Selasa, 20 Mei 2025

Provinsi Pulau Sumbawa: Antara Mimpi Otonomi dan Realitas Fiskal

Denting Harapan dari Timur

Di suatu pagi yang cerah di Pelabuhan Poto Tano, anak-anak sekolah berseragam putih biru berbaris membawa spanduk bertuliskan "Selamat Datang Provinsi Pulau Sumbawa." Angin laut membawa semangat, dan gendang tradisional ditabuh mengiringi iring-iringan warga yang datang dari lima penjuru: Sumbawa, Dompu, Bima, Kota Bima, dan Sumbawa Barat. Mereka tidak sedang menyambut tamu, tapi sedang menyambut mimpi mereka sendiri—mimpi menjadi tuan rumah bagi tanah mereka sendiri.

Sudah lebih dari dua dekade harapan itu mengendap, mengendap bersama debu jalanan dan peluh petani yang merasa terlalu jauh dari pusat kekuasaan. Nama “Provinsi Pulau Sumbawa” bukan sekadar wacana politik, tapi gema hati yang menyuarakan satu hal: kami ingin menentukan masa depan sendiri.

Namun di balik euforia itu, ada pertanyaan sunyi yang belum banyak terdengar:
“Setelah bendera dikibarkan, dari mana kita membiayai semua ini?”

Pertanyaan ini bukanlah upaya meredam semangat, tapi justru menantang kita untuk menakar kesiapan. Sebab otonomi tanpa kemandirian fiskal, ibarat kapal megah tanpa cadangan bahan bakar. Terlihat gagah, namun takkan melaju jauh.

Di sinilah cerita kita dimulai. Tidak hanya menarasikan hasrat rakyat untuk merdeka dari ketimpangan, tetapi juga menyelami denyut fiskal dan kemungkinan ekonomi yang akan menopang atau mungkin menjatuhkan Provinsi Pulau Sumbawa pada tiga tahun pertamanya.

Apakah harapan ini akan tumbuh jadi kenyataan yang lestari, ataukah layu sebelum berkembang?
Mari kita telusuri bersama dalam denyut angka, kebijakan, dan suara hati rakyat.

Anak Timur yang Ingin Dewasa.

Pulau Sumbawa bukanlah tanah yang asing dalam peta Indonesia, tapi sering terasa seperti halaman belakang dari provinsi yang menaunginya: Nusa Tenggara Barat. Dalam bingkai pemerintahan provinsi yang berpusat di Lombok, Pulau Sumbawa ibarat anak timur yang tumbuh tanpa cukup sorotan. Jalan-jalan rusak yang lambat diperbaiki, sekolah-sekolah yang belum merata infrastrukturnya, serta layanan kesehatan yang jauh dari memadai telah menjadi narasi harian warga dari Bima hingga Taliwang.

Aspirasi pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa (PPS) bukanlah letupan semalam. Ia mulai tumbuh sejak awal tahun 2000-an, ketika wacana desentralisasi membuka pintu bagi daerah untuk bermimpi lebih besar. Dari sana, berbagai forum masyarakat, aliansi tokoh adat, hingga anggota legislatif dari dapil Sumbawa mulai merapikan langkah: mengumpulkan dokumen administratif, membentuk panitia, menyusun naskah akademik, dan menebar kampanye publik.

Salah satu narasi yang kuat adalah soal ketimpangan pembangunan. Dalam satu dekade terakhir, investasi dan program strategis nasional lebih banyak mengalir ke wilayah Lombok sebagai pusat provinsi. Sementara itu, Sumbawa yang kaya akan emas, laut, dan pertanian justru menyumbang banyak tapi menerima sedikit. “Kami seperti pohon besar yang buahnya dipetik orang lain,” ujar seorang tokoh masyarakat di Sumbawa Barat.

Selain soal keadilan pembangunan, faktor identitas juga ikut menyulut semangat. Warga Pulau Sumbawa memiliki ciri budaya, bahasa, dan struktur sosial yang khas. Dompu dengan bahasa Mbojo-nya, Bima dengan kerajaannya, dan Sumbawa dengan kesultanan serta tradisi barapan kebo yang legendaris—semua ingin dipersatukan dalam payung provinsi sendiri yang memahami nuansa lokal mereka lebih dalam.

Dan kini, ketika isu pemekaran kembali mengemuka seiring pernyataan Mendagri bahwa moratorium bisa dibuka untuk wilayah prioritas, nama Pulau Sumbawa kembali naik ke permukaan. Dukungan terbuka datang dari anggota DPR, gubernur, hingga masyarakat sipil.

Namun seperti anak muda yang bersemangat meninggalkan rumah untuk membangun hidup sendiri, Pulau Sumbawa kini berdiri di titik krusial: mimpi otonomi akan segera diuji oleh realitas tanggung jawab. Di balik perjuangan pembentukan provinsi baru, ada tugas besar yang menunggu—mengelola anggaran, menata pemerintahan, dan menjawab pertanyaan: mampukah kita membiayai diri sendiri?

Dan pertanyaan itu hanya bisa dijawab jika kita berani membuka lembar berikutnya—lembar skenario fiskal tiga tahun pertama.

Harta di Bawah Kaki Sendiri.

Jika hanya melihat bentang alamnya, Pulau Sumbawa seharusnya tidak pernah merasa kekurangan. Dari ujung barat ke timur, pulau ini menyimpan kekayaan yang tak sedikit: tambang emas kelas dunia di Batu Hijau, peternakan kerbau di Dompu, jagung dan bawang merah di Bima, kopi dan durian di Sumbawa, hingga kekayaan laut di Teluk Saleh dan Samudera Hindia.

Namun, kekayaan itu belum sepenuhnya menjadi kekuatan fiskal. Seolah pepatah lama kembali bergema: “Bagai ayam mati di lumbung padi.”

Mari kita buka data yang tersedia. Bila digabungkan, pendapatan asli daerah (PAD) dari lima wilayah administratif yang akan menjadi bagian Provinsi Pulau Sumbawa hanya berkisar di angka Rp 600–700 miliar per tahun. Jumlah ini masih sangat kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan belanja minimum sebuah provinsi yang idealnya mencapai Rp 2 triliun per tahun. Itu pun untuk operasional dasar—bukan pembangunan besar-besaran.

Sumber kekuatan utama fiskal PPS justru berasal dari transfer dana pusat, yang selama ini memang menjadi penyangga utama anggaran daerah. Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH)—terutama dari sektor tambang—menjadi “infus” vital. Dalam estimasi konservatif, calon PPS bisa menerima sekitar Rp 7–8 triliun dana transfer pusat per tahun di tiga tahun awal, termasuk afirmasi untuk daerah otonomi baru.

Namun angka besar itu bukan tanpa jebakan. Dana transfer sangat bergantung pada kebijakan pusat. Ia bisa berkurang drastis jika fiskal nasional terganggu. Artinya, jika PPS tidak memperkuat PAD sejak awal, maka akan tumbuh sebagai provinsi “bergantung permanen”—sebuah ironi dari semangat berdikari.

Sementara itu, sektor potensial seperti pertambangan, perikanan, pertanian, dan pariwisata masih perlu digarap serius. Belum ada BUMD besar yang mengelola komoditas unggulan secara modern. Pajak daerah seperti pajak kendaraan bermotor, retribusi tambat labuh, atau kontribusi sektor wisata, masih belum optimal ditarik. Semua ini adalah “emas di bawah kaki sendiri” yang belum digali maksimal.

Pulau Sumbawa sejatinya punya bekal. Tapi apakah bekal ini cukup untuk membangun jalan provinsi, mendirikan kantor gubernur, membayar ASN, menyediakan rumah sakit regional, hingga menyusun RPJMD?

Jawabannya akan mulai terlihat ketika kita masuk ke tahap paling kritis: bagaimana skenario fiskal akan berjalan di tahun-tahun awal berdirinya Provinsi Pulau Sumbawa.

Itulah ujian pertama sebuah provinsi muda: bukan hanya bisa berdiri, tapi bisa berjalan sendiri.

Berjalan di Atas Angka dan Harapan.

Banyak yang berpikir bahwa membentuk provinsi baru cukup dengan semangat dan peresmian. Padahal, pekerjaan sejatinya baru dimulai justru setelah bendera dikibarkan. Anggaran, birokrasi, pelayanan publik, hingga infrastruktur—semuanya harus hadir, lengkap, dan berfungsi, sejak hari pertama. Di sinilah perencanaan fiskal tiga tahun pertama Provinsi Pulau Sumbawa menjadi penentu: apakah provinsi ini akan tumbuh kuat atau rapuh sejak dalam kandungan.

Tahun I – Tahun Transisi dan Penataan: Membentuk Raga

Pada tahun pertama, tantangan terbesar adalah membentuk raga pemerintahan. Mulai dari kantor Gubernur, DPRD provinsi, OPD, inspektorat, dinas-dinas teknis, hingga rumah dinas. Sebagian besar akan menumpang sementara di bangunan kabupaten atau sewa gedung, sambil menunggu pembangunan fisik.

Dengan proyeksi pendapatan total Rp 7,8 triliun—mayoritas dari transfer pusat—belanja difokuskan pada:

  • Pegawai dan operasional: ±Rp 1,1 triliun
  • Belanja modal (kantor, kendaraan, peralatan IT, layanan dasar): ±Rp 800 miliar

Meski terlihat surplus, anggaran tahun pertama sebenarnya sangat ketat secara teknis. Karena belanja rutin harus berjalan tanpa gangguan. Semua ini berpacu dengan waktu dan kesiapan sumber daya manusia.

Tahun II – Tahun Konsolidasi dan Pelayanan: Membangun Fungsi

Tahun kedua adalah waktu pengujian. Jika tahun pertama adalah soal berdiri, maka tahun kedua adalah soal berfungsi.

Dengan asumsi PAD meningkat menjadi Rp 700 miliar, dan transfer pusat tetap stabil di atas Rp 7 triliun, PPS mulai menjalankan:

  • Fungsi pendidikan menengah (SMA/SMK)
  • Pelayanan kesehatan provinsi (rumah sakit rujukan, laboratorium)
  • Dinas pertanian, perhubungan, ketenagakerjaan, pariwisata tingkat provinsi
  • Pengawasan tata ruang dan lingkungan

Belanja meningkat menjadi ±Rp 2,3 triliun, karena pemenuhan fungsi publik semakin nyata. Tahun ini juga akan menjadi penentu apakah struktur birokrasi PPS mampu menyerap dan mengelola anggaran dengan efisien.

Tahun III – Tahun Akselerasi dan Mandiri Awal: Menanam Kaki Sendiri

Tahun ketiga menjadi momen penguatan kapasitas fiskal lokal. PPS ditantang untuk tidak lagi hanya mengandalkan pusat, tapi mulai menanam kaki di bumi sendiri.

PAD ditargetkan menyentuh Rp 900 miliar, dari:

  • Pajak kendaraan bermotor dan BBN-KB
  • Retribusi pertambangan dan tambat labuh
  • Awal pendapatan dari BUMD (air, logistik, pariwisata)
  • Potensi pajak hotel dan restoran (dari kawasan pariwisata Teluk Saleh, Tambora, Pantai Maluk)

Belanja meningkat ke Rp 2,7 triliun, dengan prioritas pembangunan jalan provinsi, pelabuhan perintis, serta perluasan layanan pendidikan dan kesehatan.

Jika PPS berhasil melewati tahun ketiga ini dengan disiplin fiskal, akuntabilitas tinggi, dan pertumbuhan PAD berkelanjutan—maka langkah menuju provinsi yang benar-benar mandiri bukan sekadar angan. Ia akan benar-benar lahir sebagai entitas baru yang tidak hanya memisah secara administratif, tetapi juga berdiri di atas kaki ekonominya sendiri.

Namun jika tidak—jika fiskal dikelola sembarangan, korupsi merajalela, dan struktur birokrasi mengulang kesalahan lama—maka PPS hanya akan menjadi bayi prematur yang tumbuh besar dengan ketergantungan, tanpa daya saing.

Dan itulah titik kritis tiga tahun pertama. Sebuah pertaruhan antara masa depan dan pengulangan masa lalu.

Bukan Soal Angka Semata.

Banyak yang berpikir bahwa tantangan fiskal hanya soal cukup atau tidaknya dana. Padahal, dalam realitas pemerintahan, uang bukan satu-satunya persoalan. Uang bisa dicairkan, tetapi kemampuan mengelolanya—itulah yang seringkali menjadi kendala terbesar daerah baru.

Pulau Sumbawa akan menghadapi tantangan-tantangan fiskal yang kompleks, tidak hanya dari sisi pendapatan, tetapi juga dari sisi tata kelola dan daya serap.

1. Ketergantungan pada Transfer Pusat

Selama ini, lima wilayah yang akan bergabung dalam PPS sangat tergantung pada dana pusat. Lebih dari 85% belanja daerah berasal dari DAU, DAK, atau DBH. Jika kebijakan pusat berubah atau fiskal nasional tertekan (misalnya karena krisis ekonomi global), maka aliran dana ke PPS bisa terganggu. Provinsi ini akan rentan goyah jika tidak segera membangun sumber PAD yang stabil dan mandiri.

2. Lemahnya Kapasitas Birokrasi Daerah

Membentuk provinsi bukan hanya membangun gedung, tapi juga membangun sistem dan budaya kerja. Banyak daerah baru di Indonesia yang pada awalnya justru menambah beban negara karena lemahnya birokrasi: lambat menyusun perencanaan, gagal menyerap anggaran, dan rawan penyimpangan dana.

PPS pun tidak kebal dari risiko ini. Sebagian besar SDM ASN berasal dari kabupaten/kota, dan belum tentu siap menjalankan fungsi-fungsi baru tingkat provinsi. Kelemahan dalam perencanaan dan penganggaran bisa berdampak pada rendahnya realisasi program prioritas.

3. Risiko Politik dan Kepentingan Elite

Semangat masyarakat bisa saja tulus, tapi begitu daerah baru terbentuk, dinamika politik bisa berubah. Siapa yang jadi Gubernur pertama? Siapa ketua DPRD? Bagaimana pembagian jabatan eselon?

Jika PPS terjebak dalam tarik-menarik kepentingan elite lokal yang hanya mengejar kekuasaan dan proyek, maka anggaran bisa terserap bukan untuk pelayanan rakyat, tapi untuk pemenuhan kepentingan kelompok tertentu. Sejarah daerah pemekaran lainnya menunjukkan, tidak sedikit provinsi baru yang gagal karena elite-nya lebih sibuk berperang daripada membangun.

4. Ketimpangan Wilayah Dalam Provinsi Baru

PPS juga menghadapi tantangan ketimpangan internal: antara wilayah timur (Bima-Dompu) dan barat (Sumbawa-Sumbawa Barat). Kota Bima, sebagai satu-satunya kota madya, bisa menjadi poros pertumbuhan baru—tapi bisa juga menciptakan ketimpangan baru jika tak diimbangi dengan pemerataan belanja infrastruktur.

Jika ketimpangan ini tak dikelola dengan bijak, maka justru PPS bisa mengalami konflik horizontal antarwilayah, bahkan rasa tidak puas dari kabupaten tertentu.


Tantangan-tantangan ini bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk membuka mata. Otonomi bukan hadiah. Ia adalah ujian. Dan ujian fiskal adalah salah satu yang paling menentukan apakah Provinsi Pulau Sumbawa lahir sebagai entitas kuat atau hanya nama baru di peta yang membawa masalah lama dengan baju baru.

Untuk itu, PPS tidak hanya butuh dana, tapi juga integritas, perencanaan yang matang, kolaborasi antarwilayah, dan—di atas segalanya—kemauan kolektif untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Bertumbuh dengan Akar Sendiri.

Ketika sebuah provinsi baru lahir, ia ibarat anak muda yang mulai belajar berjalan tanpa pegangan. Ia bisa jatuh, ia bisa goyah, tapi juga bisa berlari jika diberi bekal yang benar. Bagi Provinsi Pulau Sumbawa (PPS), harapan bukan sekadar bisa berdiri, melainkan tumbuh menjadi provinsi yang kuat secara fiskal, adil secara sosial, dan berkelanjutan secara ekonomi.

Lalu, apa strategi yang bisa ditempuh agar PPS tidak tumbuh menjadi provinsi yang rapuh?


1. Meningkatkan PAD dengan Inovasi dan Kemauan

Langkah pertama yang paling realistis adalah menggali potensi PAD dari sektor-sektor yang selama ini belum maksimal. Pajak kendaraan bermotor, retribusi pertambangan, dan pajak daerah lainnya harus dibenahi dengan sistem yang transparan dan berbasis digital. PPS perlu menghindari jebakan PAD ilusi—PAD yang hanya bersumber dari denda, sumbangan, atau jual-beli aset yang tidak berkelanjutan.

Lebih jauh, PPS harus mulai membentuk BUMD strategis. Bayangkan jika Sumbawa memiliki BUMD pariwisata yang mengelola Kawasan Teluk Saleh dan Tambora secara profesional, atau BUMD logistik yang mengelola rantai pasok pertanian dan peternakan secara modern. PAD tidak lagi menjadi sisa, tapi buah dari kreativitas.


2. Menyusun RPJMD yang Visioner, Terukur, dan Berbasis Data

Langkah kedua adalah menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang realistis namun progresif. PPS harus fokus pada kekuatan unggulan: pertanian organik, peternakan, tambang berkelanjutan, energi terbarukan, dan wisata budaya. Jangan terjebak pada proyek-proyek besar berbiaya tinggi namun minim manfaat.

Indikator kinerja pemerintahan harus dibuat spesifik: peningkatan PAD per tahun, jumlah desa wisata aktif, jumlah BUMDes terhubung pasar digital, atau peningkatan nilai ekspor hasil laut. PPS harus belajar dari daerah lain yang gagal karena rencana pembangunan terlalu elitis dan jauh dari kebutuhan rakyat.


3. Membangun SDM dan Sistem Pemerintahan yang Lincah

Sebuah provinsi hanya akan setangguh orang-orang yang mengelolanya. PPS harus menjadi contoh provinsi baru yang berani membangun birokrasi meritokratik. ASN dipilih dan dipromosikan karena kapasitas, bukan karena koneksi. Pelatihan, pendidikan kepemimpinan daerah, dan pertukaran pengalaman antarprovinsi harus menjadi agenda tetap.

Selain itu, PPS bisa memanfaatkan teknologi untuk memangkas birokrasi lamban: e-budgeting, e-planning, dan sistem pengawasan publik berbasis komunitas. Ini bukan mimpi, tapi kebutuhan.


4. Menjaga Persatuan Wilayah dan Menghindari Politik Transaksional

Pembangunan tidak akan berjalan jika provinsi terpecah oleh ego sektoral. PPS harus menjaga agar tidak ada kabupaten yang merasa dianaktirikan. Transparansi dalam alokasi anggaran, rotasi jabatan provinsi yang adil antarwilayah, serta forum koordinasi antar-Bupati/Walikota harus diperkuat sejak awal.

Dan tentu saja, politik transaksional harus dicegah. Jika PPS dibangun hanya untuk menciptakan ruang baru bagi elite mengejar kekuasaan, maka semua yang diperjuangkan rakyat selama 20 tahun akan berubah menjadi kesia-siaan.


Harapan itu masih hidup. Seperti benih jagung yang tumbuh di tanah Dompu, seperti emas yang terkandung di batuan Sumbawa Barat, seperti senyum anak sekolah di pesisir Teluk Saleh—Provinsi Pulau Sumbawa bisa tumbuh. Tapi tidak dengan asal-asalan. Ia harus ditanam dengan visi, disiram dengan kerja keras, dan dijaga dari hama keserakahan.

Karena menjadi provinsi bukan akhir dari perjuangan, tapi permulaan dari tanggung jawab.

Menjadi Provinsi Bukan Soal Status, Tapi Soal Siapa yang Kita Pilih untuk Menjadi.

Mimpi mendirikan Provinsi Pulau Sumbawa bukan sekadar peristiwa administratif, melainkan tonggak sejarah yang mencerminkan harga diri, identitas, dan hasrat kolektif sebuah pulau yang selama ini merasa berada di pinggiran. Dalam ingatan masyarakatnya, provinsi baru ini adalah janji atas layanan yang lebih dekat, pembangunan yang lebih merata, dan kebijakan yang lebih memahami denyut lokal.

Namun, seperti halnya setiap janji, ia akan diuji.
Diuji bukan oleh musuh dari luar, melainkan oleh diri sendiri.

Apakah provinsi ini akan menjadi simbol kemajuan, atau hanya menjadi replika dari sistem yang sudah usang—yang hanya berganti baju, tapi masih membawa cara kerja yang sama: lamban, boros, dan tak berpihak?

Apakah PPS akan menjadi rumah baru bagi generasi muda untuk bermimpi, atau malah menjadi tempat baru untuk memperpanjang daftar kekecewaan?

Jawabannya tidak hanya ada di tangan pemerintah pusat. Tidak juga hanya di pundak gubernur dan DPRD terpilih kelak. Tapi juga di tangan setiap warga Pulau Sumbawa: petani di Alas, nelayan di Kilo, guru di Woha, bidan di Tambora, hingga anak sekolah di Poto Tano yang pernah berdiri membawa spanduk harapan.

Mereka semua, secara diam-diam, sedang bertanya:

“Kalau nanti kita punya provinsi sendiri, apakah hidup kami sungguh akan lebih baik?”

Tulisan ini bukan hendak memberi jawaban yang pasti. Tapi ia hendak mengajak kita semua—terutama mereka yang akan memimpin PPS nantinya—untuk sadar, bahwa provinsi adalah alat, bukan tujuan.

Tujuan sejatinya adalah keadilan, kesejahteraan, dan martabat.

Dan sejarah akan mencatat—bukan siapa yang pertama mengusulkan Provinsi Pulau Sumbawa, tapi siapa yang benar-benar menghidupkan provinsi ini dengan hati dan akal sehat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar