Jumat, 04 April 2025

Ketika Ludah Menjadi Minuman Segar


Di negeri yang demokratis ini, kata-kata adalah investasi. Sebagian orang menanam kata-kata seperti petani menanam padi: berharap hasilnya mengenyangkan rakyat. Tapi sebagian lainnya tampaknya menanam kata untuk kemudian menuainya sebagai camilan pribadi. Salah satu seniman kata sekaligus akrobat logika terbaik negeri ini adalah — tak perlu ditebak lagi — Bapak Fahri Hamzah.

Siapa yang tak kenal dengan gaya bicaranya yang meledak-ledak namun terstruktur? Pernah, dengan penuh semangat di media sosialnya, beliau menulis: “Bahaya rangkap jabatan itu mencapai puncaknya ketika seorang menteri mencocokkan regulasi dengan bisnisnya.” Kalimat ini begitu indah, begitu heroik, seperti pahlawan yang berdiri tegak di atas reruntuhan etika publik.

Namun, seperti semua legenda yang menyimpan plot twist, kisah Fahri pun punya babak-babak mengejutkan. Tak lama setelah dilantik sebagai Wakil Menteri, beliau pun dinobatkan pula sebagai Komisaris Bank Tabungan Negara. Sontak, publik bertanya-tanya: "Apakah itu air putih yang beliau teguk, ataukah ludah sendiri?"

Tentu saja, dalam dunia logika politik, segalanya bisa cair seperti kopi panas yang diseruput sambil berdiplomasi. Dulu, rangkap jabatan adalah bahaya. Kini, rangkap jabatan adalah amanah. Perubahan ini bisa jadi karena beliau telah mencapai tingkat spiritualitas kenegarawanan yang tak bisa dipahami oleh rakyat jelata. Atau mungkin, beliau sekadar menguji daya ingat publik — eksperimen sosial ala Fahri.

Beberapa orang mencibir. Tapi mari kita lihat dari sisi positif: tidak banyak orang yang berani menelan ludah sendiri. Butuh nyali, tenggorokan baja, dan rasa percaya diri tingkat dewa. Kalau saja ini dijadikan cabang olahraga di Olimpiade, mungkin Fahri akan membawa pulang emas untuk Indonesia.

Tentu, kita semua bisa berubah. Tapi yang membuat Fahri istimewa adalah kemampuannya berubah sambil seolah tidak berubah. Ia tetap berapi-api, tetap percaya diri, tetap menggunakan diksi baku dan argumentasi tajam — hanya saja kini diarahkan untuk membela sesuatu yang dulu ia tentang.

Dalam buku besar satir dunia, barangkali namanya akan disandingkan dengan tokoh-tokoh besar yang piawai menjadikan ludah sebagai hidangan pembuka dan penutup. Namun, marilah kita tetap memberi hormat. Sebab, meski kita tersenyum getir, kita tetap hidup dalam negeri di mana logika bisa berakrobat — dan Fahri Hamzah adalah penontonnya sekaligus pemain utamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar