Minggu, 11 Mei 2025

Waisak di Tengah Dunia yang Bergejolak: Jalan Sunyi Menuju Damai


Selamat Hari Waisak 2569 BE saya ucapkan kepada seluruh umat Buddha di Indonesia dan di seluruh penjuru dunia. Dalam keteduhan perayaan ini, izinkan saya membagikan sebuah refleksi yang saya harap dapat menggugah dan menemani siapa pun yang tengah mencari makna damai di zaman yang gaduh ini.

Sebuah Lilin di Tengah Badai

Malam itu, di pelataran Candi Borobudur yang megah dan bersahaja, ribuan lentera naik perlahan ke langit, membawa harapan, doa, dan keheningan. Tidak ada kembang api. Tidak ada sorak-sorai. Tapi dari sunyi itulah justru muncul getar yang dalam. Di tengah dunia yang saling membentak, umat Buddha duduk dalam diam dan berkata: “Kami tidak marah.”

Itu bukan sekadar ritual. Itu adalah pernyataan: damai bukan ilusi, tapi pilihan. Dan Waisak, bagi saya yang memandang dari luar, seperti lilin kecil yang menyala dalam badai—tak menyilaukan, tapi cukup terang untuk mengarahkan pulang siapa pun yang tersesat.

Ketika Perdamaian Menjadi Barang Mewah

Di peta dunia, luka terus terbuka. Ukraina dan Rusia masih berseteru. Timur Tengah mendidih. Tiongkok dan Amerika Serikat saling mengintai dalam kecemasan ekonomi dan militer. Seolah-olah perdamaian kini menjadi barang mewah yang tak terjangkau oleh nalar kekuasaan.

Tapi justru dalam guncangan global itulah, ajaran Buddha tentang pengendalian diri dan kebijaksanaan menjadi kunci yang relevan. Bukan karena ia menawarkan solusi instan, tapi karena ia mengajak manusia berhenti sejenak—untuk melihat ke dalam, bukan ke luar. Untuk mengalahkan diri sendiri, bukan orang lain. Sebab hanya orang yang mampu berdamai dengan dirinya yang bisa menciptakan kedamaian di dunia.

Indonesia di Simpang Jalan Keberagaman

Sebagai bangsa yang dibangun di atas keberagaman, Indonesia sedang diuji oleh dirinya sendiri. Polarisasi politik, intoleransi, dan ujaran kebencian seolah menjadi racun harian di media sosial kita. Tapi saya percaya, di tengah riuh itu, pesan Waisak tetap bisa menjadi pelita.

Tema Kemenag tahun lalu—"Kesadaran Keberagaman, Jalan Hidup Luhur, Harmonis dan Bahagia"—masih sangat relevan hari ini. Kita tidak perlu sama untuk bisa hidup bersama. Kita hanya perlu saling sadar bahwa perbedaan adalah anugerah, bukan ancaman. Dan kesadaran itu bisa tumbuh dari tradisi spiritual yang tenang dan dalam seperti Waisak.

Kebijaksanaan yang Tidak Tampil di Panggung

Saya ingin mengangkat mereka yang tidak pernah tampil di layar kaca: para bhikkhu di desa-desa, guru-guru yang mengajar nilai-nilai kemanusiaan lintas iman, dan para pemuda yang membangun ruang damai di tengah kota yang penuh prasangka. Mereka tidak viral. Tapi dari tangan merekalah sesungguhnya Indonesia dijahit ulang, hari demi hari.

Mereka adalah wajah Waisak yang tidak terlihat—mereka yang tidak sibuk berteriak tentang damai, tapi sibuk menghidupkannya.

Kemenangan Tanpa Medali

Dalam ajaran Buddha, kemenangan sejati bukan ketika kita menaklukkan orang lain, tapi saat kita berhasil mengalahkan kemarahan, keserakahan, dan kebodohan batin kita sendiri. Ini pelajaran penting, bukan hanya bagi umat Buddha, tetapi bagi siapa pun yang lelah hidup dalam masyarakat yang terus berlomba menunjukkan siapa yang paling benar.

Waisak tahun ini mengajarkan bahwa untuk menang, kita tidak perlu membuat orang lain kalah. Kita hanya perlu memastikan bahwa batin kita tidak dikuasai oleh ego yang terus ingin menang.

Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta

Semoga semua makhluk berbahagia. Kalimat ini bukan sekadar doa. Ia adalah semesta nilai. Ia adalah undangan. Untuk saya, Anda, dan siapa pun yang ingin hidup dalam dunia yang tak saling menyakiti.

Di tengah dunia yang gaduh, mari kita mulai dari dalam diri: menenangkan, menyadari, dan merawat kebaikan sekecil apa pun bentuknya.

Selamat Hari Waisak.
Semoga cahaya welas asih Sang Buddha menuntun kita semua, umat manusia, menuju damai yang hakiki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar