Retakan di Tengah Kota
"Di tengah segala kecepatan, ada sesuatu yang lambat namun pasti — seperti tanah yang menguap pelan, lalu menganga tanpa suara."
Nara tidak pernah percaya pada cerita rakyat. Ia hidup dari struktur, garis-garis tegak lurus, dan skala-skala presisi. Sebagai arsitek muda di Kota Pinisi — kota pelabuhan yang kini berubah jadi distrik digital — hari-harinya dipenuhi gedung kaca, sensor angin, dan penghitungan bayangan matahari dalam satuan algoritma.
Tapi hari itu berbeda.
Di tengah survei lokasi taman kota yang akan digusur untuk pembangunan pusat data, ia menemukan sesuatu yang tak ada di peta. Kabut tipis menggantung di atas Hilir Tana Langie, sebuah cekungan hijau yang katanya sudah lama terbengkalai. Tempat itu seperti lupa waktu — tak ada sinyal, tak ada suara kendaraan, hanya desir angin dan bisikan serangga yang terdengar terlalu jelas.
Nara berhenti berjalan saat melihat jejak tapak kuda di atas aspal lembap. Bukan jejak biasa — tapak itu menguap perlahan, seperti bayangan air mendidih di atas batu pagi.
"Sudah lama tidak ada yang melihat kuda putih itu," suara parau menyapa dari balik bangku taman. Seorang kakek tua dengan topi anyaman sedang memberi makan burung.
Nara menoleh, mengernyit. "Kuda putih, Pak?"
"Ya. Ia penanda bahwa batas dunia sudah retak. Dulu, kami menyebutnya jala' balampeng — kabut yang bukan sekadar kabut. Itu bukan uap air, tapi uap waktu."
Nara tersenyum kaku. "Pak, ini tahun 2049."
Kakek itu tertawa, tapi tawanya pelan dan berderak seperti bambu tua. "Waktu tidak berjalan lurus di tanah ini, Nak. Di bawah batu itu masih mengalir sungai mimpi. Dan kadang, yang dari langit bawah naik ke atas."
Nara menatap ke sela-sela pepohonan yang menggigil pelan. Dalam kabut itu, sekelebat bayangan tampak — seekor kuda putih perlahan menyeberang jalan. Tidak ada suara tapak. Ia hanya mengambang di antara gerimis dan sinar senja, lalu lenyap ke udara, menembus celah yang tak terlihat.
Seketika ponsel Nara mati. Kompas digitalnya berputar tak tentu arah.
Ia menelan ludah. Dunia modernnya baru saja retak — dan di balik retakan itu, ada sesuatu yang lama menunggu dikenali.
Pemisahan yang Tersembunyi
"Tak semua batas digambar dengan garis. Sebagian hanya bisa dirasa—seperti udara yang tiba-tiba menjadi lebih berat, atau cahaya yang tidak bisa menjelaskan dirinya sendiri."
Keesokan paginya, Nara kembali ke Hilir Tana Langie. Ia membawa kamera termal, drone survei, dan peta topografi digital — peralatan standar untuk seorang arsitek urban. Tapi entah kenapa, langkahnya ragu-ragu. Kabut kemarin masih tinggal, seperti tamu yang menolak pulang.
Ia menyusuri jalur setapak yang semalam tak dikenalnya. Pohon-pohon beringin di sekitarnya menjulang dengan akar menggantung, seperti jemari tua yang siap menahan langit agar tidak jatuh. Di tengah pepohonan itu, ia melihat sebuah batu besar berlumut dengan goresan aneh: aksara Bugis kuno yang tak dikenalnya.
"Ini bukan batu biasa," terdengar suara dari balik semak. Ternyata, kakek kemarin sudah duduk di sana, menyeduh teh di atas api kecil.
Nara mengangguk, kali ini tanpa sinis. "Boleh saya tahu... sebenarnya tempat ini apa?"
Kakek itu menatap ke kejauhan, seolah melihat ke masa lalu yang belum selesai. "Kami menyebutnya Siring Pettuanna — tempat di mana 'jalan keputusan' terbuka. Ini adalah irisan. Dulu dunia kami tak terpisah. Tapi waktu dan kerakusan manusia membuatnya retak."
"Irisan antara apa?" desak Nara.
"Irisan antara langit modern dan langit purba. Antara Kota Pinisi dan Boting Langi', kota para anak dewa. Dulu orang bisa menyeberang lewat mimpi, lewat doa, lewat mata air. Sekarang… hanya sedikit yang bisa."
Nara menatap batu itu sekali lagi. Suatu perasaan aneh menyusup dalam dadanya — bukan takut, bukan penasaran, tapi seperti kerinduan yang tak pernah ia sadari. Ia teringat ibunya yang dulu sering membacakan nyanyian tentang Sawerigading sebelum tidur, lagu yang dulu ia anggap hanya dongeng.
“Mengapa retakan itu muncul sekarang?” tanya Nara.
“Karena dunia ini mulai kehilangan arah. Para roh penjaga gelisah. Lantai dunia ini terlalu kaku — tak ada lagi ruang untuk mimpi,” jawab sang kakek sambil menyerahkan secangkir teh hangat.
Nara menerimanya. Tapi begitu cangkir itu menyentuh bibirnya, dunianya berputar. Ia tak lagi duduk di taman, melainkan di atas batu besar yang dikelilingi langit jingga dan laut yang mengambang di udara.
Seorang perempuan berselendang angin berdiri di depannya.
“Selamat datang, pendatang dari Pinisi. Kami telah lama menunggumu.”
Pertemuan Pertama
"Beberapa pertemuan tidak direncanakan oleh manusia, tetapi ditulis oleh bumi dan langit sebelum kata pertama diucapkan."
Nara menatap perempuan di depannya — tinggi semampai, berselendang angin lembut yang bergerak walau udara tak berhembus. Rambutnya hitam mengkilap dengan kepangan emas di sisinya. Tapi yang paling memikat adalah matanya: kelam seperti malam pertama yang tak tahu apa itu terang, namun menyimpan riak kehangatan seperti danau yang telah menyimpan rahasia ribuan tahun.
“Aku Tamma,” katanya, suaranya terdengar seperti gema desir daun dan aliran sungai yang disamarkan kabut. “Kau telah menyeberang, meski tidak dengan mimpi atau mantra. Mungkin waktumu telah tiba.”
Nara memandangi sekelilingnya. Ia berada di pelataran batu, dikelilingi rumah-rumah panggung yang melayang beberapa senti di atas tanah, tanpa tiang penyangga. Di kejauhan, gunung yang mengambang di langit memantulkan cahaya seperti cermin. Air sungai mengalir ke atas — menuju awan yang berbentuk perahu.
“Di mana ini?” bisik Nara.
“Di sini kami menyebutnya Boting Langi’. Tapi tempat ini hanya akan menerima orang yang terbuka. Banyak dari duniamu yang mencoba masuk, tapi tersesat dalam kepalanya sendiri.”
Tamma berjalan perlahan, dan Nara mengikutinya. Mereka melewati pasar yang sunyi — bukan karena tak ada orang, tetapi karena segala transaksi dilakukan lewat gerak tubuh, mimik wajah, dan nada getaran. Tidak ada uang. Nilai tukar adalah niat dan kejujuran.
“Dunia kami hidup dari niat,” kata Tamma sambil memungut sebuah daun berwarna perak. “Satu niat baik bisa tumbuh menjadi pohon. Tapi satu niat serakah bisa menjadi racun waktu.”
Nara mengangguk, bingung tapi terpesona. “Kami di dunia modern hidup dari data.”
“Data tanpa rasa, seperti air tanpa sungai. Mengalir tanpa tujuan.”
Mereka sampai di sebuah jembatan cahaya. Di bawahnya, awan berbentuk ikan melintas. “Lalu kenapa aku dibawa ke sini?” tanya Nara.
Tamma menatapnya dalam-dalam. “Karena dunia kami mulai kehilangan kekuatan untuk menjaga seimbang. Dan dunia kalian kehilangan arah menuju makna. Kita butuh jembatan — bukan hanya dari tubuh, tapi dari jiwa.”
“Dan aku?”
“Kau adalah celahnya. Seseorang yang pernah lupa akar, tapi belum kehilangan tanah.”
Dari kejauhan, terdengar denting lonceng. Waktu bergerak, dan Nara tahu: ini bukan mimpi, bukan halusinasi, melainkan realitas paralel yang menunggu dipilih.
Saling Belajar
"Ketika dua dunia saling membuka diri, bukan hanya ilmu yang bertukar—tapi luka, kepercayaan, dan cara memandang keberadaan."
Hari-hari berikutnya berjalan seperti pelajaran tanpa kelas. Nara tinggal di rumah panggung bersama Tamma. Ia tidur di tikar yang terbuat dari daun yang bisa menyesuaikan suhu tubuh, dan bangun setiap pagi saat cahaya mentari menyentuh permukaan air di langit.
Di dunia Boting Langi’, tidak ada alarm, tapi waktu tetap teratur. Para penduduk tahu kapan harus menanam, memanen, berlayar, atau menari, hanya dengan membaca arah angin dan gemuruh dalam perut mereka. “Kami menyebutnya suaru balanja—getar naluriah yang diwariskan,” jelas Tamma.
Sebagai balasan, Nara mengenalkan hal-hal dari dunianya. Ia menggambar denah rumah, mengajarkan prinsip isolasi termal, menjelaskan panel surya dan perpipaan air bersih. Anak-anak Boting Langi’ terkagum-kagum melihat tablet solar milik Nara yang bisa menyimpan ribuan buku dan video. Tapi mereka lebih kagum ketika Nara membuka aplikasi kamera dan memperlihatkan augmented reality yang menampilkan patung Sawerigading virtual berdiri di pelataran desa mereka.
“Apakah semua ini nyata?” tanya salah satu anak.
“Lebih nyata dari yang kau kira,” jawab Nara sambil tersenyum, sadar bahwa dalam dunia tanpa kabel pun, imajinasi tetap bisa menyambung jaringan antar jiwa.
Tamma pun membalas. Ia mengajak Nara ikut dalam ritual “Mattappa’” — sebuah perjalanan diam di hutan, tanpa berbicara satu kata pun selama tiga hari, hanya menyerap tanda-tanda alam: cara burung terbang, aroma tanah, suara batang kayu. Di akhir perjalanan, Nara tidak hanya paham arah hutan, tapi arah pikirannya sendiri.
“Kadang pengetahuan tak harus diterangkan. Cukup diam dan hadir,” kata Tamma saat mereka kembali.
Di malam-malam berikutnya, mereka duduk di tepi danau langit dan bertukar cerita: Nara tentang betapa cepat dunianya berubah, dan Tamma tentang zaman ketika dewa turun ke bumi karena manusia masih mau mendengar. Mereka tertawa, saling menggoda logika masing-masing, dan lama-lama menyadari bahwa perbedaan tak perlu diperdebatkan jika bisa dipeluk.
Namun, seperti semua harmoni dalam sejarah, kedamaian ini mulai menggeliat gelisah. Sebuah drone kecil milik Nara yang ia hidupkan tanpa sengaja melintas batas irisan, dan sinyalnya kembali… ke dunia Pinisi.
Dan dari sana, mata-mata dunia modern mulai membuka matanya.
Konflik dan Perpecahan
"Kebenaran yang dibuka separuh, kadang lebih berbahaya daripada kebohongan yang utuh."
Kabar tentang “wilayah yang belum dipetakan” dengan energi unik dan pola biologis yang tak bisa dijelaskan, mulai menarik perhatian para teknokrat Kota Pinisi. Sinyal drone milik Nara yang tertangkap kembali telah menandai lokasi irisan — dan seperti biasa, apa yang tak dimengerti, dianggap bisa dijinakkan.
Sebuah tim ekspedisi dikirim ke Hilir Tana Langie, membawa alat geolistrik, kamera satelit darat, dan scanner partikel. Mereka bukan lagi arsitek atau perencana kota — melainkan pengambil keputusan yang tak peduli konteks, hanya angka dan peluang.
Nara, yang waktu itu belum kembali, mendengar kabar tersebut dari langit: burung-burung Boting Langi’ mulai bertingkah aneh, dan kabut menjadi lebih tebal dan panas. Roh penjaga mulai berbisik, dan mereka tak menyukai suara mesin.
“Kau harus kembali,” kata Tamma. “Kau harus menjelaskan pada mereka bahwa ini bukan tempat untuk ditambang.”
Nara ragu. Ia tahu bahwa niat awalnya baik — menjembatani dua dunia, membagi kebaikan. Tapi ia lupa satu hal: dunia modern jarang membagi tanpa mengambil.
Saat akhirnya ia menyebrang kembali ke Pinisi, ia mendapati pertemuan darurat diadakan di pusat kota. Slide demi slide menampilkan potensi Boting Langi’: “energi alternatif berbasis vibrasi geomagnetik”, “tanaman superpangan berumur satu minggu”, “kultur manusia dengan stabilitas psikologis tinggi”.
Mereka menyebutnya Zona Nirmala. Mereka menghapus namanya. Mereka mengganti mitos dengan slogan.
Nara mencoba berbicara. Ia memperingatkan. Tapi para petinggi hanya tertawa, “Kami akan bantu penduduk lokal itu menjadi modern. Bayangkan nilai investasi ini!”
Di sisi lain dunia, Tamma menghadapi gelombang kemarahan dari para penjaga adat. Mereka menuduhnya membocorkan jalur langit kepada manusia rakus. “Kita tidak pernah butuh mereka,” kata salah satu tetua. “Mereka datang hanya membawa pecahan kaca dan pertanda buruk.”
Perpecahan mulai terasa di kedua sisi. Nara dianggap pengkhianat modernitas. Tamma dianggap pengkhianat warisan leluhur.
Dan yang paling tragis—alam mulai bereaksi.
Langit di atas Hilir Tana Langie memerah setiap malam, dan gelombang udara terasa seperti nafas makhluk tua yang marah. Sungai mulai mengalir ke belakang. Kabut tak lagi menenangkan, tapi menggigit kulit.
Irisan telah tercemar oleh dua sifat manusia: kesombongan dan rasa memiliki.
Nara dan Tamma tahu, satu-satunya jalan kini bukan menjelaskan—tapi menyelamatkan jembatan yang sudah retak sebelum benar-benar runtuh.
Kelahiran Jalan Baru
"Dalam kegelapan yang dibelah oleh keserakahan, kadang muncul satu cahaya yang bukan berasal dari logika atau legenda—melainkan dari kasih yang berserah."
Tamma berdiri di batas kabut, di antara dua tiang beringin raksasa. Di baliknya, dunia modern mulai menjebol tanah dengan bor logam dan niat industrial. Di depannya, Boting Langi’ mulai menggigil—gema nyanyian leluhur terdengar sumbang, dan langit bergoyang pelan seperti ditarik dari dua arah.
Ia memeluk perutnya. Dalam dirinya tumbuh kehidupan baru: anak yang tak sepenuhnya dari langit, tak sepenuhnya dari bumi. Anak yang dalam diamnya telah bermimpi tentang kedua dunia.
Nara kembali ke Tamma di saat terakhir, menyelinap dari tim eksplorasi. Matanya merah, tubuhnya lelah, pikirannya terkoyak antara dua kesetiaan. Tapi ia tahu, ia bukan lagi milik Pinisi, dan belum sepenuhnya milik Boting Langi’. Ia hanyalah manusia yang sedang mencari tempat untuk benar-benar menjadi manusia.
“Kita tak bisa menyelamatkan keduanya,” bisik Nara.
“Kita tak perlu menyelamatkan dua dunia,” jawab Tamma lembut. “Kita hanya perlu melahirkan satu jalan baru.”
Dengan bantuan para penjaga alam terakhir—mereka yang masih bisa berbicara dengan angin dan batu—Tamma dan Nara melakukan ritus pemisahan rahim semesta: sebuah upacara kuno untuk menciptakan batas yang lembut namun abadi, bukan untuk mengusir, tapi untuk menenangkan roh-roh yang terganggu oleh ambisi manusia.
Di pusat irisan, di atas batu yang dulu menjadi tempat pertama mereka berbicara, Tamma melahirkan anak mereka — Arupa, yang namanya berarti “yang tak punya bentuk tetap.”
Saat Arupa menangis untuk pertama kalinya, kabut pecah perlahan, dan kilat ungu menari di langit. Para ilmuwan di Pinisi melihat lonjakan energi anomali, lalu sinyal mereka hilang total. Semua alat mati. Tanah menutup kembali. Akses menghilang. Tak ada lagi jalan masuk.
Dunia modern mencatat itu sebagai “anomali geomagnetik”. Mereka menutup proyek. Lupa. Melanjutkan hidup. Laporan diarsipkan, tak dibaca lagi.
Sementara itu, di satu tempat yang hanya bisa dijangkau oleh hati yang bersih, Arupa tumbuh. Ia berbicara dengan kode dan nyanyian. Ia menggambar algoritma dengan pasir dan menghitung bintang bukan dengan angka, tapi dengan emosi.
Ia tidak memilih satu dunia.
Ia memilih menjadi penjaga antara keduanya.
Kota yang Tak Terlihat
"Beberapa kota tak dibangun dengan batu dan semen, tapi dengan ingatan, janji, dan ruang yang hanya dikenali oleh jiwa yang diam."
Tahun demi tahun berlalu. Kota Pinisi terus tumbuh — lebih tinggi, lebih cepat, lebih sibuk. Gedung-gedung melampaui awan, kendaraan tak lagi bersuara, dan manusia semakin jauh dari tanah yang pernah mereka pijak dengan rasa hormat.
Tak ada yang mengingat lagi Hilir Tana Langie. Hutan kota itu kini menjadi kawasan konservasi tanpa akses publik, tertutup oleh pagar kaca buram dan larangan masuk. Di peta resmi, tempat itu diberi nama teknokratik: Zona X-Delta, tanpa sejarah, tanpa cerita.
Tapi bagi segelintir orang yang peka—anak-anak yang masih mendengar suara air dari tanah, atau mereka yang bermimpi tentang kuda putih di jalan basah—tempat itu belum mati.
Mereka datang diam-diam, menaruh bunga, duduk tanpa bicara, lalu pulang dengan dada yang terasa ringan. Mereka tak tahu kenapa.
Sementara itu, di dalam kabut yang tak bisa difoto, Boting Langi’ tetap ada. Rumah-rumah panggung terapung lembut di udara, dan langit masih bergoyang pelan mengikuti ritme bumi. Tamma telah menjadi penjaga batas — bukan karena ia dipilih, tapi karena ia bertahan. Nara, meski tubuhnya tak ada lagi, tinggal dalam pohon yang akar dan daunnya tumbuh dua arah: satu ke langit, satu ke tanah.
Dan Arupa? Ia tak pernah dikenal dunia. Tapi ketika seseorang berhasil menghubungkan manusia dengan sungai, teknologi dengan semesta, atau kebijakan dengan kebijaksanaan, itu pertanda Arupa telah menyeberang diam-diam.
Di antara Kota Pinisi dan Boting Langi’, terbentang kota yang tak terlihat. Ia tak ada di GPS, tak bisa diunggah ke cloud, dan tak punya QR code. Tapi ia ada—dalam puisi yang tak selesai ditulis, dalam doa yang tak jadi diucap, dalam mimpi yang tak sempat diingat.
Ia ada, menunggu.
Mungkin untukmu.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar