1: “Anak Lulus Kuliah, Mau Jadi Petani?”
Pagi baru menyapu kabut di hamparan rawa Desa Bagan Jaya. Truk biru tua berhenti di depan kantor BPP yang bangunannya setengah papan setengah batu. Dari baknya, turun seorang pemuda berjaket hijau pudar bertuliskan Polbangtan Medan di punggung. Wajahnya bersih, tapi mata menyimpan garis lelah. Ia adalah Rafi Maulana, 27 tahun, koordinator Brigade Pangan yang ditugaskan membina lahan rawa 200 hektare di sini.
“Sudah tahu belum medan di sini kayak apa?” sambut Aisya, penyuluh muda yang sudah tiga tahun bertugas di Rokan Hilir. Ia menyodorkan segelas kopi. “Kamu bukan datang ke sawah, Raf. Kamu datang ke rawa yang dijauhi petani.”
Rafi tersenyum. “Justru karena mereka jauhi, aku datang.”
Sejak awal, penolakan sudah tampak seperti kabut yang enggan pergi. Apalagi ketika Rafi memperkenalkan diri di musyawarah desa sebagai “pemuda lulusan pertanian yang ingin mengajak petani menanam padi dengan drone.”
Di belakang ruang rapat, Pak Dali, lelaki berusia 60 tahun dengan kumis seperti padi tua, mengangkat tangan.
“Anak muda, kami di sini bukan kurang ilmu, tapi sudah terlalu kenyang pengalaman. Drone-mu bisa ngatur pasang surut air? Bisa nyuruh burung belibis berhenti makan benih? Bisa?!” Suara Pak Dali meledak, dan gelak tawa menggema.
Wajah Rafi memerah. Tapi ia menjawab tenang, “Justru itu, Pak. Bukan drone yang akan nyuruh belibis pergi. Tapi sistem tanam serempak yang kita rancang akan membuat burung bingung karena semuanya tumbuh sama.”
Beberapa petani berbisik tak percaya. Lainnya mengangkat bahu. Bagi mereka, rawa hanyalah kuburan impian pertanian.
Minggu pertama, Rafi dan 14 anggota Brigade Pangan membersihkan lahan dengan traktor roda empat yang didatangkan dari Balai Alsintan. Lumpur lengket, pacet menempel di betis, dan serangan nyamuk seolah ingin menguji kesungguhan mereka.
“Ini bukan seperti di kampus,” kata Yudi, salah satu anggota brigade yang nyaris menyerah.
“Iya,” kata Rafi. “Tapi ini akan jadi lebih baik dari kampus, kalau kita berhasil.”
Tiap sore, Aisya datang membawa data tanah dan peta aliran air. Mereka mulai menata saluran irigasi, menyusun kalender tanam, dan mengatur pembagian kerja. Tapi dari kejauhan, Pak Dali dan teman-temannya terus mengamati. Kadang lewat sambil bersiul nyindir. Kadang memancing di kanal sembari berseru, “Petani YouTube! Awas nanti panennya cuma buat konten!”
Namun Rafi tidak goyah. Dalam hatinya, ia tahu: pertanian bukan sekadar soal hasil panen. Tapi juga tentang mengubah cara pandang.
Dan perjuangan itu baru saja dimulai.
2: “Banjir Satu Kaki, Harga Diri Dua Kaki”
Dua minggu setelah pembukaan lahan, hamparan rawa Desa Bagan Jaya mulai menampakkan pola. Petak-petak sawah berbentuk balok simetris terbentang, seperti lembaran catur di tengah rawa. Saluran air digali ulang, diberi pintu klep dari besi galvanis, dan diberi nama masing-masing: Kanal A, Kanal B, hingga Kanal E.
“Ini bukan buat gaya-gayaan,” jelas Rafi kepada timnya. “Pemetaan ini bikin kita tahu mana yang kelebihan air, mana yang kekeringan. Kalau air bisa diatur, padi bisa disuruh.”
Hari penanaman pertama dimulai. Brigade Pangan turun dengan rice transplanter, mesin tanam padi dua roda yang didorong perlahan. Benih Inpari 48 GSR—varietas unggul yang toleran genangan dan tahan blas—sudah disemai di baki-baki kecil dan kini siap dipindah.
Anak-anak muda itu tampak canggung pertama kali. Tak semua pernah mengoperasikan mesin. Tapi pelatihan tiga hari bersama teknisi balai sudah cukup memberi mereka keberanian.
“Lurusin! Jangan seperti jalan anak ayam mabuk!” teriak Rafi, bercanda agar semangat tak pudar. Mereka tertawa. Hasil tanam hari itu? Hanya 7 hektare. Tapi itu adalah 7 hektare dengan benih tertanam rapi, dalam barisan yang membuat seekor bangau pun ragu untuk mengacak.
Namun bagi Pak Dali dan geng-nya, ini bukan pemandangan yang memukau.
“Itu bukan nanam, itu nonton sirkus,” gumamnya kepada beberapa petani senior yang duduk ngopi di warung Pak Daud. “Padi ditanam sama mesin, bukan sama hati.”
“Lha, panennya nanti juga mesin. Hatinya cuma ada di laporan, Dal,” celetuk seseorang.
Pak Dali meradang. Baginya, padi yang tumbuh dari lumpur harus disentuh tangan. Harus dirasa, harus ditebak lewat bau lumpur dan arah angin. Apa yang dibawa Rafi, menurutnya, adalah pendekatan anak kota yang hanya mengukur sawah dari layar tablet.
Hari-hari berikutnya, Brigade Pangan terus menanam. Setiap 3 hari mereka bisa menyelesaikan 20–30 hektare. Padi mulai hijau seragam. Drones pun diterbangkan untuk semprot pupuk organik cair, memantau hama, dan memotret pola tumbuh. Di posko brigade, data-data diunggah ke Simantri Digital dan dikaji rutin.
Sementara itu, di ujung kampung, beberapa petani yang selama ini membiarkan lahannya menganggur mulai gelisah. Ada yang diam-diam datang melihat. Ada yang bertanya pada Aisya saat di kebun, “Bu Penyuluh, bener bisa panen dua kali setahun? Rawa itu biasanya cuma satu kali…”
“Kalau saluran air bisa dikontrol, varietas dan pupuk tepat, bukan cuma dua,” jawab Aisya. “Kalau indeks tanam bisa 200, bahkan 300, satu tahun bisa tiga kali.”
Isu pun berkembang. Ada yang bilang tanah jadi keras karena mesin. Ada pula yang menyebar cerita padi drone tak punya rasa.
“Jangan percaya sama padi YouTuber,” kata Pak Dali dalam diskusi desa. “Mereka datang bawa traktor, pulang bawa konten. Kita? Tinggal lumpur!”
Rafi tak menjawab. Ia tahu, untuk menjawab celaan, ia butuh bukti. Dan satu-satunya jawaban adalah panen.
Tapi sebelum panen datang, cobaan lebih dulu mengetuk…
3: “Tanggul Retak, Semangat Pecah”
Angin malam membawa aroma asin dari pesisir. Langit tampak lebih muram dari biasanya. Awal Oktober, tiga bulan setelah tanam, padi-padi Inpari 48 tumbuh tegap, malai mulai mengisi. Brigade Pangan mulai tersenyum—hingga satu malam, langit pecah.
Hujan deras mengguyur sepanjang malam. Air pasang dari Sungai Rokan naik tanpa peringatan. Saluran irigasi yang dibangun susah payah oleh Rafi dan timnya mulai mendidih. Lumpur naik. Air tak lagi mengalir, tapi meluap.
Pagi hari, lahan di petak Kanal C dan D sudah tergenang satu betis. Alarm dari aplikasi pemantau kelembaban tanah berbunyi tanpa henti.
Rafi, masih mengenakan jaket hujan, berdiri di pinggir tanggul darurat.
“Bendung darurat di ujung saluran jebol!” teriak Yudi, kelelahan. “Air dari hulu masuk tak terkendali. Kita butuh karung!”
Panen tinggal dua minggu. Jika air tak surut dalam 48 jam, padi bisa rusak total. Batang busuk, malai hampa.
Di tengah kekacauan itu, suara yang sudah lama ia hindari kembali terdengar.
“Sudah kukatakan!” Pak Dali datang sambil menunjuk tanggul yang ambrol. “Itu bukan rawa buat main traktor! Ini rawa buat yang ngerti rasa air!”
Beberapa anggota Brigade mulai putus asa. “Kita tak punya cukup tenaga. Karung nggak cukup. Dan air naik terus,” keluh Farhan.
Suasana mencekam. Satu-satunya harapan adalah pertolongan atau keajaiban. Tapi sore itu, bukan keajaiban yang datang. Melainkan Dina, petani perempuan yang selama ini pendiam. Ia datang sambil menggotong sekarung jerami dan bilah bambu.
“Kami dulu pernah bendung tanggul pakai anyaman jerami dan karung tanah. Butuh cepat, butuh berani. Kalau kalian mau, kita bisa coba. Tapi semua harus bantu. Termasuk yang duluan menyerah,” ucapnya, menatap Rafi dan lalu melirik ke arah Pak Dali.
Pak Dali diam. Lalu dengan helaan napas panjang, ia berkata lirih, “Kalau kalian berani bangkit, aku juga tak sudi jadi penonton.”
Malam itu, untuk pertama kalinya, dua generasi bekerja di rawa yang sama. Tangan tua dan muda menganyam jerami, mengisi karung tanah, dan menyusun tanggul darurat. Drone dilepas untuk memantau aliran air dari atas, sementara di darat, Rafi menggenggam cangkul, bajunya basah oleh lumpur dan harapan.
Dalam 36 jam, air mulai surut. Kanal kembali terkontrol. Padi berdiri meski tubuhnya sempat tenggelam. Angin sore berikutnya meniupkan harapan baru—bahwa lumpur bisa menyatukan, bukan memisahkan.
Panen tinggal menghitung hari. Tapi kemenangan bukan soal hasil panen saja. Melainkan tentang satu malam, ketika pemuda dan orang tua berhenti berdebat, dan mulai menyelamatkan sesuatu yang lebih besar dari ego: kehidupan di atas lumpur.
4: “Di Antara Malai yang Berdiri, Ada Harga Diri yang Tumbuh”
Matahari pagi memantulkan cahaya keemasan dari hamparan padi yang menguning serempak. Seolah tak pernah terjadi banjir seminggu lalu, malai-malai Inpari 48 kini menggantung berat, bergoyang perlahan diterpa angin rawa. Di langit, drone Brigade Pangan terbang rendah, memantau tingkat kematangan panen.
Rafi berdiri di pematang, kakinya masih penuh sisa lumpur. Tangannya memegang tablet pemantau yang menunjukkan grafik NDVI—tingkat kehijauan dan kesehatan tanaman. Hampir seluruh petak sawah berwarna hijau cerah dengan bintik kuning emas: tanda panen sempurna.
“Petak A hingga E siap panen,” gumamnya. “IP 200 tercapai. Ini... nyata.”
Hari itu, semua warga turun. Bukan hanya Brigade, tapi juga petani senior yang dulu mencibir. Traktor pemanen padi (Combine Harvester) mulai bekerja. Bunyinya menggeram, tapi menenangkan. Padi ditelan masuk, keluar sebagai gabah bersih.
Pak Dali berdiri agak jauh. Ia menyaksikan mesin itu mengelilingi lahannya sendiri—lahan yang selama bertahun-tahun dibiarkannya kosong karena ia mengira rawa hanya cocok untuk satu kali panen dan banyak keluh.
“Kalian tanam padi seperti menyusun bangunan. Tapi tumbuhnya seperti keajaiban,” katanya pada Rafi, akhirnya mendekat.
Rafi tersenyum. “Bukan keajaiban, Pak. Tapi kerja sistematis, dan semangat yang tak tenggelam.”
Pak Dali terdiam sejenak, lalu membuka dompet tipisnya. Dari situ ia keluarkan selembar foto tua—ia dan istrinya muda, berdiri di pinggir sawah waktu panen. “Dulu aku pernah percaya seperti kamu,” katanya lirih. “Tapi setelah gagal berulang, aku mulai percaya lumpur cuma bikin kecewa. Sampai kalian datang.”
Tangannya menjabat tangan Rafi. Hangat. Tulus.
Panen hari itu mencatat hasil 7,8 ton/ha. Lebih tinggi dari rerata nasional. Gabah diserap oleh Bulog lokal dengan harga Rp6.500/kg. Dalam waktu seminggu, gudang milik Brigade Pangan penuh. Di tengah hamparan, sebuah spanduk dipasang: “Panen Perdana Brigade Pangan Bagan Jaya: Rawa Bukan Lagi Lumbung Air, Tapi Lumbung Harapan.”
Aisya berdiri di samping Rafi, mencatat hasil wawancara dari beberapa media yang datang. “Raf,” katanya, “kamu sadar nggak? Ini bukan cuma panen. Ini pemakluman yang berubah jadi penerimaan.”
Rafi menatap jauh. Di sana, para petani tua sedang belajar menyemprot drone. Beberapa anak muda dari desa sebelah datang bergabung—ingin ikut angkatan baru Brigade.
“Kalau dulu kita tanam benih, sekarang kita tanam masa depan,” jawab Rafi.
Di antara malai yang berdiri, harga diri tumbuh perlahan. Tak tinggi, tapi kokoh. Seperti padi, semakin berisi... semakin merunduk. Tapi tak lagi tunduk pada rasa putus asa.
5: “Rawa yang Menjadi Sekolah”
Tiga bulan setelah panen pertama, rawa Desa Bagan Jaya tak lagi disebut sebagai lahan mati. Bekas petak-petak sawah yang dulu digenangi keputusasaan, kini menjadi ladang pembelajaran. Orang-orang dari luar desa mulai berdatangan—dari mahasiswa, pejabat dinas, hingga petani dari provinsi tetangga. Mereka tak hanya ingin melihat panen, tapi ingin belajar dari yang dulunya diremehkan.
Di posko Brigade Pangan yang kini diberi nama “Sekretariat Rawa Mandiri,” papan tulis penuh coretan: skema irigasi, jadwal tanam serempak, analisis hasil uji tanah, dan peta produktivitas per kanal. Brigade generasi pertama kini menjadi mentor untuk kelompok baru yang ingin membentuk brigade serupa.
Pak Dali, kini hadir bukan sebagai pengkritik, tapi sebagai mentor informal. Ia duduk di kursi panjang, dikelilingi anak-anak muda. Ia tidak lagi bicara soal bagaimana dulu “padi harus dibelai,” tapi mulai bicara tentang kapan harus kompromi dengan teknologi dan kapan harus percaya pada insting.
“Kalian boleh percaya drone, tapi jangan lupa ngelihat warna air dan arah angin,” katanya. Mereka mencatat. Ia tersenyum.
Rafi mendapat undangan dari provinsi lain untuk memberi paparan dalam forum petani milenial nasional. Tapi sebelum berangkat, ia duduk di pinggir lahan bersama Aisya, memandangi kanal yang dulu nyaris menenggelamkan harapan mereka.
“Kita berhasil, ya,” kata Aisya.
Rafi diam. “Bukan kita. Tapi semuanya. Rawa ini yang menyatukan kita. Semua luka, semua ego, semua ilmu dan semua tenaga—dicampur di sini, dan dari situlah tumbuh padi.”
Ia menggenggam segenggam lumpur. Bukan sebagai simbol kekotoran, tapi sebagai akar dari perubahan.
Saat ia pergi ke forum nasional, ia membawa satu hal yang tak bisa diukur dalam ton atau hektar: sebuah cerita. Tentang bagaimana rawa bisa menjadi sekolah, lumpur bisa menjadi guru, dan semangat bisa menumbuhkan lebih dari sekadar tanaman.
Dan di sana, di Desa Bagan Jaya, rawa tetap berdetak. Tapi bukan sekadar detak pasang surut air—melainkan detak kehidupan, yang tumbuh dari keberanian satu generasi untuk tidak lari dari lumpur, tapi berakar di dalamnya.
Erwan Samawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar