Minggu, 06 April 2025

Kurs Rupiah Hari Ini Lebih Tinggi dari Tahun 1998, Tapi Apakah Kita Sedang Krisis?


Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS belakangan ini kembali menjadi sorotan. 

Angkanya telah menyentuh lebih dari Rp16.700 per dolar AS, membuat sebagian masyarakat mengaitkannya dengan momen pahit krisis moneter 1998. 

Kala itu, krisis yang dimulai dari Thailand menyebar ke Indonesia dan menyebabkan kurs rupiah melompat dari sekitar Rp2.000 menjadi Rp16.800 hanya dalam waktu beberapa bulan. 

Kenangan tentang kehancuran ekonomi, melonjaknya harga kebutuhan pokok, dan kerusuhan sosial yang menyertainya masih lekat dalam ingatan banyak orang. 

Maka wajar jika muncul pertanyaan: jika angka kurs hari ini bahkan melampaui masa krisis dulu, apakah Indonesia sedang berada dalam jurang krisis moneter yang sama?

Untuk menjawabnya, kita harus memahami satu hal penting: nilai nominal tidak sama dengan nilai riil. 

Rp16.000 di tahun 1998 bukanlah Rp16.000 di tahun 2025. 

Jika kita menghitung berdasarkan inflasi rata-rata sebesar lima persen per tahun, maka uang Rp16.000 pada 1998 kira-kira setara dengan Rp95.000 hingga Rp100.000 pada masa sekarang. 

Artinya, meskipun kurs saat ini tampak menyeramkan secara angka, nilainya tidak sebanding dengan nilai uang pada masa krisis dahulu. 

Kita sedang melihat angka yang sama, tapi dalam dunia ekonomi yang sudah berubah jauh.

Meski demikian, pelemahan rupiah saat ini tentu bukan tanpa sebab. Beberapa faktor eksternal sedang menekan stabilitas mata uang negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. 

Kenaikan suku bunga acuan oleh The Federal Reserve (bank sentral Amerika Serikat) membuat investor global lebih tertarik memarkir dana mereka di dolar, yang dinilai lebih aman dan menguntungkan. 

Selain itu, ketidakpastian geopolitik, terutama konflik di Timur Tengah, turut memicu keresahan pasar. 

Di dalam negeri, kekhawatiran pasar terhadap arah kebijakan ekonomi setelah pemilu juga turut memberi tekanan pada nilai tukar.

Lalu, apakah ini berarti Indonesia sedang mengalami krisis moneter? Jawabannya: tidak

Meski kurs rupiah melemah, kondisi fundamental ekonomi Indonesia saat ini jauh lebih kuat dibandingkan tahun 1998. 

Saat krisis dulu, Indonesia dihantam oleh kombinasi mematikan: cadangan devisa menipis, utang luar negeri swasta yang besar dan jatuh tempo, kolapsnya sistem perbankan, serta inflasi yang melambung tinggi. 

Hari ini, cadangan devisa kita berada di atas 135 miliar dolar AS, sistem perbankan relatif sehat, inflasi terkendali, dan ekspor masih menunjukkan kinerja positif. 

Pemerintah dan Bank Indonesia pun memiliki berbagai instrumen untuk meredam gejolak pasar.

Singkatnya, meskipun kurs rupiah saat ini lebih tinggi secara nominal dibanding masa krisis 1998, konteks ekonomi dan daya tahan nasional kita sangat berbeda. 

Kita belum berada dalam kondisi krisis moneter. Namun tentu, ini bukan berarti kita boleh lengah. 

Kewaspadaan tetap penting, terutama dalam menjaga kepercayaan pasar dan memastikan kestabilan sektor riil tetap terjaga.

Dalam menghadapi situasi ini, kita perlu bersikap tenang dan rasional. Tidak semua gejolak harus dianggap sebagai bencana. 

Ada perbedaan besar antara tantangan dan krisis. Dan sejauh ini, Indonesia masih berada dalam zona tantangan yang bisa diatasi — selama kita tetap waspada, bersatu, dan menjaga arah kebijakan ekonomi yang bijak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar