Kegelisahan yang Terucap dari Dalam
"Berat, lho, ini." Kalimat itu meluncur dari mulut Fahri Hamzah, Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, tak lama setelah dilantik oleh Presiden Prabowo Subianto. Bukannya membakar semangat optimisme, kalimat tersebut justru menebar udara keraguan—bukan dari luar istana, melainkan dari dalam tubuh pemerintah itu sendiri.
Pernyataan Fahri bukan sekadar gumaman ringan. Ia mengucapkannya saat membahas program paling ambisius dalam kabinet Prabowo-Gibran: membangun tiga juta rumah setiap tahun. Dengan gestur yang tak bisa sepenuhnya menyembunyikan kegamangan, Fahri menjelaskan bahwa tugasnya bukan sekadar mendampingi menteri, tetapi menunaikan janji raksasa yang belum tentu punya kaki di tanah.
Media mencatat, jarang ada program strategis nasional yang keraguannya justru diucapkan terang-terangan oleh para pelaksana. Biasanya, pesimisme seperti itu datang dari aktivis LSM, pengamat pembangunan, atau ekonom senior yang ogah masuk birokrasi. Tapi kali ini, suara miring itu datang dari sang juru gedor kebijakan sendiri.
Di tengah gegap gempita publik menanti terwujudnya mimpi punya rumah, suasana di dalam kementerian yang baru dibentuk itu justru terasa lebih seperti ruang tunggu: orang-orang menunggu kepastian anggaran, menanti regulasi penopang, dan berharap ada peta jalan yang lebih dari sekadar lembar presentasi.
Fahri Hamzah memang bukan pejabat biasa. Ia punya sejarah panjang sebagai orator keras yang kerap mengkritik penguasa, bahkan saat masih di dalam parlemen. Tapi ironinya, ketika kini diberi kuasa untuk mewujudkan salah satu program paling populis dari presiden terpilih, justru ia sendiri yang membuka panggung keraguan.
Dalam politik, pengakuan kelemahan bisa jadi taktis. Tapi dalam pembangunan perumahan, hal itu bisa berarti tertundanya mimpi jutaan warga. Dan dalam sistem pemerintahan, ketika keraguan muncul bukan dari luar, tapi dari dalam kabinet, pertanyaannya menjadi lebih besar: apakah negara ini benar-benar siap membangun, atau hanya sekadar ingin terlihat membangun?
***
Narasi Janji Kampanye: Visi yang Terlalu Tinggi?
Di tengah hiruk-pikuk kampanye 2024, janji membangun tiga juta rumah per tahun terdengar seperti puisi kesejahteraan yang ditulis untuk menyentuh hati rakyat kecil. Prabowo Subianto, yang kala itu masih menjadi calon presiden, menyebut program ini sebagai bukti bahwa negara hadir secara nyata di ruang-ruang hidup warganya. Rumah bukan sekadar bangunan, katanya, tapi hak dasar yang harus dijamin negara.
Narasi itu mendapat sambutan hangat, terutama di lapisan masyarakat yang selama ini merasa terlempar dari pasar properti. Kalangan buruh, pegawai honorer, dan generasi muda yang terjebak dalam jeratan kontrakan dan KPR tak terjangkau, merasa janji ini seperti kunci menuju masa depan yang lebih pasti. Tiga juta rumah per tahun bukan angka kecil—itu artinya sekitar 8.000 rumah per hari, termasuk hari libur dan akhir pekan.
Di media sosial, tim sukses Prabowo-Gibran tak henti memproduksi video dan poster bertema “Program Rumah Untuk Semua.” Visualisasi kampanye menunjukkan keluarga-keluarga bahagia membuka pintu rumah baru, lengkap dengan pekarangan kecil dan senyum lebar anak-anak. Di lapangan, baliho-baliho kampanye menampilkan rumah-rumah mungil yang katanya akan dibangun dari Sabang sampai Merauke.
Namun sesaat setelah euforia pemilu berlalu, semangat itu seperti ikut tertinggal di arena kampanye. Belum genap sebulan setelah pelantikan, nada yang keluar dari lingkaran istana justru bergeser menjadi realistis, bahkan skeptis. Menteri Maruarar Sirait menyebut anggaran belum siap. Wamen Fahri Hamzah mengatakan struktur negara belum mendukung. Presiden sendiri—yang dulu lantang bicara soal “revolusi perumahan”—kini lebih banyak diam dalam urusan ini.
Visi yang mulanya tampak meyakinkan, kini menghadapi pertanyaan besar: apakah itu benar-benar rencana kerja, atau sekadar retorika pemilu yang terlalu tinggi untuk dijangkau kaki birokrasi?
Di ruang publik, keraguan mulai menyeruak. Janji itu belum dijelaskan dengan peta jalan yang jelas. Tidak ada tenggat pelaksanaan tiap tahap. Tidak ada kepastian target tahunan yang realistis. Yang ada justru adalah bayang-bayang: angka besar yang menari di udara, tapi tak menyentuh bumi tempat rumah itu seharusnya berdiri.
***
Setelah Dilantik: Nada Surut dari Istana
Hari pelantikan seharusnya menjadi momentum dimulainya kerja besar. Tapi untuk program tiga juta rumah, yang justru terdengar setelah pelantikan adalah suara-suara yang melemah. Presiden Prabowo Subianto yang sebelumnya tampil garang dengan janji pembangunan rumah rakyat, kini tidak lagi menempatkan program ini sebagai headline dalam pidato-pidatonya. Tak ada sorotan khusus dalam rapat kabinet, bahkan dalam pidato kenegaraan awal tahun, program ini hanya disebut sepintas, nyaris seperti formalitas.
Di sisi lain, Maruarar Sirait, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman yang dikenal sebagai “anak ideologis” Megawati dan kini menjadi menteri di kabinet lawan politiknya, tampil realistis. Ia menyebut program ini “luar biasa berat” dan menyatakan secara terbuka bahwa anggaran kementeriannya belum disiapkan untuk target sebesar itu. Ia bahkan sempat mengatakan bahwa “kalau hanya mengandalkan APBN, mustahil tercapai.”
Nada yang sama muncul dari Fahri Hamzah. Wakil Menteri yang dulu dikenal vokal mengkritik Jokowi, kini malah menjadi pengaku jujur terhadap kelemahan negara. Dalam beberapa kesempatan, ia menyebut ketidaksiapan birokrasi, kekacauan data, dan lemahnya struktur koordinasi sebagai alasan mengapa program ini tak bisa langsung tancap gas.
Media mencoba menelusuri dokumen internal Kementerian PKP dan menemukan bahwa hingga akhir April 2025, belum ada peta jalan final yang disahkan. Draft demi draft masih bergulir antar direktorat. Bahkan skema insentif untuk mendorong partisipasi swasta—yang seharusnya menjadi motor utama—masih dalam tahap pembahasan teknis.
Di lapangan, kepala daerah yang semula antusias mulai bingung. Beberapa bupati mengaku belum menerima arahan teknis maupun anggaran untuk menyiapkan lahan atau mendata calon penerima rumah. Seorang pejabat eselon III di Kementerian PKP menyebut, “Kami seperti ditugasi membangun menara tanpa tangga.”
Pemerintah memang belum menyerah. Tapi semangat yang semula membuncah kini seperti ditarik ke bumi oleh realitas. Dan publik mulai bertanya-tanya: apakah ini program yang sungguh-sungguh akan dijalankan, atau hanya lembar janji yang akan dilipat rapi di dalam laci negara?
***
Industri Meradang: Di Mana Peta Jalannya?
Jika masyarakat hanya bisa menunggu dan berharap, industri perumahan—terutama sektor pengembang swasta—meradang lebih dulu. Janji tiga juta rumah per tahun mestinya menjadi kabar baik bagi para pengembang. Tapi alih-alih menyambut proyek besar, mereka justru terjebak dalam kekosongan arah: peta jalan tak kunjung muncul, insentif tak terdengar kabarnya, dan skema pembiayaan masih menggantung.
Joko Suranto, Ketua Umum Real Estat Indonesia (REI), tak lagi menyembunyikan kegusaran. Dalam sebuah forum industri properti di Jakarta, ia mengatakan bahwa “belum ada satu pun petunjuk teknis yang konkret tentang bagaimana program ini akan dijalankan.” Para pengembang, katanya, sudah menyiapkan lahan dan desain rumah sederhana, tapi pemerintah belum memberi kejelasan siapa membangun apa, di mana, dan dengan dana siapa.
Beberapa asosiasi pengembang bahkan mulai menghentikan rencana investasi proyek rumah subsidi yang sempat mereka siapkan pasca-kemenangan Prabowo. Salah satu pengembang besar di Jawa Barat yang semula siap menggarap 15.000 unit rumah rakyat, memutuskan menunda pelaksanaan proyek karena tidak ada kejelasan insentif lahan maupun kemudahan KPR.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan janji-janji yang dulu digaungkan. Saat kampanye, pemerintah menjanjikan reformasi besar-besaran pada birokrasi perumahan, termasuk simplifikasi perizinan dan pengadaan lahan. Tapi hingga Mei 2025, perizinan perumahan masih melibatkan lebih dari tujuh tahapan di berbagai instansi, dan harga lahan terus meroket di kota-kota besar.
Beberapa pelaku sektor konstruksi juga mengeluhkan tidak adanya “keran” proyek yang dibuka pemerintah. Padahal, dalam logika sederhana pembangunan, proyek rumah rakyat bisa menjadi pendorong utama ekonomi sektor riil dan penyerapan tenaga kerja. Tapi dengan kondisi seperti sekarang, yang terjadi justru stagnasi.
Program yang semula dianggap sebagai mesin penggerak baru bagi dunia properti nasional kini justru dianggap sebagai hantu yang belum menampakkan wujud. Industri mulai kehilangan kesabaran. Dan tanpa sektor swasta, target tiga juta rumah per tahun hanya akan menjadi etalase ambisi tanpa tukang bangunan.
***
Hambatan di Lapangan: Dari Harga Tanah hingga Data yang Kacau
Di balik meja rapat kementerian dan janji podium para pejabat, kenyataan di lapangan menampilkan cerita yang lebih kusut. Saat tim Tempo menyusuri sejumlah daerah, dari pinggiran Bekasi hingga desa-desa di Lombok Tengah, satu hal yang menonjol adalah: program belum menyentuh tanah.
Pertama, masalah harga lahan. Kenaikan harga tanah terjadi merata, bahkan di kawasan yang semula dianggap layak untuk perumahan subsidi. Di kawasan seperti Bogor dan Gresik, lahan-lahan yang sebelumnya bisa dibeli dengan harga di bawah Rp150 ribu per meter persegi kini melonjak hingga dua kali lipat, seiring kabar bahwa “program nasional” akan turun. Kenaikan spekulatif ini bukan hanya mempersulit pengadaan lahan, tapi juga menunjukkan lemahnya kontrol negara terhadap spekulasi aset produktif.
Kedua, ketidakpastian perizinan. Di banyak kabupaten, regulasi tata ruang dan status lahan tak kunjung jelas. Pengembang yang ingin memulai pembangunan rumah bersubsidi masih harus melalui belasan meja, dan kadang hasil akhirnya nihil karena status lahan belum masuk dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Tak sedikit yang mundur sebelum batu pertama ditanam.
Ketiga, dan yang paling mendasar: data yang tidak terintegrasi. Hingga awal Mei 2025, pemerintah pusat belum memiliki database tunggal tentang kebutuhan rumah berdasarkan wilayah, kelompok pendapatan, dan kondisi eksisting. Setiap kementerian dan lembaga membawa data versinya masing-masing: Kementerian Sosial punya angka tentang rumah tangga miskin, Kementerian PUPR punya data RTLH (rumah tidak layak huni), sementara pemerintah daerah punya daftar tunggu yang tidak selalu mutakhir.
“Kadang kami diminta bangun rumah di lokasi A, padahal tak ada infrastruktur dasar di sana. Air tidak ada, listrik belum masuk. Lalu kami dipersalahkan kenapa rumah kosong,” ujar seorang kepala dinas perumahan di Jawa Timur.
Kementerian PKP sebenarnya menyadari hal ini. Tapi tanpa satu platform data terpadu, perencanaan menjadi spekulatif. Lebih dari itu, program perumahan rakyat justru berisiko salah sasaran—rumah dibangun, tapi tidak dihuni, atau dihuni oleh bukan yang berhak.
Di tengah semua kekacauan ini, rumah-rumah rakyat masih tinggal dalam angan. Di atas kertas, angka tiga juta terlihat tegas dan optimis. Tapi di lapangan, jalan menuju satu rumah saja bisa penuh lubang, simpang, dan peta yang tak pernah sampai.
***
Ketika Janji Politik Tidak Didukung Infrastruktur Kebijakan
Janji tiga juta rumah per tahun bukan sekadar mimpi besar—ia adalah mimpi yang membutuhkan fondasi sangat nyata: anggaran, regulasi, lembaga, dan strategi eksekusi yang solid. Tapi hingga kini, yang tersedia lebih banyak adalah narasi dan niat baik. Pemerintah seperti sudah berlari saat sepatu belum dipakai.
Secara fiskal, program ini nyaris mustahil jika hanya mengandalkan APBN. Dalam sebuah forum terbuka, Menteri PKP Maruarar Sirait secara terang-terangan mengatakan bahwa program ini hanya bisa jalan jika ada dukungan dari berbagai sumber pembiayaan alternatif. Itu artinya, negara butuh sinergi lintas kementerian, perbankan, swasta, bahkan masyarakat sipil. Namun, hingga kini belum tampak kerangka kerja kolaboratif yang konkret.
Secara regulatif, pembangunan perumahan rakyat masih terhambat tumpang tindih aturan. Satu contoh klasik: kementerian ingin mempercepat pembangunan rumah susun sederhana milik (rusunami), tapi peraturan tata ruang di daerah justru melarang pembangunan vertikal di zona tertentu. Lalu, ketika pengembang butuh kepastian insentif fiskal untuk proyek rumah bersubsidi, peraturan teknis dari kementerian keuangan belum turun.
Dari sisi kelembagaan, Kementerian PKP adalah kementerian baru hasil pemisahan dari Kementerian PUPR. Artinya, sebagian besar strukturnya masih dalam tahap pembentukan. Banyak pejabat eselon II dan III yang merangkap pekerjaan karena struktur organisasinya belum lengkap. Bahkan, beberapa program strategis masih digarap oleh tim ad hoc karena direktorat teknisnya belum terbentuk.
Di titik ini, kita bisa melihat dengan terang: janji besar telah dilemparkan ke publik, tapi alat untuk mewujudkannya belum disiapkan. Layaknya menjanjikan membangun jembatan emas, padahal tukang, kayu, dan peta tanahnya belum ada. Maka tak heran jika publik mulai kehilangan arah, dan para pelaksana di lapangan merasa seperti ditinggal janji oleh kebijakan itu sendiri.
Dalam sistem pemerintahan yang normal, janji politik akan segera disusul oleh kerja teknokratik. Tapi dalam kasus ini, narasi tampak berjalan lebih cepat dari kesiapan negara. Dan tanpa infrastruktur kebijakan yang kokoh, setiap janji hanya akan berakhir sebagai gema yang hilang di tengah kesibukan birokrasi.
***
Opini Warga: Antara Harapan dan Apatisme
Di Kampung Cijayanti, Kabupaten Bogor, Siti Marliah, 34 tahun, mengusap pelan dinding rumah bambunya yang mulai lapuk. “Kalau beneran dapat rumah dari pemerintah, saya pasti syukur,” katanya lirih. Ia sudah sepuluh tahun tinggal di rumah semi-permanen itu, menunggu keajaiban dari program-program bantuan yang selalu datang dalam bentuk spanduk, tapi tak pernah menjelma bata dan semen.
Seperti Marliah, jutaan warga miskin kota dan desa memimpikan hunian yang layak, sederhana, tapi cukup untuk melindungi keluarga dari hujan, panas, dan rasa malu. Maka ketika janji tiga juta rumah digaungkan, banyak yang sempat berharap. Tapi harapan itu kini berbaur dengan rasa jenuh.
Survei Populix awal tahun ini mengungkap paradoks: hanya 33,8% masyarakat yang mengetahui secara detail tentang program tiga juta rumah. Namun, 59,4% di antaranya menilai program ini penting untuk kesejahteraan rakyat. Ironisnya, 59,9% juga mengaku ragu bahwa target tersebut bisa dicapai. Dukungan ada, tapi dibungkus keraguan. Harapan hidup, tapi berdiri di atas dasar yang rapuh.
Di sisi lain, sebagian warga justru bersikap pasrah. Mereka menyamakan program ini dengan janji-janji lain yang datang silih berganti: Kartu Sakti, BLT, Bantuan Modal Usaha, hingga janji internet gratis. “Pemerintah tuh suka bikin janji gede pas kampanye. Tapi setelahnya, kami disuruh tunggu lagi. Kayak biasa aja,” kata Wahyu, tukang ojek di Tangerang yang sejak 2014 sudah mendaftar rumah subsidi dan tak pernah dipanggil.
Generasi muda yang mulai mandiri secara finansial juga terjebak dalam dilema. Mereka tidak mampu membeli rumah komersial, tapi juga tak percaya pada program subsidi yang “terlalu politis.” Seorang pegawai kontrak di Jakarta menyebut program tiga juta rumah sebagai “janji generik yang ganti bungkus tiap lima tahun.”
Ada jurang besar antara yang dijanjikan dan yang dipercayai. Di tengah jurang itu, berdiri rakyat kecil yang terus bermimpi—tapi juga mulai belajar menertawakan impiannya sendiri.
***
Rumah-Rumah yang Belum Dibangun, Keyakinan yang Mulai Runtuh
Tiga juta rumah per tahun. Lima belas juta rumah dalam satu periode. Di atas kertas, angka itu tampak tegas, heroik, bahkan mulia. Tapi di balik angka, kenyataan membisikkan nada lain: rumah-rumah itu belum dibangun, dan keyakinan rakyat terhadap janji negara mulai retak pelan-pelan.
Ketika keraguan datang dari dalam istana, dari mulut menterinya, dari keluhan wakilnya, dan dari kebisuan presidennya, maka publik punya alasan untuk tidak percaya. Bukan karena mereka sinis, tapi karena mereka sudah terlalu sering berharap—dan terlalu sering dikecewakan.
Di jalan-jalan kecil, di gang sempit, di lorong kontrakan yang pengap, rakyat tak menuntut istana megah. Mereka hanya ingin rumah yang tak bocor, tak ambruk, dan tak membuat anak mereka sakit karena lembap dan sesak. Tapi setiap kali janji besar diumumkan, yang mereka terima hanya suara yang lama-lama jadi gema: jauh, menggema, dan hilang.
Dalam bahasa pembangunan, rumah adalah simbol dasar keberadaban negara. Ketika negara gagal menyediakan rumah, itu bukan hanya kegagalan logistik, melainkan kegagalan moral dan politik. Ia menunjukkan bahwa negara terlalu sibuk membangun simbol, dan lupa membangun sandaran hidup warganya.
Kini, tahun pertama nyaris berlalu, dan janji itu mulai menyusut jadi wacana, jadi diskusi, jadi beban birokrasi yang tak tahu harus mulai dari mana. Program tiga juta rumah seakan berubah dari rencana pembangunan menjadi catatan kaki dalam sejarah retorika negara.
Lalu, pertanyaan pun bergema:
Jika negara tak yakin dengan programnya sendiri, kenapa rakyat harus percaya?
Jika janji hanya menjadi headline kampanye, lalu ke mana perginya tanggung jawab?
Dan jika hari ini rumah-rumah itu belum dibangun, apa yang lebih dulu roboh—temboknya, atau kepercayaan rakyatnya?
Sebab dalam dunia politik, janji yang tidak ditepati bukan hanya utang—ia adalah retakan dalam fondasi negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar