Sabtu, 31 Mei 2025

Sumitronomics: Jalan Lama yang Baru Diingat


Sumitronomics: Jalan Lama yang Baru Diingat

Di sebuah forum ekonomi awal tahun ini, seorang pejabat tinggi dengan nada penuh harap menyebut kata yang terasa asing namun agung: Sumitronomics. Ruang pun riuh. Para peserta manggut-manggut, seolah menemukan mantra penyelamat dari kekacauan ekonomi global yang menggoyang harga beras, melemahkan rupiah, dan membayangi industri dalam negeri.

“Ini saatnya kembali ke Sumitro,” ucap sang pejabat, merujuk pada Prof. Sumitro Djojohadikusumo — ekonom yang jejaknya berserakan dalam sejarah pembangunan Indonesia. Tak lama, istilah itu menjalar ke berbagai kanal diskusi, masuk ke meme-meme politik, dan jadi pembuka pidato-pidato kampanye: industrialisasi, kemandirian, dan peran aktif negara—semuanya digulung dalam satu nama, Sumitro.

Tapi di antara tepuk tangan dan sorak sorai itu, terselip satu pertanyaan kecil dari rakyat yang puluhan tahun jadi penonton pembangunan: bukankah negara memang seharusnya seperti itu sejak dulu?

Di dusun-dusun yang tanahnya mengering dan sawahnya dililit pupuk mahal, di pabrik-pabrik kecil yang tak mampu bersaing dengan barang impor, atau di kios-kios yang kalah dari jaringan ritel raksasa, nama Sumitro mungkin asing. Tapi semangat yang dibawa oleh nama itu — agar negara tak absen dari hidup rakyat — justru adalah sesuatu yang sudah lama mereka tunggu.

Maka ketika Sumitronomics dielu-elukan seakan wahyu baru, bagi rakyat kecil ia terdengar seperti ironi: mengapa jalan yang seharusnya ditempuh sejak lama kini justru dianggap penemuan?


Gagasan Lama dalam Bungkus Baru

Jauh sebelum istilah Sumitronomics muncul di podium dan layar televisi, Sumitro Djojohadikusumo telah menuliskan gagasannya dalam lembar-lembar kebijakan ekonomi Indonesia pascakemerdekaan. Ia bukan hanya seorang ekonom, tetapi juga arsitek arah pembangunan yang sadar betul bahwa kemerdekaan politik tak ada artinya tanpa kemandirian ekonomi.

Sumitro bukan penganut tunggal ide negara besar atau pasar bebas. Ia seorang realis yang menggabungkan keduanya dengan sentuhan pragmatis. Dalam beberapa dokumen dan pidato, ia menekankan pentingnya industrialisasi sebagai mesin pertumbuhan nasional. Menurutnya, selama Indonesia hanya menjadi pengekspor bahan mentah—seperti karet, kopi, atau timah—maka kita akan selalu menjadi bangsa pelengkap, bukan pemain utama.

Pada era 1950-an, Sumitro ikut menggagas berdirinya perusahaan-perusahaan negara strategis, termasuk dalam sektor baja, pupuk, semen, dan energi. Ia juga yang pertama kali memopulerkan istilah “ekonomi terpimpin dalam konteks pembangunan” — bukan dalam pengertian ideologis totaliter, melainkan strategi negara untuk mengatur laju pertumbuhan sektor-sektor prioritas.

Namun, sejarah juga mencatat betapa ide-ide Sumitro seringkali bentrok dengan realitas politik. Ia sempat dua kali diasingkan secara politik—oleh Sukarno karena perbedaan visi, dan oleh Soeharto karena kedekatannya dengan kubu lama. Namun ide-idenya tak pernah benar-benar mati. Ia kembali mengisi ruang-ruang akademik dan menyusup ke dalam kebijakan Orde Baru, bahkan tanpa menyebut namanya.

Kini, ketika kata Sumitronomics dimunculkan kembali, seolah kita tengah membuka kembali buku tua berdebu di rak perpustakaan negara. Padahal isinya telah lama dikutip diam-diam—dan sayangnya, juga dikhianati berkali-kali oleh para pemegang kuasa yang gemar menjual jargon tapi alergi pada pelaksanaan.


Negara-Negara Maju Melakukannya Juga

Apa yang dalam Sumitronomics disebut sebagai industrialisasi strategis, kemandirian ekonomi, dan peran aktif negara, sesungguhnya bukanlah warisan eksklusif Indonesia. Ia bukan barang langka di rak ideologi dunia. Justru sebaliknya, ide-ide semacam ini pernah menjadi naskah utama dalam pembangunan negara-negara yang kini disebut maju.

Lihatlah Amerika Serikat, negara yang kerap digambarkan sebagai surga kapitalisme. Di balik citra pasar bebasnya, Amerika pernah sangat proteksionis. Pada akhir abad ke-18, Alexander Hamilton merancang cetak biru pembangunan industri dengan menyarankan perlindungan bagi sektor dalam negeri, subsidi untuk manufaktur, dan pembangunan infrastruktur negara. Washington pun mematuhinya. Inilah pondasi industri Amerika yang kini mendominasi dunia.

Jerman? Di bawah Otto von Bismarck, negara bukan hanya campur tangan dalam politik luar negeri dan perang, tetapi juga dalam perekonomian. Ia menciptakan sistem asuransi sosial pertama di dunia—bukan karena semata peduli, tetapi karena negara menyadari bahwa produktivitas buruh adalah kekuatan industri. Negara kuat hanya bisa berdiri di atas industri kuat, dan industri kuat hanya mungkin dengan peran negara.

Jepang pasca-Meiji menjalankan strategi serupa. Mereka mengirim ratusan pemuda belajar ke luar negeri, mempelajari teknik, industri, dan manajemen Barat. Sekembalinya, negara mendampingi pertumbuhan industri lokal dengan pinjaman murah, riset, dan proteksi. Di era modern, MITI (Ministry of International Trade and Industry) menjadi institusi legendaris yang mengarahkan keajaiban ekonomi Jepang.

Dan tentu saja Korea Selatan. Negeri yang pada 1960-an lebih miskin dari Indonesia itu hari ini berdiri tegak sebagai negara industri maju. Mereka tidak menyerahkan diri pada mekanisme pasar begitu saja. Pemerintah Korea menunjuk langsung konglomerat seperti Hyundai dan Samsung untuk fokus pada industri strategis, memberi dukungan penuh, dan melindungi mereka dari kompetisi global hingga siap bertarung di luar negeri.


Dari semua itu, satu pelajaran mencuat: negara-negara maju tidak menjadi kuat karena membiarkan pasar liar, tetapi karena mereka memanfaatkan negara sebagai alat pembangunan. Pasar hanya diberi ruang setelah fondasi industri lokal cukup kokoh untuk bertarung.

Dalam konteks itu, Sumitronomics bukan barang baru. Ia hanya tampak asing karena terlalu lama diabaikan. Justru keganjilan terbesar ada pada kita: mengapa ide yang menjadi norma di banyak negara, justru kita rayakan seolah wahyu baru yang turun dari langit?


Sumitronomics dan Ironi Kita Hari Ini

Yang ironis dari euforia Sumitronomics bukan terletak pada gagasannya, melainkan pada kenyataan bahwa ide dasar itu baru dianggap penting setelah kita terlalu lama tersesat dalam pasar bebas yang kebablasan. Sejak reformasi bergulir, negara cenderung mengambil posisi sebagai wasit yang tidak berani meniup peluit. Pasar dipuja, intervensi dianggap dosa, dan kata “negara” dijauhkan dari urusan produksi, distribusi, hingga konsumsi.

Selama dua dekade terakhir, industri manufaktur kita justru menyusut. Kontribusi sektor industri terhadap PDB menurun. Pabrik-pabrik tekstil berguguran. Mesin-mesin tua dibiarkan megap-megap bersaing melawan barang impor dari Tiongkok dan Vietnam. Sementara itu, ekspor kita tetap bertumpu pada batu bara, kelapa sawit, dan bahan mentah lainnya — komoditas yang tak mengantarkan negara manapun menjadi maju.

Layanan publik dikomersialkan. Petani mencari pupuk bersubsidi seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Nelayan kecil bertarung dengan kapal besar yang memegang izin dari pusat. Anak-anak muda bermimpi jadi konten kreator ketimbang teknisi mesin, karena negara sendiri tak yakin pada masa depan industrinya.

Dalam konteks seperti ini, munculnya istilah Sumitronomics justru terasa getir. Ia seperti obat lama yang baru diambil dari laci setelah penyakitnya menjalar ke seluruh tubuh. Lebih dari itu, ia juga menjadi cermin betapa kita selama ini kehilangan akal sehat dalam bernegara: membiarkan mekanisme pasar menjadi ideologi, bukan alat.

Kini, ketika Sumitronomics kembali dibicarakan oleh elite, publik bertanya-tanya: benarkah negara akan benar-benar hadir, ataukah ini sekadar slogan baru dalam kemasan lama? Apakah ini pertobatan kolektif dari mereka yang selama ini menari bersama logika pasar? Atau hanya gincu kebijakan agar tampak memihak rakyat?

Sebab rakyat sudah kenyang dengan jargon. Mereka tak butuh teori besar, cukup kebijakan yang membumi: pupuk yang sampai, harga yang stabil, dan industri lokal yang dilindungi.

Jika negara benar-benar ingin kembali pada semangat Sumitro, maka jalan satu-satunya adalah turun dari menara gading, masuk ke dapur rakyat, dan membuat ekonomi terasa di piring nasi mereka. Bukan sekadar di slide presentasi menteri.


Harapan dan Tantangan di Era Baru

Membangkitkan kembali Sumitronomics di abad ke-21 tentu tak bisa sekadar menyalin buku catatan lama dan berharap hasilnya sama. Dunia sudah berubah. Kita hidup dalam era ekonomi digital, perubahan iklim, disrupsi teknologi, dan ketegangan geopolitik global. Namun justru dalam lanskap baru itulah, gagasan negara yang berperan aktif menjadi semakin relevan.

Kemandirian hari ini tidak hanya berarti membangun pabrik baja atau pupuk, tetapi juga mengembangkan chipset, kendaraan listrik, kecerdasan buatan, dan ketahanan pangan berbasis riset lokal. Negara tak lagi cukup menjadi regulator, melainkan harus menjadi fasilitator ekosistem inovasi. Ia perlu menghubungkan laboratorium kampus dengan dapur UMKM, dan menyambungkan petani dengan pasar lewat infrastruktur digital dan logistik modern.

Namun, di sinilah tantangannya. Apakah kita punya keberanian politik untuk menolak kenyamanan status quo yang selama ini terlalu bergantung pada ekspor bahan mentah dan impor barang jadi? Apakah kita bersedia membayar harga jangka pendek dari industrialisasi yang membutuhkan proteksi, subsidi, dan reformasi kebijakan fiskal?

Negara juga harus berhenti memandang intervensi sebagai pemborosan. Selama intervensi itu menghasilkan daya saing, pekerjaan, dan nilai tambah dalam negeri, maka itu bukan pemborosan—itu investasi. Namun investasi itu harus disertai akuntabilitas. Kita tidak ingin Sumitronomics berubah jadi proyek rente baru dengan label nasionalis semu.

Lebih jauh lagi, Sumitronomics tidak boleh berhenti di tataran elite. Ia harus menjadi kesadaran kolektif. Artinya, negara perlu mengajak masyarakat berpikir ulang tentang apa artinya produk lokal, apa artinya berdikari, dan mengapa tidak semua barang murah itu berkah. Pendidikan, media, dan kebijakan harus bergerak serentak membentuk kesadaran baru: bahwa kemandirian ekonomi adalah fondasi kemerdekaan sejati.

Jika semua itu dilakukan bukan karena popularitas, melainkan karena kesadaran sejarah, maka kita boleh berharap: mungkin kali ini Sumitronomics bukan sekadar jargon. Tapi sungguh-sungguh menjadi jalan baru yang membawa kita kembali ke akar—dengan pandangan yang lebih tajam, dan langkah yang lebih terarah.


Sebuah Refleksi

Setelah berpuluh tahun terombang-ambing dalam arus pasar bebas, Indonesia kini tampak hendak menoleh ke belakang — atau barangkali, justru menatap ke depan dengan memakai kacamata lama yang telah dibersihkan dari debu ideologis. Sumitronomics, dengan segala kesederhanaan prinsipnya, kembali menjadi bahan pembicaraan. Ia datang bukan sebagai pengetahuan baru, melainkan sebagai pengingat: bahwa negara tidak bisa berdiri berpangku tangan dalam membangun ekonomi bangsanya sendiri.

Namun sejarah selalu mengajarkan satu hal: gagasan hanya akan berarti bila dijalankan dengan konsistensi, bukan dijadikan simbol kampanye. Kita tidak butuh lagi pemujaan terhadap nama besar tanpa keberanian mewujudkan ide-idenya secara konkret.

Sumitro Djojohadikusumo barangkali sudah tiada, tetapi semangat yang ia titipkan pada lembar-lembar ekonomi nasional masih hidup: bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang berani mengendalikan nasib ekonominya sendiri, tanpa menunggu dikasihani pasar global. Bahwa negara bukan pelengkap, melainkan pengarah.

Kini bola ada di tangan generasi pemimpin baru. Apakah Sumitronomics akan menjadi fondasi kebijakan ekonomi yang sungguh-sungguh dijalankan dengan keberpihakan kepada produksi dalam negeri, pekerja lokal, dan industri strategis? Atau hanya akan jadi jargon pengisi spanduk, yang luntur begitu pemilu usai?

Sebab rakyat tak lagi percaya pada kata-kata. Mereka hanya percaya pada apa yang terasa nyata: pada harga sembako yang stabil, pada lapangan kerja yang tumbuh, dan pada mimpi yang bisa dibangun dengan tangan sendiri. Jika Sumitronomics bisa menjawab itu semua, maka barulah ia layak disebut sebagai jalan masa depan—meski berasal dari masa lalu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar