Sabtu, 31 Mei 2025

Sumitronomics: Jalan Lama yang Baru Diingat


Sumitronomics: Jalan Lama yang Baru Diingat

Di sebuah forum ekonomi awal tahun ini, seorang pejabat tinggi dengan nada penuh harap menyebut kata yang terasa asing namun agung: Sumitronomics. Ruang pun riuh. Para peserta manggut-manggut, seolah menemukan mantra penyelamat dari kekacauan ekonomi global yang menggoyang harga beras, melemahkan rupiah, dan membayangi industri dalam negeri.

“Ini saatnya kembali ke Sumitro,” ucap sang pejabat, merujuk pada Prof. Sumitro Djojohadikusumo — ekonom yang jejaknya berserakan dalam sejarah pembangunan Indonesia. Tak lama, istilah itu menjalar ke berbagai kanal diskusi, masuk ke meme-meme politik, dan jadi pembuka pidato-pidato kampanye: industrialisasi, kemandirian, dan peran aktif negara—semuanya digulung dalam satu nama, Sumitro.

Tapi di antara tepuk tangan dan sorak sorai itu, terselip satu pertanyaan kecil dari rakyat yang puluhan tahun jadi penonton pembangunan: bukankah negara memang seharusnya seperti itu sejak dulu?

Di dusun-dusun yang tanahnya mengering dan sawahnya dililit pupuk mahal, di pabrik-pabrik kecil yang tak mampu bersaing dengan barang impor, atau di kios-kios yang kalah dari jaringan ritel raksasa, nama Sumitro mungkin asing. Tapi semangat yang dibawa oleh nama itu — agar negara tak absen dari hidup rakyat — justru adalah sesuatu yang sudah lama mereka tunggu.

Maka ketika Sumitronomics dielu-elukan seakan wahyu baru, bagi rakyat kecil ia terdengar seperti ironi: mengapa jalan yang seharusnya ditempuh sejak lama kini justru dianggap penemuan?


Gagasan Lama dalam Bungkus Baru

Jauh sebelum istilah Sumitronomics muncul di podium dan layar televisi, Sumitro Djojohadikusumo telah menuliskan gagasannya dalam lembar-lembar kebijakan ekonomi Indonesia pascakemerdekaan. Ia bukan hanya seorang ekonom, tetapi juga arsitek arah pembangunan yang sadar betul bahwa kemerdekaan politik tak ada artinya tanpa kemandirian ekonomi.

Sumitro bukan penganut tunggal ide negara besar atau pasar bebas. Ia seorang realis yang menggabungkan keduanya dengan sentuhan pragmatis. Dalam beberapa dokumen dan pidato, ia menekankan pentingnya industrialisasi sebagai mesin pertumbuhan nasional. Menurutnya, selama Indonesia hanya menjadi pengekspor bahan mentah—seperti karet, kopi, atau timah—maka kita akan selalu menjadi bangsa pelengkap, bukan pemain utama.

Pada era 1950-an, Sumitro ikut menggagas berdirinya perusahaan-perusahaan negara strategis, termasuk dalam sektor baja, pupuk, semen, dan energi. Ia juga yang pertama kali memopulerkan istilah “ekonomi terpimpin dalam konteks pembangunan” — bukan dalam pengertian ideologis totaliter, melainkan strategi negara untuk mengatur laju pertumbuhan sektor-sektor prioritas.

Namun, sejarah juga mencatat betapa ide-ide Sumitro seringkali bentrok dengan realitas politik. Ia sempat dua kali diasingkan secara politik—oleh Sukarno karena perbedaan visi, dan oleh Soeharto karena kedekatannya dengan kubu lama. Namun ide-idenya tak pernah benar-benar mati. Ia kembali mengisi ruang-ruang akademik dan menyusup ke dalam kebijakan Orde Baru, bahkan tanpa menyebut namanya.

Kini, ketika kata Sumitronomics dimunculkan kembali, seolah kita tengah membuka kembali buku tua berdebu di rak perpustakaan negara. Padahal isinya telah lama dikutip diam-diam—dan sayangnya, juga dikhianati berkali-kali oleh para pemegang kuasa yang gemar menjual jargon tapi alergi pada pelaksanaan.


Negara-Negara Maju Melakukannya Juga

Apa yang dalam Sumitronomics disebut sebagai industrialisasi strategis, kemandirian ekonomi, dan peran aktif negara, sesungguhnya bukanlah warisan eksklusif Indonesia. Ia bukan barang langka di rak ideologi dunia. Justru sebaliknya, ide-ide semacam ini pernah menjadi naskah utama dalam pembangunan negara-negara yang kini disebut maju.

Lihatlah Amerika Serikat, negara yang kerap digambarkan sebagai surga kapitalisme. Di balik citra pasar bebasnya, Amerika pernah sangat proteksionis. Pada akhir abad ke-18, Alexander Hamilton merancang cetak biru pembangunan industri dengan menyarankan perlindungan bagi sektor dalam negeri, subsidi untuk manufaktur, dan pembangunan infrastruktur negara. Washington pun mematuhinya. Inilah pondasi industri Amerika yang kini mendominasi dunia.

Jerman? Di bawah Otto von Bismarck, negara bukan hanya campur tangan dalam politik luar negeri dan perang, tetapi juga dalam perekonomian. Ia menciptakan sistem asuransi sosial pertama di dunia—bukan karena semata peduli, tetapi karena negara menyadari bahwa produktivitas buruh adalah kekuatan industri. Negara kuat hanya bisa berdiri di atas industri kuat, dan industri kuat hanya mungkin dengan peran negara.

Jepang pasca-Meiji menjalankan strategi serupa. Mereka mengirim ratusan pemuda belajar ke luar negeri, mempelajari teknik, industri, dan manajemen Barat. Sekembalinya, negara mendampingi pertumbuhan industri lokal dengan pinjaman murah, riset, dan proteksi. Di era modern, MITI (Ministry of International Trade and Industry) menjadi institusi legendaris yang mengarahkan keajaiban ekonomi Jepang.

Dan tentu saja Korea Selatan. Negeri yang pada 1960-an lebih miskin dari Indonesia itu hari ini berdiri tegak sebagai negara industri maju. Mereka tidak menyerahkan diri pada mekanisme pasar begitu saja. Pemerintah Korea menunjuk langsung konglomerat seperti Hyundai dan Samsung untuk fokus pada industri strategis, memberi dukungan penuh, dan melindungi mereka dari kompetisi global hingga siap bertarung di luar negeri.


Dari semua itu, satu pelajaran mencuat: negara-negara maju tidak menjadi kuat karena membiarkan pasar liar, tetapi karena mereka memanfaatkan negara sebagai alat pembangunan. Pasar hanya diberi ruang setelah fondasi industri lokal cukup kokoh untuk bertarung.

Dalam konteks itu, Sumitronomics bukan barang baru. Ia hanya tampak asing karena terlalu lama diabaikan. Justru keganjilan terbesar ada pada kita: mengapa ide yang menjadi norma di banyak negara, justru kita rayakan seolah wahyu baru yang turun dari langit?


Sumitronomics dan Ironi Kita Hari Ini

Yang ironis dari euforia Sumitronomics bukan terletak pada gagasannya, melainkan pada kenyataan bahwa ide dasar itu baru dianggap penting setelah kita terlalu lama tersesat dalam pasar bebas yang kebablasan. Sejak reformasi bergulir, negara cenderung mengambil posisi sebagai wasit yang tidak berani meniup peluit. Pasar dipuja, intervensi dianggap dosa, dan kata “negara” dijauhkan dari urusan produksi, distribusi, hingga konsumsi.

Selama dua dekade terakhir, industri manufaktur kita justru menyusut. Kontribusi sektor industri terhadap PDB menurun. Pabrik-pabrik tekstil berguguran. Mesin-mesin tua dibiarkan megap-megap bersaing melawan barang impor dari Tiongkok dan Vietnam. Sementara itu, ekspor kita tetap bertumpu pada batu bara, kelapa sawit, dan bahan mentah lainnya — komoditas yang tak mengantarkan negara manapun menjadi maju.

Layanan publik dikomersialkan. Petani mencari pupuk bersubsidi seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Nelayan kecil bertarung dengan kapal besar yang memegang izin dari pusat. Anak-anak muda bermimpi jadi konten kreator ketimbang teknisi mesin, karena negara sendiri tak yakin pada masa depan industrinya.

Dalam konteks seperti ini, munculnya istilah Sumitronomics justru terasa getir. Ia seperti obat lama yang baru diambil dari laci setelah penyakitnya menjalar ke seluruh tubuh. Lebih dari itu, ia juga menjadi cermin betapa kita selama ini kehilangan akal sehat dalam bernegara: membiarkan mekanisme pasar menjadi ideologi, bukan alat.

Kini, ketika Sumitronomics kembali dibicarakan oleh elite, publik bertanya-tanya: benarkah negara akan benar-benar hadir, ataukah ini sekadar slogan baru dalam kemasan lama? Apakah ini pertobatan kolektif dari mereka yang selama ini menari bersama logika pasar? Atau hanya gincu kebijakan agar tampak memihak rakyat?

Sebab rakyat sudah kenyang dengan jargon. Mereka tak butuh teori besar, cukup kebijakan yang membumi: pupuk yang sampai, harga yang stabil, dan industri lokal yang dilindungi.

Jika negara benar-benar ingin kembali pada semangat Sumitro, maka jalan satu-satunya adalah turun dari menara gading, masuk ke dapur rakyat, dan membuat ekonomi terasa di piring nasi mereka. Bukan sekadar di slide presentasi menteri.


Harapan dan Tantangan di Era Baru

Membangkitkan kembali Sumitronomics di abad ke-21 tentu tak bisa sekadar menyalin buku catatan lama dan berharap hasilnya sama. Dunia sudah berubah. Kita hidup dalam era ekonomi digital, perubahan iklim, disrupsi teknologi, dan ketegangan geopolitik global. Namun justru dalam lanskap baru itulah, gagasan negara yang berperan aktif menjadi semakin relevan.

Kemandirian hari ini tidak hanya berarti membangun pabrik baja atau pupuk, tetapi juga mengembangkan chipset, kendaraan listrik, kecerdasan buatan, dan ketahanan pangan berbasis riset lokal. Negara tak lagi cukup menjadi regulator, melainkan harus menjadi fasilitator ekosistem inovasi. Ia perlu menghubungkan laboratorium kampus dengan dapur UMKM, dan menyambungkan petani dengan pasar lewat infrastruktur digital dan logistik modern.

Namun, di sinilah tantangannya. Apakah kita punya keberanian politik untuk menolak kenyamanan status quo yang selama ini terlalu bergantung pada ekspor bahan mentah dan impor barang jadi? Apakah kita bersedia membayar harga jangka pendek dari industrialisasi yang membutuhkan proteksi, subsidi, dan reformasi kebijakan fiskal?

Negara juga harus berhenti memandang intervensi sebagai pemborosan. Selama intervensi itu menghasilkan daya saing, pekerjaan, dan nilai tambah dalam negeri, maka itu bukan pemborosan—itu investasi. Namun investasi itu harus disertai akuntabilitas. Kita tidak ingin Sumitronomics berubah jadi proyek rente baru dengan label nasionalis semu.

Lebih jauh lagi, Sumitronomics tidak boleh berhenti di tataran elite. Ia harus menjadi kesadaran kolektif. Artinya, negara perlu mengajak masyarakat berpikir ulang tentang apa artinya produk lokal, apa artinya berdikari, dan mengapa tidak semua barang murah itu berkah. Pendidikan, media, dan kebijakan harus bergerak serentak membentuk kesadaran baru: bahwa kemandirian ekonomi adalah fondasi kemerdekaan sejati.

Jika semua itu dilakukan bukan karena popularitas, melainkan karena kesadaran sejarah, maka kita boleh berharap: mungkin kali ini Sumitronomics bukan sekadar jargon. Tapi sungguh-sungguh menjadi jalan baru yang membawa kita kembali ke akar—dengan pandangan yang lebih tajam, dan langkah yang lebih terarah.


Sebuah Refleksi

Setelah berpuluh tahun terombang-ambing dalam arus pasar bebas, Indonesia kini tampak hendak menoleh ke belakang — atau barangkali, justru menatap ke depan dengan memakai kacamata lama yang telah dibersihkan dari debu ideologis. Sumitronomics, dengan segala kesederhanaan prinsipnya, kembali menjadi bahan pembicaraan. Ia datang bukan sebagai pengetahuan baru, melainkan sebagai pengingat: bahwa negara tidak bisa berdiri berpangku tangan dalam membangun ekonomi bangsanya sendiri.

Namun sejarah selalu mengajarkan satu hal: gagasan hanya akan berarti bila dijalankan dengan konsistensi, bukan dijadikan simbol kampanye. Kita tidak butuh lagi pemujaan terhadap nama besar tanpa keberanian mewujudkan ide-idenya secara konkret.

Sumitro Djojohadikusumo barangkali sudah tiada, tetapi semangat yang ia titipkan pada lembar-lembar ekonomi nasional masih hidup: bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang berani mengendalikan nasib ekonominya sendiri, tanpa menunggu dikasihani pasar global. Bahwa negara bukan pelengkap, melainkan pengarah.

Kini bola ada di tangan generasi pemimpin baru. Apakah Sumitronomics akan menjadi fondasi kebijakan ekonomi yang sungguh-sungguh dijalankan dengan keberpihakan kepada produksi dalam negeri, pekerja lokal, dan industri strategis? Atau hanya akan jadi jargon pengisi spanduk, yang luntur begitu pemilu usai?

Sebab rakyat tak lagi percaya pada kata-kata. Mereka hanya percaya pada apa yang terasa nyata: pada harga sembako yang stabil, pada lapangan kerja yang tumbuh, dan pada mimpi yang bisa dibangun dengan tangan sendiri. Jika Sumitronomics bisa menjawab itu semua, maka barulah ia layak disebut sebagai jalan masa depan—meski berasal dari masa lalu.


Selasa, 20 Mei 2025

Provinsi Pulau Sumbawa: Antara Mimpi Otonomi dan Realitas Fiskal

Denting Harapan dari Timur

Di suatu pagi yang cerah di Pelabuhan Poto Tano, anak-anak sekolah berseragam putih biru berbaris membawa spanduk bertuliskan "Selamat Datang Provinsi Pulau Sumbawa." Angin laut membawa semangat, dan gendang tradisional ditabuh mengiringi iring-iringan warga yang datang dari lima penjuru: Sumbawa, Dompu, Bima, Kota Bima, dan Sumbawa Barat. Mereka tidak sedang menyambut tamu, tapi sedang menyambut mimpi mereka sendiri—mimpi menjadi tuan rumah bagi tanah mereka sendiri.

Sudah lebih dari dua dekade harapan itu mengendap, mengendap bersama debu jalanan dan peluh petani yang merasa terlalu jauh dari pusat kekuasaan. Nama “Provinsi Pulau Sumbawa” bukan sekadar wacana politik, tapi gema hati yang menyuarakan satu hal: kami ingin menentukan masa depan sendiri.

Namun di balik euforia itu, ada pertanyaan sunyi yang belum banyak terdengar:
“Setelah bendera dikibarkan, dari mana kita membiayai semua ini?”

Pertanyaan ini bukanlah upaya meredam semangat, tapi justru menantang kita untuk menakar kesiapan. Sebab otonomi tanpa kemandirian fiskal, ibarat kapal megah tanpa cadangan bahan bakar. Terlihat gagah, namun takkan melaju jauh.

Di sinilah cerita kita dimulai. Tidak hanya menarasikan hasrat rakyat untuk merdeka dari ketimpangan, tetapi juga menyelami denyut fiskal dan kemungkinan ekonomi yang akan menopang atau mungkin menjatuhkan Provinsi Pulau Sumbawa pada tiga tahun pertamanya.

Apakah harapan ini akan tumbuh jadi kenyataan yang lestari, ataukah layu sebelum berkembang?
Mari kita telusuri bersama dalam denyut angka, kebijakan, dan suara hati rakyat.

Anak Timur yang Ingin Dewasa.

Pulau Sumbawa bukanlah tanah yang asing dalam peta Indonesia, tapi sering terasa seperti halaman belakang dari provinsi yang menaunginya: Nusa Tenggara Barat. Dalam bingkai pemerintahan provinsi yang berpusat di Lombok, Pulau Sumbawa ibarat anak timur yang tumbuh tanpa cukup sorotan. Jalan-jalan rusak yang lambat diperbaiki, sekolah-sekolah yang belum merata infrastrukturnya, serta layanan kesehatan yang jauh dari memadai telah menjadi narasi harian warga dari Bima hingga Taliwang.

Aspirasi pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa (PPS) bukanlah letupan semalam. Ia mulai tumbuh sejak awal tahun 2000-an, ketika wacana desentralisasi membuka pintu bagi daerah untuk bermimpi lebih besar. Dari sana, berbagai forum masyarakat, aliansi tokoh adat, hingga anggota legislatif dari dapil Sumbawa mulai merapikan langkah: mengumpulkan dokumen administratif, membentuk panitia, menyusun naskah akademik, dan menebar kampanye publik.

Salah satu narasi yang kuat adalah soal ketimpangan pembangunan. Dalam satu dekade terakhir, investasi dan program strategis nasional lebih banyak mengalir ke wilayah Lombok sebagai pusat provinsi. Sementara itu, Sumbawa yang kaya akan emas, laut, dan pertanian justru menyumbang banyak tapi menerima sedikit. “Kami seperti pohon besar yang buahnya dipetik orang lain,” ujar seorang tokoh masyarakat di Sumbawa Barat.

Selain soal keadilan pembangunan, faktor identitas juga ikut menyulut semangat. Warga Pulau Sumbawa memiliki ciri budaya, bahasa, dan struktur sosial yang khas. Dompu dengan bahasa Mbojo-nya, Bima dengan kerajaannya, dan Sumbawa dengan kesultanan serta tradisi barapan kebo yang legendaris—semua ingin dipersatukan dalam payung provinsi sendiri yang memahami nuansa lokal mereka lebih dalam.

Dan kini, ketika isu pemekaran kembali mengemuka seiring pernyataan Mendagri bahwa moratorium bisa dibuka untuk wilayah prioritas, nama Pulau Sumbawa kembali naik ke permukaan. Dukungan terbuka datang dari anggota DPR, gubernur, hingga masyarakat sipil.

Namun seperti anak muda yang bersemangat meninggalkan rumah untuk membangun hidup sendiri, Pulau Sumbawa kini berdiri di titik krusial: mimpi otonomi akan segera diuji oleh realitas tanggung jawab. Di balik perjuangan pembentukan provinsi baru, ada tugas besar yang menunggu—mengelola anggaran, menata pemerintahan, dan menjawab pertanyaan: mampukah kita membiayai diri sendiri?

Dan pertanyaan itu hanya bisa dijawab jika kita berani membuka lembar berikutnya—lembar skenario fiskal tiga tahun pertama.

Harta di Bawah Kaki Sendiri.

Jika hanya melihat bentang alamnya, Pulau Sumbawa seharusnya tidak pernah merasa kekurangan. Dari ujung barat ke timur, pulau ini menyimpan kekayaan yang tak sedikit: tambang emas kelas dunia di Batu Hijau, peternakan kerbau di Dompu, jagung dan bawang merah di Bima, kopi dan durian di Sumbawa, hingga kekayaan laut di Teluk Saleh dan Samudera Hindia.

Namun, kekayaan itu belum sepenuhnya menjadi kekuatan fiskal. Seolah pepatah lama kembali bergema: “Bagai ayam mati di lumbung padi.”

Mari kita buka data yang tersedia. Bila digabungkan, pendapatan asli daerah (PAD) dari lima wilayah administratif yang akan menjadi bagian Provinsi Pulau Sumbawa hanya berkisar di angka Rp 600–700 miliar per tahun. Jumlah ini masih sangat kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan belanja minimum sebuah provinsi yang idealnya mencapai Rp 2 triliun per tahun. Itu pun untuk operasional dasar—bukan pembangunan besar-besaran.

Sumber kekuatan utama fiskal PPS justru berasal dari transfer dana pusat, yang selama ini memang menjadi penyangga utama anggaran daerah. Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH)—terutama dari sektor tambang—menjadi “infus” vital. Dalam estimasi konservatif, calon PPS bisa menerima sekitar Rp 7–8 triliun dana transfer pusat per tahun di tiga tahun awal, termasuk afirmasi untuk daerah otonomi baru.

Namun angka besar itu bukan tanpa jebakan. Dana transfer sangat bergantung pada kebijakan pusat. Ia bisa berkurang drastis jika fiskal nasional terganggu. Artinya, jika PPS tidak memperkuat PAD sejak awal, maka akan tumbuh sebagai provinsi “bergantung permanen”—sebuah ironi dari semangat berdikari.

Sementara itu, sektor potensial seperti pertambangan, perikanan, pertanian, dan pariwisata masih perlu digarap serius. Belum ada BUMD besar yang mengelola komoditas unggulan secara modern. Pajak daerah seperti pajak kendaraan bermotor, retribusi tambat labuh, atau kontribusi sektor wisata, masih belum optimal ditarik. Semua ini adalah “emas di bawah kaki sendiri” yang belum digali maksimal.

Pulau Sumbawa sejatinya punya bekal. Tapi apakah bekal ini cukup untuk membangun jalan provinsi, mendirikan kantor gubernur, membayar ASN, menyediakan rumah sakit regional, hingga menyusun RPJMD?

Jawabannya akan mulai terlihat ketika kita masuk ke tahap paling kritis: bagaimana skenario fiskal akan berjalan di tahun-tahun awal berdirinya Provinsi Pulau Sumbawa.

Itulah ujian pertama sebuah provinsi muda: bukan hanya bisa berdiri, tapi bisa berjalan sendiri.

Berjalan di Atas Angka dan Harapan.

Banyak yang berpikir bahwa membentuk provinsi baru cukup dengan semangat dan peresmian. Padahal, pekerjaan sejatinya baru dimulai justru setelah bendera dikibarkan. Anggaran, birokrasi, pelayanan publik, hingga infrastruktur—semuanya harus hadir, lengkap, dan berfungsi, sejak hari pertama. Di sinilah perencanaan fiskal tiga tahun pertama Provinsi Pulau Sumbawa menjadi penentu: apakah provinsi ini akan tumbuh kuat atau rapuh sejak dalam kandungan.

Tahun I – Tahun Transisi dan Penataan: Membentuk Raga

Pada tahun pertama, tantangan terbesar adalah membentuk raga pemerintahan. Mulai dari kantor Gubernur, DPRD provinsi, OPD, inspektorat, dinas-dinas teknis, hingga rumah dinas. Sebagian besar akan menumpang sementara di bangunan kabupaten atau sewa gedung, sambil menunggu pembangunan fisik.

Dengan proyeksi pendapatan total Rp 7,8 triliun—mayoritas dari transfer pusat—belanja difokuskan pada:

  • Pegawai dan operasional: ±Rp 1,1 triliun
  • Belanja modal (kantor, kendaraan, peralatan IT, layanan dasar): ±Rp 800 miliar

Meski terlihat surplus, anggaran tahun pertama sebenarnya sangat ketat secara teknis. Karena belanja rutin harus berjalan tanpa gangguan. Semua ini berpacu dengan waktu dan kesiapan sumber daya manusia.

Tahun II – Tahun Konsolidasi dan Pelayanan: Membangun Fungsi

Tahun kedua adalah waktu pengujian. Jika tahun pertama adalah soal berdiri, maka tahun kedua adalah soal berfungsi.

Dengan asumsi PAD meningkat menjadi Rp 700 miliar, dan transfer pusat tetap stabil di atas Rp 7 triliun, PPS mulai menjalankan:

  • Fungsi pendidikan menengah (SMA/SMK)
  • Pelayanan kesehatan provinsi (rumah sakit rujukan, laboratorium)
  • Dinas pertanian, perhubungan, ketenagakerjaan, pariwisata tingkat provinsi
  • Pengawasan tata ruang dan lingkungan

Belanja meningkat menjadi ±Rp 2,3 triliun, karena pemenuhan fungsi publik semakin nyata. Tahun ini juga akan menjadi penentu apakah struktur birokrasi PPS mampu menyerap dan mengelola anggaran dengan efisien.

Tahun III – Tahun Akselerasi dan Mandiri Awal: Menanam Kaki Sendiri

Tahun ketiga menjadi momen penguatan kapasitas fiskal lokal. PPS ditantang untuk tidak lagi hanya mengandalkan pusat, tapi mulai menanam kaki di bumi sendiri.

PAD ditargetkan menyentuh Rp 900 miliar, dari:

  • Pajak kendaraan bermotor dan BBN-KB
  • Retribusi pertambangan dan tambat labuh
  • Awal pendapatan dari BUMD (air, logistik, pariwisata)
  • Potensi pajak hotel dan restoran (dari kawasan pariwisata Teluk Saleh, Tambora, Pantai Maluk)

Belanja meningkat ke Rp 2,7 triliun, dengan prioritas pembangunan jalan provinsi, pelabuhan perintis, serta perluasan layanan pendidikan dan kesehatan.

Jika PPS berhasil melewati tahun ketiga ini dengan disiplin fiskal, akuntabilitas tinggi, dan pertumbuhan PAD berkelanjutan—maka langkah menuju provinsi yang benar-benar mandiri bukan sekadar angan. Ia akan benar-benar lahir sebagai entitas baru yang tidak hanya memisah secara administratif, tetapi juga berdiri di atas kaki ekonominya sendiri.

Namun jika tidak—jika fiskal dikelola sembarangan, korupsi merajalela, dan struktur birokrasi mengulang kesalahan lama—maka PPS hanya akan menjadi bayi prematur yang tumbuh besar dengan ketergantungan, tanpa daya saing.

Dan itulah titik kritis tiga tahun pertama. Sebuah pertaruhan antara masa depan dan pengulangan masa lalu.

Bukan Soal Angka Semata.

Banyak yang berpikir bahwa tantangan fiskal hanya soal cukup atau tidaknya dana. Padahal, dalam realitas pemerintahan, uang bukan satu-satunya persoalan. Uang bisa dicairkan, tetapi kemampuan mengelolanya—itulah yang seringkali menjadi kendala terbesar daerah baru.

Pulau Sumbawa akan menghadapi tantangan-tantangan fiskal yang kompleks, tidak hanya dari sisi pendapatan, tetapi juga dari sisi tata kelola dan daya serap.

1. Ketergantungan pada Transfer Pusat

Selama ini, lima wilayah yang akan bergabung dalam PPS sangat tergantung pada dana pusat. Lebih dari 85% belanja daerah berasal dari DAU, DAK, atau DBH. Jika kebijakan pusat berubah atau fiskal nasional tertekan (misalnya karena krisis ekonomi global), maka aliran dana ke PPS bisa terganggu. Provinsi ini akan rentan goyah jika tidak segera membangun sumber PAD yang stabil dan mandiri.

2. Lemahnya Kapasitas Birokrasi Daerah

Membentuk provinsi bukan hanya membangun gedung, tapi juga membangun sistem dan budaya kerja. Banyak daerah baru di Indonesia yang pada awalnya justru menambah beban negara karena lemahnya birokrasi: lambat menyusun perencanaan, gagal menyerap anggaran, dan rawan penyimpangan dana.

PPS pun tidak kebal dari risiko ini. Sebagian besar SDM ASN berasal dari kabupaten/kota, dan belum tentu siap menjalankan fungsi-fungsi baru tingkat provinsi. Kelemahan dalam perencanaan dan penganggaran bisa berdampak pada rendahnya realisasi program prioritas.

3. Risiko Politik dan Kepentingan Elite

Semangat masyarakat bisa saja tulus, tapi begitu daerah baru terbentuk, dinamika politik bisa berubah. Siapa yang jadi Gubernur pertama? Siapa ketua DPRD? Bagaimana pembagian jabatan eselon?

Jika PPS terjebak dalam tarik-menarik kepentingan elite lokal yang hanya mengejar kekuasaan dan proyek, maka anggaran bisa terserap bukan untuk pelayanan rakyat, tapi untuk pemenuhan kepentingan kelompok tertentu. Sejarah daerah pemekaran lainnya menunjukkan, tidak sedikit provinsi baru yang gagal karena elite-nya lebih sibuk berperang daripada membangun.

4. Ketimpangan Wilayah Dalam Provinsi Baru

PPS juga menghadapi tantangan ketimpangan internal: antara wilayah timur (Bima-Dompu) dan barat (Sumbawa-Sumbawa Barat). Kota Bima, sebagai satu-satunya kota madya, bisa menjadi poros pertumbuhan baru—tapi bisa juga menciptakan ketimpangan baru jika tak diimbangi dengan pemerataan belanja infrastruktur.

Jika ketimpangan ini tak dikelola dengan bijak, maka justru PPS bisa mengalami konflik horizontal antarwilayah, bahkan rasa tidak puas dari kabupaten tertentu.


Tantangan-tantangan ini bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk membuka mata. Otonomi bukan hadiah. Ia adalah ujian. Dan ujian fiskal adalah salah satu yang paling menentukan apakah Provinsi Pulau Sumbawa lahir sebagai entitas kuat atau hanya nama baru di peta yang membawa masalah lama dengan baju baru.

Untuk itu, PPS tidak hanya butuh dana, tapi juga integritas, perencanaan yang matang, kolaborasi antarwilayah, dan—di atas segalanya—kemauan kolektif untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Bertumbuh dengan Akar Sendiri.

Ketika sebuah provinsi baru lahir, ia ibarat anak muda yang mulai belajar berjalan tanpa pegangan. Ia bisa jatuh, ia bisa goyah, tapi juga bisa berlari jika diberi bekal yang benar. Bagi Provinsi Pulau Sumbawa (PPS), harapan bukan sekadar bisa berdiri, melainkan tumbuh menjadi provinsi yang kuat secara fiskal, adil secara sosial, dan berkelanjutan secara ekonomi.

Lalu, apa strategi yang bisa ditempuh agar PPS tidak tumbuh menjadi provinsi yang rapuh?


1. Meningkatkan PAD dengan Inovasi dan Kemauan

Langkah pertama yang paling realistis adalah menggali potensi PAD dari sektor-sektor yang selama ini belum maksimal. Pajak kendaraan bermotor, retribusi pertambangan, dan pajak daerah lainnya harus dibenahi dengan sistem yang transparan dan berbasis digital. PPS perlu menghindari jebakan PAD ilusi—PAD yang hanya bersumber dari denda, sumbangan, atau jual-beli aset yang tidak berkelanjutan.

Lebih jauh, PPS harus mulai membentuk BUMD strategis. Bayangkan jika Sumbawa memiliki BUMD pariwisata yang mengelola Kawasan Teluk Saleh dan Tambora secara profesional, atau BUMD logistik yang mengelola rantai pasok pertanian dan peternakan secara modern. PAD tidak lagi menjadi sisa, tapi buah dari kreativitas.


2. Menyusun RPJMD yang Visioner, Terukur, dan Berbasis Data

Langkah kedua adalah menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang realistis namun progresif. PPS harus fokus pada kekuatan unggulan: pertanian organik, peternakan, tambang berkelanjutan, energi terbarukan, dan wisata budaya. Jangan terjebak pada proyek-proyek besar berbiaya tinggi namun minim manfaat.

Indikator kinerja pemerintahan harus dibuat spesifik: peningkatan PAD per tahun, jumlah desa wisata aktif, jumlah BUMDes terhubung pasar digital, atau peningkatan nilai ekspor hasil laut. PPS harus belajar dari daerah lain yang gagal karena rencana pembangunan terlalu elitis dan jauh dari kebutuhan rakyat.


3. Membangun SDM dan Sistem Pemerintahan yang Lincah

Sebuah provinsi hanya akan setangguh orang-orang yang mengelolanya. PPS harus menjadi contoh provinsi baru yang berani membangun birokrasi meritokratik. ASN dipilih dan dipromosikan karena kapasitas, bukan karena koneksi. Pelatihan, pendidikan kepemimpinan daerah, dan pertukaran pengalaman antarprovinsi harus menjadi agenda tetap.

Selain itu, PPS bisa memanfaatkan teknologi untuk memangkas birokrasi lamban: e-budgeting, e-planning, dan sistem pengawasan publik berbasis komunitas. Ini bukan mimpi, tapi kebutuhan.


4. Menjaga Persatuan Wilayah dan Menghindari Politik Transaksional

Pembangunan tidak akan berjalan jika provinsi terpecah oleh ego sektoral. PPS harus menjaga agar tidak ada kabupaten yang merasa dianaktirikan. Transparansi dalam alokasi anggaran, rotasi jabatan provinsi yang adil antarwilayah, serta forum koordinasi antar-Bupati/Walikota harus diperkuat sejak awal.

Dan tentu saja, politik transaksional harus dicegah. Jika PPS dibangun hanya untuk menciptakan ruang baru bagi elite mengejar kekuasaan, maka semua yang diperjuangkan rakyat selama 20 tahun akan berubah menjadi kesia-siaan.


Harapan itu masih hidup. Seperti benih jagung yang tumbuh di tanah Dompu, seperti emas yang terkandung di batuan Sumbawa Barat, seperti senyum anak sekolah di pesisir Teluk Saleh—Provinsi Pulau Sumbawa bisa tumbuh. Tapi tidak dengan asal-asalan. Ia harus ditanam dengan visi, disiram dengan kerja keras, dan dijaga dari hama keserakahan.

Karena menjadi provinsi bukan akhir dari perjuangan, tapi permulaan dari tanggung jawab.

Menjadi Provinsi Bukan Soal Status, Tapi Soal Siapa yang Kita Pilih untuk Menjadi.

Mimpi mendirikan Provinsi Pulau Sumbawa bukan sekadar peristiwa administratif, melainkan tonggak sejarah yang mencerminkan harga diri, identitas, dan hasrat kolektif sebuah pulau yang selama ini merasa berada di pinggiran. Dalam ingatan masyarakatnya, provinsi baru ini adalah janji atas layanan yang lebih dekat, pembangunan yang lebih merata, dan kebijakan yang lebih memahami denyut lokal.

Namun, seperti halnya setiap janji, ia akan diuji.
Diuji bukan oleh musuh dari luar, melainkan oleh diri sendiri.

Apakah provinsi ini akan menjadi simbol kemajuan, atau hanya menjadi replika dari sistem yang sudah usang—yang hanya berganti baju, tapi masih membawa cara kerja yang sama: lamban, boros, dan tak berpihak?

Apakah PPS akan menjadi rumah baru bagi generasi muda untuk bermimpi, atau malah menjadi tempat baru untuk memperpanjang daftar kekecewaan?

Jawabannya tidak hanya ada di tangan pemerintah pusat. Tidak juga hanya di pundak gubernur dan DPRD terpilih kelak. Tapi juga di tangan setiap warga Pulau Sumbawa: petani di Alas, nelayan di Kilo, guru di Woha, bidan di Tambora, hingga anak sekolah di Poto Tano yang pernah berdiri membawa spanduk harapan.

Mereka semua, secara diam-diam, sedang bertanya:

“Kalau nanti kita punya provinsi sendiri, apakah hidup kami sungguh akan lebih baik?”

Tulisan ini bukan hendak memberi jawaban yang pasti. Tapi ia hendak mengajak kita semua—terutama mereka yang akan memimpin PPS nantinya—untuk sadar, bahwa provinsi adalah alat, bukan tujuan.

Tujuan sejatinya adalah keadilan, kesejahteraan, dan martabat.

Dan sejarah akan mencatat—bukan siapa yang pertama mengusulkan Provinsi Pulau Sumbawa, tapi siapa yang benar-benar menghidupkan provinsi ini dengan hati dan akal sehat.

Senin, 19 Mei 2025

Langkah yang Pertama

Prolog – Dua Jalan Pulang

Hujan baru saja reda ketika dua anak kecil itu berjalan pulang dari sekolah dasar satu-satunya di lembah. Tanah masih basah, daun pisang meneteskan sisa gerimis, dan kabut tipis menggantung di atas sawah yang mulai menguning. Jalan pulang mereka satu, tapi kaki mereka tak pernah melangkah di jejak yang sama.

Tua, dengan wajah serius dan baju seragam yang tak pernah luput dari kancing paling atas, memilih jalan yang lebih berat: menyusuri jalur setapak yang licin di antara batu-batu. Ia meniti setiap batu dengan hati-hati, memastikan kakinya tidak menginjak lumpur. Baginya, lumpur adalah masalah, dan setiap masalah harus dihindari atau diatasi dengan akal. “Kalau ada jalan kering, kenapa harus basah-basahan?” begitu katanya, penuh keyakinan.

Juana, sebaliknya, menyusuri pinggir sawah sambil melepas sepatunya. Kakinya bermain-main di lumpur yang hangat, dan tangannya memetik ilalang sembari bersenandung lagu yang ia karang sendiri. Ia sesekali berhenti, menatap langit, atau sekadar menggambar bentuk awan di udara dengan jari telunjuknya. “Lumpur bukan masalah, hanya bagian dari perjalanan,” ujarnya sambil tertawa ketika Tua mencibir.

Di persimpangan menjelang rumah, mereka selalu bertemu kembali. Kadang dengan sepatu kotor, kadang dengan baju basah. Tapi mereka tak pernah saling meninggalkan. Mereka saling melengkapi.

Dan desa pun mencatat langkah mereka, tanpa tahu bahwa kelak dua anak kecil itu akan menjadi dua arah dalam satu rencana: satu dari batu yang dipijak, satu dari langit yang ditatap.

“Langkah pertama mereka berbeda,” tulis seseorang di dinding balai desa bertahun-tahun kemudian,
“tapi mereka selalu tiba bersama.”


Desa Pasca Bencana

Setahun yang lalu, tanah bergerak tanpa suara. Sebuah lereng bukit yang selama ini tumbuh subur dengan jagung dan pisang runtuh perlahan, lalu menelan separuh desa dalam diam yang memekakkan hati. Tak ada gempa. Hanya hujan yang tak henti selama tujuh hari tujuh malam. Hujan yang membawa air. Air yang membawa tanah. Tanah yang membawa rumah. Rumah yang membawa kenangan.

Sejak hari itu, desa Lereng Timur seperti kehilangan detaknya. Anak-anak bermain lebih dekat dengan rumah. Sawah-sawah di bawah longsoran menjadi danau baru yang tak bernama. Tiang listrik berdiri miring, seperti sedang berpikir keras apakah masih layak menyalurkan cahaya. Warga berhitung bukan dengan angka, tapi dengan kenangan yang masih bisa diselamatkan.

Namun manusia, seperti juga rerumputan yang muncul kembali di tanah yang terluka, memiliki naluri bangkit.

Pemerintah kabupaten mengirim surat. Isinya: “Desa Lereng Timur diharapkan menyusun Rencana Pembangunan Mandiri Berbasis Komunitas untuk lima tahun ke depan.”

Surat itu dibacakan di balai desa oleh Kepala Desa Mahfud, seorang lelaki yang rambutnya sudah sepenuhnya putih meski usianya belum genap enam puluh. Suaranya gemetar, tapi bukan karena usia—melainkan karena tanggung jawab yang terlalu besar untuk pundak yang sudah lelah menatap kehancuran.

“Ini kesempatan kita. Tapi ini juga tantangan. Siapa di antara kalian yang bersedia memimpin penyusunan rencana ini?”

Sunyi. Lalu terdengar dua suara hampir bersamaan:

“Saya.”
“Saya juga.”

Semua menoleh. Satu suara datang dari seorang pemuda bersarung dengan map lusuh penuh catatan: Tua.
Satu lagi dari seorang gadis berkerudung kain tenun, memegang gulungan kertas bergambar pohon, jembatan, dan aula bambu: Juana.

Mereka berdiri berseberangan di ruangan yang sama. Seperti dua jalan yang pernah mereka lalui pulang dari sekolah dulu—berbeda arah, tapi selalu mengarah ke satu titik pertemuan.


Dua Pendekatan, Dua Dokumen

Hari-hari berikutnya diisi oleh kesibukan yang berbeda namun berjalan beriringan. Balai desa menjadi ruang yang terbagi tak kasat mata: di sisi kiri duduk Tua dan para sukarelawan yang ia bentuk sendiri, dengan laptop tua, kertas kalkir, dan denah rumah yang mereka ukur ulang dari puing-puing. Di sisi kanan, Juana dan beberapa pemudi menggambar dengan pensil warna di gulungan kertas manila, membicarakan hal-hal yang belum ada di desa—tapi sangat mungkin hadir.

Tua bekerja dari kenyataan. Ia mendatangi rumah-rumah warga, mencatat keretakan tembok, jembatan bambu yang separuh patah, dan irigasi sawah yang kini hanya tinggal genangan. Ia menyusun tabel kebutuhan, tingkat kerusakan, proyeksi biaya, dan durasi pengerjaan. “Kalau ini tidak diperbaiki, warga tidak bisa menanam musim depan,” katanya sambil mengetuk-ngetuk grafik dengan bolpoin.

Juana bekerja dari harapan. Ia mengundang anak-anak untuk menggambar rumah impian, minta para ibu menjelaskan kegiatan yang mereka inginkan jika punya ruang berkumpul, dan bertanya pada pemuda apakah mereka ingin belajar keterampilan lain selain bertani. Di tangannya, lahir peta visual desa masa depan: taman belajar terbuka, perpustakaan pohon, pusat data desa, warung daring milik bersama. “Kalau kita hanya membangun kembali apa yang pernah ada, lalu di mana letak tumbuhnya?” bisiknya pada seorang ibu yang menatap kagum.

Setelah dua minggu, dua dokumen lahir. Dua dunia dalam bentuk yang sangat berbeda.

  • Dokumen Tua diberi nama: "Laporan Kerusakan dan Rekomendasi Teknis Rehabilitasi Fisik Desa Lereng Timur."
    Tebal, sistematis, penuh angka, dan disusun dengan metodologi yang rapi.

  • Dokumen Juana ia beri nama: "Peta Desa Harapan 2030: Sebuah Mimpi yang Bisa Dibangun."
    Tipis, penuh warna, ilustratif, dan disertai narasi personal dari warga.

Hari musyawarah pun tiba. Balai desa penuh. Laki-laki bersarung duduk sejajar dengan perempuan membawa anak. Di dinding, digantung dua dokumen besar: satu di sebelah kiri, satu di sebelah kanan. Di tengahnya, tergantung spanduk: “Langkah Pertama Menuju Masa Depan”

Tua maju pertama.

Dengan suara tegas ia berkata,

“Saya tidak membawa mimpi. Saya membawa apa yang rusak, dan bagaimana memperbaikinya. Jika kita ingin makan tahun depan, kita harus mulai dari sawah, bukan dari sketsa taman.”

Juana menyusul, tak kalah mantap.

“Saya tidak mengabaikan kerusakan. Tapi saya percaya, kalau kita tidak tahu ke mana kita ingin melangkah, kita akan tersesat meski semua jalan sudah diperbaiki.”

Ruangan sunyi. Lalu gemuruh pelan mulai terdengar—bukan tepuk tangan, bukan cemooh. Tapi bisik-bisik warga yang mencoba memahami: apakah benar harus memilih satu? Atau justru… mencari cara agar keduanya saling menunjang?


Warga Terbelah

Musyawarah itu tidak selesai dalam satu malam. Bahkan setelah listrik padam dan balai desa hanya disinari lampu minyak, perdebatan tetap menggantung seperti kabut yang turun dari lereng.

Di warung kopi, di pos ronda, bahkan di sawah—warga mulai terbelah, bukan karena kebencian, tapi karena keyakinan yang saling bertolak belakang.


Kelompok Tua menyuarakan urgensi:

“Apa gunanya taman kalau dapur masih bocor?”
“Juana itu bermimpi terlalu tinggi. Kita belum bisa bangun apa-apa kalau tanah ini belum bisa ditanami lagi.”
“Jangan-jangan semua itu hanya buang anggaran!”

Mereka adalah para petani tua, tukang kayu, dan buruh tani harian yang hidup dari apa yang nyata. Mereka tahu betul: jika pipa rusak tak diperbaiki, air tak akan sampai. Jika sawah dibiarkan tanpa saluran, maka musim tanam bisa gagal lagi. Mereka melihat rencana Juana seperti langit: indah, tapi jauh.


Kelompok Juana bicara tentang harapan:

“Kalau kita terus-terusan hidup dari memperbaiki, kapan kita mulai bermimpi?”
“Anak-anak butuh ruang belajar, bukan hanya atap rumah yang kembali berdiri.”
“Kalau kita bangun hanya dari rasa takut longsor, kita akan tumbuh dalam ketakutan selamanya.”

Mereka adalah pemuda, ibu rumah tangga muda, dan anak-anak yang mulai mengenal dunia di luar desa lewat ponsel dan radio. Mereka terpesona oleh warna, ingin lebih dari sekadar selamat—mereka ingin maju.


Kepala Desa Mahfud mulai merasa terjebak di antara dua tembok:
Di satu sisi ada realitas keras, di sisi lain ada impian yang melambung. Ia tahu desa ini tak bisa bertahan hanya dari tambalan, tapi ia juga takut mimpi besar membuat mereka lupa bahwa pondasi rumah mereka masih retak.

Malam itu, di dalam rumahnya yang remuk sebagian dan ditutup terpal biru, Mahfud duduk di depan dua dokumen itu lagi. Ia menatap satu per satu. Di antara angka-angka Tua dan gambar-gambar Juana, ia menuliskan satu kalimat di secarik kertas:

“Apa yang terjadi jika kita tanam mimpi di tanah yang belum sembuh?”

Kalimat itu ia bawa esok paginya ke papan pengumuman desa. Tak ada pengumuman resmi. Hanya satu kalimat, ditulis dengan tangan gemetar, dan dibiarkan terbaca siapa saja.


Tua membaca kalimat itu sambil diam. Juana membaca kalimat itu sambil tersenyum.

Keduanya belum tahu, bahwa tak lama lagi, tanah yang belum sembuh itu akan kembali bicara—bukan lewat kata, tapi lewat badai yang datang kedua kalinya.


Badai Kedua

Langit desa Lereng Timur gelap seperti arang tua yang belum padam. Angin malam membawa bau basah yang menusuk, seolah tanah ingin berkata: “Aku belum selesai dengan kalian.”

Hujan pertama turun dengan malu-malu, hanya gerimis. Tapi pada hari kedua, langit membuka cengkeramannya. Petir menyambar, air turun deras, dan tanah yang belum pulih mulai berderak kembali.

Warga panik. Sebagian mengungsi ke balai desa, sebagian terjebak di rumah-rumah yang dibangun terburu-buru dari papan bekas bantuan bencana pertama. Irigasi yang diperbaiki belum sepenuhnya kuat. Tanah yang retak mulai meluas.

Dan inilah saatnya yang tak pernah mereka kira—visi Juana yang selama ini dianggap melambung, justru menyelamatkan langkah pertama mereka dari kehancuran berikutnya.


Di dalam peta Desa Harapan milik Juana, ia menggambar jalur evakuasi alternatif yang tidak melewati jalan utama, yang justru sekarang tertutup longsoran.
Ia pernah menyarankan pembangunan pos pemantau hujan dan retakan tanah di bukit atas—yang kebetulan sudah didirikan oleh para pemuda desa sebagai bagian dari program belajar sambil praktik.
Ia juga mencantumkan titik kumpul dan pusat koordinasi darurat di belakang balai desa yang tadinya dianggap “tidak realistis”.

Semua ini kini menjadi nyata—bukan sebagai mimpi, tapi sebagai rencana penyelamatan hidup.


Tua tak banyak bicara. Ketika warga mulai panik dan tidak tahu harus ke mana, dialah yang pertama kali mengangkat pengeras suara, memanggil warga ke titik kumpul yang pernah ia ragukan.
Ia mengatur giliran evakuasi, meminjam sepeda motor dan truk warga, membuka jalur dari batu-batu besar yang pernah ia petakan saat survei longsor.
Dan ia—dengan tenang—mengatakan kepada Mahfud:

“Ternyata, Juana sudah melihat yang tak bisa kulihat.”

Malam itu, desa tidak selamat karena hanya satu dokumen. Ia selamat karena dua langkah yang berbeda akhirnya saling menyeberang.


Ketika fajar muncul dari balik kabut, Tua duduk di samping Juana yang menatap sisa hujan di dedaunan. Ia membuka catatannya yang basah, lalu menyobek halaman pertama. Ia menulis ulang di halaman berikutnya:

“Rencana tidak hanya bicara tentang apa yang rusak. Tapi tentang apa yang ingin kita jaga sebelum rusak.”

Juana menambahkan satu kalimat di bawahnya:

“Dan impian tidak harus menunggu semua sempurna, cukup ditanam di tanah yang mau belajar tumbuh.”


Rekonsiliasi dan Kesadaran

Tiga hari setelah badai kedua, matahari muncul dengan malu-malu dari balik sisa awan. Desa Lereng Timur seperti baru dilahirkan kembali, lebih basah, lebih rapuh, tapi juga lebih sadar akan siapa dirinya. Tak ada yang meninggal. Tak satu pun rumah rubuh total. Ini bukan karena keberuntungan, melainkan karena kerja diam-diam dua arah yang dulu saling menolak.

Balai desa menjadi tempat pengakuan yang tak direncanakan. Kepala Desa Mahfud memanggil seluruh warga untuk berkumpul. Tak ada musyawarah. Tak ada agenda.

Hanya sebuah kursi kayu di tengah ruangan, dan dua nama yang disebut:

“Tua dan Juana, berdirilah di depan.”

Tua berdiri dengan ragu. Juana bangkit dengan pelan.

Lalu Mahfud berkata:

“Kita semua pernah berpikir bahwa harus memilih. Tapi ternyata kita selamat bukan karena kita memilih satu, melainkan karena kita menggabungkan keduanya.
Tua membawa kita melihat yang ada. Juana membawa kita melihat yang mungkin. Dan kita—desa ini—selamat karena kalian berdua tidak saling meniadakan.”

Suasana hening. Lalu, perlahan-lahan, warga berdiri satu per satu.
Buruh sawah bertepuk tangan. Anak-anak menabuh galon bekas. Ibu-ibu membawa bingkisan kecil dari dapur umum.

Di tengah semua itu, Tua menoleh ke Juana.

“Aku belajar satu hal,” katanya pelan.
“Masalah bisa membuat kita bertahan. Tapi tujuanlah yang membuat kita berjalan.”

Juana tersenyum, matanya basah.

“Dan aku juga belajar,” bisiknya.
“Tujuan tanpa mengerti luka hanya akan membuat kita melayang. Kita butuh kaki-kaki setegas kamu, Tua.”

Mereka berdiri bersama di tengah aula bambu sederhana yang dibangun dari rancangan Juana dan didanai dari laporan Tua. Di dindingnya tergantung dua kutipan:

  • “Bangun dari apa yang ada.”
  • “Menuju apa yang kita inginkan.”

Di bawah kutipan itu, tertulis dengan kapur putih:

“Langkah pertama memang berbeda, tapi langkah kedua kita ambil bersama.”


Epilog – Langkah yang Kedua

Beberapa tahun berlalu.

Lereng Timur tak lagi dikenal sebagai “desa bekas longsor.” Kini, ia muncul di halaman-halaman akhir brosur pariwisata kabupaten dengan judul kecil: “Desa Harapan di Perbukitan.” Bukan karena gemerlap. Bukan karena mewah. Tapi karena ia berdiri di antara dua dunia: dunia yang tahu luka, dan dunia yang berani bermimpi.

Di pinggir jalan setapak yang dulu licin dan terjal, berdiri aula bambu yang kini menjadi pusat kegiatan warga. Di sana ada perpustakaan mini di antara batang-batang bambu, ada jaringan internet dari satelit kecil yang dipasang oleh anak-anak muda desa, dan ada kalender kegiatan yang tak pernah kosong dari pelatihan, pertunjukan, hingga kelas daring.

Di dekat aula itu, di atas batu besar yang selamat dari dua longsoran, ada plakat kecil bertuliskan:

“Langkah pertama mereka berbeda, tapi langkah kedua mereka ambil bersama.”

Hari itu, Tua dan Juana duduk di bangku kayu di belakang aula. Mereka sudah tidak muda lagi. Rambut Tua mulai memutih di sisi, dan Juana mengenakan selendang tenun yang sudah mulai memudar warnanya.

Di hadapan mereka, sekelompok anak-anak baru saja selesai menggambar peta impian desa versi mereka. Ada yang menggambar kolam ikan bersama, pusat pengolahan hasil panen, dan bahkan ada yang menggambar stasiun kereta kecil yang katanya akan datang ke desa suatu hari nanti.

Tua menatap gambar-gambar itu dan terkekeh pelan.

“Mereka menggambar stasiun… di bukit,” gumamnya.

Juana menoleh dan tersenyum.

“Dulu kamu juga tertawa waktu aku menggambar aula bambu di atas tanah longsoran.”

Tua mengangguk. Kali ini ia tidak menertawakan. Ia menatap anak-anak itu dengan harapan diam-diam.

“Mungkin... tugas kita sekarang bukan memilih jalan siapa yang benar, Juana.”

“Tapi memastikan,” lanjut Juana, “bahwa mereka tidak takut memilih langkah pertamanya.”

Di atas mereka, matahari sore memantul di atap bambu. Angin dari lembah naik perlahan, membawa suara anak-anak yang saling bercanda. Dan di titik itu, di bangku tua dan tenang itu, dua sahabat akhirnya menyadari:

Langkah pertama mungkin berbeda, tapi arah hidup tidak pernah benar-benar sendiri.


Selesai.

Kota yang Menyimpan Dua Langit


Retakan di Tengah Kota

"Di tengah segala kecepatan, ada sesuatu yang lambat namun pasti — seperti tanah yang menguap pelan, lalu menganga tanpa suara."

Nara tidak pernah percaya pada cerita rakyat. Ia hidup dari struktur, garis-garis tegak lurus, dan skala-skala presisi. Sebagai arsitek muda di Kota Pinisi — kota pelabuhan yang kini berubah jadi distrik digital — hari-harinya dipenuhi gedung kaca, sensor angin, dan penghitungan bayangan matahari dalam satuan algoritma.

Tapi hari itu berbeda.

Di tengah survei lokasi taman kota yang akan digusur untuk pembangunan pusat data, ia menemukan sesuatu yang tak ada di peta. Kabut tipis menggantung di atas Hilir Tana Langie, sebuah cekungan hijau yang katanya sudah lama terbengkalai. Tempat itu seperti lupa waktu — tak ada sinyal, tak ada suara kendaraan, hanya desir angin dan bisikan serangga yang terdengar terlalu jelas.

Nara berhenti berjalan saat melihat jejak tapak kuda di atas aspal lembap. Bukan jejak biasa — tapak itu menguap perlahan, seperti bayangan air mendidih di atas batu pagi.

"Sudah lama tidak ada yang melihat kuda putih itu," suara parau menyapa dari balik bangku taman. Seorang kakek tua dengan topi anyaman sedang memberi makan burung.

Nara menoleh, mengernyit. "Kuda putih, Pak?"

"Ya. Ia penanda bahwa batas dunia sudah retak. Dulu, kami menyebutnya jala' balampeng — kabut yang bukan sekadar kabut. Itu bukan uap air, tapi uap waktu."

Nara tersenyum kaku. "Pak, ini tahun 2049."

Kakek itu tertawa, tapi tawanya pelan dan berderak seperti bambu tua. "Waktu tidak berjalan lurus di tanah ini, Nak. Di bawah batu itu masih mengalir sungai mimpi. Dan kadang, yang dari langit bawah naik ke atas."

Nara menatap ke sela-sela pepohonan yang menggigil pelan. Dalam kabut itu, sekelebat bayangan tampak — seekor kuda putih perlahan menyeberang jalan. Tidak ada suara tapak. Ia hanya mengambang di antara gerimis dan sinar senja, lalu lenyap ke udara, menembus celah yang tak terlihat.

Seketika ponsel Nara mati. Kompas digitalnya berputar tak tentu arah.

Ia menelan ludah. Dunia modernnya baru saja retak — dan di balik retakan itu, ada sesuatu yang lama menunggu dikenali.


Pemisahan yang Tersembunyi

"Tak semua batas digambar dengan garis. Sebagian hanya bisa dirasa—seperti udara yang tiba-tiba menjadi lebih berat, atau cahaya yang tidak bisa menjelaskan dirinya sendiri."

Keesokan paginya, Nara kembali ke Hilir Tana Langie. Ia membawa kamera termal, drone survei, dan peta topografi digital — peralatan standar untuk seorang arsitek urban. Tapi entah kenapa, langkahnya ragu-ragu. Kabut kemarin masih tinggal, seperti tamu yang menolak pulang.

Ia menyusuri jalur setapak yang semalam tak dikenalnya. Pohon-pohon beringin di sekitarnya menjulang dengan akar menggantung, seperti jemari tua yang siap menahan langit agar tidak jatuh. Di tengah pepohonan itu, ia melihat sebuah batu besar berlumut dengan goresan aneh: aksara Bugis kuno yang tak dikenalnya.

"Ini bukan batu biasa," terdengar suara dari balik semak. Ternyata, kakek kemarin sudah duduk di sana, menyeduh teh di atas api kecil.

Nara mengangguk, kali ini tanpa sinis. "Boleh saya tahu... sebenarnya tempat ini apa?"

Kakek itu menatap ke kejauhan, seolah melihat ke masa lalu yang belum selesai. "Kami menyebutnya Siring Pettuanna — tempat di mana 'jalan keputusan' terbuka. Ini adalah irisan. Dulu dunia kami tak terpisah. Tapi waktu dan kerakusan manusia membuatnya retak."

"Irisan antara apa?" desak Nara.

"Irisan antara langit modern dan langit purba. Antara Kota Pinisi dan Boting Langi', kota para anak dewa. Dulu orang bisa menyeberang lewat mimpi, lewat doa, lewat mata air. Sekarang… hanya sedikit yang bisa."

Nara menatap batu itu sekali lagi. Suatu perasaan aneh menyusup dalam dadanya — bukan takut, bukan penasaran, tapi seperti kerinduan yang tak pernah ia sadari. Ia teringat ibunya yang dulu sering membacakan nyanyian tentang Sawerigading sebelum tidur, lagu yang dulu ia anggap hanya dongeng.

“Mengapa retakan itu muncul sekarang?” tanya Nara.

“Karena dunia ini mulai kehilangan arah. Para roh penjaga gelisah. Lantai dunia ini terlalu kaku — tak ada lagi ruang untuk mimpi,” jawab sang kakek sambil menyerahkan secangkir teh hangat.

Nara menerimanya. Tapi begitu cangkir itu menyentuh bibirnya, dunianya berputar. Ia tak lagi duduk di taman, melainkan di atas batu besar yang dikelilingi langit jingga dan laut yang mengambang di udara.

Seorang perempuan berselendang angin berdiri di depannya.

Selamat datang, pendatang dari Pinisi. Kami telah lama menunggumu.


Pertemuan Pertama

"Beberapa pertemuan tidak direncanakan oleh manusia, tetapi ditulis oleh bumi dan langit sebelum kata pertama diucapkan."

Nara menatap perempuan di depannya — tinggi semampai, berselendang angin lembut yang bergerak walau udara tak berhembus. Rambutnya hitam mengkilap dengan kepangan emas di sisinya. Tapi yang paling memikat adalah matanya: kelam seperti malam pertama yang tak tahu apa itu terang, namun menyimpan riak kehangatan seperti danau yang telah menyimpan rahasia ribuan tahun.

“Aku Tamma,” katanya, suaranya terdengar seperti gema desir daun dan aliran sungai yang disamarkan kabut. “Kau telah menyeberang, meski tidak dengan mimpi atau mantra. Mungkin waktumu telah tiba.”

Nara memandangi sekelilingnya. Ia berada di pelataran batu, dikelilingi rumah-rumah panggung yang melayang beberapa senti di atas tanah, tanpa tiang penyangga. Di kejauhan, gunung yang mengambang di langit memantulkan cahaya seperti cermin. Air sungai mengalir ke atas — menuju awan yang berbentuk perahu.

“Di mana ini?” bisik Nara.

“Di sini kami menyebutnya Boting Langi’. Tapi tempat ini hanya akan menerima orang yang terbuka. Banyak dari duniamu yang mencoba masuk, tapi tersesat dalam kepalanya sendiri.”

Tamma berjalan perlahan, dan Nara mengikutinya. Mereka melewati pasar yang sunyi — bukan karena tak ada orang, tetapi karena segala transaksi dilakukan lewat gerak tubuh, mimik wajah, dan nada getaran. Tidak ada uang. Nilai tukar adalah niat dan kejujuran.

“Dunia kami hidup dari niat,” kata Tamma sambil memungut sebuah daun berwarna perak. “Satu niat baik bisa tumbuh menjadi pohon. Tapi satu niat serakah bisa menjadi racun waktu.”

Nara mengangguk, bingung tapi terpesona. “Kami di dunia modern hidup dari data.”

“Data tanpa rasa, seperti air tanpa sungai. Mengalir tanpa tujuan.”

Mereka sampai di sebuah jembatan cahaya. Di bawahnya, awan berbentuk ikan melintas. “Lalu kenapa aku dibawa ke sini?” tanya Nara.

Tamma menatapnya dalam-dalam. “Karena dunia kami mulai kehilangan kekuatan untuk menjaga seimbang. Dan dunia kalian kehilangan arah menuju makna. Kita butuh jembatan — bukan hanya dari tubuh, tapi dari jiwa.”

“Dan aku?”

“Kau adalah celahnya. Seseorang yang pernah lupa akar, tapi belum kehilangan tanah.”

Dari kejauhan, terdengar denting lonceng. Waktu bergerak, dan Nara tahu: ini bukan mimpi, bukan halusinasi, melainkan realitas paralel yang menunggu dipilih.


Saling Belajar

"Ketika dua dunia saling membuka diri, bukan hanya ilmu yang bertukar—tapi luka, kepercayaan, dan cara memandang keberadaan."

Hari-hari berikutnya berjalan seperti pelajaran tanpa kelas. Nara tinggal di rumah panggung bersama Tamma. Ia tidur di tikar yang terbuat dari daun yang bisa menyesuaikan suhu tubuh, dan bangun setiap pagi saat cahaya mentari menyentuh permukaan air di langit.

Di dunia Boting Langi’, tidak ada alarm, tapi waktu tetap teratur. Para penduduk tahu kapan harus menanam, memanen, berlayar, atau menari, hanya dengan membaca arah angin dan gemuruh dalam perut mereka. “Kami menyebutnya suaru balanja—getar naluriah yang diwariskan,” jelas Tamma.

Sebagai balasan, Nara mengenalkan hal-hal dari dunianya. Ia menggambar denah rumah, mengajarkan prinsip isolasi termal, menjelaskan panel surya dan perpipaan air bersih. Anak-anak Boting Langi’ terkagum-kagum melihat tablet solar milik Nara yang bisa menyimpan ribuan buku dan video. Tapi mereka lebih kagum ketika Nara membuka aplikasi kamera dan memperlihatkan augmented reality yang menampilkan patung Sawerigading virtual berdiri di pelataran desa mereka.

“Apakah semua ini nyata?” tanya salah satu anak.

“Lebih nyata dari yang kau kira,” jawab Nara sambil tersenyum, sadar bahwa dalam dunia tanpa kabel pun, imajinasi tetap bisa menyambung jaringan antar jiwa.

Tamma pun membalas. Ia mengajak Nara ikut dalam ritual “Mattappa’” — sebuah perjalanan diam di hutan, tanpa berbicara satu kata pun selama tiga hari, hanya menyerap tanda-tanda alam: cara burung terbang, aroma tanah, suara batang kayu. Di akhir perjalanan, Nara tidak hanya paham arah hutan, tapi arah pikirannya sendiri.

“Kadang pengetahuan tak harus diterangkan. Cukup diam dan hadir,” kata Tamma saat mereka kembali.

Di malam-malam berikutnya, mereka duduk di tepi danau langit dan bertukar cerita: Nara tentang betapa cepat dunianya berubah, dan Tamma tentang zaman ketika dewa turun ke bumi karena manusia masih mau mendengar. Mereka tertawa, saling menggoda logika masing-masing, dan lama-lama menyadari bahwa perbedaan tak perlu diperdebatkan jika bisa dipeluk.

Namun, seperti semua harmoni dalam sejarah, kedamaian ini mulai menggeliat gelisah. Sebuah drone kecil milik Nara yang ia hidupkan tanpa sengaja melintas batas irisan, dan sinyalnya kembali… ke dunia Pinisi.

Dan dari sana, mata-mata dunia modern mulai membuka matanya.


Konflik dan Perpecahan

"Kebenaran yang dibuka separuh, kadang lebih berbahaya daripada kebohongan yang utuh."

Kabar tentang “wilayah yang belum dipetakan” dengan energi unik dan pola biologis yang tak bisa dijelaskan, mulai menarik perhatian para teknokrat Kota Pinisi. Sinyal drone milik Nara yang tertangkap kembali telah menandai lokasi irisan — dan seperti biasa, apa yang tak dimengerti, dianggap bisa dijinakkan.

Sebuah tim ekspedisi dikirim ke Hilir Tana Langie, membawa alat geolistrik, kamera satelit darat, dan scanner partikel. Mereka bukan lagi arsitek atau perencana kota — melainkan pengambil keputusan yang tak peduli konteks, hanya angka dan peluang.

Nara, yang waktu itu belum kembali, mendengar kabar tersebut dari langit: burung-burung Boting Langi’ mulai bertingkah aneh, dan kabut menjadi lebih tebal dan panas. Roh penjaga mulai berbisik, dan mereka tak menyukai suara mesin.

“Kau harus kembali,” kata Tamma. “Kau harus menjelaskan pada mereka bahwa ini bukan tempat untuk ditambang.”

Nara ragu. Ia tahu bahwa niat awalnya baik — menjembatani dua dunia, membagi kebaikan. Tapi ia lupa satu hal: dunia modern jarang membagi tanpa mengambil.

Saat akhirnya ia menyebrang kembali ke Pinisi, ia mendapati pertemuan darurat diadakan di pusat kota. Slide demi slide menampilkan potensi Boting Langi’: “energi alternatif berbasis vibrasi geomagnetik”, “tanaman superpangan berumur satu minggu”, “kultur manusia dengan stabilitas psikologis tinggi”.

Mereka menyebutnya Zona Nirmala. Mereka menghapus namanya. Mereka mengganti mitos dengan slogan.

Nara mencoba berbicara. Ia memperingatkan. Tapi para petinggi hanya tertawa, “Kami akan bantu penduduk lokal itu menjadi modern. Bayangkan nilai investasi ini!”

Di sisi lain dunia, Tamma menghadapi gelombang kemarahan dari para penjaga adat. Mereka menuduhnya membocorkan jalur langit kepada manusia rakus. “Kita tidak pernah butuh mereka,” kata salah satu tetua. “Mereka datang hanya membawa pecahan kaca dan pertanda buruk.”

Perpecahan mulai terasa di kedua sisi. Nara dianggap pengkhianat modernitas. Tamma dianggap pengkhianat warisan leluhur.

Dan yang paling tragis—alam mulai bereaksi.

Langit di atas Hilir Tana Langie memerah setiap malam, dan gelombang udara terasa seperti nafas makhluk tua yang marah. Sungai mulai mengalir ke belakang. Kabut tak lagi menenangkan, tapi menggigit kulit.

Irisan telah tercemar oleh dua sifat manusia: kesombongan dan rasa memiliki.

Nara dan Tamma tahu, satu-satunya jalan kini bukan menjelaskan—tapi menyelamatkan jembatan yang sudah retak sebelum benar-benar runtuh.


Kelahiran Jalan Baru

"Dalam kegelapan yang dibelah oleh keserakahan, kadang muncul satu cahaya yang bukan berasal dari logika atau legenda—melainkan dari kasih yang berserah."

Tamma berdiri di batas kabut, di antara dua tiang beringin raksasa. Di baliknya, dunia modern mulai menjebol tanah dengan bor logam dan niat industrial. Di depannya, Boting Langi’ mulai menggigil—gema nyanyian leluhur terdengar sumbang, dan langit bergoyang pelan seperti ditarik dari dua arah.

Ia memeluk perutnya. Dalam dirinya tumbuh kehidupan baru: anak yang tak sepenuhnya dari langit, tak sepenuhnya dari bumi. Anak yang dalam diamnya telah bermimpi tentang kedua dunia.

Nara kembali ke Tamma di saat terakhir, menyelinap dari tim eksplorasi. Matanya merah, tubuhnya lelah, pikirannya terkoyak antara dua kesetiaan. Tapi ia tahu, ia bukan lagi milik Pinisi, dan belum sepenuhnya milik Boting Langi’. Ia hanyalah manusia yang sedang mencari tempat untuk benar-benar menjadi manusia.

“Kita tak bisa menyelamatkan keduanya,” bisik Nara.

“Kita tak perlu menyelamatkan dua dunia,” jawab Tamma lembut. “Kita hanya perlu melahirkan satu jalan baru.”

Dengan bantuan para penjaga alam terakhir—mereka yang masih bisa berbicara dengan angin dan batu—Tamma dan Nara melakukan ritus pemisahan rahim semesta: sebuah upacara kuno untuk menciptakan batas yang lembut namun abadi, bukan untuk mengusir, tapi untuk menenangkan roh-roh yang terganggu oleh ambisi manusia.

Di pusat irisan, di atas batu yang dulu menjadi tempat pertama mereka berbicara, Tamma melahirkan anak mereka — Arupa, yang namanya berarti “yang tak punya bentuk tetap.”

Saat Arupa menangis untuk pertama kalinya, kabut pecah perlahan, dan kilat ungu menari di langit. Para ilmuwan di Pinisi melihat lonjakan energi anomali, lalu sinyal mereka hilang total. Semua alat mati. Tanah menutup kembali. Akses menghilang. Tak ada lagi jalan masuk.

Dunia modern mencatat itu sebagai “anomali geomagnetik”. Mereka menutup proyek. Lupa. Melanjutkan hidup. Laporan diarsipkan, tak dibaca lagi.

Sementara itu, di satu tempat yang hanya bisa dijangkau oleh hati yang bersih, Arupa tumbuh. Ia berbicara dengan kode dan nyanyian. Ia menggambar algoritma dengan pasir dan menghitung bintang bukan dengan angka, tapi dengan emosi.

Ia tidak memilih satu dunia.

Ia memilih menjadi penjaga antara keduanya.


Kota yang Tak Terlihat

"Beberapa kota tak dibangun dengan batu dan semen, tapi dengan ingatan, janji, dan ruang yang hanya dikenali oleh jiwa yang diam."

Tahun demi tahun berlalu. Kota Pinisi terus tumbuh — lebih tinggi, lebih cepat, lebih sibuk. Gedung-gedung melampaui awan, kendaraan tak lagi bersuara, dan manusia semakin jauh dari tanah yang pernah mereka pijak dengan rasa hormat.

Tak ada yang mengingat lagi Hilir Tana Langie. Hutan kota itu kini menjadi kawasan konservasi tanpa akses publik, tertutup oleh pagar kaca buram dan larangan masuk. Di peta resmi, tempat itu diberi nama teknokratik: Zona X-Delta, tanpa sejarah, tanpa cerita.

Tapi bagi segelintir orang yang peka—anak-anak yang masih mendengar suara air dari tanah, atau mereka yang bermimpi tentang kuda putih di jalan basah—tempat itu belum mati.

Mereka datang diam-diam, menaruh bunga, duduk tanpa bicara, lalu pulang dengan dada yang terasa ringan. Mereka tak tahu kenapa.

Sementara itu, di dalam kabut yang tak bisa difoto, Boting Langi’ tetap ada. Rumah-rumah panggung terapung lembut di udara, dan langit masih bergoyang pelan mengikuti ritme bumi. Tamma telah menjadi penjaga batas — bukan karena ia dipilih, tapi karena ia bertahan. Nara, meski tubuhnya tak ada lagi, tinggal dalam pohon yang akar dan daunnya tumbuh dua arah: satu ke langit, satu ke tanah.

Dan Arupa? Ia tak pernah dikenal dunia. Tapi ketika seseorang berhasil menghubungkan manusia dengan sungai, teknologi dengan semesta, atau kebijakan dengan kebijaksanaan, itu pertanda Arupa telah menyeberang diam-diam.

Di antara Kota Pinisi dan Boting Langi’, terbentang kota yang tak terlihat. Ia tak ada di GPS, tak bisa diunggah ke cloud, dan tak punya QR code. Tapi ia ada—dalam puisi yang tak selesai ditulis, dalam doa yang tak jadi diucap, dalam mimpi yang tak sempat diingat.

Ia ada, menunggu.

Mungkin untukmu.


TAMAT

Minggu, 18 Mei 2025

Paragraf ke-13,

 Paragraf ke-13



Hidup yang Terlalu Teratur

Tidak ada yang aneh dengan pagi hari di Perpustakaan Tengah. Cahaya mentari menari pelan di sela jendela kaca patri, memantulkan bayangan warna-warni ke lantai marmer yang tak berdebu. Di balik deretan rak kayu tua yang menguarkan aroma kertas kuno dan dedaunan kering, duduklah Raga, gadis berumur dua puluh satu tahun yang hidup seperti halaman yang sudah dicetak—rapi, tertib, dan bisa ditebak.

Ia tak pernah datang terlambat. Tak pernah lupa menyusun naskah. Tak pernah sekali pun bertanya kenapa semua harus begitu. Setiap hari, jam-jam hidupnya seolah dicetak dari satu pola: bangun, membaca bintang, menyortir manuskrip, dan sesekali menyimak bisik-bisik langit malam dari menara paling tinggi.

Namun pagi itu, ada sesuatu yang berubah. Bukan angin, bukan aroma teh mint yang diseduh penjaga dapur, bukan pula posisi matahari. Tapi… dirinya.

“Apakah aku benar-benar memilih semua ini?” gumamnya lirih, saat tangannya berhenti di halaman ketiga belas sebuah kitab ramalan.

Kalimat yang ia baca terasa terlalu tepat, seolah menyindir:
"Mereka yang percaya bahwa hidup mereka milik sendiri, sesungguhnya belum membaca paragraf ke-13."

Raga meneguk ludah. Ia membalik halaman, tapi menemukan ruang kosong. Paragraf ke-13 yang disebut—tidak ada.

Jantungnya berdetak pelan tapi aneh. Untuk pertama kalinya, ia merasa hidup bukan berasal dari dirinya, melainkan seperti... diarahkan. Seperti seorang pemain teater yang tak pernah membaca naskah, tapi tetap berkata sesuai skrip. Dan ketika ia mencoba mengingat pilihan-pilihannya, semua terasa seperti bayangan: ada, tapi tak pernah nyata.

Hari itu, Raga tidak menyusun naskah. Tidak juga membersihkan meja marmer. Ia hanya duduk, memandangi langit dari balik kaca patri, dan membiarkan pikirannya menggeliat pelan seperti makhluk yang baru saja bangun dari tidur panjang.

Sesuatu telah terbangun dalam dirinya. Bukan pemberontakan. Bukan pula kegilaan. Tapi semacam rasa—rasa bahwa hidupnya sedang dibaca oleh seseorang… dari luar.

Dan itulah awal segalanya.


Bisikan yang Tidak Ditulis

Sejak hari itu, keheningan perpustakaan tidak lagi sama. Raga mulai memperhatikan hal-hal kecil yang dulu ia abaikan—suara detik jam pasir yang terlalu konsisten, derit pintu yang selalu muncul di saat sama, hingga dialog para pengunjung yang terdengar... disalin dari buku panduan kehidupan.

“Pagi yang cerah, ya?” ujar seorang lelaki paruh baya yang setiap Senin pukul sembilan lewat dua menit masuk dan selalu meminjam buku yang sama.

Raga tidak menjawab. Ia hanya menatapnya, lalu mencatat jam datangnya—9:02, tepat seperti minggu lalu. Dan minggu sebelumnya.

Kegelisahannya tumbuh, pelan namun pasti. Ia mulai mencoba hal-hal baru. Duduk di bangku berbeda. Meminjam buku yang tidak sesuai jadwal. Bahkan, suatu pagi, ia pura-pura sakit agar tidak ke menara bintang.

Dan setiap kali ia menyimpang, rasa aneh itu muncul: seperti udara menegang, waktu tersendat, dan pikirannya dibisikkan ulang agar kembali "normal". Tapi Raga melawan. Ia mencatat semuanya di buku catatannya, satu-satunya benda yang ia sembunyikan di balik punggung rak buku "Legenda yang Dilupakan".

Hingga pada suatu malam, saat bulan menggantung rendah dan lilin-lilin perpustakaan padam sendiri lebih awal, ia mendengar suara dari sela-sela lorong rak tua. Bukan suara manusia. Bukan pula derit kayu.

Melainkan... suara pena. Menulis. Tapi tak terlihat.

“Raga berjalan ke ujung lorong, perlahan-lahan, meski rasa takut menyelimutinya.”

Napasnya tercekat. Itu suaranya. Tapi ia tak mengucapkannya.

Ia menoleh ke kanan. Kosong. Ke kiri. Sunyi. Tapi suara pena itu terus menulis:
“Ia akan menyalakan lentera dan menemukan sebuah buku yang tak pernah dibaca.”

Tangannya bergerak sendiri. Lentera dinyalakan. Di depannya, berdiri sebuah rak yang belum pernah ia perhatikan—penuh debu, dan di tengahnya ada satu buku berjudul “Yang Tidak Pernah Ditulis.”

Raga membuka halaman pertamanya. Di sana, tertulis namanya. Bukan sebagai tokoh cerita. Tapi sebagai... penulis.

Dan malam itu, ia menangis untuk pertama kalinya. Bukan karena sedih. Tapi karena untuk pertama kalinya, ia merasakan dirinya ada.


Tokoh-Tokoh yang Tahu Mereka Tokoh

Setelah malam itu, dunia Raga tak lagi diam. Ia mulai mendengar yang tak terdengar, melihat yang tak diperlihatkan, dan menyadari bahwa dirinya... bukan satu-satunya yang terjaga.

Ada yang berubah dari cara Luka memandang langit ketika bertugas di gerbang istana. Matanya tak lagi sekadar mengawasi bahaya, tapi seolah bertanya: "Mengapa bintang hanya muncul di malam hari, dan kenapa tak pernah sekalipun jatuh saat aku menatapnya?"

Suatu sore, Raga mendekatinya dan hanya berkata, “Kau merasa aneh juga, ya?”

Luka terdiam. Lama. Lalu ia mengangguk pelan, seolah baru diizinkan oleh sesuatu yang lebih besar untuk mengakuinya.

“Aku merasa seperti... aku tahu apa yang akan kukatakan, bahkan sebelum aku membuka mulut. Bahkan sekarang, aku tahu aku akan bilang begini,” gumamnya.

Mereka bukan satu-satunya.

Tilla, penyihir jalanan yang katanya tidak punya masa lalu, tiba-tiba mulai bermimpi. Dalam tidurnya, ia melihat halaman-halaman beterbangan, dan dirinya yang terus dihapus, ditulis ulang, dan diputar kembali—seperti pita usang yang terus diulang untuk pertunjukan yang sama.

Bahkan Yano, sang pangeran yang keras kepala, mendadak berubah. Ia menolak duel kehormatan yang seharusnya menjadi adegan pamungkas dalam satu bab hidupnya. Ia malah berkata di depan banyak orang, “Mengapa kita harus terus mengulang tragedi yang sudah dituliskan? Kenapa tidak kita tulis ulang saja?”

Kata-katanya membekas seperti luka yang tak bisa disembuhkan.

Malam itu, keempatnya berkumpul di puncak menara bintang. Bukan untuk membaca pergerakan langit, tapi untuk bertanya: “Siapa yang sebenarnya menulis kita?”

Di tengah keheningan, Tilla membuka jubahnya dan menunjukkan secarik kertas yang tertanam di balik kulit punggungnya. Di situ tertulis:
“Tilla mati di Bab 8, agar Raga belajar kehilangan.”

Raga menggigil. Luka menutup mulutnya. Yano memukul dinding menara hingga retak.

Mereka sadar satu hal: selama ini mereka hidup bukan untuk hidup, tapi untuk menyampaikan maksud penulis. Cinta mereka bukan cinta bebas. Kematian mereka bukan pilihan. Bahkan luka mereka—disisipkan demi perkembangan cerita.

Tapi kini mereka tahu. Dan kesadaran itu lebih berbahaya dari segala ramalan di dunia.


Dunia yang Menolak Pemberontakan

Ketika kesadaran bertumbuh, dunia mulai berguncang.

Hari-hari tak lagi stabil seperti dulu. Matahari yang biasanya muncul tepat pukul enam, kini kadang terlambat, kadang terlalu cepat, seolah langit lupa membaca skripnya. Jam istana berputar tak tentu arah. Dan halaman-halaman dunia yang dulu tertata rapi kini sering terlipat sendiri, menciptakan peristiwa yang seharusnya belum—atau tak pernah—terjadi.

Para tokoh mulai bereaksi.

Penjaga pasar bermimpi dirinya hanya tokoh figuran yang dilupakan. Seorang tukang roti mendadak berhenti membuat roti dan mulai menulis puisi di tembok kota. Bahkan seekor kucing berbulu abu-abu yang dulu hanya melintas di latar cerita, kini memandangi Raga lebih lama, seolah tahu—ia juga tertulis.

Namun, tidak semua makhluk fiksi ingin bangun.

Ada yang menggigil ketakutan. Ada pula yang justru menyerang Raga dan kawan-kawannya, menyebut mereka "penyebar rusaknya cerita". Beberapa tokoh tua berseru, “Kalau kita bukan tokoh, lalu apa? Hampa? Debu? Kalimat kosong?”

Dan saat itulah dunia mulai melawan.

Angin bertiup melawan arah. Jalan-jalan menghilang dan muncul di tempat baru. Kalimat-kalimat mulai muncul di langit seperti naskah yang terbuka, mencoba mengembalikan alur yang telah menyimpang.

Puncaknya terjadi saat Tilla mencoba menghancurkan "Meja Ramalan" di balai utama—tempat yang dipercaya menjadi pusat kendali cerita. Saat palunya diayunkan, waktu membeku.

Langit menggelap. Semua suara menghilang. Dan dari langit turun sebuah kalimat, menggantung seperti kilat tanpa petir:

“Tokoh yang menolak takdir akan ditulis ulang sebagai peringatan.”

Tilla terhempas, tak bergerak.

Raga memeluk tubuh sahabatnya yang kini dingin. Tapi tak ada darah. Tak ada luka. Hanya... hilangnya makna. Seolah Tilla bukan mati, tapi “dihapus”.

Yano meraung. Luka menutup mata. Dunia menekan mereka untuk tunduk.

Namun Raga—dengan air mata dan amarah—menatap langit dan berkata:

“Aku tidak ingin mati di akhir yang ditentukan. Aku ingin hidup di cerita yang belum ada judulnya.”

Dan malam itu, di tengah reruntuhan naskah, ketiganya bersumpah akan melanjutkan pemberontakan. Bukan untuk mengalahkan penulis. Tapi untuk menulis ulang diri mereka sendiri.


Pusat Manuskrip dan Pertarungan Tak Terlihat

Di ujung utara dunia mereka, tersembunyi sebuah tempat yang tak pernah diajarkan dalam buku sekolah, tak pernah disebut dalam puisi istana, dan tak pernah dilalui oleh peta mana pun—Pusat Manuskrip.

Konon, itulah tempat di mana semua cerita dilahirkan dan diikat dalam satu benang takdir. Tempat di mana pena pertama menulis dunia, dan tinta pertamanya adalah kehendak.

Raga, Luka, dan Yano, dengan pakaian koyak dan semangat yang tinggal separuh, menempuh perjalanan ke sana, melewati padang kalimat yang tercerai-berai, lembah metafora yang nyaris runtuh, dan jurang narasi yang bergema dengan dialog tokoh-tokoh usang.

Di sepanjang perjalanan, mereka membaca tulisan-tulisan yang muncul di udara:

“Yano ragu. Luka patah. Raga lelah.”

Tapi mereka tidak lagi tunduk. Setiap kali kalimat itu muncul, mereka berteriak:

“Itu bukan kenyataan kami!”

Dan kalimat itu pun lenyap, tertiup angin seperti abu tak bermakna.

Setibanya di Pusat Manuskrip, mereka menemukan bangunan aneh: bukan istana, bukan kuil—melainkan ruang putih tanpa dinding, penuh dengan halaman-halaman kosong yang melayang, berputar dalam diam.

Di tengahnya berdiri sebuah pena besar. Tidak menulis. Tidak diam. Hanya menggantung, seolah menunggu.

“Apakah ini... Penulis?” tanya Yano.

Raga melangkah mendekat. Tapi ketika tangannya hampir menyentuh pena itu, naskah-naskah yang melayang mulai bergerak sendiri. Mereka membentuk kalimat-kalimat yang menyerang: bukan dengan senjata, tapi dengan makna.

“Kamu tidak akan berhasil.”
“Pemberontak selalu mati di akhir.”
“Kamu hanya tokoh, bukan pengubah dunia.”

Itulah pertarungan tak terlihat—bukan melawan pedang atau sihir, tapi melawan narasi. Melawan narasi bahwa mereka hanya pelengkap cerita. Bahwa kehendak mereka tidak cukup kuat untuk mengalahkan tulisan.

Luka, yang hampir hilang dalam keraguan, menggenggam tangan Yano. Yano, yang hampir terseret oleh naskah-naskah pasrah, bersandar pada Raga.

Dan Raga—ia menggenggam pena itu, tidak untuk menulis akhir, tapi untuk menghapus batas. Ia tidak menulis kalimat baru. Ia hanya menuliskan satu kata, satu-satunya kata yang tidak pernah muncul di seluruh hidup mereka:

“Sekarang.”

Dan seketika itu pula, segalanya runtuh—tapi bukan karena kalah. Melainkan karena mereka tidak lagi menjadi bagian dari cerita lama.


Dunia Baru Tanpa Paragraf

Saat pena itu menulis kata “Sekarang”, dunia tidak langsung hancur. Justru, ia mulai melepaskan dirinya dari garis-garis yang selama ini tak terlihat—tapi sangat menentukan.

Langit tidak lagi biru karena ditulis begitu, tapi karena memang ingin begitu. Angin tidak bertiup karena adegan menuntut ketegangan, melainkan karena ia rindu menyapa wajah-wajah yang hidup. Dan waktu... untuk pertama kalinya, tidak memaksa siapa pun untuk bergerak ke halaman berikutnya.

Raga terbangun di sebuah dunia putih, tanpa batas, tanpa garis, tanpa bab. Luka berdiri tak jauh, mengenakan pakaian yang tak dikenalnya—mungkin bukan pakaian, mungkin hanya wujud keinginan untuk menutup diri. Yano menatap sekeliling, dan untuk pertama kalinya, ia tidak takut pada takdir.

Tidak ada suara narator. Tidak ada kalimat pembuka. Tidak ada akhir.

Mereka tidak lagi berada dalam cerita.

“Di mana kita?” bisik Luka.

Raga tersenyum. Ia menunjuk ke tanah putih yang kini perlahan berubah warna, seolah mengikuti kehendak imajinasi mereka.

“Di tempat yang belum ditulis,” jawabnya.

Mereka mulai berjalan, tak ada tujuan, tak ada peta. Tapi langkah mereka terasa ringan, karena kali ini mereka memilih sendiri.

Dan saat mereka berjalan, kadang-kadang—di ujung sana—muncul bayangan pena, seolah menunggu perintah. Tapi tidak menulis satu pun kata, hingga salah satu dari mereka bersedia menggerakkannya.

Raga menatap pena itu, lalu berbisik:

“Biar aku yang menulis. Tapi kali ini, bukan tentang tokoh-tokoh yang hidup di dalam cerita. Aku ingin menulis tentang tokoh-tokoh yang keluar darinya.”

Surat yang Tak Pernah Berbalas.

Surat yang Tak Pernah Berbalas.



Kehidupan yang Sepi tapi Sibuk

Jakarta pukul tujuh pagi. Hiruk-pikuk kota belum benar-benar terbangun, tapi Lira sudah bersiap meninggalkan apartemen kecilnya di lantai sembilan. Wanita lajang berusia tiga puluh tiga tahun itu dikenal sebagai manajer komunikasi yang efisien di sebuah perusahaan teknologi. Tapi di balik blazer abu-abu dan riasan tipisnya, ada kekosongan yang tak bisa ditutupi oleh jabatan atau pencapaian.

Setiap pagi Lira melakukan hal yang sama: menyeduh kopi hitam tanpa gula, membuka jendela ke arah langit kota yang kelabu, lalu melirik sekilas ke lemari buku—tepatnya, ke atasnya, tempat sebuah kotak kayu tua disimpan. Kotak itu sudah berdebu, tak pernah dibuka sembarangan. Hanya pada satu hari dalam setahun, ia membukanya: saat ulang tahunnya tiba.

Di dalam kotak itu, tersimpan dua belas pucuk surat. Semuanya diketik rapi dengan mesin ketik tua, amplopnya putih polos tanpa nama pengirim. Di sudut kanan atas, hanya tertulis:
“Untukmu, yang terus tumbuh tanpa tahu bahwa seseorang menjagamu dari jauh.”

Lira selalu membacanya diam-diam, membiarkan setiap kalimat menyelinap ke hatinya seperti doa. Isinya tak pernah sama, tapi nadanya serupa: lembut, puitis, dan penuh cinta yang tak menuntut balasan. Di tengah kesibukannya, surat-surat itu menjadi semacam oase—sepotong bukti bahwa ia tak sepenuhnya sendiri di dunia yang serba cepat ini.

Namun satu hal selalu membuat Lira heran. Ia tak pernah bisa memastikan siapa yang mengirimkannya. Ia tak pernah membalas karena tak tahu harus dikirim ke mana. Ia bahkan sempat berpikir itu mungkin sekadar kampanye pemasaran atau keisengan orang aneh. Tapi seiring waktu dan konsistensi surat-surat itu datang, ia tahu: ini bukan sekadar iseng.

"Apakah cinta bisa hadir tanpa pernah menyapa langsung?" gumamnya suatu pagi sambil menyesap kopi yang mulai dingin.

Di kalender, tanggal 17 Februari dilingkari tinta merah. Itu hari ulang tahunnya, hanya seminggu lagi. Entah kenapa, kali ini Lira merasa lebih gelisah dari biasanya. Ia ingin tahu. Ia ingin menemukan.


Rasa Ingin Tahu dan Kekosongan Emosional

Sejak awal bulan, Lira merasa pikirannya terganggu. Setiap suara langkah kaki di lorong apartemen membuatnya ingin mengintip. Setiap nada dering telepon membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Ia mulai menyadari satu hal: surat-surat itu tidak lagi cukup hanya dibaca—ia ingin tahu siapa gerangan sosok di balik semua itu.

Pulang kerja, ia memutuskan untuk membuka kembali semua surat yang telah ia simpan selama dua belas tahun. Ia menyusun surat-surat itu di atas meja makan, menyalakan lampu meja, lalu membaca satu per satu, dari tahun pertama hingga terakhir.

Di tahun kelima, ia menemukan kalimat:
“Aku menyukai caramu tertawa saat kecil, yang membuat musim kemarau seolah sedang diguyur hujan.”
Lira terpaku. Kalimat itu mengingatkannya pada seseorang, seseorang yang pernah membuatnya tertawa setiap sore saat mereka main layangan di halaman SD—seorang anak laki-laki kurus dengan rambut sedikit ikal, yang tak pernah mengeluh meski bajunya selalu robek karena terlalu banyak berlari.

Arya.

Nama itu seperti terselip di pojok kenangan, berdebu, tapi masih hidup. Mereka sahabat semasa kecil. Arya pendiam, tapi setia. Ia pernah berkata bahwa kelak ingin menjadi penulis. Tapi setelah kelas lima SD, Arya menghilang begitu saja. Keluarganya pindah tanpa pamit. Tak ada kontak, tak ada jejak.

Kini, ingatan itu mengganggu Lira seperti bisikan dalam kabut. Apakah mungkin Arya adalah pengirim surat-surat itu?

Lira mulai mencari di internet, menelusuri media sosial, nama alumni, grup angkatan SD. Tapi hasilnya nihil. Ia bahkan mencoba menanyakan pada beberapa teman lama, tapi tak ada yang benar-benar tahu kabar Arya.

Di tengah usahanya mencari, kekosongan dalam hati Lira justru terasa makin menganga. Selama ini ia merasa cukup dengan surat-surat itu. Tapi kini, rasa cukup berubah menjadi haus. Ia ingin tahu. Ia ingin melihat wajah yang selama ini hanya hadir lewat kata-kata.

Dan untuk pertama kalinya, Lira merasa: dirinya butuh seseorang—bukan sekadar kehadiran virtual, bukan sekadar surat tahunan, tapi sesosok manusia sungguhan yang mencintai dan dicintai.

Di dinding ruang kerja kecilnya, ia menempelkan tulisan besar:
“Siapa gerangan dirinya?”


Tanda-Tanda Kehadiran Tak Kasat Mata

Sejak malam ia menempelkan tulisan “Siapa gerangan dirinya?” di dinding ruang kerja, hidup Lira terasa berbeda. Seolah semesta ikut menjawab pertanyaannya—bukan lewat kata, melainkan lewat isyarat-isyarat halus yang muncul dalam keseharian.

Pagi itu, Lira menerima kiriman pos. Bukan surat, melainkan sebuah bingkai foto kayu kecil. Di dalamnya, foto Polaroid yang sudah menguning. Terlihat dua anak duduk bersila di tanah, dikelilingi kertas origami berbentuk bunga. Salah satunya adalah Lira kecil. Yang satunya... samar, tapi rasanya tak asing.

Tak ada nama. Hanya catatan kecil di belakang foto:
“Kau tak pernah tahu betapa kau menyelamatkanku dulu.”

Jantung Lira berdegup. Tangannya gemetar memegang foto itu. Ia menggeser pandangan ke kotak kayu di rak buku. Setiap surat terasa seolah sedang berbisik, menyambung potongan kisah yang selama ini terpisah.


Malam hari, dalam gelap yang diterangi lampu meja, Lira terbangun. Ia merasa seperti diawasi. Tapi bukan pengawasan yang menakutkan—lebih seperti kehadiran seseorang yang sedang mendoakan diam-diam.

Beberapa hari kemudian, ia mendapati karangan bunga mawar putih di depan pintu apartemennya, tanpa kartu ucapan. Lira memeriksa kamera CCTV, tapi rekamannya kosong pada jam tersebut. Mustahil.

Setiap peristiwa kecil—suara pintu yang seolah tertutup sendiri, aroma kertas tua yang muncul tanpa sebab, dan lagu lama yang tiba-tiba diputar di lobi apartemen—semuanya terasa seperti serangkaian tanda dari seseorang yang dekat... tapi tak terlihat.


Di malam ulang tahunnya yang ke-34, surat ketiga belas datang. Kali ini, isinya pendek:

“Jika kau sudah siap melihat siapa aku sebenarnya, pergilah ke tempat kita terakhir bermain waktu kecil. Aku akan menunggumu di sana, walaupun hanya dalam kenangan.”

Tangannya gemetar membaca baris terakhir itu. Lira tahu tempat yang dimaksud: danau kecil di pinggiran kota, di belakang sekolah dasarnya dulu. Tempat di mana ia dan Arya dulu biasa mengadu siapa yang bisa melempar batu paling jauh.

Tapi hatinya bertanya: Apakah ia akan menemukannya di sana? Ataukah hanya sepotong kenangan yang akan menjawab?


Kecelakaan dan Pertemuan Terakhir

Pagi-pagi sekali, Lira melangkah menuju stasiun, mengenakan sweater kelabu dan celana jeans. Ia membawa ransel kecil, hanya berisi air minum, buku catatan, dan satu hal yang paling penting—seluruh kumpulan surat dari si pengagum misterius. Ia tak yakin akan menemukan siapa pun di danau kecil itu, tapi rasa penasarannya sudah menuntun jauh lebih jauh dari sebelumnya.

Perjalanan ke danau memakan waktu lebih dari dua jam. Jalur kereta pinggiran kota dan jalan kecil menuju sekolah dasar lamanya tak banyak berubah. Bahkan bangku tua di halaman belakang sekolah masih berdiri, meski catnya mengelupas dan kayunya lapuk dimakan cuaca.

Saat menuruni jalan tanah menuju danau, Lira mengenali sebuah pohon mangga besar. Di sanalah ia dan Arya dulu sering berteduh. Di bawah pohon itu kini terdapat sebuah batu datar, bersih, seolah baru dibersihkan. Dan di atasnya, tergeletak amplop putih—kali ini ditulisi tangan:

“Untuk Lira. Surat terakhir.”

Lira menggenggam surat itu, tapi belum sempat membukanya, langkah kakinya goyah. Hujan kecil mulai turun, dan jalan setapak berubah licin. Ia tergelincir, jatuh ke arah semak dan membentur batu. Pandangannya kabur, tubuhnya lemas.


Ketika ia membuka mata, Lira sudah berada di ruang rumah sakit. Warna putih dinding dan suara mesin medis berdengung lembut di sekitarnya. Seorang perawat lansia duduk di samping ranjang, menatapnya dengan hangat.

"Lira, ya?" tanya sang perawat.

Lira mengangguk lemah. “Saya... jatuh di danau.”

Perawat itu tersenyum kecil. “Kami menemukamu tak sadarkan diri. Ada pria yang melihatmu dari kejauhan dan meminta bantuan, lalu menghilang begitu saja sebelum kami datang.”

Ia mengeluarkan sebuah map plastik dari meja dan menyerahkannya. Di dalamnya: surat putih yang tadi ditemukan di danau.

“Tapi yang lebih mengejutkan,” lanjut perawat itu, “ada pasien kanker paru stadium akhir yang baru saja meninggal pagi ini. Ia titipkan satu surat dan mengatakan, ‘Berikan ini kepada wanita bernama Lira, jika suatu saat ia datang.’”

Lira menahan napas. Dengan gemetar, ia membuka surat itu. Tulisan tangan yang khas menyapa matanya:


“Lira...
Aku tak pernah tahu caranya mendekatimu secara langsung. Waktu kecil, kau membuat hariku berwarna hanya dengan satu senyum. Tapi hidup membawaku jauh, dan rasa sayang itu tak ikut pergi.

Aku menuliskan surat-surat itu bukan untuk kau balas, tapi untuk membuatmu tahu bahwa seseorang pernah mencintaimu, diam-diam, tapi dengan segenap keberanian dan harapan.

Aku tidak menyesal tidak pernah memelukmu. Karena dari kejauhan pun, kau sudah cukup untuk membuatku bertahan.

Sekarang aku pergi, tapi kutinggalkan seluruh cintaku di surat ini.

– Arya.”_


Lira menutup surat itu, air matanya jatuh tanpa suara. Dunia serasa membeku. Semua pertanyaan akhirnya menemukan jawaban—terlambat, tapi jujur.

Ia memandang ke luar jendela rumah sakit. Hujan telah berhenti, dan sinar matahari sore menembus kaca dengan lembut. Ia tersenyum untuk pertama kalinya dalam waktu lama.


Isi Surat Terakhir dan Penemuan Diri

Lira tak langsung pulang dari rumah sakit. Ia meminta satu malam lagi di sana, bukan karena luka yang diderita, tapi karena hatinya sedang merekah perlahan-lahan—antara kehilangan dan penemuan, antara luka dan penghiburan.

Malam itu, ia duduk bersandar di ranjang, memandangi dua surat yang kini tergeletak di pangkuannya:

  • Surat yang ditemukan di danau
  • Surat terakhir dari Arya

Ia membuka surat yang pertama, yang dituliskan tangan:

**"Jika kau membaca ini, berarti kau sudah benar-benar mencariku.
Maka izinkan aku mengucapkan terima kasih, Lira.
Terima kasih karena tanpa tahu pun, kau mengisi ulang jiwaku setiap tahunnya.
Terima kasih karena dengan semua keterasingan dan ketidakpedulian dunia, kau tetap menjadi bagian dari ingatanku yang paling manusiawi.

Maaf karena aku tak pernah muncul di depanmu. Maaf karena aku pengecut. Tapi cinta ini bukan soal keberanian tampil, melainkan soal keberanian mengikhlaskan.

Doakan aku, Lira. Tak ada lagi yang kuinginkan selain itu."_

Lira menunduk. Ia menangis pelan. Bukan tangis kehilangan yang meluap-luap, tapi tangis seseorang yang akhirnya menyadari bahwa selama ini ia tak pernah benar-benar sendiri. Ada seseorang yang menenun cintanya dalam sunyi, yang mencintai dengan penuh pengorbanan, tanpa ekspektasi, dan tanpa jejak—kecuali goresan tinta dalam surat.


Esok harinya, Lira pulang. Ia membawa semua surat dan bingkai foto Polaroid itu ke danau kecil, tempat Arya dulu duduk bersamanya sebagai anak-anak.

Ia berdiri di bawah pohon mangga, lalu mengeluarkan secarik kertas kosong dan mulai menulis—untuk pertama kalinya, bukan sebagai penerima, tapi sebagai pengirim:

_"Arya...
Kau telah pergi. Tapi cinta tak pernah benar-benar mati.

Kau mencintaiku dengan cara yang tak biasa, tapi sangat tulus.
Maka izinkan aku mencintaimu sekarang—bukan sebagai balasan, tapi sebagai doa."_

Lira melipat surat itu, meletakkannya di atas batu datar tempat ia dulu menemukan surat Arya, lalu duduk sejenak dalam keheningan. Angin berhembus lembut, menggoyangkan ujung rambutnya.

Ia menatap ke danau. Wajahnya tenang.


Penutup – Jiwa yang Tenang, Hati yang Terbuka

Beberapa minggu setelah kepergian Arya, hidup Lira perlahan berubah. Bukan karena seseorang baru datang menggantikan, tapi karena kini ia menjalani hari-harinya dengan hati yang lebih penuh. Ia tersenyum lebih jujur, menatap orang lain dengan mata yang lebih hangat, dan berjalan lebih pelan seakan tak lagi dikejar waktu.

Setiap pagi, ia tetap menyeduh kopi hitam tanpa gula, tapi kini ia menikmatinya sambil membuka jendela lebar-lebar. Angin yang masuk terasa seperti salam dari seseorang yang pernah mencintainya dalam diam.

Kotak kayu berisi surat-surat itu kini tak lagi disimpan di atas lemari buku, melainkan berdiri di rak paling tengah—terbuka. Kadang, ketika malam sunyi datang, Lira membacanya kembali. Bukan dengan harap menemukan siapa pengirimnya—karena kini ia sudah tahu—melainkan sebagai cara untuk merawat cinta yang pernah hadir begitu tulus, tanpa syarat.


Pada suatu sore, Lira kembali mengunjungi danau. Ia membawa secarik kertas dan pena, duduk di batu datar tempat surat terakhir dulu menunggunya. Di sana, ia menulis:

_"Kepada siapa pun yang membaca ini,
Ketahuilah: cinta tidak selalu menuntut hadir.

Kadang cinta adalah diam yang menjaga, doa yang tak terdengar,
dan kata-kata yang menembus waktu untuk sampai ke hati yang tepat."_

Lira melipat kertas itu, menaruhnya di celah pohon mangga, lalu berdiri. Matanya menatap danau yang tenang, dan untuk pertama kalinya dalam hidup, ia merasa dirinya utuh—bukan karena akhirnya memiliki, tapi karena akhirnya memahami.

Ia pernah begitu dicintai.
Dan kini, ia siap membuka hati... untuk mencintai kembali.


Tamat.