Senin, 12 Mei 2025

Jagung di Atas Banjir: Untung Cepat, Rugi Pelan-Pelan

Ketika jagung menjadi primadona di musim hujan, petani panen uang, tetapi bumi perlahan kehilangan daya tahannya.

Jagung dan Banjir yang Turun Bersamaan

Pagi itu, langit Sumbawa digelayuti awan tebal. Hujan baru saja reda, tapi air di sawah belakang rumah-rumah warga belum juga surut. Di kejauhan, hamparan hijau tanaman jagung tumbuh subur di atas lahan yang beberapa bulan lalu masih tertutup semak. Tongkol-tongkol muda tampak mengeras, menjanjikan panen dalam hitungan minggu.

Namun senyum para petani tak sepenuhnya lepas. Di ujung desa, air berwarna kopi pekat mengalir dari lereng ke perkampungan. Lumpur terbawa deras, merendam kolong dapur dan menggerus jalanan setapak. Di kampung bawah, ibu-ibu membersihkan lantai dengan wajah murung. Ini banjir kesekian dalam musim yang sama.

Tak ada yang bicara terang-terangan, tapi semua tahu penyebabnya. Lereng-lereng yang dulu ditumbuhi jati, akasia, dan semak liar, kini berubah jadi barisan jagung rapi. Dibuka dengan pembakaran, dibajak tanpa penahan air, dan ditanami serentak demi mengejar panen sebelum curah hujan semakin deras.

Di warung-warung kopi, jagung disebut-sebut sebagai emas basah. Cepat tumbuh, cepat panen, dan cepat menghasilkan uang tunai. Tapi di balik itu, suara-suara sunyi mulai terdengar: tentang sungai yang keruh, air yang tak tertahan, dan laut yang makin kotor tiap musim tanam.

Pertanyaannya menggantung di udara, seperti awan yang tak kunjung bubar: apakah ini sekadar musim panen, atau awal dari krisis yang tak terlihat?


Ladang Jagung Merangsek ke Mana-Mana

Dulu, musim hujan adalah waktu istirahat bagi banyak petani di tanah kering. Lahan-lahan miring dibiarkan kosong, memberi ruang bagi tanah untuk bernapas, memulihkan diri setelah musim kemarau yang panjang. Tapi dalam beberapa tahun terakhir, musim hujan justru menjadi sinyal dimulainya aktivitas besar: tanam jagung serentak.

Bentang lahan yang sebelumnya dibiarkan ditumbuhi semak dan pohon perdu, kini dibabat bersih. Di banyak tempat, prosesnya diawali dengan api—membersihkan dengan cepat, lalu dibajak dengan traktor. Tak perlu irigasi, hanya menunggu curah hujan turun cukup, lalu benih ditebar secara massal.

Para petani terpacu oleh promosi yang gencar. Benih jagung hibrida ditawarkan dengan iming-iming hasil tinggi. Perusahaan input pertanian rutin menggelar pelatihan dan pembagian contoh produk. Pupuk, pestisida, dan herbisida dipaketkan bersama benih. Bahkan, beberapa toko pertanian menjualnya dalam satu paket bertanda “siap tanam”.

Di atas kertas, keputusan mereka rasional. Harga jagung relatif stabil. Permintaan dari industri pakan dan pengolahan tinggi. Dalam tiga bulan, jagung bisa dipanen. Uang tunai cepat di tangan. “Cepat panen, bisa putaran dua kali setahun,” begitu ujaran yang sering terdengar di lapangan.

Namun tak banyak yang membicarakan konsekuensi. Perluasan areal tanam tak selalu diimbangi perencanaan konservasi. Tak ada terasering, tak ada vegetasi penahan. Lahan miring sekalipun dijadikan kebun jagung, selama bisa ditanami dan hujan cukup.

Ledakan areal tanam jagung di musim hujan adalah gejala baru: ketika pertanian mengejar kecepatan, dan alam diminta menyesuaikan diri. Pertanyaannya kemudian, secepat apa keuntungan ini bisa mengisi kantong—dan secepat apa tanah akan kehilangan daya tahannya?


Dimensi Ekonomi: Untungnya Memang Ada

Di antara deretan karung jagung yang menumpuk di sudut-sudut gudang desa, suara optimisme bergema. Para petani berbicara tentang hasil yang melimpah, uang tunai yang masuk lebih cepat dari biasanya, dan rencana perluasan lahan untuk musim tanam berikutnya. Jagung, bagi sebagian dari mereka, adalah angin segar setelah bertahun-tahun bergantung pada padi yang tak lagi menjanjikan.

Secara ekonomi, memang ada yang bisa dibanggakan. Dalam satu musim tanam, petani bisa menghasilkan pendapatan bersih yang cukup signifikan. Hitungan ekonominya jelas: biaya produksi sekitar enam hingga tujuh juta rupiah per hektare, dengan potensi pendapatan dua hingga empat kali lipat tergantung harga dan hasil. Analisis dari sejumlah daerah menunjukkan rasio R/C di atas 1,5—menandakan usaha ini layak bahkan untuk skala kecil-menengah.

Namun di balik angka itu, ada jebakan halus yang tak disadari banyak orang. Keuntungan tersebut bergantung penuh pada paket-paket input dari luar: benih hibrida, pupuk kimia, pestisida, herbisida. Benih tidak bisa diperbanyak sendiri. Setiap musim tanam, petani harus kembali membeli dari distributor. Harganya tak murah, dan sebagian besar harus dibayar tunai atau lewat pinjaman musiman.

Ketika harga jagung bagus, semuanya terasa mudah. Tapi saat harga jatuh—karena panen serempak atau permintaan menurun—margin keuntungan menguap begitu saja. Bahkan, ada petani yang harus menjual hasil panen lebih awal dalam kondisi basah karena tak mampu membayar utang input.

Sebagian besar petani merasa seperti penumpang di dalam sistem pertanian yang besar: mereka menanam dan memanen, tapi tidak menentukan harga. Tak menguasai benih, tak bisa menyimpan hasil terlalu lama, dan tak punya kuasa atas pasar.

Untungnya memang ada. Tapi hanya selama semua berjalan mulus. Begitu satu elemen terganggu—cuaca, hama, atau harga—keuntungan itu bisa runtuh seperti tongkol kosong. Petani bisa merasakan musim panen, tapi belum tentu merasakan musim tenang.


Dimensi Ekologi: Air Keruh, Tanah Gundul

Hujan deras turun sepanjang malam. Pagi harinya, aliran air di sungai yang melintas di antara desa-desa berubah warna: dari bening kehijauan menjadi cokelat pekat. Lumpur menumpuk di dasar parit, menggumpal di selokan-selokan kampung, dan mengalir tanpa kendali ke pesisir. Di kejauhan, garis pantai pun mulai mengabur, tertutup kabut endapan tanah yang hanyut dari ladang.

Pemandangan seperti ini makin sering terjadi setelah ladang-ladang baru dibuka secara besar-besaran untuk budidaya jagung. Lereng yang dulu ditumbuhi vegetasi alami dibersihkan dengan tergesa. Semak dan pohon kecil ditebang, akar-akar dicabut, dan lahan dibuka tanpa perlindungan penahan air. Proses tanam cepat tak memberi ruang bagi tanah untuk bertahan menghadapi derasnya hujan tropis.

Erosi pun terjadi secara masif. Setiap tetes hujan yang jatuh ke tanah terbuka membawa partikel tanah halus menuju sungai, mencemari air dan mempercepat pendangkalan. Dalam skala luas, sedimentasi itu tidak hanya mengancam sawah dan kolam di hilir, tetapi juga merusak ekosistem laut dangkal di sekitar pesisir.

Studi dari berbagai wilayah menunjukkan bahwa sistem budidaya jagung intensif, khususnya di lahan miring, mempercepat degradasi lahan dan kehilangan bahan organik tanah. Tingkat keberlanjutan ekologisnya, dalam sejumlah kajian, hanya tergolong cukup—sekitar 60 persen—jauh dari standar ideal pertanian lestari.

Selain erosi, penggunaan pestisida dan herbisida secara rutin untuk mengendalikan gulma dan hama ikut menyumbang pencemaran lingkungan. Residu kimia itu tak hanya mempengaruhi kesehatan tanah, tapi juga mencemari air tanah dan sungai, serta mengganggu serangga penyerbuk yang selama ini tak tergantikan jasanya dalam ekosistem.

Jagung mungkin tumbuh cepat. Tapi luka ekologis yang ditinggalkan tak sembuh dalam satu musim. Tanah yang tadinya produktif perlahan menjadi keras, miskin hara, dan tergantung pada pupuk kimia. Jika dibiarkan, ladang jagung tak ubahnya ladang yang menua terlalu dini—terlihat subur dari kejauhan, tapi rapuh di dalam.


Dimensi Sosial: Antara Untung dan Cemas

Di banyak dapur petani jagung, aroma rebusan jagung tua kerap menggantikan nasi. Meski panen melimpah dan hasil dijual dalam jumlah besar, tidak semua rumah tangga petani menikmati peningkatan kualitas hidup yang setara dengan tonase panen mereka.

Fakta yang muncul di lapangan memperlihatkan ironi: sebagian besar pendapatan dari jagung habis hanya untuk membeli pangan pokok. Biaya hidup terus naik, sementara hasil panen bersifat musiman dan bergantung pada harga pasar yang fluktuatif. Kajian dari berbagai daerah menunjukkan bahwa lebih dari separuh pengeluaran rumah tangga petani jagung masih digunakan untuk membeli makanan, dan sebagian dari mereka bahkan tergolong tidak tahan pangan.

Di sisi lain, perubahan cara bertani turut mengubah cara hidup. Budidaya jagung yang bersifat cepat dan individual mendorong hilangnya budaya gotong royong yang dulu mengakar dalam siklus pertanian tradisional. Tidak ada lagi waktu untuk kerja bersama, menyimpan benih lokal, atau mengolah hasil secara kolektif. Semua dikejar dalam siklus tanam-panen-jual yang berlangsung cepat dan terputus dari relasi sosial sebelumnya.

Para petani kini lebih sering menyewa tenaga kerja harian. Kaum muda tak lagi tertarik menyentuh tanah secara langsung, lebih memilih menjadi buruh panen dibanding meneruskan usaha tani keluarga. Bahkan dalam beberapa kasus, ladang warisan dijual atau disewakan kepada pihak luar demi mendapat uang cepat dari musim tanam jagung.

Perempuan desa, yang dulu berperan sebagai penjaga benih dan pengelola pangan rumah tangga, perlahan tersisih. Benih jagung hibrida tak bisa disimpan. Hasil panen tidak untuk dikonsumsi, melainkan dijual. Mereka kehilangan peran kultural sekaligus kontrol atas pangan keluarga.

Di tengah gelombang jagung yang merangsek dari lereng ke pasar, struktur sosial berubah diam-diam. Ada yang merasa terbantu secara ekonomi, tapi banyak pula yang mulai bertanya dalam hati: benarkah kami sedang bergerak maju, atau hanya berganti cara untuk bertahan?


Siapa yang Benar-Benar Untung?

Di balik ladang-ladang jagung yang tumbuh seragam, terdapat rantai pasok yang digerakkan oleh kekuatan tak kasat mata: perusahaan benih, distributor input pertanian, dan pabrik-pabrik pembeli hasil panen. Mereka tidak turun ke tanah, tidak berkeringat di bawah terik matahari, tapi menentukan hampir seluruh cara bertani—dari benih apa yang harus ditanam, hingga harga jagung yang diterima petani.

Sebagian besar benih jagung yang digunakan petani adalah hasil rekayasa hibrida dari perusahaan besar. Benih-benih ini tidak bisa ditanam ulang—satu kali pakai, lalu beli lagi di musim berikutnya. Bersama benih, biasanya datang paket lengkap: pupuk kimia, pestisida, herbisida, dan anjuran teknis dari brosur yang tampak ilmiah tapi berpihak.

Para petani sebenarnya hanya berada di hilir. Mereka menanam dengan modal sendiri, memikul risiko cuaca, serangan hama, dan fluktuasi harga. Tapi begitu panen tiba, hasilnya dijual ke pengepul dengan harga yang sudah ditentukan pasar. Mereka tak bisa menawar, hanya menerima. Sementara para penyedia input sudah lebih dulu mengunci margin keuntungan mereka sejak benih ditanam.

Model ini melahirkan ketergantungan. Petani menjadi pembeli tetap, bukan pemilik kendali. Mereka mengandalkan hutang musiman untuk membeli benih dan pupuk, dan harus menjual hasil sesegera mungkin demi membayar utang itu. Jika harga turun atau hasil kurang baik, yang pertama kali terpukul adalah mereka—bukan distributor atau perusahaan benih.

Secara kasat mata, memang petani yang panen. Tapi secara struktural, yang benar-benar untung adalah pihak yang tak pernah menanam apa pun.

Inilah wajah pertanian modern yang dikendalikan dari belakang layar. Pertanian yang tampak maju, tapi meninggalkan petani dalam posisi rapuh—tergantung pada input luar, tidak memiliki kuasa atas hasil, dan berjalan di atas sistem yang tak mereka bangun sendiri.


Jalan Tengah: Jagung yang Berkelanjutan

Di antara gelombang tanam jagung besar-besaran, beberapa petani memilih jalur berbeda. Bukan dengan menolak jagung, melainkan dengan mengubah cara bertani. Mereka mulai bertanya: mungkinkah bertanam jagung tanpa harus mengorbankan tanah, air, dan relasi sosial?

Sebagian mencoba pola tanam lorong—memadukan barisan jagung dengan pohon pelindung yang akarnya menahan tanah dan batangnya menyediakan naungan. Ada juga yang mulai mengintegrasikan tanaman penutup tanah di antara baris jagung, agar saat hujan datang, tanah tidak langsung hanyut. Teknik konservasi ini sederhana, murah, dan bisa diterapkan tanpa menunggu bantuan dari luar.

Petani lain mulai meninggalkan pestisida kimia. Mereka kembali meramu cairan dari daun-daunan pahit, abu dapur, dan air sabun sebagai pengusir hama. Tidak seefektif produk pabrikan dalam jangka pendek, tapi dalam jangka panjang, tanah tak semakin miskin, dan biaya produksi bisa ditekan.

Upaya kecil ini belum menjadi arus utama, tapi sudah cukup untuk membuktikan bahwa ada jalan lain. Beberapa kelompok tani mulai menyimpan benih sendiri, meski hasilnya tidak sebesar hibrida. Mereka menyebutnya “benih yang bisa diajak hidup bersama”—tak perlu dibeli tiap musim, cukup dipelihara dengan kasih sayang.

Penyuluh pertanian di beberapa wilayah pun mulai bergerak ke arah pendekatan agroekologis. Mereka menyarankan rotasi tanaman, sistem tanam tumpangsari, dan penggunaan pupuk organik. Sebagian program pemerintah mulai mendukung praktik pertanian ramah lingkungan, meskipun masih kalah gaung dibanding promosi benih komersial.

Jalan tengah ini bukan tentang menolak kemajuan, tapi tentang mengatur ulang arah. Jagung tak harus hilang, tapi bisa tumbuh berdampingan dengan semangat menjaga bumi. Tak perlu semua serba cepat. Sebab tanah punya irama sendiri. Dan keberlanjutan bukan soal hasil besar hari ini, tapi tentang apakah tanah itu masih bisa ditanami esok hari.


Penutup Reflektif: Panen yang Menyisakan Genangan

Musim tanam telah berganti. Jagung-jagung menguning di ladang, panen diangkut dengan pikap, dan suara karung-karung penuh biji kering bergema dari gudang ke gudang. Di atas kertas, ini musim yang baik. Tapi di bawah tanah yang mulai retak dan di tepian kampung yang makin sering tergenang, ada cerita lain yang tak banyak dibahas.

Air yang turun dari langit tak lagi ditahan oleh akar. Ia mengalir deras, membawa serta tanah yang belum sempat pulih. Sungai-sungai yang dulu jernih menjadi keruh, dan laut perlahan berubah warna. Dalam rumah-rumah sederhana, pangan masih menjadi kecemasan harian, meskipun panen jagung telah lewat beberapa pekan.

Petani bekerja lebih keras dari sebelumnya, tapi kendali atas hasil tak pernah benar-benar di tangan mereka. Musim berubah cepat, dan sistem pertanian pun ikut berubah—menjadi lebih teknis, lebih tergantung, dan lebih tak terjangkau oleh petani kecil.

Di tengah itu semua, muncul pertanyaan yang terus mengendap: apakah kita sedang menanam untuk hidup, atau sedang menggali ketergantungan yang baru? Apakah jagung benar-benar menyelamatkan, atau hanya menunda kehancuran yang datang perlahan?

Bisa jadi, bukan jagungnya yang salah. Tapi cara kita memperlakukannya, cara kita menjadikannya pusat segalanya, tanpa memperhitungkan tanah yang letih, air yang makin deras, dan manusia yang makin tergantung pada sistem yang tak mereka kuasai.

Karena pada akhirnya, panen bukan sekadar soal hasil. Ia adalah cermin dari cara kita bertani, cara kita membangun, dan cara kita melihat masa depan. Dan jika genangan tetap ada setelah panen selesai, mungkin itu bukan hanya karena hujan—tapi karena kita lupa menata kembali langkah sejak awal.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar