Ketika Langit Jadi Neraka
Langit pagi itu tampak biasa saja: biru, tenang, dan nyaris tak berawan. Tak ada tanda-tanda bahwa sebentar lagi langit itu akan menjadi neraka yang menguapkan nalar. Di ketinggian 18.000 kaki di atas perbatasan Kashmir, Kapten Arman Khan menatap layar radar di depannya, seperti seseorang yang tengah menanti bunyi dering telepon dari rumah yang tak pernah datang. Tangannya masih di stik kontrol, tapi pikirannya jauh. Bukan pada target, bukan pada musuh, bahkan bukan pada tanah air yang selalu ia hormati, melainkan pada satu tanya sunyi: mengapa semua ini harus terjadi?
Pesawatnya, JF-17 Thunder Block III, melaju stabil, tetapi batinnya gemetar. Ia bukan pilot baru. Ia tahu apa itu dogfight. Ia tahu tekanan 8G saat memutar balik. Ia tahu suara roket ketika meluncur, dan ia tahu bau kabel terbakar saat pesawat mulai terbakar. Tapi kali ini lain. Bukan karena musuhnya lebih canggih atau jumlahnya lebih banyak. Bukan. Tapi karena ia merasa tak lagi berada di tempat yang seharusnya.
“Engage. Enemy approaching. Confirm lock,” suara komando masuk ke saluran komunikasi. Suara yang tak mengenal ragu, tak mengenal belas kasih.
Arman diam. Ia tidak menjawab. Ia menurunkan sedikit ketinggian, seolah mencari alasan teknis untuk tak segera masuk ke formasi serang. Di layar radar, dua titik merah mendekat dengan cepat: pesawat India. Salah satunya Rafale, dan satu lagi Su-30MKI—monster udara yang sudah lama ia pelajari di ruang briefing. Tapi ini bukan sesi latihan. Ini nyata. Dan di balik pesawat itu, ada manusia. Mungkin juga ayah dari seorang anak yang sedang bermain di pekarangan rumah, seperti anaknya sendiri yang baru bisa membaca doa tidur seminggu lalu.
"Confirm lock, Thunder One. Confirm lock!" tekan pengendali.
Masih tak ada respons. Hanya napas Arman yang terdengar dalam helm.
Di langit seperti inilah, puisi mati. Filsafat retak. Dan patriotisme? Ia tak tahu lagi bentuknya.
Lalu layar menunjukkan sinyal peluncuran rudal dari lawan. Semua berubah dalam satu detik. Tangannya spontan menarik stik ke kiri, memutar tajam, melemparkan tubuhnya ke tekanan gravitasi yang nyaris membuatnya pingsan. Ia tahu ia harus membalas. Ia tahu itu tugasnya. Tapi di tengah kabut manuver, hanya satu kalimat melintas dalam pikirannya:
"Bukan ini yang kuinginkan dari langit."
Lelaki yang Tak Ingin Jadi Pahlawan
Namanya Arman Khan. Nama yang terdengar gagah jika disebut di panggung penghargaan militer, tapi di rumah, istrinya memanggilnya “Ayah Mika”—bukan Komandan, bukan Kapten. Di pangkuannya, bukan joystick tempur, melainkan boneka rusak yang selalu diminta putrinya untuk diperbaiki. Dunia Arman terbagi dua: langit yang dingin dan sunyi, serta rumah yang hangat dan penuh tawa. Tapi ia lebih hafal ukuran bahan bakar rudal PL-15 daripada ukuran sepatu anaknya.
Lahir di Rawalpindi dari ayah seorang pengajar filsafat Islam dan ibu seorang jurnalis, Arman tumbuh dalam rumah penuh diskusi, bukan doktrin. Ayahnya, Hafiz Zain, sering mengatakan bahwa pertempuran terbesar manusia bukan di medan perang, tapi di dalam batinnya sendiri. Ia besar dengan buku-buku Rumi, Iqbal, hingga Bertrand Russell yang disembunyikan dari tetangga. Tapi Arman jatuh cinta pada langit sejak kecil. Pesawat tempur adalah hasrat awal, bukan karena ia ingin bertempur, melainkan karena ia ingin tahu bagaimana caranya menyentuh awan tanpa jatuh.
Ketika mendaftar Akademi Angkatan Udara, ia disambut bangga oleh keluarga—dan dicurigai oleh kawan ayahnya. “Kenapa anak filsuf ingin menjadi bagian dari mesin perang?” tanya mereka. Arman tak menjawab. Sebab baginya, terbang adalah tafsir kebebasan.
Namun realitas tidak bisa dihindari. Setiap jam pelajaran strategi udara, setiap sesi simulasi senjata, perlahan mengikis imajinasi masa kecilnya tentang langit yang damai. Ia digembleng bukan hanya untuk mengendalikan mesin, tapi juga menghapus keraguan. Pilot yang ragu tak bertahan lama, kata instruktur. Dan Arman, pelan-pelan, belajar menyimpan keraguan itu di dalam. Di luar, ia adalah pilot terbaik di angkatannya. Di dalam, ia selalu merasa sedang menyetir senjata, bukan pesawat.
Dalam surat yang tak pernah ia kirimkan pada ayahnya, ia menulis:
“Ayah, di langit tak ada hukum etik. Tak ada siapa benar siapa salah. Hanya ada reaksi terhadap radar, suara keras, dan puing-puing. Tapi aku masih ingat pesanmu: jika kau harus bertempur, bertempurlah untuk mengakhiri pertarungan, bukan membakarnya lebih dalam.”
Kini, di langit yang ia cintai, ia sedang melanggar doanya sendiri. Dan itu terasa lebih menyakitkan ketimbang luka bakar atau peluru.
Dogfight di Atas Garis Takdir
Langit menghitam seketika. Bukan karena awan badai, tetapi karena rudal AIM-120C dari Rafale India yang baru saja meledak di sisi kanan formasi. Satu pesawat rekannya terbakar—pilotnya sempat meneriakkan “Ejecting!” sebelum suara komunikasi terputus dalam bunyi mendesis yang menusuk. Arman tak sempat berdoa. Ia hanya mendorong tuas kecepatan dan menarik stik hingga tubuhnya terhimpit 9G. Dunia menjadi kabur.
Rafale musuh itu manuver ke kiri atas—high yo-yo, teknik klasik untuk mendapatkan posisi tembak di atas ekor lawan. Tapi Arman tahu cara membalik situasi: ia menukik cepat, lalu memutar balik tajam dengan Split-S, menukik di bawah radar dan menghilang dari penguncian. Dalam sekian detik, ia kembali di belakang ekor musuh. Genggaman tangannya basah. Detak jantungnya 160. Crosshair di layarnya mulai berkedip: "LOCKED."
Dia bisa menembak. Tapi dia tak bisa.
Tangan kanannya tetap di tuas. Matanya melihat siluet Rafale di depan. Ia tahu jarak rudalnya 70 km, tapi ini sudah 3 km—jarak tembak visual. Ia tahu sekali siapa yang lebih unggul. Tapi tubuhnya menolak memberi perintah “fire.” Yang ada justru gemetar, dan ingatan tentang putrinya di halaman rumah. Ia menahan napas. Hening.
Tiba-tiba, dari sisi kiri, Su-30MKI muncul. Musuh lain. Dengan suara mesin berat dan gaya terbang agresif, pesawat India itu menyerangnya dari sudut 9 jam. Arman menghindar: Immelmann turn, lalu barrel roll, lalu cobra maneuver yang diajarinya sendiri pada kadet baru. Tapi tubuhnya mulai lelah. Visornya berembun. Sistem pendingin mulai eror.
Ia tahu ia akan kalah. Tapi bukan oleh musuh, melainkan oleh dirinya sendiri.
Di tengah kekacauan, muncul suara lain di radio: “Thunder One, disengage. Kamu sendirian.”
Ia menarik napas panjang.
Pikirannya campur aduk: mundur dan hidup—atau melawan dan mati sebagai pahlawan yang tak ingin dikenang?
Ia memutuskan: turunkan altitudo, masuk ke celah lembah, dekati garis aman, abaikan ego.
Ia memilih hidup. Tapi bukan karena takut mati—melainkan karena ia masih ingin pulang untuk mengatakan satu hal: bahwa perang ini tak perlu terjadi.
Dan saat ia meluncur di antara tebing, rudal terakhir meledak di langit belakangnya. Ia tidak menoleh.
Menyelamatkan Diri dari Api Langit
Sistem pendingin pesawat Arman mulai berderak. Lampu peringatan menyala bergantian seperti pesta yang tak diundang. Rudal terakhir telah meledak cukup dekat untuk menciptakan gangguan elektromagnetik di sistem kontrol JF-17-nya. Layar HUD-nya berkedip. Mesin utama drop 30% tenaga. Tapi sayapnya masih utuh, dan ia masih sadar. Itu cukup.
Ia menurunkan altitudo ke 2.000 kaki, melintas tajam menyusuri kontur lembah Kashmir seperti peluru menyusup di antara sela buku. Terlalu rendah bagi radar, terlalu cepat bagi pesawat besar untuk mengejar. Tapi juga terlalu berisiko bagi siapa pun yang sedang bertaruh pada takdir. Di bawah sana, desa-desa kecil tampak seperti titik-titik damai yang tak tahu mereka nyaris tersapu sejarah.
Lalu suara muncul di radio, pelan dan terputus-putus:
“Thunder One... do you copy... this is Base Command... status?”
Arman menarik napas dalam. Ia ingin menjawab “Selamat. Tapi bukan karena keberuntungan, melainkan karena pilihan.” Tapi suaranya hanya berhasil menyebut satu kata:
“Survivor.”
Saat ia mulai mencapai garis aman, indikator bahan bakarnya menyentuh titik merah. Ia harus memilih antara mendarat darurat atau meluncur sejauh yang ia bisa dengan daya mesin tersisa. Ia melihat ke arah timur—dan di sana, kabut mengambang di antara lereng. Di balik kabut itu, ada pangkalan kecil tak resmi yang biasa dipakai untuk latihan: Jalur darurat 09X.
Ia miringkan pesawatnya, buka flap pendaratan darurat, dan bersiap menggesek roda ke permukaan tanah kasar.
Tapi sebelum roda menyentuh bumi, ia melihat bayangan pesawat musuh di belakangnya—mengikutinya diam-diam. Rafale itu tak menembak. Hanya membayangi.
Arman mengangguk dalam hati. Mungkin pilot itu juga tak ingin perang. Mungkin hari ini, dua manusia di langit akhirnya sepakat bahwa hidup lebih penting daripada menang.
Roda menyentuh tanah. Percikan api di ujung aspal darurat. Hidung pesawat terangkat sedikit, lalu turun. Ia berhasil.
Dalam diam, ia keluar dari kokpit, melepas helm, dan mencium tanah. Bukan karena nasionalisme, tapi karena hidup itu sendiri adalah karunia yang terlalu mahal untuk dibayar dengan ego.
Menghitung Nafas Setelah Dentuman
Pangkalan darurat 09X bukan tempat yang megah. Hanya sepetak tanah berbatu yang dikelilingi pepohonan gugur dan satu bangunan tua dari kayu pinus. Tidak ada upacara penyambutan. Tidak ada pelukan dari rekan seperjuangan. Hanya suara burung dan dengungan mesin pendingin darurat yang tak sempurna. Dan di sanalah Arman duduk, bersandar pada dinding logam pesawatnya yang hangus sebagian, membuka sarung tangan, dan memeriksa denyut nadinya sendiri—seperti hendak memastikan bahwa ia masih manusia, bukan mesin.
Ia telah menembus neraka langit. Tapi yang lebih berat adalah menembus ruang hampa dalam dirinya—antara bangga dan bersalah, antara selamat dan berkhianat pada tugas. Ia memejamkan mata. Dalam bayang-bayang benaknya, terputar kembali adegan yang ia harap bisa ia matikan seperti cuplikan dari film perang:
Rudal yang menguap di udara.
Teman yang tak sempat eject.
Musuh yang tak ia tembak walau bisa.
Suara radar yang tak pernah lupa menggertak.
Di pangkalan, seorang teknisi menghampirinya dan berkata, “Kau hebat, Kapten. Kami pikir kau sudah tiada.”
Arman hanya mengangguk. Ia tak merasa hebat. Ia hanya merasa cukup gila untuk menolak membunuh dan cukup waras untuk tidak mati.
Malam itu ia tidur di ruang medis lapangan, mengenakan selimut yang terlalu pendek dan menatap langit-langit dari kayu tua. Di sana, ia menulis di buku catatannya:
“Apa kemenangan jika aku pulang membawa api dalam dada?
Apa arti keberanian jika yang kupelihara hanya rasa kalah pada nurani sendiri?
Jika musuhku adalah dia yang bernapas sama, menang adalah bentuk baru dari kehilangan.”
Dan untuk pertama kalinya, ia menangis. Bukan karena takut. Tapi karena menyadari bahwa di balik langit-langit perang yang ia hindari, ia telah menyelamatkan bagian terbaik dari dirinya—rasa enggan untuk membunuh.
Langit, Rumah yang Tak Bisa Ditinggali
Pagi berikutnya, langit kembali biru. Tapi bagi Arman, biru itu bukan lagi lambang kebebasan. Ia seperti ruangan luas tanpa pintu, tempat ia pernah tersesat antara logika dan luka, antara perintah dan pilihan.
Ia duduk di bangku kayu tua di belakang bangunan pangkalan, menghadap pegunungan yang samar diselimuti embun. Tak ada suara mesin. Tak ada radar. Hanya ketenangan yang terasa asing—seolah damai adalah bahasa yang telah lama ia lupakan.
Seseorang dari markas datang membawa laporan: “Pihak media sudah tahu kau selamat. Komando ingin wawancara. Mereka bilang kau pahlawan.”
Arman tersenyum kecil. Pahlawan? Ia bahkan tak menembak satu peluru pun.
Tapi ia juga tak menyesal.
Ia menulis surat malam itu, bukan pada markas, bukan pada atasannya, melainkan pada putrinya.
“Mika, Ayah pernah bilang bahwa langit itu indah. Tapi Ayah belum sempat bilang bahwa kadang, di langit yang sama, manusia saling berburu. Ayah pulang hari ini, bukan karena kuat, tapi karena memilih untuk tidak melukai.
Jika kelak kau melihat pesawat melintas di langit, ingatlah bahwa yang menerbangkannya juga punya rasa takut, cinta, dan air mata. Jangan percaya pada perang yang terlihat gagah. Percayalah pada damai yang kadang terlihat lemah, tapi menyelamatkan banyak kehidupan.”
Di ujung sore, Arman berdiri di landasan tak resmi itu, menatap pesawat JF-17-nya yang diam seperti besi tua. Ia menyentuh sayapnya perlahan, seperti mengucap selamat tinggal pada sesuatu yang dulu ia cintai, tapi kini tak bisa ia huni lagi.
Langit bukan rumahnya. Bukan lagi.
Ia pun melangkah pulang. Bukan sebagai pilot. Tapi sebagai manusia yang utuh.
Dan di belakangnya, langit tetap biru—tenang, seperti tak pernah tahu bahwa ia menyimpan jerit dan bara.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar