Ketimpangan yang Terasa
Ketika pertumbuhan ekonomi NTB tahun 2024 mencapai angka 5,30 persen, banyak pihak menyambutnya dengan optimisme. Sektor pertambangan dan penggalian menjadi motor utama pertumbuhan, tumbuh dua digit dan menyumbang besar terhadap pendapatan daerah. Namun di Pulau Sumbawa, geliat ekonomi itu tidak dirasakan merata. Bagi banyak warganya, pertumbuhan itu sekadar angka—tidak menjelma menjadi jalan yang lebih baik, sekolah yang lebih lengkap, atau fasilitas kesehatan yang lebih layak.
Tambang Batu Hijau di Sumbawa Barat terus berproduksi, menghasilkan emas dan tembaga dalam jumlah besar. Truk tambang lalu-lalang, kapal pengangkut bersandar di pelabuhan, dan laporan PDRB menanjak. Tapi di balik semua itu, jalan-jalan penghubung antar kecamatan masih bergelombang, rumah-rumah sakit kekurangan tenaga medis, dan anak-anak di dusun masih berjalan kaki belasan kilometer untuk ke sekolah.
Di tengah rasa tertinggal itu, delapan anggota DPRD NTB dari Dapil V—wilayah yang mencakup Sumbawa dan Sumbawa Barat—menyatakan sikap: mereka mendukung pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa. Bagi mereka, inilah cara paling realistis untuk mendorong keadilan pembangunan. Suara masyarakat tidak bisa terus diwakili dari kejauhan. Apalagi bila kontribusi wilayah mereka terhadap perekonomian NTB begitu besar, namun manfaatnya begitu kecil.
"Pulau Sumbawa perlu mengatur rumah tangganya sendiri," ujar seorang anggota dewan. Pernyataan itu seolah mewakili perasaan kolektif warga dari Bima hingga Taliwang: bahwa mereka telah cukup lama menjadi tulang punggung tanpa dikenali wajahnya.
Bagi sebagian tokoh, ini bukan soal pemisahan, tapi soal memperbaiki arah. Membangun provinsi sendiri dianggap sebagai jalan untuk memastikan bahwa emas yang mengalir dari tanah Sumbawa juga bermuara ke dusun-dusun Sumbawa, bukan hanya ke laporan fiskal provinsi.
**
Ketergantungan pada Tambang: Antara Berkah dan Risiko
Pulau Sumbawa selama ini dikenal sebagai tanah yang menyimpan logam mulia. Tambang Batu Hijau di Kabupaten Sumbawa Barat bukan hanya menjadi andalan NTB, tetapi juga termasuk salah satu tambang tembaga-emas terbesar di Asia Tenggara. Tak heran jika sektor pertambangan menjadi penopang utama perekonomian provinsi ini. Tahun demi tahun, grafik pertumbuhan ekonomi NTB menanjak seiring produksi tambang yang stabil.
Namun, ketergantungan itu sekaligus menjadi titik lemah. Ketika produksi tambang menurun karena faktor teknis atau regulasi ekspor, perekonomian NTB langsung goyah. Hal ini terbukti pada triwulan pertama 2025 ketika sektor pertambangan mengalami penurunan tajam, dan ekonomi NTB ikut terkontraksi. Fakta ini memperlihatkan satu kenyataan pahit: terlalu mengandalkan satu sektor berarti menaruh semua telur di satu keranjang.
Ironisnya, meskipun tambang berada di Sumbawa, dampak ekonominya justru paling terasa di luar Sumbawa. Penerimaan pajak, investasi lanjutan, hingga layanan pendukung lebih banyak berputar di pusat provinsi. Adapun masyarakat sekitar tambang lebih sering menjadi penonton daripada pelaku utama. Lapangan kerja yang diciptakan tidak sebanding dengan nilai produksi yang dihasilkan.
Warga Sumbawa mulai mempertanyakan: jika kontribusi kami sebesar itu, mengapa pembangunan justru tertinggal? Jika hasil bumi kami mengangkat angka PDRB provinsi, mengapa jalan desa kami tetap tak tersentuh aspal? Pertanyaan-pertanyaan ini tak hanya menggugat keadilan fiskal, tapi juga menjadi bahan bakar yang menghidupkan kembali aspirasi pemekaran.
Bagi para pendukung Provinsi Pulau Sumbawa, ini bukan soal marah pada tambang, melainkan soal ingin mengambil kembali kendali. Mereka percaya bahwa dengan kewenangan penuh, potensi tambang bisa dikelola lebih bijak, hasilnya bisa dinikmati lebih adil, dan ketergantungan bisa ditekan dengan memperkuat sektor lain seperti pertanian, peternakan, dan pariwisata.
**
Aspirasi Pemekaran: Suara dari Timur
Dari tahun ke tahun, suara pemekaran Provinsi Pulau Sumbawa tak pernah benar-benar padam. Namun memasuki tahun 2025, suara itu mengeras, terdengar dari ruang-ruang rapat DPRD, media sosial, hingga masjid-masjid kampung. Aspirasi itu kini bukan lagi milik segelintir elit, melainkan gema dari ribuan mulut yang merasa daerahnya belum diberi porsi yang layak dalam rumah besar bernama NTB.
Delapan anggota DPRD dari daerah pemilihan Pulau Sumbawa menyatakan dukungan penuh terhadap pembentukan provinsi baru. Mereka tak hanya menyuarakan kepentingan politik, tapi membawa keresahan yang selama ini terpendam: bahwa pulau ini, meski besar dalam kontribusi, terlalu sering diperlakukan sebagai halaman belakang.
Di saat yang sama, tokoh-tokoh asal Sumbawa yang kini duduk di tingkat nasional juga mulai angkat suara. Mereka menyebut bahwa pemekaran ini bukan soal ambisi memisah diri, tetapi soal mewujudkan pelayanan yang lebih dekat, pemerintahan yang lebih responsif, dan pembangunan yang lebih merata. Sumbawa, menurut mereka, sudah cukup syarat administratif, cukup kuat secara geografis, dan cukup matang secara sosial.
Di berbagai forum diskusi, muncul pertanyaan-pertanyaan reflektif: mengapa Sumbawa yang luas, berpenduduk lebih dari sejuta, dan kaya akan sumber daya alam, belum memiliki provinsi sendiri? Mengapa suara dan wajah Sumbawa seolah tersembunyi di balik dominasi narasi pembangunan di pulau tetangga?
Kampanye #PropinsiPulauSumbawa mulai bermunculan di media sosial. Kaum muda mulai membuat konten tentang ketimpangan pembangunan, potensi wisata tersembunyi, dan jejak emas yang tak kunjung menyinari dapur mereka. Di berbagai kabupaten, baliho dukungan terhadap pemekaran mulai terpasang. Semangatnya bukan memecah, tapi mempertegas identitas dan hak untuk tumbuh.
Gelombang ini tak lagi bisa diabaikan. Suara dari timur bukanlah bisik lirih, tapi dentang gong yang menuntut jawaban: jika bukan sekarang, kapan lagi?
**
Tantangan dan Harapan: Antara Realita dan Cita-cita
Pemekaran provinsi bukanlah pekerjaan mudah. Meskipun semangat masyarakat Pulau Sumbawa menggebu, mereka juga menyadari bahwa jalan menuju provinsi mandiri dipenuhi syarat administratif, beban fiskal, dan kebijakan pusat yang belum berpihak.
Sejak 2014, pemerintah pusat menetapkan moratorium pemekaran wilayah. Ratusan usulan daerah otonomi baru menumpuk di meja Kementerian Dalam Negeri. Di tengah deretan itu, nama Pulau Sumbawa ikut tercatat. Tapi sejauh ini, belum ada sinyal bahwa moratorium akan dicabut dalam waktu dekat.
Di sisi lain, kesiapan daerah juga menjadi sorotan. Membangun provinsi baru bukan hanya membagi wilayah, tapi membentuk struktur pemerintahan baru, menyusun birokrasi, menata pelayanan publik, dan menyiapkan ibu kota provinsi beserta perangkatnya. Semua itu memerlukan sumber daya manusia yang terlatih, komitmen kolektif, serta anggaran yang tidak sedikit.
Namun, masyarakat Sumbawa tidak menyerah pada kesulitan. Mereka mulai menyusun peta jalan, membentuk forum-forum daerah, menghimpun data kontribusi ekonomi, dan menyusun kajian akademik untuk menguatkan argumen pemekaran. Beberapa daerah bahkan telah menyiapkan lahan untuk pusat pemerintahan baru, lengkap dengan rancangan tata ruangnya.
Para pendukung pemekaran sadar bahwa ini bukan perjuangan satu-dua tahun. Ini mungkin butuh satu-dua dekade. Tapi mereka percaya, tidak ada yang mustahil jika niat baik diiringi langkah terukur. Mereka tidak ingin buru-buru hanya demi menjadi provinsi baru—mereka ingin menjadi provinsi yang matang, siap, dan benar-benar membawa kesejahteraan bagi rakyatnya.
Di tengah semua tantangan, justru harapan itu tumbuh. Harapan bahwa dengan kewenangan yang lebih dekat, keputusan yang lebih cepat, dan anggaran yang lebih tepat sasaran, pembangunan bisa menjangkau dusun-dusun yang selama ini hanya dapat janji. Mereka tidak menuntut keajaiban. Mereka hanya ingin kesempatan.
**
Menatap Masa Depan
Di Pulau Sumbawa, harapan tentang provinsi baru bukan lagi sekadar percakapan senyap di pojok warung kopi. Ia telah menjelma menjadi semacam kompas kolektif—arah ke mana masyarakat ingin melangkah. Di balik laju ekonomi yang timpang dan janji-janji pembangunan yang lambat sampai, lahir tekad untuk mengambil kendali atas masa depan sendiri.
Pertanyaan besar tak lagi berkisar pada “boleh atau tidak”, melainkan “kapan dan bagaimana”. Masyarakat Sumbawa percaya bahwa jika mereka bisa menyumbang emas dan tembaga bagi bangsa, mereka juga mampu menyusun sistem pemerintahan sendiri. Jika mereka bisa menjaga hutan, laut, dan sawahnya selama ratusan tahun, mereka juga mampu mengelola anggaran daerah tanpa harus menengadah.
Mereka tidak mengharap keistimewaan. Mereka hanya ingin peluang yang adil: akses yang sama terhadap infrastruktur, kecepatan layanan seperti yang dirasakan daerah lain, dan kebijakan yang lahir dari pemahaman dekat terhadap karakter pulau mereka.
Provinsi Pulau Sumbawa bukan sekadar urusan administratif, melainkan simbol kedaulatan pembangunan. Ia adalah cara agar suara dari Timur tak hanya terdengar, tapi juga dihargai. Agar sumbangan dari perut bumi Sumbawa tak hanya jadi catatan di laporan ekonomi, tapi juga jadi kenyataan di meja makan rakyatnya.
Seperti air yang mengalir dari hulu ke hilir, harapan itu terus mencari jalannya. Dan jika tak dibendung oleh keraguan atau birokrasi yang berbelit, kelak harapan itu akan menemukan muaranya: sebuah provinsi yang berdiri dengan wibawa, tumbuh dari semangat keadilan, dan menjunjung tinggi nama tempat ia berasal—Sumbawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar