Prolog – Dua Jalan Pulang
Hujan baru saja reda ketika dua anak kecil itu berjalan pulang dari sekolah dasar satu-satunya di lembah. Tanah masih basah, daun pisang meneteskan sisa gerimis, dan kabut tipis menggantung di atas sawah yang mulai menguning. Jalan pulang mereka satu, tapi kaki mereka tak pernah melangkah di jejak yang sama.
Tua, dengan wajah serius dan baju seragam yang tak pernah luput dari kancing paling atas, memilih jalan yang lebih berat: menyusuri jalur setapak yang licin di antara batu-batu. Ia meniti setiap batu dengan hati-hati, memastikan kakinya tidak menginjak lumpur. Baginya, lumpur adalah masalah, dan setiap masalah harus dihindari atau diatasi dengan akal. “Kalau ada jalan kering, kenapa harus basah-basahan?” begitu katanya, penuh keyakinan.
Juana, sebaliknya, menyusuri pinggir sawah sambil melepas sepatunya. Kakinya bermain-main di lumpur yang hangat, dan tangannya memetik ilalang sembari bersenandung lagu yang ia karang sendiri. Ia sesekali berhenti, menatap langit, atau sekadar menggambar bentuk awan di udara dengan jari telunjuknya. “Lumpur bukan masalah, hanya bagian dari perjalanan,” ujarnya sambil tertawa ketika Tua mencibir.
Di persimpangan menjelang rumah, mereka selalu bertemu kembali. Kadang dengan sepatu kotor, kadang dengan baju basah. Tapi mereka tak pernah saling meninggalkan. Mereka saling melengkapi.
Dan desa pun mencatat langkah mereka, tanpa tahu bahwa kelak dua anak kecil itu akan menjadi dua arah dalam satu rencana: satu dari batu yang dipijak, satu dari langit yang ditatap.
“Langkah pertama mereka berbeda,” tulis seseorang di dinding balai desa bertahun-tahun kemudian,
“tapi mereka selalu tiba bersama.”
Desa Pasca Bencana
Setahun yang lalu, tanah bergerak tanpa suara. Sebuah lereng bukit yang selama ini tumbuh subur dengan jagung dan pisang runtuh perlahan, lalu menelan separuh desa dalam diam yang memekakkan hati. Tak ada gempa. Hanya hujan yang tak henti selama tujuh hari tujuh malam. Hujan yang membawa air. Air yang membawa tanah. Tanah yang membawa rumah. Rumah yang membawa kenangan.
Sejak hari itu, desa Lereng Timur seperti kehilangan detaknya. Anak-anak bermain lebih dekat dengan rumah. Sawah-sawah di bawah longsoran menjadi danau baru yang tak bernama. Tiang listrik berdiri miring, seperti sedang berpikir keras apakah masih layak menyalurkan cahaya. Warga berhitung bukan dengan angka, tapi dengan kenangan yang masih bisa diselamatkan.
Namun manusia, seperti juga rerumputan yang muncul kembali di tanah yang terluka, memiliki naluri bangkit.
Pemerintah kabupaten mengirim surat. Isinya: “Desa Lereng Timur diharapkan menyusun Rencana Pembangunan Mandiri Berbasis Komunitas untuk lima tahun ke depan.”
Surat itu dibacakan di balai desa oleh Kepala Desa Mahfud, seorang lelaki yang rambutnya sudah sepenuhnya putih meski usianya belum genap enam puluh. Suaranya gemetar, tapi bukan karena usia—melainkan karena tanggung jawab yang terlalu besar untuk pundak yang sudah lelah menatap kehancuran.
“Ini kesempatan kita. Tapi ini juga tantangan. Siapa di antara kalian yang bersedia memimpin penyusunan rencana ini?”
Sunyi. Lalu terdengar dua suara hampir bersamaan:
“Saya.”
“Saya juga.”
Semua menoleh. Satu suara datang dari seorang pemuda bersarung dengan map lusuh penuh catatan: Tua.
Satu lagi dari seorang gadis berkerudung kain tenun, memegang gulungan kertas bergambar pohon, jembatan, dan aula bambu: Juana.
Mereka berdiri berseberangan di ruangan yang sama. Seperti dua jalan yang pernah mereka lalui pulang dari sekolah dulu—berbeda arah, tapi selalu mengarah ke satu titik pertemuan.
Dua Pendekatan, Dua Dokumen
Hari-hari berikutnya diisi oleh kesibukan yang berbeda namun berjalan beriringan. Balai desa menjadi ruang yang terbagi tak kasat mata: di sisi kiri duduk Tua dan para sukarelawan yang ia bentuk sendiri, dengan laptop tua, kertas kalkir, dan denah rumah yang mereka ukur ulang dari puing-puing. Di sisi kanan, Juana dan beberapa pemudi menggambar dengan pensil warna di gulungan kertas manila, membicarakan hal-hal yang belum ada di desa—tapi sangat mungkin hadir.
Tua bekerja dari kenyataan. Ia mendatangi rumah-rumah warga, mencatat keretakan tembok, jembatan bambu yang separuh patah, dan irigasi sawah yang kini hanya tinggal genangan. Ia menyusun tabel kebutuhan, tingkat kerusakan, proyeksi biaya, dan durasi pengerjaan. “Kalau ini tidak diperbaiki, warga tidak bisa menanam musim depan,” katanya sambil mengetuk-ngetuk grafik dengan bolpoin.
Juana bekerja dari harapan. Ia mengundang anak-anak untuk menggambar rumah impian, minta para ibu menjelaskan kegiatan yang mereka inginkan jika punya ruang berkumpul, dan bertanya pada pemuda apakah mereka ingin belajar keterampilan lain selain bertani. Di tangannya, lahir peta visual desa masa depan: taman belajar terbuka, perpustakaan pohon, pusat data desa, warung daring milik bersama. “Kalau kita hanya membangun kembali apa yang pernah ada, lalu di mana letak tumbuhnya?” bisiknya pada seorang ibu yang menatap kagum.
Setelah dua minggu, dua dokumen lahir. Dua dunia dalam bentuk yang sangat berbeda.
-
Dokumen Tua diberi nama: "Laporan Kerusakan dan Rekomendasi Teknis Rehabilitasi Fisik Desa Lereng Timur."
Tebal, sistematis, penuh angka, dan disusun dengan metodologi yang rapi. -
Dokumen Juana ia beri nama: "Peta Desa Harapan 2030: Sebuah Mimpi yang Bisa Dibangun."
Tipis, penuh warna, ilustratif, dan disertai narasi personal dari warga.
Hari musyawarah pun tiba. Balai desa penuh. Laki-laki bersarung duduk sejajar dengan perempuan membawa anak. Di dinding, digantung dua dokumen besar: satu di sebelah kiri, satu di sebelah kanan. Di tengahnya, tergantung spanduk: “Langkah Pertama Menuju Masa Depan”
Tua maju pertama.
Dengan suara tegas ia berkata,
“Saya tidak membawa mimpi. Saya membawa apa yang rusak, dan bagaimana memperbaikinya. Jika kita ingin makan tahun depan, kita harus mulai dari sawah, bukan dari sketsa taman.”
Juana menyusul, tak kalah mantap.
“Saya tidak mengabaikan kerusakan. Tapi saya percaya, kalau kita tidak tahu ke mana kita ingin melangkah, kita akan tersesat meski semua jalan sudah diperbaiki.”
Ruangan sunyi. Lalu gemuruh pelan mulai terdengar—bukan tepuk tangan, bukan cemooh. Tapi bisik-bisik warga yang mencoba memahami: apakah benar harus memilih satu? Atau justru… mencari cara agar keduanya saling menunjang?
Warga Terbelah
Musyawarah itu tidak selesai dalam satu malam. Bahkan setelah listrik padam dan balai desa hanya disinari lampu minyak, perdebatan tetap menggantung seperti kabut yang turun dari lereng.
Di warung kopi, di pos ronda, bahkan di sawah—warga mulai terbelah, bukan karena kebencian, tapi karena keyakinan yang saling bertolak belakang.
Kelompok Tua menyuarakan urgensi:
“Apa gunanya taman kalau dapur masih bocor?”
“Juana itu bermimpi terlalu tinggi. Kita belum bisa bangun apa-apa kalau tanah ini belum bisa ditanami lagi.”
“Jangan-jangan semua itu hanya buang anggaran!”
Mereka adalah para petani tua, tukang kayu, dan buruh tani harian yang hidup dari apa yang nyata. Mereka tahu betul: jika pipa rusak tak diperbaiki, air tak akan sampai. Jika sawah dibiarkan tanpa saluran, maka musim tanam bisa gagal lagi. Mereka melihat rencana Juana seperti langit: indah, tapi jauh.
Kelompok Juana bicara tentang harapan:
“Kalau kita terus-terusan hidup dari memperbaiki, kapan kita mulai bermimpi?”
“Anak-anak butuh ruang belajar, bukan hanya atap rumah yang kembali berdiri.”
“Kalau kita bangun hanya dari rasa takut longsor, kita akan tumbuh dalam ketakutan selamanya.”
Mereka adalah pemuda, ibu rumah tangga muda, dan anak-anak yang mulai mengenal dunia di luar desa lewat ponsel dan radio. Mereka terpesona oleh warna, ingin lebih dari sekadar selamat—mereka ingin maju.
Kepala Desa Mahfud mulai merasa terjebak di antara dua tembok:
Di satu sisi ada realitas keras, di sisi lain ada impian yang melambung. Ia tahu desa ini tak bisa bertahan hanya dari tambalan, tapi ia juga takut mimpi besar membuat mereka lupa bahwa pondasi rumah mereka masih retak.
Malam itu, di dalam rumahnya yang remuk sebagian dan ditutup terpal biru, Mahfud duduk di depan dua dokumen itu lagi. Ia menatap satu per satu. Di antara angka-angka Tua dan gambar-gambar Juana, ia menuliskan satu kalimat di secarik kertas:
“Apa yang terjadi jika kita tanam mimpi di tanah yang belum sembuh?”
Kalimat itu ia bawa esok paginya ke papan pengumuman desa. Tak ada pengumuman resmi. Hanya satu kalimat, ditulis dengan tangan gemetar, dan dibiarkan terbaca siapa saja.
Tua membaca kalimat itu sambil diam. Juana membaca kalimat itu sambil tersenyum.
Keduanya belum tahu, bahwa tak lama lagi, tanah yang belum sembuh itu akan kembali bicara—bukan lewat kata, tapi lewat badai yang datang kedua kalinya.
Badai Kedua
Langit desa Lereng Timur gelap seperti arang tua yang belum padam. Angin malam membawa bau basah yang menusuk, seolah tanah ingin berkata: “Aku belum selesai dengan kalian.”
Hujan pertama turun dengan malu-malu, hanya gerimis. Tapi pada hari kedua, langit membuka cengkeramannya. Petir menyambar, air turun deras, dan tanah yang belum pulih mulai berderak kembali.
Warga panik. Sebagian mengungsi ke balai desa, sebagian terjebak di rumah-rumah yang dibangun terburu-buru dari papan bekas bantuan bencana pertama. Irigasi yang diperbaiki belum sepenuhnya kuat. Tanah yang retak mulai meluas.
Dan inilah saatnya yang tak pernah mereka kira—visi Juana yang selama ini dianggap melambung, justru menyelamatkan langkah pertama mereka dari kehancuran berikutnya.
Di dalam peta Desa Harapan milik Juana, ia menggambar jalur evakuasi alternatif yang tidak melewati jalan utama, yang justru sekarang tertutup longsoran.
Ia pernah menyarankan pembangunan pos pemantau hujan dan retakan tanah di bukit atas—yang kebetulan sudah didirikan oleh para pemuda desa sebagai bagian dari program belajar sambil praktik.
Ia juga mencantumkan titik kumpul dan pusat koordinasi darurat di belakang balai desa yang tadinya dianggap “tidak realistis”.
Semua ini kini menjadi nyata—bukan sebagai mimpi, tapi sebagai rencana penyelamatan hidup.
Tua tak banyak bicara. Ketika warga mulai panik dan tidak tahu harus ke mana, dialah yang pertama kali mengangkat pengeras suara, memanggil warga ke titik kumpul yang pernah ia ragukan.
Ia mengatur giliran evakuasi, meminjam sepeda motor dan truk warga, membuka jalur dari batu-batu besar yang pernah ia petakan saat survei longsor.
Dan ia—dengan tenang—mengatakan kepada Mahfud:
“Ternyata, Juana sudah melihat yang tak bisa kulihat.”
Malam itu, desa tidak selamat karena hanya satu dokumen. Ia selamat karena dua langkah yang berbeda akhirnya saling menyeberang.
Ketika fajar muncul dari balik kabut, Tua duduk di samping Juana yang menatap sisa hujan di dedaunan. Ia membuka catatannya yang basah, lalu menyobek halaman pertama. Ia menulis ulang di halaman berikutnya:
“Rencana tidak hanya bicara tentang apa yang rusak. Tapi tentang apa yang ingin kita jaga sebelum rusak.”
Juana menambahkan satu kalimat di bawahnya:
“Dan impian tidak harus menunggu semua sempurna, cukup ditanam di tanah yang mau belajar tumbuh.”
Rekonsiliasi dan Kesadaran
Tiga hari setelah badai kedua, matahari muncul dengan malu-malu dari balik sisa awan. Desa Lereng Timur seperti baru dilahirkan kembali, lebih basah, lebih rapuh, tapi juga lebih sadar akan siapa dirinya. Tak ada yang meninggal. Tak satu pun rumah rubuh total. Ini bukan karena keberuntungan, melainkan karena kerja diam-diam dua arah yang dulu saling menolak.
Balai desa menjadi tempat pengakuan yang tak direncanakan. Kepala Desa Mahfud memanggil seluruh warga untuk berkumpul. Tak ada musyawarah. Tak ada agenda.
Hanya sebuah kursi kayu di tengah ruangan, dan dua nama yang disebut:
“Tua dan Juana, berdirilah di depan.”
Tua berdiri dengan ragu. Juana bangkit dengan pelan.
Lalu Mahfud berkata:
“Kita semua pernah berpikir bahwa harus memilih. Tapi ternyata kita selamat bukan karena kita memilih satu, melainkan karena kita menggabungkan keduanya.
Tua membawa kita melihat yang ada. Juana membawa kita melihat yang mungkin. Dan kita—desa ini—selamat karena kalian berdua tidak saling meniadakan.”
Suasana hening. Lalu, perlahan-lahan, warga berdiri satu per satu.
Buruh sawah bertepuk tangan. Anak-anak menabuh galon bekas. Ibu-ibu membawa bingkisan kecil dari dapur umum.
Di tengah semua itu, Tua menoleh ke Juana.
“Aku belajar satu hal,” katanya pelan.
“Masalah bisa membuat kita bertahan. Tapi tujuanlah yang membuat kita berjalan.”
Juana tersenyum, matanya basah.
“Dan aku juga belajar,” bisiknya.
“Tujuan tanpa mengerti luka hanya akan membuat kita melayang. Kita butuh kaki-kaki setegas kamu, Tua.”
Mereka berdiri bersama di tengah aula bambu sederhana yang dibangun dari rancangan Juana dan didanai dari laporan Tua. Di dindingnya tergantung dua kutipan:
- “Bangun dari apa yang ada.”
- “Menuju apa yang kita inginkan.”
Di bawah kutipan itu, tertulis dengan kapur putih:
“Langkah pertama memang berbeda, tapi langkah kedua kita ambil bersama.”
Epilog – Langkah yang Kedua
Beberapa tahun berlalu.
Lereng Timur tak lagi dikenal sebagai “desa bekas longsor.” Kini, ia muncul di halaman-halaman akhir brosur pariwisata kabupaten dengan judul kecil: “Desa Harapan di Perbukitan.” Bukan karena gemerlap. Bukan karena mewah. Tapi karena ia berdiri di antara dua dunia: dunia yang tahu luka, dan dunia yang berani bermimpi.
Di pinggir jalan setapak yang dulu licin dan terjal, berdiri aula bambu yang kini menjadi pusat kegiatan warga. Di sana ada perpustakaan mini di antara batang-batang bambu, ada jaringan internet dari satelit kecil yang dipasang oleh anak-anak muda desa, dan ada kalender kegiatan yang tak pernah kosong dari pelatihan, pertunjukan, hingga kelas daring.
Di dekat aula itu, di atas batu besar yang selamat dari dua longsoran, ada plakat kecil bertuliskan:
“Langkah pertama mereka berbeda, tapi langkah kedua mereka ambil bersama.”
Hari itu, Tua dan Juana duduk di bangku kayu di belakang aula. Mereka sudah tidak muda lagi. Rambut Tua mulai memutih di sisi, dan Juana mengenakan selendang tenun yang sudah mulai memudar warnanya.
Di hadapan mereka, sekelompok anak-anak baru saja selesai menggambar peta impian desa versi mereka. Ada yang menggambar kolam ikan bersama, pusat pengolahan hasil panen, dan bahkan ada yang menggambar stasiun kereta kecil yang katanya akan datang ke desa suatu hari nanti.
Tua menatap gambar-gambar itu dan terkekeh pelan.
“Mereka menggambar stasiun… di bukit,” gumamnya.
Juana menoleh dan tersenyum.
“Dulu kamu juga tertawa waktu aku menggambar aula bambu di atas tanah longsoran.”
Tua mengangguk. Kali ini ia tidak menertawakan. Ia menatap anak-anak itu dengan harapan diam-diam.
“Mungkin... tugas kita sekarang bukan memilih jalan siapa yang benar, Juana.”
“Tapi memastikan,” lanjut Juana, “bahwa mereka tidak takut memilih langkah pertamanya.”
Di atas mereka, matahari sore memantul di atap bambu. Angin dari lembah naik perlahan, membawa suara anak-anak yang saling bercanda. Dan di titik itu, di bangku tua dan tenang itu, dua sahabat akhirnya menyadari:
Langkah pertama mungkin berbeda, tapi arah hidup tidak pernah benar-benar sendiri.
Selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar