1 – Antara Lumpur dan Timeline
Bau anyir Kali Angke sudah akrab sejak Bu Masnah kecil. Ia tinggal di Dusun Cililitan Lama, sebuah perkampungan padat di pinggiran Cengkareng, Jakarta Barat. Di bantaran kali inilah ia membesarkan anak-anaknya dengan menjual kangkung dan bayam dari petak sempit belakang rumah—tanah urukan sisa proyek reklamasi yang dijadikan kebun oleh warga.
Kali Angke membelah kampung seperti luka lama yang tak kunjung sembuh. Setiap musim hujan, air meluap, membawa bau limbah dan kenangan banjir semata dada. Namun bagi Bu Masnah, tempat ini bukan sekadar wilayah pinggir. Ini tanah yang pernah diberi janji oleh pembangunan, tapi tak pernah ditepati.
Di seberang jalan kampung, anak-anak muda menghabiskan waktu dengan ponsel. Bukan untuk belajar, tapi untuk menggulir layar demi layar media sosial. Tiap pagi, Bu Masnah sering mendengar mereka membacakan tagar-tagar viral seperti bacaan mantra.
“#IndonesiaGelap trending lagi, Bu!” seru Roni, anak tetangganya yang baru lulus SMA, sambil menunjukkan layar ponselnya.
Bu Masnah menoleh dari kebun kecilnya, menanam batang serai dengan tangan berlumpur. “Kenapa gelap? Listrik masih nyala. Mentari masih bersinar.”
Roni tertawa. “Itu maksudnya negara ini, Bu. Udah nggak ada harapan, katanya.”
Di hari yang sama, datanglah Ridho. Mahasiswa semester akhir dari Universitas Negeri Jakarta, yang sedang menjalani KKN. Ia membawa beberapa benih kale dan sistem hidroponik rakitan dari paralon bekas. Dari awal, ia sudah melihat bantaran Kali Angke ini bukan tempat buangan, tapi ladang yang belum dibaca.
“Saya lihat dusun ini punya potensi, Bu. Cahaya cukup, tanah bisa diolah, dan warga sudah terbiasa berkebun,” ucap Ridho, saat berdiri di ujung jembatan kecil yang mengarah ke kebun Bu Masnah.
Bu Masnah tersenyum, matanya menatap tanah berlumpur yang masih setia menyimpan harapan.
“Di tempat yang orang anggap gelap, kami belajar melihat cahaya dari tanah.”
Malam harinya, Ridho ikut duduk di pos ronda bersama para bapak dan pemuda kampung. Keluhan meluncur seperti banjir kiriman: harga bahan pokok naik, minyak goreng hilang, listrik mahal, pupuk langka. Semuanya dibungkus dengan pesimisme dan keluhan yang tak kunjung menetas menjadi aksi.
Ia membuka Twitter. Di sana, tagar #IndonesiaGelap melesat di puncak trending. Namun alih-alih ikut mengeluh, Ridho hanya bergumam pelan,
“Kalau semua bilang gelap tapi tak menyalakan apa-apa, mungkin yang gelap bukan negerinya, tapi niat kita.”
Saat itulah, di bantaran Kali Angke, benih cerita ini ditanam. Bukan hanya benih bayam dan kangkung, tapi benih semangat yang akan tumbuh menjadi perlawanan tanpa teriakan, tanpa spanduk, tanpa kekerasan—melainkan dengan cangkul, kompos, dan ketekunan.
2 – Dari Tagar ke Cangkul
Ridho tidak langsung mengajak warga berdiskusi soal negara atau politik. Ia tahu, bantaran Kali Angke bukan ruang debat, melainkan ladang praktik. Esok paginya, ia mendatangi Bu Masnah membawa sebuah rak hidroponik dari pipa bekas, ember cat yang dijadikan wadah nutrisi, dan segenggam benih pakchoy.
“Bu, kita coba tanam sayur yang bisa tumbuh cepat. Modalnya cuma air dan nutrisi cair. Lihat ini,” katanya sambil merakit sistemnya di halaman kecil samping rumah Bu Masnah.
Bu Masnah memanggil beberapa tetangga. Mereka berkumpul. Awalnya hanya menonton. Tapi saat Ridho menunjukkan hasil panen dari sistem serupa yang ia bawa dari kampus, mata-mata mereka mulai menyala.
“Kalau berhasil, kita bisa pakai deretan pagar sepanjang selokan itu buat tanam,” kata Pak Darman, tukang las setempat yang kebetulan lewat.
“Panennya bisa buat isi kantong emak-emak juga, bukan cuma timeline ponsel,” sambung Bu Masnah sambil terkekeh.
Namun bukan hanya sayur yang ditanam hari itu. Sebuah gagasan juga tumbuh. Gagasan bahwa membangun negeri tak selalu harus lewat kursi wakil rakyat atau poster besar di jalan. Tapi bisa dimulai dari keranjang panen yang terisi, dari selokan yang tidak mampet, dan dari dinding bambu yang ditempeli tulisan tangan:
"Yang gelap bukan negerinya, yang malas menanam."
Tiga hari kemudian, Ridho membuat akun media sosial bernama @TaniKotaBantaran. Foto-foto kebun buatan diunggah: kangkung di baskom, sawi di ember, tomat di rak kayu tua. Setiap unggahan disertai tagar baru:
#JanganMalas
#DariBantaranUntukIndonesia
#PanenLawanPesimisme
Warga mulai ikut. Bu Sulastri yang biasanya sibuk menjaga cucu kini menanam daun mint. Bang Ujang yang biasanya nongkrong di warung, mulai sibuk menyusun botol bekas jadi pot vertikal.
“Kalau kita cuma bisa ngeluh, ya kita nggak beda sama air got yang jalan ke mana-mana tapi nggak tahu tujuannya,” kata Ridho dalam sebuah unggahan video pendek, dengan latar belakang Kali Angke dan barisan kangkung hijau segar.
Akun itu mulai mendapat perhatian. Beberapa netizen menyukai semangatnya. Beberapa aktivis kota mengejek, menyebut mereka “tukang tanam yang dibutakan dari realitas politik.” Tapi Ridho tidak membalas. Ia hanya memposting foto panen hari ke-10 dengan caption:
"Ini hasil tagar kami: tumis pagi untuk 10 keluarga. #JanganMalas."
Bagian 3 – Dari Benih ke Gerakan
Bulan Mei datang dengan angin kering dari laut utara. Tapi di Dusun Cililitan Lama, bantaran Kali Angke justru mulai menghijau. Pagar-pagar rumah dipenuhi pot gantung dari botol bekas. Dinding bekas pos ronda kini jadi mural bertulisan:
“#JanganMalas – Karena keluhan tak pernah bisa dipanen.”
Ridho tak lagi bekerja sendiri. Ia dibantu belasan pemuda kampung yang dulunya gemar nongkrong sambil scroll media sosial tanpa arah. Mereka kini jadi tim dokumentasi, tim pembibitan, dan tim edukasi warga. Setiap Sabtu sore, ada “Kelas Tani Bantaran” di bawah pohon mangga milik Pak Darman.
Semua berawal dari satu kalimat Bu Masnah di pertemuan mingguan itu:
“Kalau negara belum sempat datang ke kita, mari kita buat kampung ini jadi contoh kecil dari negara yang kita impikan.”
Gerakan ini pelan-pelan merambat keluar. Kampung sebelah—Kelurahan Rawa Buaya—mengirim dua orang belajar cara buat rak hidroponik. Seorang guru SD meminta Ridho datang untuk memberi pelatihan kecil di kelas IPA. Bahkan, satu kanal berita lokal meliput kegiatan mereka dan menayangkan liputan bertajuk:
“Tagar Hijau dari Bantaran: Saat Petani Kota Melawan Pesimisme.”
Namun yang paling mengejutkan adalah respons warganet. Tagar #JanganMalas yang awalnya hanya disebar di unggahan komunitas tani bantaran, tiba-tiba digunakan oleh beberapa tokoh publik—seorang chef ternama, influencer lingkungan, hingga musisi indie yang mengunggah videonya menanam cabai di apartemen.
Komentar-komentar pun berdatangan:
“Keren banget, kayak beginilah seharusnya rakyat melawan kegagalan sistem.”
“Gak cuma demo. Mereka tanam, panen, kasih makan orang. Hormat!”
“Tagar yang bisa dipanen. Salut!”
Namun tak semua positif. Beberapa akun menyindir:
“Ini cuma proyek kecil yang meninabobokan rakyat.”
“Apa gunanya panen kangkung kalau keadilan tetap gelap?”
Ridho membalas sindiran itu bukan dengan kata-kata, tapi dengan aksi: mereka membagikan sayuran gratis ke 50 keluarga miskin, dibarengi edukasi cara menanam di ember. Bu Masnah menuliskan surat terbuka, ditempel di pagar bambu kebun komunitas:
“Kami tak pernah membela pemerintah. Tapi kami juga tak sudi membela kemalasan.”
Gerakan itu kini bukan sekadar komunitas tani. Ia menjelma jadi simbol. Sebuah bantaran yang dulu dianggap tempat buangan, kini menjadi pusat harapan. Di tengah gelombang keluhan, mereka menanam bukti bahwa kerja nyata bisa lebih viral dari keluh kesah.
4 – Ujian Terbuka
Popularitas membawa perhatian, dan perhatian membawa ujian.
Suatu pagi, Ridho mendapati mural #JanganMalas di tembok bantaran dicoret dengan cat semprot merah. Di bawahnya tertulis:
“Tani kota: pion pemerintah, penutup luka rakyat.”
Kabar itu menyebar cepat, bukan hanya di kampung tapi juga di jagat maya. Sebuah akun aktivis mengunggah ulang gambar itu dan menuliskan:
“Gerakan ‘#JanganMalas’ ini terlihat manis, tapi jangan salah: ia mengalihkan perhatian kita dari sistem yang gagal. Mereka menyapu lumpur, tapi membiarkan selokan korupsi tetap mampet.”
Komentar-komentar pedas pun membanjiri akun @TaniKotaBantaran.
“Panen sayur gak akan gantiin hilangnya subsidi!”
“Mereka tanam bayam, kita tanam kekecewaan.”
“Jangan malas? Malas itu akibat sistem yang bikin rakyat pasrah!”
Ridho diam. Ia tidak membalas. Ia mengumpulkan tim, duduk bersama warga, dan bertanya: “Apa yang harus kita lakukan?”
Bu Masnah angkat suara, suaranya lirih tapi tegas, “Kalau orang-orang marah karena kita menanam, mungkin karena mereka sudah terlalu lama terbiasa mencabut.”
Keputusan pun diambil. Mereka menggelar Panen Raya Bantaran, bukan sekadar untuk memanen sayur, tapi juga untuk memperlihatkan bahwa kerja nyata bukan berarti tunduk, dan kemandirian bukan berarti membenarkan kesalahan negara.
Hari itu, bantaran Kali Angke berubah jadi festival kecil. Ada stan sayur gratis, workshop hidroponik untuk anak-anak, dan panggung terbuka tempat warga membaca puisi-puisi tentang tanah, peluh, dan harapan. Seorang pemulung naik ke panggung dan berkata:
“Saya tak sekolah tinggi. Tapi sejak ikut tanam di sini, saya tahu bahwa yang menanam, tak pernah gelap.”
Wartawan lokal datang. Media sosial kembali ramai. Kali ini, banyak yang berubah haluan.
“Mereka bukan buzzer. Mereka pelaku.”
“Tagar ini bukan hura-hura. Ini kerja.”
“Mereka tidak menambal, mereka menyalakan.”
Dan sebagai simbol perlawanan yang anggun, warga membuat mural baru, lebih besar dari sebelumnya. Di dinding itu tergambar tangan-tangan berlumpur yang mengangkat bibit tanaman, dengan tulisan besar di atasnya:
“Kami menanam bukan karena negeri ini sempurna, tapi karena kami menolak ikut membusuk.”
#JanganMalas
5 – Diterangi Kerja Nyata
Panen raya itu menyisakan lebih dari sekadar sayur dalam keranjang. Ia meninggalkan nyala baru di mata warga Dusun Cililitan Lama—sebuah keyakinan bahwa kerja kecil mereka punya gema yang lebih luas dari sungai yang mengalir di depan rumah.
Beberapa hari setelah acara itu, Kelurahan Rawa Buaya resmi menunjuk komunitas Tani Kota Bantaran sebagai mitra binaan dalam program ketahanan pangan urban. Pemerintah kota pun mulai memperhatikan: datanglah staf dari Dinas Ketahanan Pangan dengan tawaran pelatihan dan distribusi benih. Tapi Ridho berhati-hati.
“Kalau bantuan datang, kita syukuri. Tapi jangan sampai kita cuma jadi foto proyek. Kita tetap harus berdiri di atas kaki sendiri,” katanya saat rapat komunitas.
Bu Masnah mengangguk. “Kita buka pintu, tapi jangan lepas cangkul.”
Sementara itu, akun @TaniKotaBantaran menembus angka 150 ribu pengikut. Banyak yang bukan sekadar melihat, tapi bertanya, belajar, bahkan meniru. Kampung-kampung lain mulai membuat akun serupa: @TaniCikupa, @KebunPinggirCisadane, @LadangGangKenanga—semua mengusung semangat yang sama, dan satu tagar yang menyatukan mereka:
#JanganMalas
Tagar itu kini tak sekadar slogan. Ia berubah menjadi ekosistem: warga belajar membuat kompos sendiri, ada koperasi kecil yang mengelola hasil panen, dan anak-anak yang dulu bermain di pinggir got kini sibuk menyiram tanaman dengan ember bekas cat.
Seorang jurnalis dari majalah nasional datang mewawancarai Ridho. Dalam artikelnya, ia menulis:
“Di antara ribuan tagar kemarahan yang menyesaki ruang maya, ada satu tagar yang tidak lahir dari protes, tapi dari peluh—tidak tumbuh dari tuntutan, tapi dari kerja.”
Sore itu, Ridho berdiri di ujung bantaran, memandang Kali Angke yang mulai jernih karena warga tak lagi membuang sampah sembarangan. Di belakangnya, suara cangkul dan tawa anak-anak bercampur dalam paduan yang sederhana namun utuh.
“Dulu kita disebut warga ilegal, penumpang kota, penghuni liar,” ujar Pak Darman sambil meletakkan setumpuk kompos. “Sekarang kita petani kota. Kita bukan pelengkap laporan, tapi pembuat perubahan.”
Matahari tenggelam di balik langit Jakarta. Tapi di bantaran kali, cahaya justru memancar—bukan dari lampu jalan, tapi dari kerja yang diterangi niat baik.
6 – Di Antara Lumpur dan Arah Baru
Malam turun di Dusun Cililitan Lama. Lampu-lampu rumah memantul di permukaan Kali Angke yang kini lebih bersih dari tahun-tahun sebelumnya. Di teras rumah Bu Masnah, Ridho duduk bersama anak-anak muda, membahas rencana membuat perpustakaan kecil dari bambu dan rak hidroponik di atap musala.
Di dinding sebelahnya, terpampang kutipan yang kini jadi semboyan kampung:
“Kami menanam bukan karena negeri ini sempurna, tapi karena kami menolak ikut membusuk.”
Hidup warga bantaran memang belum berubah secara mewah. Pendapatan mereka masih sederhana, atap rumah masih dari seng bekas, dan bau kali masih datang sesekali ketika hujan mengguyur. Tapi kini ada sesuatu yang tak bisa dibeli—martabat.
Mereka bukan lagi bayang-bayang kota yang hanya dipanggil saat kampanye. Mereka kini menjadi suara—pelan tapi tegas, dari tanah pinggir yang dulu dianggap tak layak.
Ridho, yang esoknya harus kembali ke kampus, menuliskan pesan perpisahan di akun komunitas mereka:
“Jika suatu hari kalian mendengar tagar #IndonesiaGelap kembali menggema, jangan buru-buru marah. Lihat sekeliling kalian dulu. Jika masih ada yang menanam, memberi, dan tidak malas, maka negeri ini belum benar-benar gelap. Teruskan. Karena kita tak hanya butuh cahaya, tapi juga tangan-tangan yang bersedia menyalakannya.”
Komentar membanjiri unggahan itu. Tak semua setuju. Tapi ratusan orang membagikannya, menambahkan gambar: tangan berlumpur yang memegang benih, senyum lelah di bawah topi jerami, dan barisan pot dari ember bekas.
Bu Masnah hanya tersenyum. Ia tahu, Ridho akan pergi. Tapi semangatnya sudah tumbuh, seperti bibit-bibit yang kini memenuhi bantaran. Di tengah malam yang sunyi, ia menyiram tomat ceri yang baru berbunga, lalu berbisik pelan:
“Kalau semua orang menanam terang dari tempatnya, mungkin negeri ini tak perlu lagi menyalahkan gelap.”
Dan di situlah cerita ini berakhir.
Bukan di akhir perjuangan,
tapi di awal arah baru.
Dari bantaran.
Untuk seluruh Indonesia.
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar