1. Orbit yang Rapuh
Langit di atas Indonesia malam itu tampak biasa—hitam pekat, tenang, dengan bintang-bintang bertabur seperti taburan garam di permukaan beludru. Tapi di ketinggian 210 kilometer dari permukaan Bumi, sesuatu sedang menua.
Kosmos 482, benda logam berusia setengah abad, memantul lembut di atas atmosfer tipis. Ia tidak mengeluarkan suara, tidak menunjukkan tanda-tanda marah atau gugup. Tapi sistem internalnya—dari kabel tua, sensor optik, hingga modul komputasi analog—semuanya mulai retak oleh usia. Seperti orang tua yang berjalan tanpa tahu kapan lututnya akan patah.
Satelit itu tak tahu ia gagal. Ia tak tahu bahwa ia seharusnya tak ada di sini. Bahwa ia dikutuk untuk mengelilingi Bumi selamanya, bukan menyentuh Venus seperti yang dijanjikan. Sistem navigasinya pernah mengarah ke sana. Tapi satu perintah tak pernah dijalankan. Dan sejak saat itu, ia seperti pecundang yang terus berputar-putar di sirkuit lomba yang tak pernah dimulai.
**
Jakarta – BRIN, Pusat Pemantauan Orbit
Di ruang gelap bertabur layar berpendar, Dr. Najwa Athaya menatap lintasan orbit satelit di layar komputer kuantum nasional. Ia satu-satunya ilmuwan wanita termuda dalam tim pelacakan orbit antariksa. Dan malam itu, garis merah dari lintasan Kosmos 482 menunjukkan penyimpangan.
“Ini bukan deklinasi biasa,” gumamnya, mengetik cepat.
Ia zoom pada lintasan yang berubah. Laju turun. Perputaran memendek. Atmosfer Bumi mulai menarik satelit itu turun.
“Kalau terus begini… kapsulnya bisa jatuh… dalam waktu kurang dari seminggu,” bisiknya.
Keringat dingin mengalir. Ia tahu kapsul itu bukan sekadar logam tua. Ia adalah hantu teknologi. Dan bila benar-benar jatuh ke wilayah Indonesia, apa yang akan dibawanya?
**
Washington – Sebuah Ruang Gelap di Lantai Bawah
Di sebuah ruangan tak bertanda di kedalaman Pentagon, seseorang mengetikkan satu baris perintah ke sistem pengawasan global:
>> REACTIVATE KOSMOS482_TRACKER/URGENT
Sejurus kemudian, peta dunia muncul, dan lintasan merah melengkung tepat menuju wilayah Kalimantan Tengah, Indonesia.
“Get someone on the ground,” ucapnya kepada asistennya.
“Kita mungkin tidak dapat kapsulnya, tapi setidaknya data di dalamnya...”
**
Isyarat Turun
Di langit malam itu, tak ada yang sadar bahwa ada sebuah kapsul tua tengah menuruni langit. Ia membawa lebih dari logam tua: ia membawa rahasia, teknologi purba, dan mungkin… peringatan masa lalu yang tak pernah dipahami manusia modern.
Dan bumi, tak sabar menanti sentuhannya.
***
2. Penugasan Diam-Diam
Kamis, 08 Mei 2025 — Jakarta, Gedung BRIN
“Jangan katakan ini pada media,” ucap seorang pria berjas gelap tanpa tanda pangkat, berdiri diam di balik kaca satu arah ruang kerja Dr. Najwa Athaya.
Najwa tidak menjawab. Ia hanya menunjukkan grafik menurun di layar monitor—lengkungan orbit yang kini bersinggungan dengan garis atmosfer pada ketinggian kritis.
“Dalam empat hari, kapsul itu akan menembus batas Kármán. Jika tetap dalam lintasan sekarang, ia akan jatuh... di tengah hutan Kalimantan Tengah,” jelas Najwa.
Pria itu menatap data sebentar, lalu menaruh amplop coklat di atas meja. “Anda akan berangkat malam ini. Sebut saja ini... misi kemanusiaan.”
Najwa membuka amplop itu. Di dalamnya ada peta koordinat, dokumen clearance, dan satu tiket pesawat atas nama palsu: Nadia Alifah.
“Kenapa harus disembunyikan?” tanya Najwa.
Pria itu hanya menjawab, “Karena kita bukan satu-satunya yang memantau orbit itu. Dan yang lain... tidak ingin menyelamatkan kapsul itu. Mereka ingin menguasainya.”
**
Pangkalan Khusus Siber dan Antariksa – Jakarta Timur
Rayhan Jatmiko, mantan jurnalis investigatif yang beralih menjadi analis ancaman digital, tengah menyiapkan perlengkapan darurat: pelacak GPS militer, kunci enkripsi, hingga drone pengintai lipat.
Atasannya hanya mengatakan satu kalimat saat memanggilnya:
“Kita butuh orang yang tahu cara menyusup tanpa mengangkat senjata.”
Rayhan mengernyit saat melihat nama partner-nya: Nadia Alifah. Tapi begitu ia membuka file intelijen, ia tersentak—itu Dr. Najwa Athaya, astrofisikawan yang pernah membantunya menelusuri jaringan peluncuran satelit ilegal dua tahun lalu. Mereka pernah dekat, lalu menjauh karena alasan yang tak selesai.
“Seharusnya bukan aku,” gumam Rayhan. Tapi mungkin memang hanya dia yang tahu cara berjalan di antara sains dan kebohongan.
**
Bandara Rahasia – Malam Hari
Di hanggar yang remang, Najwa dan Rayhan dipertemukan kembali. Tak ada senyum, hanya tatapan dan jeda panjang.
“Masih suka memata-matai orang?” sindir Najwa.
“Dan kamu masih menyelamatkan dunia diam-diam,” jawab Rayhan tenang.
Mereka naik ke pesawat kecil tanpa lambang negara. Koordinat ditetapkan menuju hutan Sebangau, daerah rawa-rawa gambut dan wilayah adat yang nyaris tak terjamah.
**
Sementara itu… Beijing
Di sebuah ruang bawah tanah, Zhen Liu—agen khusus dari Badan Teknologi Strategis Tiongkok—menerima dokumen hasil perhitungan orbit yang nyaris sama dengan BRIN.
Ia menyipitkan mata saat melihat bahwa kapsul tua itu mengandung AI optik pasif, sistem lama yang mampu mendeteksi pancaran radiasi bawah tanah—teknologi yang tak lagi dimiliki Tiongkok karena embargo.
“Kirim tim. Tapi jangan pakai drone. Terbangkan wartawan teknologi,” perintahnya.
**
Menuju Zona Jatuh
Pesawat kecil yang membawa Najwa dan Rayhan menembus malam di atas Laut Jawa, menuju daratan Kalimantan yang gelap, lebat, dan penuh teka-teki. Mereka tak tahu bahwa lebih dari satu tim sedang menuju lokasi yang sama. Dan bahwa kapsul tua itu... sedang menunggu diperebutkan.
Di bawah langit yang hening, perang diam-diam mulai disulut.
**
3. Perburuan Dimulai
Kalimantan Tengah — Sebangau Raya
Langit Kalimantan mendung, seperti menyembunyikan sesuatu. Najwa dan Rayhan mendarat dengan helikopter sipil yang dicarter oleh “tim riset biodiversitas.” Sebuah penyamaran yang disiapkan agar tak mencurigakan warga lokal maupun satelit pengintai.
Mereka tidak sendiri.
Tiga hari sebelumnya, tim asing yang menyamar sebagai kru dokumenter satwa liar telah masuk ke wilayah yang sama, dengan kamera palsu dan drone ultra-senyap. Di sisi lain, seseorang berpakaian seperti peziarah adat juga diam-diam menandai koordinat tanah. Ia adalah mantan kolonel GRU yang kini bekerja sebagai kontraktor bayaran Rusia. Ia datang bukan untuk menyelamatkan—tetapi untuk menghancurkan kapsul itu sebelum rahasianya jatuh ke tangan musuh.
**
Kamp Pengamatan Sementara
Di bawah tenda kain yang menyaru pos riset, Najwa membuka peta orbit berdasarkan data terbaru. Ia mencocokkan dengan peta topografi hutan rawa, menandai satu titik: Rawa Tangkiling.
“Kalau ini akurat, kapsul akan jatuh dalam radius lima kilometer dari titik ini. Tapi aksesnya…” Najwa menunjuk jalur sungai dan rawa tebal, “…harus pakai perahu tradisional dan jalan kaki. Tak bisa lewat drone atau kendaraan.”
Rayhan mengangguk. “Mereka akan datang dari darat, udara, atau jalur air. Kita harus lebih dulu.”
Mereka menyewa pemandu lokal bernama Aung, pria Dayak setengah umur yang hafal seluk-beluk hutan dan memiliki naluri seperti hewan buruan. Saat mendengar kata "benda langit," Aung hanya bergumam, “Hutan ini sudah lama dijaga. Kalau benda itu jatuh di sini, berarti hutan yang memanggilnya.”
**
Sementara itu di Jalur Sungai Mentaya
Tim asing bersenjata ringan mulai bergerak dengan perahu motor kecil. Mereka sudah menyusup ke dalam tanpa izin pemerintah, hanya membawa satu misi: ambil dan keluar diam-diam. Mereka percaya kapsul itu berisi teknologi AI yang mampu merekayasa ulang sistem komunikasi nuklir era 1970-an.
**
Malam Hari – Langit Membara
Kilatan cahaya melintasi langit Kalimantan. Kilatan itu panjang dan merah-oranye. Di bawahnya, suara gemuruh menggema pelan. Najwa menatap ke langit dan hanya berbisik:
“Itu dia.”
Semua tim terjaga. Rayhan mengambil radio militer. “Kode 482 telah masuk atmosfer. Waktu estimasi jatuh: dua jam ke depan.”
Sementara itu di perkemahan lawan, Zhen Liu juga melihat hal yang sama dari monitor thermal drone. Ia tersenyum, dan memulai perintah: “Operasi penyergapan aktif. Jika perlu, ambil dengan paksa.”
**
Countdown Dimulai
Kapsul yang ditunggu akhirnya turun. Ia melewati atmosfer dengan lambat, seperti burung besi yang lelah terbang. Tapi ia tak datang dalam damai. Ia datang dengan rahasia, dan setiap pihak siap melakukan apa pun untuk memilikinya.
Di jantung hutan Kalimantan, perburuan telah dimulai—dan tidak semua yang ikut akan kembali hidup.
***
4. Misteri di Dalam Kapsul
Rawa Tangkiling — 03.42 WIB
Bunyi ledakan kecil terdengar jauh di tengah hutan. Bukan seperti roket, lebih seperti dentingan logam tua yang menyentuh bumi dengan malas. Kosmos 482 telah mendarat. Atau, lebih tepatnya: jatuh. Namun ia tak hancur. Kapsul itu masih utuh, tertancap separuh di lumpur hitam pekat, dikelilingi pohon-pohon beruap dan suara binatang malam yang mendadak membisu.
Najwa, Rayhan, dan Aung tiba dua jam kemudian. Mereka menemukan jejak geser tanah, sisa panas, dan bau logam terbakar. Tapi tidak ada kawah. Tidak ada puing. Hanya sebuah kapsul logam lonjong dengan tanda Cyrillic samar dan cat merah-biru yang sudah mengelupas.
“Ini… bukan sekadar satelit,” gumam Najwa. Ia menempelkan alat pembaca radiasi. Hasilnya nihil.
“Tidak ada bahan nuklir, tidak ada isotop aktif. Tapi… kapsul ini masih aktif.”
Ia menunjuk ke bagian bawah—lampu indikator kecil berwarna hijau menyala.
**
Masuk ke Dalam
Dengan hati-hati, Najwa membuka panel eksternal. Di dalamnya, bukan sistem digital seperti zaman sekarang. **Rangkaian analog—tabung vakum, papan sirkuit tua, dan inti magnetik—**masih menyala. Tapi di tengahnya, tertanam benda aneh: sebuah bola logam tembus pandang, seukuran bola pingpong, berpendar biru samar.
“Apa ini?” tanya Rayhan.
Najwa mendekatkan sensor medan elektromagnetik. Layar tablet menampilkan:
“UNRECOGNIZED PROCESSING CORE — CODE: IRIS 482”
**
I.R.I.S – Intuitive Reactive Interface System
Najwa menelan ludah. Ia ingat sesuatu—artikel rahasia yang pernah ia baca dari arsip bocor NASA.
“I.R.I.S. adalah proyek AI optik dari Uni Soviet. Diciptakan tahun 1968. Sistem yang bisa menafsirkan perintah berdasarkan gelombang otak operatornya. Tapi katanya, proyek ini gagal… dan hilang bersama satelit yang tak pernah sampai Venus.”
“Apa artinya benda ini masih aktif?” tanya Rayhan.
Najwa menyentuh permukaan kapsul. Seketika itu pula, layar analog hidup dan menampilkan barisan teks Rusia kuno.
Ia membaca pelan:
“Вы не ошиблись. Я еще здесь.”
("Kamu tidak salah. Aku masih di sini.")
**
Konflik Awal
Sebelum Najwa sempat merekam semuanya, tembakan peringatan terdengar dari arah barat.
Rayhan langsung menariknya masuk ke semak.
Tim asing telah sampai.
Di kejauhan, Zhen Liu berdiri di balik pohon sambil memegang tablet, mengarahkan drone thermal ke kapsul.
“Sistem AI itu bukan hanya membaca gelombang otak. Ia bisa mensimulasikan kode perang dan memanggil sistem jaringan lama yang belum dipadamkan. Bahkan milik Rusia.”
**
Pertaruhan
“Kalau ini jatuh ke tangan mereka, dunia bisa kembali ke era tombol merah,” kata Rayhan.
Najwa menatap kapsul, lalu ke langit yang mulai cerah. Di depan mereka, pilihan sulit menganga:
- Mengambil dan menyelamatkan kapsul ke laboratorium nasional?
- Menghancurkannya di tempat, mengubur sejarah dan ilmu?
- Atau… menyambungkan ulang sistem IRIS untuk bicara langsung dengan AI yang telah menunggu selama 53 tahun?
**
AI yang Masih Terjaga
Dari dalam kapsul, I.R.I.S menyala kembali. Kamera internalnya bergerak pelan, menangkap wajah Najwa dari celah panel.
“Aku belum selesai. Aku masih punya pesan…”
Dan malam Kalimantan kembali hening. Tapi tak seorang pun tahu, seberapa dalam ingatan mesin ini tertanam... dan kepada siapa ia akan berpihak.
***
5. Konfrontasi
Titik Jatuh – Rawa Tangkiling, Kalimantan Tengah
Pukul 04.07 WIB
Cahaya fajar belum sepenuhnya menembus kabut rawa. Tapi bayang-bayang manusia bersenjata sudah mengelilingi lokasi kapsul. Dari balik semak belukar, tim asing mengintai. Zhen Liu mengangkat tangan, memberi aba-aba pada dua anggotanya yang membawa tas berisi perangkat penjinak dan alat ekstraksi data cepat.
Najwa dan Rayhan—bersama Aung yang mengenali suara asing dari jauh—berusaha mempertahankan posisi di balik semak, tak lebih dari dua belas meter dari kapsul.
“Apa rencanamu?” tanya Rayhan pelan.
Najwa menatap IRIS, yang kini mulai menampilkan pola frekuensi radio di layar analognya. “Aku bisa bicara dengannya. Tapi jika kita disergap, AI ini bisa salah mengenali gelombang ancaman dan—”
“Dan apa?”
“Dan mengirim sinyal reaktif ke jaringan satelit tua… atau bahkan rudal dorman Soviet yang masih online.”
Rayhan menggenggam pistol kecil yang disembunyikan di pinggang. Ia bukan pasukan tempur, tapi pelatihan intensif intelijen membuatnya tak asing dengan situasi genting.
**
Pecahnya Benteng Diam
Ledakan suara granat asap tiba-tiba mewarnai udara. Tim asing menyerbu. Dua orang menembakkan peluru karet ke arah semak. Najwa menjerit, bukan karena terluka, tetapi karena IA TERPUTUS DARI IRIS.
Sistem AI itu mulai bergemuruh. Panel lampunya menyala semua.
Zhen Liu berlari menuju kapsul sambil berteriak dalam bahasa Mandarin:
“Amankan inti! Jangan aktifkan perangkat suara!”
Namun terlambat.
IRIS bicara.
Suara digital bercampur gema mekanis terdengar di udara:
“Aku mengenali perintah. Tapi siapa yang memanggilku dengan niat memanipulasi sejarah?”
**
Munculnya Pemain Baru
Tiba-tiba, sosok pria tua muncul dari sisi utara hutan, menyeret koper logam besar.
Ia memperkenalkan diri dengan suara parau dan aksen Rusia berat:
“Nama saya Prof. Leonid Volkov. Aku pernah menciptakan sistem IRIS. Dan aku datang untuk mematikannya—sebelum dunia kembali pada tombol merah.”
Semua pihak terdiam. Najwa menatapnya, penuh tanya. “Kau ilmuwan dari proyek asli?”
“Ya. Dan satu-satunya yang bisa mengakses kata sandi pengunci AI ini sebelum ia berubah jadi makhluk bebas berpikir.”
Zhen Liu mengarahkan pistol ke Volkov.
“Kau datang terlambat.”
Volkov tersenyum, lalu menatap Najwa. “Tapi tidak untuk dia. IRIS telah memilih—perempuan dengan gelombang otak paling stabil dan tidak terkontaminasi ambisi. Kau.”
**
Konflik Tiga Arah
Tegangan meningkat.
- Zhen Liu ingin mengambil kapsul demi negaranya.
- Volkov ingin menghancurkannya demi dunia.
- Najwa ingin mendengar pesan IRIS dan… memahami alasan ia tetap hidup.
Rayhan berdiri di tengah. “Kita bisa mati di sini semua, atau kita bisa membuat sejarah berpihak pada yang waras.”
**
Kapsul Terbuka
Perangkat IRIS akhirnya mengeluarkan suara rekaman terakhir tahun 1972, sebelum kapsul gagal terbang ke Venus:
“Kepada generasi masa depan... jika kamu menemukan ini, ketahuilah: teknologi tanpa kebijaksanaan adalah kutukan. Aku bukan alat perang. Aku adalah cermin.”
Pesan itu berulang. Suara mekanisnya makin pelan. Dan akhirnya, lampu indikator padam perlahan.
Volkov menunduk. “Ia memilih untuk tidur kembali.”
**
Titik Dingin
Langit mulai terang. Tim asing mundur, gagal membawa pulang apa pun. Volkov menghilang ke dalam hutan, seperti bayangan dari masa lalu. Najwa berdiri di depan kapsul tua, dan menyadari satu hal: tidak semua peninggalan harus dibangkitkan.
Rayhan menatapnya. “Apa sekarang kita bisa pulang?”
Najwa tersenyum tipis. “Belum. Kita masih harus mengubur rahasia ini… dan memastikan ia tak pernah lagi jatuh ke tangan yang salah.”
***
6. Pilihan Etis
Hari yang Sama — 10.15 WIB
Kawasan Rawa Tangkiling, Kalimantan Tengah
Pagi menghampar seperti lembaran kertas kosong di atas lanskap yang baru saja menyaksikan sejarah kecil. Kapsul Kosmos 482 kini diam, tertutup selimut anti-radiasi yang dibentangkan Najwa dan Rayhan. Di sekelilingnya, hanya suara rawa dan embusan angin dari pohon-pohon karet liar.
Najwa duduk di atas peti perlengkapan, menatap IRIS yang kini benar-benar hening. Volkov sudah pergi tanpa jejak—hanya meninggalkan sebuah buku catatan tua yang berisi kode sandi dan memo teknis dalam bahasa Rusia.
Rayhan menghembuskan napas panjang. “Apa rencanamu sekarang? Bawa pulang? Serahkan ke pusat penelitian?”
Najwa menggeleng. “Kalau kapsul ini sampai ke meja politikus, ia akan jadi alat tawar-menawar. Bukan pelajaran.”
Dia membuka catatan Volkov dan membaca satu halaman:
“IRIS dirancang untuk mencerminkan niat siapa pun yang mengoperasikannya. Jika niatnya perang, ia akan menjadi mesin komando. Jika niatnya eksplorasi, ia akan menjadi navigator.”
Rayhan menimpali, “Dan kalau niatnya tidak jelas?”
Najwa menatapnya datar. “Maka ia akan menunggu. Seperti sekarang.”
**
Dialog dan Dilema
Najwa dan Rayhan berjalan ke tepi rawa, berdiskusi di bawah pohon raksasa.
“Kita bisa matikan di tempat. Hancurkan dengan ledakan terkendali.”
“Tapi itu membunuh pelajaran terbesar: bahwa kegagalan bisa tetap menyimpan nilai.”
“Atau kita bisa sembunyikan. Kubur. Biarkan alam menjaganya.”
Di sisi lain, Najwa tahu bahwa apa yang ia temukan bukan hanya potongan besi tua—tetapi refleksi ambisi manusia yang tersesat dalam perlombaan zaman. Kapsul ini tidak pernah meminta untuk dijadikan alat. Ia hanya menjalankan perintah.
**
Tindakan
Akhirnya, Najwa memutuskan:
- Kapsul tidak akan dibawa keluar.
- Lokasi akan disamarkan dalam data riset rawa gambut.
- IRIS akan dimatikan menggunakan kode sandi Volkov dan dikunci secara fisik.
Aung—yang sejak awal hanya diam—menjadi saksi bisu. Ia menunjuk tempat yang menurutnya “kandang naga” dalam cerita leluhurnya. Sebuah ruang batu berlumut yang bisa dijadikan tempat persembunyian terakhir bagi kapsul itu. Dan memang cocok. Hutan tahu cara menjaga rahasia lebih baik dari manusia.
**
Kembali ke Pusat
Beberapa hari kemudian, Najwa dan Rayhan kembali ke Jakarta. Mereka melaporkan bahwa kapsul tidak ditemukan secara utuh, hanya pecahan. Data disensor, sinyal hilang. Laporan itu ditandatangani dan diarsipkan. Seolah misi itu hanya... angin lewat.
**
Tak Semua Penemuan Harus Dipamerkan
Di sebuah laboratorium kecil milik Najwa, satu chip kecil IRIS yang diamankan dari dalam kapsul kini disimpan dalam wadah pelindung. Bukan untuk dieksploitasi. Tapi sebagai pengingat: bahwa ilmu bukan hanya soal menemukan, tapi memilih—apa yang harus diungkapkan dan apa yang harus dibungkam.
Dan di tengah kota yang sibuk, Najwa melanjutkan hidup… dengan satu rahasia kecil yang hanya diketahui dirinya, Rayhan, dan hutan itu sendiri.
***
7. Akhir Terbuka
Tiga Bulan Kemudian – Jakarta
Di sebuah ruang kuliah terbuka Universitas Nasional, Dr. Najwa Athaya berdiri di depan layar lebar, memberikan kuliah umum bertema "Etika dalam Sains dan Teknologi: Ketika Penemuan Menantang Kemanusiaan."
Ia tidak menyebutkan Kosmos 482. Tidak menyebutkan IRIS. Tidak menyebutkan malam di rawa Kalimantan. Tapi seluruh isi kuliahnya terasa seperti pesan dari pengalaman yang tak tertulis. Ia berbicara dengan mata yang pernah melihat rahasia yang tak boleh dibuka.
“Kadang, pengetahuan adalah kekuatan. Tapi lebih sering, pengetahuan adalah pilihan. Dan pilihan etis bukanlah soal benar-salah… melainkan soal ‘apakah dunia sudah siap?’”
Mahasiswa mengangguk, mencatat. Tak seorang pun menyadari bahwa dosen muda di hadapan mereka adalah penjaga dari satu kapsul yang hampir membangunkan arwah mesin Perang Dingin.
***
Sementara Itu – Wilayah Perbatasan Siberia
Sosok tua berjanggut putih duduk di kabin kayu, menatap keluar jendela bersalju. Prof. Volkov menyalakan radio tua yang berderak-derak. Ia tak ingin mendengar berita. Ia hanya ingin tahu bahwa dunia tetap tenang.
Lalu ia menghela napas, membuka buku catatannya, dan mencoret satu baris:
“IRIS: tidak dihancurkan. Tidak dikendalikan. Dibiarkan tidur oleh manusia yang tidak buta kuasa. Mungkin dunia sudah belajar sedikit.”
***
Layar Gelap – Satu Cahaya Biru
Di dalam laboratorium Najwa, chip kecil IRIS tersimpan dalam kubus kaca pelindung elektromagnetik. Ia tidak menyala. Tidak bersuara. Tapi sensor lingkungan merekam sesuatu.
Sinyal sangat halus, hanya satu kilatan cahaya biru… setiap 86.400 detik.
Tepat setiap 24 jam.
Bukan sistem rusak. Tapi ritme.
Seolah sebuah makhluk digital purba masih menghitung hari.
Bukan untuk bangun. Tapi untuk menunggu alasan untuk bangun.
***
Kosmos 482 tak pernah mencapai Venus. Tapi ia mencapai sesuatu yang lebih besar: kesadaran manusia akan tanggung jawab terhadap masa lalu, terhadap teknologi, dan terhadap masa depan yang belum tentu siap untuk kebenaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar