Sabtu, 17 Mei 2025

Sawerigading: Di Antara Laut dan Langit Digital

Mitos yang Bangkit

Di sebuah sudut sunyi di Benteng Rotterdam, Makassar, seorang pemuda duduk sendiri di antara rak-rak tua. Namanya Sawi R. Gading. Ia bukan turis, bukan pula sejarawan. Ia hanya seorang pemuda yang merasa hidupnya tak pernah cocok dengan zaman.

Angin dari Selat Makassar menyusup masuk lewat celah jendela tua. Buku-buku tebal berdebu di sekitarnya, tetapi satu naskah membuat matanya tak berpaling: La Galigo, ditulis dalam huruf lontara, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia seadanya.

“Laut yang tidak mengenal daratan... Kapal yang tidak pernah kembali... Nama yang hidup lebih lama dari pemiliknya.”

Ia membaca kalimat itu berulang kali.

Entah kenapa, setiap kali membaca nama Sawerigading, tubuhnya menggigil. Seolah nama itu bukan sekadar tokoh mitos — melainkan bagian dari dirinya sendiri yang terlupakan.

Sejak kecil, ia sering bermimpi berada di tengah laut luas. Bukan laut biasa, tapi laut yang bicara dalam gelombang. Ia berdiri di ujung geladak kapal besar, menyandang pedang dan memandang cakrawala. Di ujung langit, seorang gadis berselendang perak memanggilnya, tapi suaranya tenggelam dalam badai.

“Mungkin aku hanya terlalu banyak baca mitologi,” pikirnya.

Namun hari itu, sesuatu berubah. Saat ia memejamkan mata di ruang arsip itu, ia melihat sosok yang sama — tetapi kali ini ia tidak sedang bermimpi.

“Namaku... Sawi R. Gading,” bisiknya.
“Tapi siapa sebenarnya aku?”


Tokoh Utama – Sawi R. Gading

Sawi R. Gading lahir di Kota Parepare, di rumah dekat pelabuhan yang dindingnya mengelupas, namun pemandangannya langsung menghadap laut. Sejak kecil, ibunya memanggilnya Gading, tapi ayahnya—seorang nelayan tua yang sudah lama pensiun—selalu menyebutnya Sawi, singkatan dari “Sawerigading kecil”.

“Karena kamu keras kepala seperti tokoh itu,” kata sang ayah sambil tertawa. “Dan kamu juga terlalu berani menantang gelombang.”

Dari kecil, Gading memang berbeda. Ia tidak suka keramaian, tetapi ia mencintai peta. Ia bisa duduk berjam-jam menatap peta dunia dan membayangkan dirinya menjelajahi samudra seperti tokoh yang selalu diceritakan ayahnya sebelum tidur. Tapi di dunia yang lebih menghargai konten viral daripada pelaut sejati, mimpi seperti itu dianggap kuno.

Maka Gading menempuh jalan sunyi: kuliah di jurusan kelautan, menolak tawaran kerja di kota besar, dan pulang ke Sulawesi untuk membangun sesuatu yang ia sebut sebagai “Gerakan Laut Baru”. Ia membuat startup kecil yang menghubungkan nelayan tradisional dengan pasar digital. Ia menyebutnya WelenrĂ©nnge — sebuah nama yang diambil dari negeri seberang dalam naskah La Galigo.

“Idealisme itu makan apa, Gading?” tanya temannya suatu malam.
Gading hanya tertawa sambil memandangi ponselnya, memperlihatkan video nelayan yang berhasil menjual langsung ke restoran besar lewat aplikasi buatannya.

“Kadang makan ombak. Tapi ombak tidak pernah bohong.”

Meski karismatik, ia bukan pemuda yang haus popularitas. Ia menghindari kamera, tidak terlalu suka bicara panjang di media, dan lebih senang duduk bersama para nelayan tua sambil mendengar cerita-cerita yang tidak tercatat dalam sejarah resmi. Tapi justru karena sikapnya itu, ia dihormati. Beberapa menyebutnya “pemuda laut”, yang lain menyebutnya “anak mitos”.

Namun, seperti tokoh yang namanya ia warisi, Gading menyimpan badai dalam dirinya sendiri. Bukan karena ambisi atau kesombongan, tapi karena satu hal yang tak pernah ia sampaikan kepada siapa pun:
Ia mencintai seseorang yang tak seharusnya ia cintai.


Cinta Terlarang Modern

Namanya Tenri Abeng. CEO muda bidang kecerdasan buatan, lulusan Tokyo, penggagas sistem pemetaan laut berbasis drone dan big data. Di antara dunia algoritma dan sensor satelit, ia tetap menyimpan sehelai selendang perak dari neneknya—warisan keluarga Bugis yang konon berasal dari dunia bissu.

Sawi mengenalnya saat seminar internasional di Jakarta. Di tengah ruangan penuh jargon teknologi, hanya suara Tenri yang membuat waktu seakan melambat. Tenang, tajam, tetapi menyimpan sesuatu yang dalam dan tak mudah dijangkau.

Setelah seminar itu, mereka bertemu beberapa kali. Tak pernah direncanakan. Kadang di diskusi, kadang di bandara. Mereka bicara panjang lebar: tentang laut yang kehilangan ikan, nelayan yang kehilangan arah, dan masa depan yang kehilangan hati.

“Laut itu butuh algoritma,” kata Tenri.
“Laut itu butuh yang bisa merasakan gelombang,” jawab Sawi.

Tenri tertawa. Saat itu, tawa itu terdengar seperti suara yang pernah memanggilnya dalam mimpi. Perlahan, tanpa disadari, Sawi menyimpan Tenri dalam jiwanya. Bukan sebagai CEO, bukan sebagai tokoh teknologi, tapi sebagai perempuan yang menghidupkan kembali serpihan masa lalu yang ia tak pernah mengerti.

Namun, satu malam di bawah langit Bulukumba, saat mereka menghadiri festival budaya laut, Tenri mengatakannya dengan tenang:

“Kita terlalu dekat dalam silsilah. Nenekku dan nenekmu bersaudara. Di darah kita mengalir akar yang sama.”

“Kita tidak sedang bicara tentang gen,” sahut Sawi.

“Tapi budaya Bugis tidak sekadar gen. Ia adalah hukum kosmos.”

Tenri menjauh. Di tangannya masih tergenggam selendang perak itu.

Malam itu, langit sangat tenang. Tapi di dalam hati Sawi, ombak sedang bertempur dengan batu karang. Ia tahu, cintanya bukan hanya dilarang—tetapi mustahil. Ia adalah Sawerigading baru, dan takdir sudah menulis ulang kisahnya dengan pena zaman.


Pelayaran Digital & Perjuangan Maritim

Setelah malam itu, Sawi tidak pernah sama lagi. Ia tidak mundur, tetapi melaju lebih jauh. Cintanya pada Tenri, yang tak bisa diwujudkan, berubah menjadi tenaga untuk menghidupkan sesuatu yang lebih besar: “Galigo Voyage” — sebuah pelayaran digital yang menjelajah seluruh pesisir Indonesia.

Ia dan timnya—anak-anak muda dari pesisir dan pulau-pulau kecil—memasang pemancar sinyal internet di perahu-perahu nelayan, melatih mereka menggunakan aplikasi untuk menjual ikan langsung ke pasar besar, membuat peta data ikan berdasarkan laporan harian nelayan, dan menciptakan jejaring maritim tanpa menunggu pemerintah atau investor besar.

Ia mengubah lautan menjadi ruang kerja.
Ia mengubah jaring ikan menjadi jaringan informasi.

Di satu sisi, ia dielu-elukan sebagai pahlawan digital pesisir. Tapi di sisi lain, ia mulai menarik perhatian kekuatan lama—korporasi asing yang selama ini menguasai data laut Indonesia untuk kepentingan ekspor besar-besaran. Sawi dianggap terlalu berbahaya. Terlalu idealis. Terlalu mandiri.

“Laut bukan tempat untuk mimpi,” kata seorang pejabat dalam sebuah pertemuan tertutup.
“Tapi laut adalah satu-satunya tempat yang tak bisa kalian batasi,” jawab Sawi dingin.

Dan seperti dalam epik nenek moyangnya, badai pun datang. Tapi kali ini bukan dari langit, melainkan dari server. Serangan siber menghantam sistem Galigo Voyage. Data nelayan dicuri, peta laut mereka dijual ke perusahaan asing. Beberapa rekan Sawi mundur. Sponsor lokal menarik diri.

Namun yang paling menghancurkan adalah satu nama di balik pengkhianatan itu: sahabat lamanya sendiri, co-founder Galigo Voyage yang diam-diam menjual akses data ke pihak luar demi investasi cepat.

Untuk pertama kalinya, Sawi duduk di dermaga tanpa satu pun rencana. Kapalnya retak. Pelayarannya karam. Ia merasa seperti Sawerigading tua yang kehilangan kendali atas kapal besar yang pernah ia banggakan.

Dan dalam keheningan itu, angin laut berbisik pelan. Seolah berkata:
"Ini belum akhir. Ini cuma bagian dari gelombang."


Pengkhianatan & Kematangan

Tiga minggu setelah sistemnya diretas dan datanya dijarah, Sawi menghilang dari dunia digital. Tidak ada unggahan, tidak ada pernyataan resmi. Kantor kecilnya di tepi pelabuhan sunyi. Orang-orang mulai bertanya: apakah Sawerigading digital itu akhirnya tumbang?

Tapi tak semua orang pergi.

Di sebuah sore yang redup, Tenri Abeng datang diam-diam. Ia duduk di depan rumah panggung Sawi di Parepare, tanpa selendang perak, tanpa asisten, hanya mengenakan kemeja putih dan sandal sederhana.

“Aku dengar kamu ditikam dari dalam,” katanya perlahan.

Sawi keluar dari dalam rumah, masih dengan rambut acak dan wajah lelah. Ia tidak menjawab. Hanya duduk di samping Tenri, memandangi laut.

“Aku salah soal kamu,” lanjut Tenri. “Aku kira kamu cuma mimpi. Tapi ternyata kamu sedang membangun kenyataan yang lebih nyata dari sistem manapun.”

Sawi menarik napas panjang.

“Dan aku salah soal cinta,” jawabnya. “Cinta bukan soal memiliki, tapi soal keberanian membiarkan seseorang tetap berdiri di tempatnya. Seperti laut dan langit.”

Mereka terdiam lama. Saling paham tanpa harus saling genggam.

Sore itu, Sawi mengambil keputusan yang mengubah arah hidupnya.

Ia membubarkan startup Galigo Voyage. Bukan karena menyerah, tapi karena ia sadar: teknologi hanyalah perahu. Tapi jiwa laut tak boleh tergantung pada satu perahu saja.

Ia mendirikan Yayasan Sawerigading Nusantara, sebuah lembaga pendidikan dan riset budaya maritim yang tidak hanya mengajarkan teknologi laut, tetapi juga puisi, sastra lisan, dan kearifan lokal pelaut Bugis, Bajo, dan Buton.

Di desa-desa pesisir, ia kembali mendengar suara nenek tua yang menghafal epos La Galigo. Ia menyalin kisah mereka, mewawancarai, membukukan, dan mendigitalisasi narasi yang selama ini terabaikan.

Sawi tidak lagi mengejar gelombang cepat.

Ia kini menanam jangkar pada sesuatu yang lebih dalam: akar sejarah dan kebijaksanaan.


Penutup – Mitos yang Mereinkarnasi

Tahun berlalu. Nama Galigo Voyage menjadi bab dalam sejarah digital maritim Indonesia. Tapi nama Sawi R. Gading tetap bergaung — bukan sebagai CEO, bukan sebagai tokoh viral, tapi sebagai penjaga nyala: seseorang yang tidak membiarkan laut dilupakan oleh bangsanya sendiri.

Di sebuah rumah panggung sederhana yang kini dijadikan pusat budaya maritim, anak-anak pesisir membaca La Galigo dalam versi digital interaktif. Mereka menyentuh layar dan mendengar suara nenek mereka, tertawa saat melihat tokoh Sawerigading berlayar, dan termenung saat membaca puisi cinta Tenriabeng yang tak pernah bersatu.

Sawi duduk di sudut ruangan, menulis pelan di laptop tuanya. Di layar, ia membuka file berjudul:

"La Galigo, Edisi Kehidupan"

Ia mengetik:

“Namaku Sawerigading. Aku tidak lahir dari mitos, tapi dari luka sejarah yang tidak selesai. Aku tidak ingin abadi, hanya ingin dikenang sebagai seseorang yang menyatukan laut dan kata-kata, ombak dan jiwa.”

Ia berhenti sebentar, menatap jendela.

Di luar, cahaya senja menyelimuti perahu-perahu nelayan yang pulang. Angin laut datang membawa bau garam dan kisah lama. Dan di balik cakrawala, seolah-olah mitos tak lagi tinggal di masa lalu — ia hidup, bertumbuh, dan menjelma dalam wajah generasi baru.

Sawerigading telah kembali. Tapi kali ini, ia tidak mencari kekuasaan, tidak mencari cinta, tidak mencari nama.
Ia hanya ingin memastikan bahwa laut tidak lagi dilupakan, dan bahwa kisah manusia tidak pernah lepas dari akar-akar leluhurnya.


Cerita selesai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar