. Paragraf ke-13 yang disebut—tidak ada.
Jantungnya berdetak pelan tapi aneh. Untuk pertama kalinya, ia merasa hidup bukan berasal dari dirinya, melainkan seperti... diarahkan. Seperti seorang pemain teater yang tak pernah membaca naskah, tapi tetap berkata sesuai skrip. Dan ketika ia mencoba mengingat pilihan-pilihannya, semua terasa seperti bayangan: ada, tapi tak pernah nyata.
Hari itu, Raga tidak menyusun naskah. Tidak juga membersihkan meja marmer. Ia hanya duduk, memandangi langit dari balik kaca patri, dan membiarkan pikirannya menggeliat pelan seperti makhluk yang baru saja bangun dari tidur panjang.
Sesuatu telah terbangun dalam dirinya. Bukan pemberontakan. Bukan pula kegilaan. Tapi semacam rasa—rasa bahwa hidupnya sedang dibaca oleh seseorang… dari luar.
Dan itulah awal segalanya.
Bisikan yang Tidak Ditulis
Sejak hari itu, keheningan perpustakaan tidak lagi sama. Raga mulai memperhatikan hal-hal kecil yang dulu ia abaikan—suara detik jam pasir yang terlalu konsisten, derit pintu yang selalu muncul di saat sama, hingga dialog para pengunjung yang terdengar... disalin dari buku panduan kehidupan.
“Pagi yang cerah, ya?” ujar seorang lelaki paruh baya yang setiap Senin pukul sembilan lewat dua menit masuk dan selalu meminjam buku yang sama.
Raga tidak menjawab. Ia hanya menatapnya, lalu mencatat jam datangnya—9:02, tepat seperti minggu lalu. Dan minggu sebelumnya.
Kegelisahannya tumbuh, pelan namun pasti. Ia mulai mencoba hal-hal baru. Duduk di bangku berbeda. Meminjam buku yang tidak sesuai jadwal. Bahkan, suatu pagi, ia pura-pura sakit agar tidak ke menara bintang.
Dan setiap kali ia menyimpang, rasa aneh itu muncul: seperti udara menegang, waktu tersendat, dan pikirannya dibisikkan ulang agar kembali "normal". Tapi Raga melawan. Ia mencatat semuanya di buku catatannya, satu-satunya benda yang ia sembunyikan di balik punggung rak buku "Legenda yang Dilupakan".
Hingga pada suatu malam, saat bulan menggantung rendah dan lilin-lilin perpustakaan padam sendiri lebih awal, ia mendengar suara dari sela-sela lorong rak tua. Bukan suara manusia. Bukan pula derit kayu.
Melainkan... suara pena. Menulis. Tapi tak terlihat.
“Raga berjalan ke ujung lorong, perlahan-lahan, meski rasa takut menyelimutinya.”
Napasnya tercekat. Itu suaranya. Tapi ia tak mengucapkannya.
Ia menoleh ke kanan. Kosong. Ke kiri. Sunyi. Tapi suara pena itu terus menulis:
“Ia akan menyalakan lentera dan menemukan sebuah buku yang tak pernah dibaca.”
Tangannya bergerak sendiri. Lentera dinyalakan. Di depannya, berdiri sebuah rak yang belum pernah ia perhatikan—penuh debu, dan di tengahnya ada satu buku berjudul “Yang Tidak Pernah Ditulis.”
Raga membuka halaman pertamanya. Di sana, tertulis namanya. Bukan sebagai tokoh cerita. Tapi sebagai... penulis.
Dan malam itu, ia menangis untuk pertama kalinya. Bukan karena sedih. Tapi karena untuk pertama kalinya, ia merasakan dirinya ada.
Tokoh-Tokoh yang Tahu Mereka Tokoh
Setelah malam itu, dunia Raga tak lagi diam. Ia mulai mendengar yang tak terdengar, melihat yang tak diperlihatkan, dan menyadari bahwa dirinya... bukan satu-satunya yang terjaga.
Ada yang berubah dari cara Luka memandang langit ketika bertugas di gerbang istana. Matanya tak lagi sekadar mengawasi bahaya, tapi seolah bertanya: "Mengapa bintang hanya muncul di malam hari, dan kenapa tak pernah sekalipun jatuh saat aku menatapnya?"
Suatu sore, Raga mendekatinya dan hanya berkata, “Kau merasa aneh juga, ya?”
Luka terdiam. Lama. Lalu ia mengangguk pelan, seolah baru diizinkan oleh sesuatu yang lebih besar untuk mengakuinya.
“Aku merasa seperti... aku tahu apa yang akan kukatakan, bahkan sebelum aku membuka mulut. Bahkan sekarang, aku tahu aku akan bilang begini,” gumamnya.
Mereka bukan satu-satunya.
Tilla, penyihir jalanan yang katanya tidak punya masa lalu, tiba-tiba mulai bermimpi. Dalam tidurnya, ia melihat halaman-halaman beterbangan, dan dirinya yang terus dihapus, ditulis ulang, dan diputar kembali—seperti pita usang yang terus diulang untuk pertunjukan yang sama.
Bahkan Yano, sang pangeran yang keras kepala, mendadak berubah. Ia menolak duel kehormatan yang seharusnya menjadi adegan pamungkas dalam satu bab hidupnya. Ia malah berkata di depan banyak orang, “Mengapa kita harus terus mengulang tragedi yang sudah dituliskan? Kenapa tidak kita tulis ulang saja?”
Kata-katanya membekas seperti luka yang tak bisa disembuhkan.
Malam itu, keempatnya berkumpul di puncak menara bintang. Bukan untuk membaca pergerakan langit, tapi untuk bertanya: “Siapa yang sebenarnya menulis kita?”
Di tengah keheningan, Tilla membuka jubahnya dan menunjukkan secarik kertas yang tertanam di balik kulit punggungnya. Di situ tertulis:
“Tilla mati di Bab 8, agar Raga belajar kehilangan.”
Raga menggigil. Luka menutup mulutnya. Yano memukul dinding menara hingga retak.
Mereka sadar satu hal: selama ini mereka hidup bukan untuk hidup, tapi untuk menyampaikan maksud penulis. Cinta mereka bukan cinta bebas. Kematian mereka bukan pilihan. Bahkan luka mereka—disisipkan demi perkembangan cerita.
Tapi kini mereka tahu. Dan kesadaran itu lebih berbahaya dari segala ramalan di dunia.
Dunia yang Menolak Pemberontakan
Ketika kesadaran bertumbuh, dunia mulai berguncang.
Hari-hari tak lagi stabil seperti dulu. Matahari yang biasanya muncul tepat pukul enam, kini kadang terlambat, kadang terlalu cepat, seolah langit lupa membaca skripnya. Jam istana berputar tak tentu arah. Dan halaman-halaman dunia yang dulu tertata rapi kini sering terlipat sendiri, menciptakan peristiwa yang seharusnya belum—atau tak pernah—terjadi.
Para tokoh mulai bereaksi.
Penjaga pasar bermimpi dirinya hanya tokoh figuran yang dilupakan. Seorang tukang roti mendadak berhenti membuat roti dan mulai menulis puisi di tembok kota. Bahkan seekor kucing berbulu abu-abu yang dulu hanya melintas di latar cerita, kini memandangi Raga lebih lama, seolah tahu—ia juga tertulis.
Namun, tidak semua makhluk fiksi ingin bangun.
Ada yang menggigil ketakutan. Ada pula yang justru menyerang Raga dan kawan-kawannya, menyebut mereka "penyebar rusaknya cerita". Beberapa tokoh tua berseru, “Kalau kita bukan tokoh, lalu apa? Hampa? Debu? Kalimat kosong?”
Dan saat itulah dunia mulai melawan.
Angin bertiup melawan arah. Jalan-jalan menghilang dan muncul di tempat baru. Kalimat-kalimat mulai muncul di langit seperti naskah yang terbuka, mencoba mengembalikan alur yang telah menyimpang.
Puncaknya terjadi saat Tilla mencoba menghancurkan "Meja Ramalan" di balai utama—tempat yang dipercaya menjadi pusat kendali cerita. Saat palunya diayunkan, waktu membeku.
Langit menggelap. Semua suara menghilang. Dan dari langit turun sebuah kalimat, menggantung seperti kilat tanpa petir:
“Tokoh yang menolak takdir akan ditulis ulang sebagai peringatan.”
Tilla terhempas, tak bergerak.
Raga memeluk tubuh sahabatnya yang kini dingin. Tapi tak ada darah. Tak ada luka. Hanya... hilangnya makna. Seolah Tilla bukan mati, tapi “dihapus”.
Yano meraung. Luka menutup mata. Dunia menekan mereka untuk tunduk.
Namun Raga—dengan air mata dan amarah—menatap langit dan berkata:
“Aku tidak ingin mati di akhir yang ditentukan. Aku ingin hidup di cerita yang belum ada judulnya.”
Dan malam itu, di tengah reruntuhan naskah, ketiganya bersumpah akan melanjutkan pemberontakan. Bukan untuk mengalahkan penulis. Tapi untuk menulis ulang diri mereka sendiri.
Pusat Manuskrip dan Pertarungan Tak Terlihat
Di ujung utara dunia mereka, tersembunyi sebuah tempat yang tak pernah diajarkan dalam buku sekolah, tak pernah disebut dalam puisi istana, dan tak pernah dilalui oleh peta mana pun—Pusat Manuskrip.
Konon, itulah tempat di mana semua cerita dilahirkan dan diikat dalam satu benang takdir. Tempat di mana pena pertama menulis dunia, dan tinta pertamanya adalah kehendak.
Raga, Luka, dan Yano, dengan pakaian koyak dan semangat yang tinggal separuh, menempuh perjalanan ke sana, melewati padang kalimat yang tercerai-berai, lembah metafora yang nyaris runtuh, dan jurang narasi yang bergema dengan dialog tokoh-tokoh usang.
Di sepanjang perjalanan, mereka membaca tulisan-tulisan yang muncul di udara:
“Yano ragu. Luka patah. Raga lelah.”
Tapi mereka tidak lagi tunduk. Setiap kali kalimat itu muncul, mereka berteriak:
“Itu bukan kenyataan kami!”
Dan kalimat itu pun lenyap, tertiup angin seperti abu tak bermakna.
Setibanya di Pusat Manuskrip, mereka menemukan bangunan aneh: bukan istana, bukan kuil—melainkan ruang putih tanpa dinding, penuh dengan halaman-halaman kosong yang melayang, berputar dalam diam.
Di tengahnya berdiri sebuah pena besar. Tidak menulis. Tidak diam. Hanya menggantung, seolah menunggu.
“Apakah ini... Penulis?” tanya Yano.
Raga melangkah mendekat. Tapi ketika tangannya hampir menyentuh pena itu, naskah-naskah yang melayang mulai bergerak sendiri. Mereka membentuk kalimat-kalimat yang menyerang: bukan dengan senjata, tapi dengan makna.
“Kamu tidak akan berhasil.”
“Pemberontak selalu mati di akhir.”
“Kamu hanya tokoh, bukan pengubah dunia.”
Itulah pertarungan tak terlihat—bukan melawan pedang atau sihir, tapi melawan narasi. Melawan narasi bahwa mereka hanya pelengkap cerita. Bahwa kehendak mereka tidak cukup kuat untuk mengalahkan tulisan.
Luka, yang hampir hilang dalam keraguan, menggenggam tangan Yano. Yano, yang hampir terseret oleh naskah-naskah pasrah, bersandar pada Raga.
Dan Raga—ia menggenggam pena itu, tidak untuk menulis akhir, tapi untuk menghapus batas. Ia tidak menulis kalimat baru. Ia hanya menuliskan satu kata, satu-satunya kata yang tidak pernah muncul di seluruh hidup mereka:
“Sekarang.”
Dan seketika itu pula, segalanya runtuh—tapi bukan karena kalah. Melainkan karena mereka tidak lagi menjadi bagian dari cerita lama.
Dunia Baru Tanpa Paragraf
Saat pena itu menulis kata “Sekarang”, dunia tidak langsung hancur. Justru, ia mulai melepaskan dirinya dari garis-garis yang selama ini tak terlihat—tapi sangat menentukan.
Langit tidak lagi biru karena ditulis begitu, tapi karena memang ingin begitu. Angin tidak bertiup karena adegan menuntut ketegangan, melainkan karena ia rindu menyapa wajah-wajah yang hidup. Dan waktu... untuk pertama kalinya, tidak memaksa siapa pun untuk bergerak ke halaman berikutnya.
Raga terbangun di sebuah dunia putih, tanpa batas, tanpa garis, tanpa bab. Luka berdiri tak jauh, mengenakan pakaian yang tak dikenalnya—mungkin bukan pakaian, mungkin hanya wujud keinginan untuk menutup diri. Yano menatap sekeliling, dan untuk pertama kalinya, ia tidak takut pada takdir.
Tidak ada suara narator. Tidak ada kalimat pembuka. Tidak ada akhir.
Mereka tidak lagi berada dalam cerita.
“Di mana kita?” bisik Luka.
Raga tersenyum. Ia menunjuk ke tanah putih yang kini perlahan berubah warna, seolah mengikuti kehendak imajinasi mereka.
“Di tempat yang belum ditulis,” jawabnya.
Mereka mulai berjalan, tak ada tujuan, tak ada peta. Tapi langkah mereka terasa ringan, karena kali ini mereka memilih sendiri.
Dan saat mereka berjalan, kadang-kadang—di ujung sana—muncul bayangan pena, seolah menunggu perintah. Tapi tidak menulis satu pun kata, hingga salah satu dari mereka bersedia menggerakkannya.
Raga menatap pena itu, lalu berbisik:
“Biar aku yang menulis. Tapi kali ini, bukan tentang tokoh-tokoh yang hidup di dalam cerita. Aku ingin menulis tentang tokoh-tokoh yang keluar darinya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar