Kamis, 03 April 2025

Petani di Bayang-Bayangi Tarif Impor AS


Dunia memang tak pernah benar-benar adil, apalagi bagi mereka yang tidak pernah terlibat dalam rapat dagang antarnegara, tetapi harus menanggung akibat dari keputusan yang diambil di gedung-gedung ber-AC ribuan kilometer jauhnya. Ketika pemerintah Amerika Serikat menetapkan tarif impor baru sebesar 32% untuk barang-barang asal Indonesia, tak ada alarm yang berbunyi di sawah, tak ada sirine peringatan di pos ronda desa. Tapi ada yang berubah—bungkus rokok.

Ya, sebatang rokok, yang asapnya mengepul di antara sela jari buruh tani, menjadi indikator ekonomi yang lebih jujur daripada angka-angka dalam rilis BPS. Ketika rokok putih bermerk diganti rokok kretek bermerek ganjil yang dibungkus plastik lusuh, kita tahu: ada yang tidak sedang baik-baik saja.

Ketika Pak Presiden di seberang lautan memutuskan bahwa tembakau, kopi, dan sawit dari Indonesia perlu "dihargai" lebih mahal lewat tarif impor, efeknya tidak langsung terasa di meja negosiasi, melainkan di harga tengkulak. Kopi petani jadi sisa gudang. Tembakau mengering sebelum ada pembeli. Pabrik enggan ambil risiko ekspor. Dan petani? Mereka mulai menghitung biaya hidup dengan rumus baru: "Kalau tak bisa jual panen, ya tak bisa bayar buruh."

Buruh tani bukanlah barisan elit. Mereka tidak tahu apa itu WTO atau NAFTA, apalagi 'tarif preferensial'. Tapi mereka tahu betul kapan harus mengencangkan ikat pinggang. Bukan karena sedang diet, tapi karena warung langganan sudah tidak lagi memberi utang dengan senyum ramah.

Sejak kapan rokok menjadi indikator ekonomi? Sejak pemerintah sibuk berdebat soal inflasi tanpa menyadari bahwa di warung pojok, penjualan rokok murah naik drastis. "Orang-orang sekarang beli yang tiga ribuan, mas. Yang dulu lima ribuan sudah jarang laku," kata Bu Ijah, penjaga warung yang tak punya gelar ekonomi, tapi membaca pasar lebih jeli daripada banyak menteri.

Dan bukan hanya rokok. Extra Joss, balsem, dan koyo menjadi barang laris manis saat musim tanam tiba. Itu artinya otot-otot buruh tani sedang direntangkan habis-habisan di ladang. Tapi saat otot-otot itu menganggur, yang laris malah kopi sachet tanpa gula dan rokok murahan. Mereka masih butuh jeda, butuh hisapan pelipur lara, walau hanya dengan rasa tembakau yang samar-samar terasa.

Pak Udin, buruh tani paruh baya, kini lebih sering terlihat nongkrong di pinggir jalan daripada di sawah. "Musim panen masih lama, harga tembakau jelek, kerja juga nggak ada," katanya sambil menyalakan rokok murah. Tak ada keluhan, hanya kepulan asap yang menggantung seperti harapan.

Buruh tani lainnya mulai menjajakan jasa yang lebih lentur: angkut pasir, jaga malam, hingga joki undian online. Dunia kerja buruh tani adalah dunia tanpa jaminan. Mereka tidak bisa mogok karena tak ada kontrak, tidak bisa demo karena tak ada serikat.

Dan sementara itu, mereka merawat solidaritas dengan cara yang sederhana: duduk bersama di bawah pohon, membagi rokok murah, dan tertawa atas hidup yang seolah-olah dikelola oleh dewa-dewa kebijakan yang tak pernah menginjak lumpur sawah.

Sosiolog dan ekonom mungkin butuh angka untuk percaya. Tapi desa tak butuh grafik, cukup lihat isi kantong petani. Jika rokok murah laku, maka bisa jadi ada badai ekonomi yang sedang lewat. Dan badai itu tidak turun dari langit, tapi dikirim dari keputusan-keputusan di luar negeri yang katanya demi kedaulatan pasar.

Kebijakan makro semestinya memiliki mata dan telinga yang tertanam di desa. Indikator ekonomi bisa bersanding dengan laporan penjualan warung. Mungkin sudah saatnya negara memiliki sistem pemantauan berbasis logika warung, bukan hanya berdasarkan ekspektasi investor.

Di balik kabut rokok murah, tersembunyi suara-suara kecil yang tak pernah sampai ke meja rapat kenegaraan. Mereka tak bisa berorasi, tak membuat thread Twitter, tapi mereka hadir. Duduk bersila di bawah langit yang sama, mencoba bertahan dalam ekonomi yang tak pernah mereka desain.

Dan selama tarif impor terus mencekik, mungkin satu-satunya pelampiasan yang tersisa adalah asap tembakau murahan yang beterbangan bersama keluh yang tak sempat diucap. Hingga hari itu tiba—hari di mana rokok murah tak lagi laku, karena buruh tani telah kembali bekerja, dan kebijakan tak lagi membunuh pelan-pelan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar