Minggu, 18 Mei 2025

Surat yang Tak Pernah Berbalas.

Surat yang Tak Pernah Berbalas.



Kehidupan yang Sepi tapi Sibuk

Jakarta pukul tujuh pagi. Hiruk-pikuk kota belum benar-benar terbangun, tapi Lira sudah bersiap meninggalkan apartemen kecilnya di lantai sembilan. Wanita lajang berusia tiga puluh tiga tahun itu dikenal sebagai manajer komunikasi yang efisien di sebuah perusahaan teknologi. Tapi di balik blazer abu-abu dan riasan tipisnya, ada kekosongan yang tak bisa ditutupi oleh jabatan atau pencapaian.

Setiap pagi Lira melakukan hal yang sama: menyeduh kopi hitam tanpa gula, membuka jendela ke arah langit kota yang kelabu, lalu melirik sekilas ke lemari buku—tepatnya, ke atasnya, tempat sebuah kotak kayu tua disimpan. Kotak itu sudah berdebu, tak pernah dibuka sembarangan. Hanya pada satu hari dalam setahun, ia membukanya: saat ulang tahunnya tiba.

Di dalam kotak itu, tersimpan dua belas pucuk surat. Semuanya diketik rapi dengan mesin ketik tua, amplopnya putih polos tanpa nama pengirim. Di sudut kanan atas, hanya tertulis:
“Untukmu, yang terus tumbuh tanpa tahu bahwa seseorang menjagamu dari jauh.”

Lira selalu membacanya diam-diam, membiarkan setiap kalimat menyelinap ke hatinya seperti doa. Isinya tak pernah sama, tapi nadanya serupa: lembut, puitis, dan penuh cinta yang tak menuntut balasan. Di tengah kesibukannya, surat-surat itu menjadi semacam oase—sepotong bukti bahwa ia tak sepenuhnya sendiri di dunia yang serba cepat ini.

Namun satu hal selalu membuat Lira heran. Ia tak pernah bisa memastikan siapa yang mengirimkannya. Ia tak pernah membalas karena tak tahu harus dikirim ke mana. Ia bahkan sempat berpikir itu mungkin sekadar kampanye pemasaran atau keisengan orang aneh. Tapi seiring waktu dan konsistensi surat-surat itu datang, ia tahu: ini bukan sekadar iseng.

"Apakah cinta bisa hadir tanpa pernah menyapa langsung?" gumamnya suatu pagi sambil menyesap kopi yang mulai dingin.

Di kalender, tanggal 17 Februari dilingkari tinta merah. Itu hari ulang tahunnya, hanya seminggu lagi. Entah kenapa, kali ini Lira merasa lebih gelisah dari biasanya. Ia ingin tahu. Ia ingin menemukan.


Rasa Ingin Tahu dan Kekosongan Emosional

Sejak awal bulan, Lira merasa pikirannya terganggu. Setiap suara langkah kaki di lorong apartemen membuatnya ingin mengintip. Setiap nada dering telepon membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Ia mulai menyadari satu hal: surat-surat itu tidak lagi cukup hanya dibaca—ia ingin tahu siapa gerangan sosok di balik semua itu.

Pulang kerja, ia memutuskan untuk membuka kembali semua surat yang telah ia simpan selama dua belas tahun. Ia menyusun surat-surat itu di atas meja makan, menyalakan lampu meja, lalu membaca satu per satu, dari tahun pertama hingga terakhir.

Di tahun kelima, ia menemukan kalimat:
“Aku menyukai caramu tertawa saat kecil, yang membuat musim kemarau seolah sedang diguyur hujan.”
Lira terpaku. Kalimat itu mengingatkannya pada seseorang, seseorang yang pernah membuatnya tertawa setiap sore saat mereka main layangan di halaman SD—seorang anak laki-laki kurus dengan rambut sedikit ikal, yang tak pernah mengeluh meski bajunya selalu robek karena terlalu banyak berlari.

Arya.

Nama itu seperti terselip di pojok kenangan, berdebu, tapi masih hidup. Mereka sahabat semasa kecil. Arya pendiam, tapi setia. Ia pernah berkata bahwa kelak ingin menjadi penulis. Tapi setelah kelas lima SD, Arya menghilang begitu saja. Keluarganya pindah tanpa pamit. Tak ada kontak, tak ada jejak.

Kini, ingatan itu mengganggu Lira seperti bisikan dalam kabut. Apakah mungkin Arya adalah pengirim surat-surat itu?

Lira mulai mencari di internet, menelusuri media sosial, nama alumni, grup angkatan SD. Tapi hasilnya nihil. Ia bahkan mencoba menanyakan pada beberapa teman lama, tapi tak ada yang benar-benar tahu kabar Arya.

Di tengah usahanya mencari, kekosongan dalam hati Lira justru terasa makin menganga. Selama ini ia merasa cukup dengan surat-surat itu. Tapi kini, rasa cukup berubah menjadi haus. Ia ingin tahu. Ia ingin melihat wajah yang selama ini hanya hadir lewat kata-kata.

Dan untuk pertama kalinya, Lira merasa: dirinya butuh seseorang—bukan sekadar kehadiran virtual, bukan sekadar surat tahunan, tapi sesosok manusia sungguhan yang mencintai dan dicintai.

Di dinding ruang kerja kecilnya, ia menempelkan tulisan besar:
“Siapa gerangan dirinya?”


Tanda-Tanda Kehadiran Tak Kasat Mata

Sejak malam ia menempelkan tulisan “Siapa gerangan dirinya?” di dinding ruang kerja, hidup Lira terasa berbeda. Seolah semesta ikut menjawab pertanyaannya—bukan lewat kata, melainkan lewat isyarat-isyarat halus yang muncul dalam keseharian.

Pagi itu, Lira menerima kiriman pos. Bukan surat, melainkan sebuah bingkai foto kayu kecil. Di dalamnya, foto Polaroid yang sudah menguning. Terlihat dua anak duduk bersila di tanah, dikelilingi kertas origami berbentuk bunga. Salah satunya adalah Lira kecil. Yang satunya... samar, tapi rasanya tak asing.

Tak ada nama. Hanya catatan kecil di belakang foto:
“Kau tak pernah tahu betapa kau menyelamatkanku dulu.”

Jantung Lira berdegup. Tangannya gemetar memegang foto itu. Ia menggeser pandangan ke kotak kayu di rak buku. Setiap surat terasa seolah sedang berbisik, menyambung potongan kisah yang selama ini terpisah.


Malam hari, dalam gelap yang diterangi lampu meja, Lira terbangun. Ia merasa seperti diawasi. Tapi bukan pengawasan yang menakutkan—lebih seperti kehadiran seseorang yang sedang mendoakan diam-diam.

Beberapa hari kemudian, ia mendapati karangan bunga mawar putih di depan pintu apartemennya, tanpa kartu ucapan. Lira memeriksa kamera CCTV, tapi rekamannya kosong pada jam tersebut. Mustahil.

Setiap peristiwa kecil—suara pintu yang seolah tertutup sendiri, aroma kertas tua yang muncul tanpa sebab, dan lagu lama yang tiba-tiba diputar di lobi apartemen—semuanya terasa seperti serangkaian tanda dari seseorang yang dekat... tapi tak terlihat.


Di malam ulang tahunnya yang ke-34, surat ketiga belas datang. Kali ini, isinya pendek:

“Jika kau sudah siap melihat siapa aku sebenarnya, pergilah ke tempat kita terakhir bermain waktu kecil. Aku akan menunggumu di sana, walaupun hanya dalam kenangan.”

Tangannya gemetar membaca baris terakhir itu. Lira tahu tempat yang dimaksud: danau kecil di pinggiran kota, di belakang sekolah dasarnya dulu. Tempat di mana ia dan Arya dulu biasa mengadu siapa yang bisa melempar batu paling jauh.

Tapi hatinya bertanya: Apakah ia akan menemukannya di sana? Ataukah hanya sepotong kenangan yang akan menjawab?


Kecelakaan dan Pertemuan Terakhir

Pagi-pagi sekali, Lira melangkah menuju stasiun, mengenakan sweater kelabu dan celana jeans. Ia membawa ransel kecil, hanya berisi air minum, buku catatan, dan satu hal yang paling penting—seluruh kumpulan surat dari si pengagum misterius. Ia tak yakin akan menemukan siapa pun di danau kecil itu, tapi rasa penasarannya sudah menuntun jauh lebih jauh dari sebelumnya.

Perjalanan ke danau memakan waktu lebih dari dua jam. Jalur kereta pinggiran kota dan jalan kecil menuju sekolah dasar lamanya tak banyak berubah. Bahkan bangku tua di halaman belakang sekolah masih berdiri, meski catnya mengelupas dan kayunya lapuk dimakan cuaca.

Saat menuruni jalan tanah menuju danau, Lira mengenali sebuah pohon mangga besar. Di sanalah ia dan Arya dulu sering berteduh. Di bawah pohon itu kini terdapat sebuah batu datar, bersih, seolah baru dibersihkan. Dan di atasnya, tergeletak amplop putih—kali ini ditulisi tangan:

“Untuk Lira. Surat terakhir.”

Lira menggenggam surat itu, tapi belum sempat membukanya, langkah kakinya goyah. Hujan kecil mulai turun, dan jalan setapak berubah licin. Ia tergelincir, jatuh ke arah semak dan membentur batu. Pandangannya kabur, tubuhnya lemas.


Ketika ia membuka mata, Lira sudah berada di ruang rumah sakit. Warna putih dinding dan suara mesin medis berdengung lembut di sekitarnya. Seorang perawat lansia duduk di samping ranjang, menatapnya dengan hangat.

"Lira, ya?" tanya sang perawat.

Lira mengangguk lemah. “Saya... jatuh di danau.”

Perawat itu tersenyum kecil. “Kami menemukamu tak sadarkan diri. Ada pria yang melihatmu dari kejauhan dan meminta bantuan, lalu menghilang begitu saja sebelum kami datang.”

Ia mengeluarkan sebuah map plastik dari meja dan menyerahkannya. Di dalamnya: surat putih yang tadi ditemukan di danau.

“Tapi yang lebih mengejutkan,” lanjut perawat itu, “ada pasien kanker paru stadium akhir yang baru saja meninggal pagi ini. Ia titipkan satu surat dan mengatakan, ‘Berikan ini kepada wanita bernama Lira, jika suatu saat ia datang.’”

Lira menahan napas. Dengan gemetar, ia membuka surat itu. Tulisan tangan yang khas menyapa matanya:


“Lira...
Aku tak pernah tahu caranya mendekatimu secara langsung. Waktu kecil, kau membuat hariku berwarna hanya dengan satu senyum. Tapi hidup membawaku jauh, dan rasa sayang itu tak ikut pergi.

Aku menuliskan surat-surat itu bukan untuk kau balas, tapi untuk membuatmu tahu bahwa seseorang pernah mencintaimu, diam-diam, tapi dengan segenap keberanian dan harapan.

Aku tidak menyesal tidak pernah memelukmu. Karena dari kejauhan pun, kau sudah cukup untuk membuatku bertahan.

Sekarang aku pergi, tapi kutinggalkan seluruh cintaku di surat ini.

– Arya.”_


Lira menutup surat itu, air matanya jatuh tanpa suara. Dunia serasa membeku. Semua pertanyaan akhirnya menemukan jawaban—terlambat, tapi jujur.

Ia memandang ke luar jendela rumah sakit. Hujan telah berhenti, dan sinar matahari sore menembus kaca dengan lembut. Ia tersenyum untuk pertama kalinya dalam waktu lama.


Isi Surat Terakhir dan Penemuan Diri

Lira tak langsung pulang dari rumah sakit. Ia meminta satu malam lagi di sana, bukan karena luka yang diderita, tapi karena hatinya sedang merekah perlahan-lahan—antara kehilangan dan penemuan, antara luka dan penghiburan.

Malam itu, ia duduk bersandar di ranjang, memandangi dua surat yang kini tergeletak di pangkuannya:

  • Surat yang ditemukan di danau
  • Surat terakhir dari Arya

Ia membuka surat yang pertama, yang dituliskan tangan:

**"Jika kau membaca ini, berarti kau sudah benar-benar mencariku.
Maka izinkan aku mengucapkan terima kasih, Lira.
Terima kasih karena tanpa tahu pun, kau mengisi ulang jiwaku setiap tahunnya.
Terima kasih karena dengan semua keterasingan dan ketidakpedulian dunia, kau tetap menjadi bagian dari ingatanku yang paling manusiawi.

Maaf karena aku tak pernah muncul di depanmu. Maaf karena aku pengecut. Tapi cinta ini bukan soal keberanian tampil, melainkan soal keberanian mengikhlaskan.

Doakan aku, Lira. Tak ada lagi yang kuinginkan selain itu."_

Lira menunduk. Ia menangis pelan. Bukan tangis kehilangan yang meluap-luap, tapi tangis seseorang yang akhirnya menyadari bahwa selama ini ia tak pernah benar-benar sendiri. Ada seseorang yang menenun cintanya dalam sunyi, yang mencintai dengan penuh pengorbanan, tanpa ekspektasi, dan tanpa jejak—kecuali goresan tinta dalam surat.


Esok harinya, Lira pulang. Ia membawa semua surat dan bingkai foto Polaroid itu ke danau kecil, tempat Arya dulu duduk bersamanya sebagai anak-anak.

Ia berdiri di bawah pohon mangga, lalu mengeluarkan secarik kertas kosong dan mulai menulis—untuk pertama kalinya, bukan sebagai penerima, tapi sebagai pengirim:

_"Arya...
Kau telah pergi. Tapi cinta tak pernah benar-benar mati.

Kau mencintaiku dengan cara yang tak biasa, tapi sangat tulus.
Maka izinkan aku mencintaimu sekarang—bukan sebagai balasan, tapi sebagai doa."_

Lira melipat surat itu, meletakkannya di atas batu datar tempat ia dulu menemukan surat Arya, lalu duduk sejenak dalam keheningan. Angin berhembus lembut, menggoyangkan ujung rambutnya.

Ia menatap ke danau. Wajahnya tenang.


Penutup – Jiwa yang Tenang, Hati yang Terbuka

Beberapa minggu setelah kepergian Arya, hidup Lira perlahan berubah. Bukan karena seseorang baru datang menggantikan, tapi karena kini ia menjalani hari-harinya dengan hati yang lebih penuh. Ia tersenyum lebih jujur, menatap orang lain dengan mata yang lebih hangat, dan berjalan lebih pelan seakan tak lagi dikejar waktu.

Setiap pagi, ia tetap menyeduh kopi hitam tanpa gula, tapi kini ia menikmatinya sambil membuka jendela lebar-lebar. Angin yang masuk terasa seperti salam dari seseorang yang pernah mencintainya dalam diam.

Kotak kayu berisi surat-surat itu kini tak lagi disimpan di atas lemari buku, melainkan berdiri di rak paling tengah—terbuka. Kadang, ketika malam sunyi datang, Lira membacanya kembali. Bukan dengan harap menemukan siapa pengirimnya—karena kini ia sudah tahu—melainkan sebagai cara untuk merawat cinta yang pernah hadir begitu tulus, tanpa syarat.


Pada suatu sore, Lira kembali mengunjungi danau. Ia membawa secarik kertas dan pena, duduk di batu datar tempat surat terakhir dulu menunggunya. Di sana, ia menulis:

_"Kepada siapa pun yang membaca ini,
Ketahuilah: cinta tidak selalu menuntut hadir.

Kadang cinta adalah diam yang menjaga, doa yang tak terdengar,
dan kata-kata yang menembus waktu untuk sampai ke hati yang tepat."_

Lira melipat kertas itu, menaruhnya di celah pohon mangga, lalu berdiri. Matanya menatap danau yang tenang, dan untuk pertama kalinya dalam hidup, ia merasa dirinya utuh—bukan karena akhirnya memiliki, tapi karena akhirnya memahami.

Ia pernah begitu dicintai.
Dan kini, ia siap membuka hati... untuk mencintai kembali.


Tamat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar