Jumat, 09 Mei 2025

Surat dalam Botol di Abu Kebakaran Israel.


1. Api dan Asap

Asap masih menggantung di udara, mengaburkan sinar matahari yang berusaha menembus langit kelabu Pegunungan Yudea. Bau kayu terbakar bercampur resin pinus memenuhi udara, menyusup ke paru-paru dan meninggalkan rasa pahit di lidah. Di kejauhan, suara sirine pemadam perlahan memudar, menyisakan desis embusan angin yang membawa abu dari pepohonan yang hangus berdiri seperti arwah yang belum sempat pulang.

Mira Albrecht, seorang jurnalis lepas asal Jerman, melangkah perlahan menembus lahan yang baru saja dilalap api. Sepatunya tenggelam sebatas mata kaki di lapisan abu, dan setiap langkah menimbulkan pusaran debu hitam kecil yang menari sejenak sebelum menghilang. Ia tak datang untuk mengejar headline. Ia datang karena ada sesuatu yang mengganggunya sejak membaca laporan bahwa kawasan ini dulu bukan hanya hutan buatan—tetapi pernah menjadi tempat tinggal.

Ia berhenti di bekas batang pohon pinus yang roboh, bagian pangkalnya masih mengepulkan asap dari dalam. Batang itu bukan sekadar kayu hangus. Di sekitarnya, tampak batu fondasi tua, tertanam setengah di tanah, dan pecahan ubin warna-warni tersembul dari balik semak mati.

Mira mendekat, lalu berlutut. Tangannya mengorek pelan sisa akar dan tanah hitam pekat di pinggir tunggul yang besar. Ada sesuatu yang memantulkan cahaya samar dari dalam tanah—sebuah botol kaca tua, berdebu, dengan sumbat gabus yang sudah menghitam.

Ia mengangkatnya perlahan, membersihkan leher botol dengan ujung lengan bajunya. Di dalamnya, terlihat secarik kertas yang digulung rapat, kekuningan tapi utuh. Jantungnya berdebar. Ini bukan puing biasa. Ini pesan. Ini saksi bisu yang bertahan di bawah bayang-bayang pohon buatan selama puluhan tahun.

Mira tidak tahu siapa yang menulisnya, atau mengapa botol itu ditanam di situ. Tapi ia tahu satu hal: kisah ini sedang menunggu untuk diungkap. Dan ia sudah terlalu jauh untuk berhenti sekarang.

***

2. Botol dalam Abu

Di penginapan sederhana di Yerusalem Timur, Mira duduk berhadapan dengan seorang lelaki tua berjubah cokelat kusam. Namanya Hani Mahmoud, pensiunan guru sejarah yang kini bekerja sebagai penerjemah untuk para jurnalis asing. Di wajahnya terpahat tenang, tetapi matanya menyimpan sesuatu yang tak bisa dijelaskan—seperti orang yang terlalu sering menyaksikan rumahnya berpindah tangan.

Botol itu tergeletak di atas meja kayu tua, diapit dua gelas teh mint yang uapnya terus naik ke langit-langit berjelaga. Mira menyerahkannya dengan hati-hati. Hani membuka sumbatnya perlahan, nyaris seperti membuka peti jenazah yang sudah terlalu lama tertanam. Dari dalam, ia menarik secarik kertas yang masih padat dan utuh, hanya sedikit lembab di ujungnya. Ia membuka gulungan itu. Jemarinya bergetar. Lalu ia membaca.

Sesaat, ruangan menjadi hening. Tak ada suara selain detak jam tua dan langkah kaki sesekali di lorong luar.

"Ini... tulisan tangan lama," ucap Hani pelan, setengah bicara pada dirinya sendiri. "Bisa jadi dari tahun ’67... atau lebih awal..."

Ia mulai membaca, menerjemahkan perlahan untuk Mira:

“Namaku Yusuf Imran, anak desa Imwas. Jika kau membaca ini, maka pohon tempat aku menanamnya mungkin telah ditebang atau dibakar, dan tanahku telah berubah nama. Kami diusir. Bukan oleh badai, bukan oleh gempa, tetapi oleh manusia yang memutus akar kami dan menanamkan nama baru di tanah kami.”

Mata Mira berkaca-kaca. Ia tidak tahu siapa Yusuf, tapi suaranya terdengar seperti milik dunia yang hilang. Hani melanjutkan:

“Aku menanam botol ini di tanah kebun zaitunku, di bawah pohon yang ditanam oleh kakekku di hari kelahiran ayahku. Jika aku tak kembali, semoga kata-kataku tetap tinggal. Kepada siapa pun yang menemukannya: ketahuilah, ini bukan hutan. Ini rumah.”

Hani berhenti membaca. Tangannya memegang kertas itu seperti memegang tulang orang mati. Matanya menatap Mira dengan sorot yang tak biasa.

“Ini bukan sekadar surat,” katanya. “Ini kesaksian.”

Mira menyandarkan tubuhnya ke kursi, nafasnya berat. Apa yang ia temukan bukan sekadar artefak nostalgia, tapi bom waktu dari sejarah yang terkubur oleh pepohonan pinus dan narasi resmi.

Dan sekarang, bom itu baru saja meledak—di dalam dirinya.

***

3. Suara dari Masa Silam

Malam itu, lampu kamar Mira hanya temaram. Jendela terbuka, angin Yerusalem bertiup dingin membawa aroma debu dan bayangan kota tua. Surat Yusuf telah difotokopi dan diletakkan di samping laptopnya. Tapi Mira tak segera menulis. Ia hanya menatapnya lama, seperti sedang bernegosiasi dengan roh yang baru bangkit dari tanah.

Isi surat itu lebih panjang dari yang ia bayangkan. Ditulis dengan tangan penuh tekad dan tinta yang sudah mulai luntur, namun kata-katanya tetap tajam seperti duri yang menolak dilenyapkan waktu.

“Mereka datang dengan kendaraan baja, membawa pengeras suara dan peluru. Kami diberi waktu dua jam untuk pergi. Ibuku sempat mengambil satu pot tanah dari halaman rumah—tanah itu masih basah oleh air wudunya pagi itu. Adikku menangis karena mainannya tertinggal di atas ranjang. Ayahku… tak berkata apa-apa. Ia hanya menatap ke arah sumur kami, lalu mencium batang zaitun tua sebelum pergi.”

Mira menggulirkan kursornya perlahan. Ia mencatat: "Deskripsi pengusiran paksa—emosi kolektif yang diperas menjadi kenangan pribadi. Sangat visual. Sangat manusiawi."

“Aku menulis ini di malam terakhir kami, dengan lilin sisa dari bulan Ramadan. Di luar, suara bulldozer dan tawa tentara seperti musik kematian. Aku tidak tahu apakah ada yang akan membacanya, tapi aku percaya—tanah ini akan bicara pada waktunya. Aku titipkan suara kami pada akar. Suatu hari, jika takdir masih berpihak pada kebenaran, seseorang akan menggali tanah ini dan menemukan kami kembali, meski hanya lewat kata-kata.”

Hati Mira sesak. Ia tahu ini bukan hanya soal satu orang bernama Yusuf. Ini adalah suara kolektif dari mereka yang tak sempat menulis, yang bisunya ditanam di bawah pohon-pohon yang kini terbakar. Botol itu seperti kapsul waktu yang membocorkan air mata dari masa lalu ke zaman sekarang.

Ia teringat pernyataan resmi pemerintah yang menyebut kawasan itu sebagai "zona konservasi nasional", "ruang hijau publik", atau "kebanggaan penghijauan Israel modern". Tapi tak satu pun dari mereka menyebut bahwa tanah itu pernah punya nama, rumah, dan nyawa.

Dan kini surat Yusuf telah sampai. Bukan sebagai bukti sejarah semata, tapi sebagai gugatan sunyi dari tanah yang masih menyimpan ingatan.

***

4. Sumpah Tanah

Hani menutup bacaan dengan suara serak. Ia tak menyeka air matanya. Ia biarkan mengalir, seperti hujan kecil yang akhirnya menemukan celah jatuh. Surat Yusuf tak berhenti pada keluhan. Di bagian akhir, ia menulis dengan gaya yang nyaris seperti doa, tapi lebih keras dari teriakan di medan perang.

“Aku tidak menuntut balas, karena darah tak bisa menumbuhkan zaitun. Tapi aku bersumpah—di atas tanah ini, di bawah langit yang sama, di hadapan Tuhan yang melihat segala—aku takkan pernah mengakui penanam baru sebagai pewaris tanah ini. Mereka boleh menanam pinus, boleh menamainya taman, boleh menaburkan narasi… tapi akar kami masih tertinggal di bawah.”

“Jika anak cucuku tak bisa kembali, biarlah pohon yang tumbuh dari luka ini jadi saksi bahwa kami pernah ada. Jika surat ini ditemukan saat hutan terbakar, anggaplah itu suara kami yang menembus arang dan abu. Kami tak pergi. Kami hanya diam sebentar, menunggu tanah bicara.”

Mira menatap kertas yang kini hampir bergetar di tangannya. Kata-kata Yusuf menolak mati. Ia merasakannya seperti bara yang berpindah ke dadanya—panas, menekan, tapi tak membakar. Ia mulai memahami: surat itu bukan hanya kesaksian, tapi perlawanan dalam bentuk paling purba—pengakuan atas tempat. Di dunia yang bisa membungkam suara, menebang rumah, dan mengubah nama desa menjadi "taman nasional", pengakuan adalah bentuk tertinggi keberadaan.

“Dia tidak minta apa-apa,” ujar Hani perlahan. “Hanya agar suaranya tak dikubur.”

Mira berdiri, keluar dari rumah Hani dengan langkah tak pasti. Jalanan Yerusalem malam itu sepi, tapi di telinganya seakan ada gemuruh: gemuruh akar yang bergerak di bawah aspal, gemuruh luka yang belum dijahit sejarah.

Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Kisah Yusuf harus diangkat, bukan sebagai dongeng nostalgia atau retorika korban, tapi sebagai tulang-tulang yang menuntut dikuburkan dengan nama mereka sendiri.

Mira pun menulis kalimat pertama di catatan laporannya:

“Saya menemukan suara di dalam botol. Ia bukan suara hutan. Ia suara rumah yang ditanami diam.”

***

5. Kesaksian yang Terbakar

Berita itu meledak ke ruang publik seperti percikan api terakhir dari kayu basah yang tersulut. Artikel panjang Mira diterbitkan oleh The Globe Chronicle, media investigatif internasional, dengan judul tajam:

“Surat dari Tanah yang Terbakar: Ketika Hutan Menyembunyikan Rumah”

Dalam hitungan jam, nama Yusuf Imran kembali hidup. Potongan suratnya, foto botol kaca yang hangus sebagian, dan reruntuhan batu bata di bekas hutan pinus buatan menjadi viral. Tagar #WhoseForest mulai trending. Namun di balik pujian dan perhatian, badai tak terelakkan.

**

Di kanal berita nasional Israel, seorang juru bicara Kementerian Kehutanan menanggapi dengan datar.

“Itu hanyalah artefak yang tidak bisa diverifikasi. Wilayah tersebut sejak lama telah direklamasi menjadi taman nasional untuk kepentingan publik. Tidak ada bukti resmi bahwa surat itu berasal dari warga yang pernah tinggal di sana.”

Komentar itu memicu gelombang baru. Sejumlah sejarawan, termasuk profesor Yahudi dari universitas luar negeri, muncul membela validitas surat itu. Foto satelit tahun 1966 yang menunjukkan bekas pemukiman dan pohon zaitun dibagikan ulang. Di sisi lain, aktivis kanan menganggap artikel Mira sebagai "usaha delegitimasi terhadap proyek hijau nasional."

**

Mira sendiri tidak mengharapkan semuanya menjadi sebesar ini. Ia menerima undangan wawancara dari BBC, Al Jazeera, bahkan RT. Tapi ia menolak semuanya. Ia tak ingin jadi narasumber. Ia bukan tokohnya. Tokohnya adalah Yusuf—dan tanah itu.

Di tengah kekacauan, ada satu email yang membuatnya terdiam. Seorang pria bernama Imran Yusuf—cucu dari Yusuf Imran—menghubunginya dari Amman, Yordania.

“Nenek saya dulu bercerita tentang malam kami diusir dari Imwas. Tapi kami tak pernah tahu apa yang terjadi dengan kakek setelah itu. Ia hilang di jalan. Kami tak pernah menemukannya. Kami bahkan tak yakin apakah ia masih hidup, atau dikubur di tanah yang sama tempat surat itu ditanam.”

“Terima kasih. Setidaknya sekarang kami tahu… suaranya belum mati.”

**

Mira tak menangis. Tapi hatinya seakan retak diam-diam. Ia tidak menyangka bahwa botol kaca tua itu menyambung kembali sejarah keluarga yang tercerai oleh peluru dan perbatasan.

Di dalam dirinya, ia tahu: ini bukan soal hutan. Bukan soal Israel atau Palestina semata. Tapi soal hak manusia untuk dikenang di tempat ia pernah hidup.

Dan kini, tanah yang selama ini ditutup pinus, telah membakar penutupnya sendiri—agar seseorang membaca, dan percaya.


 Tanah Mengingat

Beberapa pekan setelah kebakaran mereda dan berita surat Yusuf tenggelam oleh isu-isu baru dunia, Mira kembali ke tempat ia pertama kali menemukan botol itu. Tidak ada kamera. Tidak ada tim dokumenter. Hanya dia, sepasang sepatu hiking, dan sebuah kantong berisi segenggam benih zaitun yang ia beli dari pasar tua di Yerusalem Timur.

Tunggul pohon pinus tempat ia menemukan botol masih di sana, hitam dan bisu seperti sisa luka bakar di tubuh yang telah lewat masa kritis. Tapi di sekitarnya, kehidupan mulai merangkak kembali: lumut hijau, semak liar, dan kupu-kupu kecil yang bersarang di balik batu.

Ia berlutut perlahan, dan mulai menggali tanah dengan tangan kosong. Tanah itu keras, masih mencengkeram bara dari kebakaran sebelumnya, seakan menolak disentuh lagi oleh manusia. Tapi Mira tak menyerah. Ia menyemai benih zaitun itu dengan air dari botol minumnya, lalu menutup lubangnya perlahan. Di sampingnya, ia menancapkan tongkat kecil, diikatkan secarik kain bertuliskan nama:

"Imwas – Rumah yang Pernah Ada."

Tidak akan ada peresmian. Tidak akan ada monumen marmer. Tapi ada pohon yang akan tumbuh. Dan setiap ranting yang kelak melambai ke angin, akan membawa pesan yang terkubur puluhan tahun:

Kami masih di sini. Kami belum hilang. Tanah mengingat.

Beberapa bulan kemudian, Google Earth memperbarui citra satelit kawasan Pegunungan Yudea. Seorang pengguna anonim menandai titik hijau kecil di antara lahan hitam bekas terbakar, dengan catatan:

“Satu pohon zaitun baru tumbuh di tempat hutan palsu terbakar. Tidak ada yang mengklaimnya. Tapi tanah tahu kepada siapa ia pernah memberi hidup.”


Epilog.

Mira kembali ke Eropa. Ia tidak lagi meliput perang atau kebakaran. Tapi setiap kali melihat kebun zaitun, ia berhenti sejenak, dan membayangkan Yusuf duduk di sana, di bawah pohon masa depan, menulis surat lain… kali ini bukan untuk menuntut dikenang, tapi untuk menceritakan bahwa suaranya sudah ditemukan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar