Kamis, 10 April 2025

Musim Tak Mengubah Arah


Di Antara Kota dan Waktu

Jakarta sore itu masih penuh bunyi—klakson, sirine, dan denting obrolan yang saling berkejaran di kedai kopi kecil dekat Sudirman. Tara baru selesai magang. Dia duduk di pojok, mengenakan hoodie abu-abu dan headphone yang sebenarnya tidak terhubung ke mana-mana. Hanya cara agar orang tak mengajaknya bicara.

Galang datang terlambat. Seperti biasa. Tapi keterlambatannya selalu membawa sesuatu. Kali ini: sekotak kecil berisi pembatas buku dari kayu, yang ia buat sendiri.

“Aku dengar kamu suka baca buku di kereta. Ini, biar halamanmu nggak hilang arah.”

Tara tertawa kecil. Ia menerima tanpa banyak kata, seperti biasa. Tapi kali ini ia berkata,

“Aku nggak pernah suka hal-hal yang manis. Tapi pembatas ini… rasanya kayak waktu. Diam tapi menentukan.”

Galang mengangguk, tidak membalas. Ia duduk, membuka laptopnya, lalu menunjukkan layar kosong dokumen Word.

“Aku ingin mulai menulis surat. Satu minggu sekali. Senin. Tanpa alasan, tanpa janji balasan. Sekadar menandai bahwa aku masih di arah yang sama.”

Tara menatap Galang, lama.

“Kalau suatu hari aku nggak pernah balas, kamu berhenti?”

“Tidak. Karena tujuanku bukan jawabannya. Tapi tetap berjalan.”

Dan di sinilah adegan kecil namun penting disisipkan:
Sambil berbincang, Galang meletakkan satu salinan file PDF ke dalam flashdisk kecil dan menyelipkannya ke dalam kotak pembatas buku itu—tanpa Tara sadari. File itu berjudul "Surat Terakhir - Jika Kita Tidak Bertemu Lagi." Sebuah naskah tulisan, bukan untuk hari ini, tapi untuk masa depan yang tak pernah bisa ditebak.


Dua Arah, Satu Diam

Hari terakhir magang datang tanpa seremoni. Kantor penuh deadline. Tara membereskan meja dengan cepat, berusaha tidak terlalu lambat agar tidak membuat perpisahan terasa seperti perpisahan.

Galang berdiri tak jauh dari sana, memandangi printer yang belum juga selesai mencetak. Ia tampak seperti menunggu sesuatu yang lain—atau mungkin sedang menunda sesuatu yang seharusnya ia ucapkan.

“Kamu nggak nanya aku bakal ke mana?” tanya Galang akhirnya, menahan suara di antara bising mesin.

Tara tidak langsung menjawab. Ia memasukkan buku catatannya, lalu menoleh.

“Kalau kamu udah memilih jalanmu, aku lebih tertarik nanya: kamu yakin?”

Galang tersenyum. “Dapet beasiswa ke Warsawa. Dua tahun.”

Tara mengangguk. Tak ada ucapan selamat, tak ada tepuk tangan. Hanya anggukan. Seperti biasa.

“Kamu?” tanya Galang.

“Ditawarin kerja kontrak di sini. Tapi aku mungkin pindah. Mama butuh aku bantu jaga warung.”

Ada jeda. Bukan karena tak tahu harus bicara apa, tapi karena ada terlalu banyak yang ingin dikatakan. Dan semuanya terasa… tidak relevan jika dikatakan sekarang.

Sebelum beranjak, Galang mengeluarkan kotak kecil—bukan yang berisi pembatas buku kemarin. Yang ini berisi kertas tipis bergambar peta dunia, digambar tangan. Di satu titik kecil di Polandia, ada lingkaran merah kecil dan tulisan tangan: "Pojok Dunia yang Akan Jadi Tempatku Menulismu."

“Aku akan tetap kirim surat. Setiap Senin. Biar kamu tahu, arahku nggak berubah.”

Tara menatap peta itu. Mengangguk. Tapi sebelum Galang pergi, ia mengucap satu kalimat yang akan kembali menghantui Galang bertahun-tahun kemudian:

“Kalau kamu tetap nulis, aku tetap baca. Tapi jangan tunggu aku di titik yang sama. Hidupku bukan musim yang stabil. Kadang kering, kadang banjir. Aku bisa aja berubah arah... demi yang harus aku jaga.”

Galang tidak menjawab. Ia pergi dengan satu tas ransel, satu tiket ke Warsawa, dan satu keyakinan: bahwa cinta yang tak memaksa adalah cinta yang bisa bertahan melampaui waktu.

Sementara Tara berdiri di halte bus malam itu, hujan turun pelan, membasahi sepatu yang sudah mulai robek. Ia membuka peta dunia kecil itu dan menyelipkannya di balik dompet—di antara kartu BPJS dan struk belanjaan yang sudah luntur. Tanpa disadari, kotak pembatas buku yang masih tersimpan di kamarnya… menyimpan sesuatu yang belum pernah ia buka.


 Surat yang Tak Pernah Dikirim Balik

Setiap Senin pagi di Warsawa, Galang menulis.

Bukan email biasa. Ia tak pernah bertanya, tak menuntut jawaban. Ia hanya bercerita. Tentang cuaca di luar jendela, tentang kucing tua di halte, tentang kopi yang pahitnya tak bisa dibandingkan dengan buatan ibu kos di Jakarta. Semua ditulis dengan tenang, dikirim dengan yakin.

Kadang hanya satu kalimat:

"Hari ini aku lewat taman yang membuatku rindu kamu berjalan di sampingku tanpa banyak bicara."

Kadang panjang sekali, seperti esai harian:

“Di sini, salju turun seperti waktu—dingin, lambat, dan membuat semua hal tampak putih. Tapi ingatan tentang kamu tetap berwarna. Aneh, ya?”

Sementara itu di Jakarta, Tara menerima semua email itu. Membacanya diam-diam di antara jeda shift kerja, atau saat lampu warung sudah padam dan suara kulkas tua mendesis seperti napas orang lelah.

Ia tidak membalas. Bukan karena tak ingin, tapi karena tak tahu harus menulis apa. Hidupnya terlalu penuh. Adiknya sakit. Warung kadang rugi. Ibunya mulai bicara sendiri karena terlalu lama mengalah dalam hidup.

Ia jatuh cinta pada seorang pelanggan tetap, sempat mencoba membuka hati. Tapi laki-laki itu menghilang setelah tahu Tara menolak ditraktir. Katanya terlalu mandiri itu menyusahkan.


Beberapa teman Galang menyarankan dia untuk berhenti. “Kalau nggak dibalas, mungkin dia udah punya hidup sendiri.”

Galang hanya tersenyum. Ia tahu. Tapi ia tak menulis untuk dibalas. Ia menulis karena ia berjanji pada dirinya sendiri, bukan pada Tara.

Sampai pada satu Senin, ia menulis surat terpendek dalam dua tahun terakhir:

“Kalau kamu baca ini, tolong simpan satu hal saja: arahku belum berubah.”

Tapi hari itu, email itu gagal terkirim. Server sedang bermasalah. Ia menundanya, lalu lupa mengirim ulang. Dan surat itu... menjadi satu-satunya yang hilang dari rekam jejak surat-surat mereka.


Di Jakarta, Tara akhirnya membuka kotak kecil di laci kamarnya saat sedang bersih-bersih menjelang Lebaran. Pembatas buku itu masih utuh. Tapi untuk pertama kalinya, ia melihat ada benda aneh di balik lipatan kartonnya: sebuah flashdisk kecil.

Ia memegangnya lama, ragu. Dunia sudah terlalu berbeda sekarang. Tapi sesuatu dalam dirinya tahu, ini bukan barang biasa. Dan ketika ia menyalakan laptop pinjaman milik adiknya, membuka file di dalamnya, ia menatap layar kosong. File itu berjudul:

“Surat Terakhir – Jika Kita Tidak Bertemu Lagi”

Namun ia tidak membukanya.

Belum.


Titik yang Tidak Pernah Dihapus

Jakarta, sore di bulan Juli. Hujan turun ragu-ragu seperti sedang mengintip suasana.

Tara keluar dari kantor tempat ia kini bekerja sebagai staf admin di lantai dua pusat perbelanjaan baru. Hidupnya tak lagi seberat dulu—warung ibunya sudah diserahkan ke adiknya, cicilan rumah hampir lunas, dan ia baru saja mendapat promosi kecil. Tapi sore itu, ada sesuatu yang menggantung di dadanya.

Mungkin karena semalam ia—akhirnya—membuka flashdisk itu.

File "Surat Terakhir – Jika Kita Tidak Bertemu Lagi" ternyata bukan surat biasa. Isinya bukan tulisan puitis atau kata perpisahan. Isinya adalah rekaman suara Galang.

Dalam rekaman itu, suara Galang terdengar pelan dan sedikit gugup:

“Tara… kalau kamu dengar ini, mungkin aku sudah berhenti nulis. Atau mungkin kamu udah nggak bisa baca lagi. Aku cuma mau bilang, aku nulis bukan buat kamu balas, tapi buat aku tetap sadar bahwa aku pernah memilih seseorang, dan aku tidak pernah menyesal.”

“Dan kalau kita nggak bertemu lagi, aku cuma ingin kamu tahu… aku masih di arah yang sama.”

Rekaman itu berhenti, hanya tersisa desis pelan dari latar tempat ia merekam—kemungkinan kafe kecil di dekat kampus Eropa.


Tara melangkah keluar dari stasiun MRT Blok M, hendak menuju halte bus. Di antara ribuan orang yang berlalu, langkahnya terhenti. Di sisi seberang peron, berdiri seorang pria dengan tas selempang usang dan wajah yang tampak tak asing—walau lebih tirus dan tua dari yang terakhir ia ingat.

Galang.

Tara menunduk sejenak, berharap rasa gugupnya larut bersama langkah-langkah di sekitarnya. Tapi Galang sudah melihatnya. Senyumnya masih sama. Ia tidak bergerak maju. Tidak juga memanggil.

Tara mendekat perlahan. Dunia tetap riuh, tapi di antara mereka ada keheningan yang hangat.

“Apa kabar?” tanya Galang.

“Aku buka flashdisk-nya tadi malam,” jawab Tara, tanpa basa-basi.

Galang mengangguk. Tidak tampak terkejut. Seolah ia tahu hari itu akan datang.

“Dan... ada satu surat yang nggak pernah nyampe,” lanjut Tara, lirih.

Galang mengerutkan alis.

“Senin… dua tahun lalu. Server down. Aku nulis pendek aja waktu itu…”

Tara menyela, matanya berkaca:

“Aku tahu. Kamu tulis, ‘arahku belum berubah.’ Dan kamu benar. Aku cuma… butuh waktu untuk percaya bahwa arahmu bukan sekadar kata.”

Mereka berdiri di sana, lama. Tanpa menyentuh, tanpa janji baru. Tapi semua rasa telah sampai ke tempat yang semestinya.

Galang membuka tasnya. Mengeluarkan kertas kecil, sebuah peta dunia yang pernah ia berikan dulu. Ia lipat perlahan, menyelipkannya kembali ke tangan Tara.

“Masih ingat peta ini?”

“Masih. Aku pernah selipkan di dompet, di antara struk belanja dan kartu BPJS.”

Mereka tertawa kecil.

“Ternyata kita cuma jalan memutar,” kata Tara.

“Tapi tetap di arah yang sama,” jawab Galang.


Langkah yang Tidak Lagi Dikejar

Mereka tidak minum kopi setelah itu.

Tidak juga berjalan berdua menyusuri kota.

Tidak ada ajakan makan malam atau tanya, “Sekarang kita apa?”

Yang ada hanya dua orang yang diam-diam lega, karena akhirnya bisa berhenti menunggu dalam sunyi dan bisa mulai berdamai dengan arah yang mereka pegang selama ini.

Galang naik kereta ke arah utara. Tara ke arah selatan.

Dari jendela MRT yang berlawanan, mereka saling melambai kecil. Tanpa kata. Tanpa jaminan pertemuan berikutnya. Tapi lambai itu bukan salam perpisahan. Itu semacam pengakuan: “aku melihatmu—dan arah kita saling menghargai.”


Beberapa hari kemudian, Tara kembali ke rutinitas. Di meja kerjanya, ia menempel pembatas buku kayu yang dulu pernah diberikan Galang, kini sudah mulai kusam. Di belakangnya, ia tulis satu kalimat dari rekaman Galang:

“Aku menulis bukan untuk dibalas. Tapi untuk tetap sadar bahwa aku pernah memilih seseorang.”

Ia tidak lagi menunggu email tiap Senin. Tapi setiap kali hari itu datang, ia membiarkan dirinya membaca ulang satu saja dari email-email lama Galang, sembarang pilih, dan meresapinya seperti meneguk kenangan yang tak basi.


Di Warsawa, di sebuah kamar kecil yang tak lagi ia tinggali, Galang meninggalkan naskah novel yang belum rampung. Di halaman pertama, hanya ada satu kalimat:

“Kadang yang setia bukan yang terus mendekat, tapi yang tidak berubah arah walau harus menjauh.”


Cerita mereka mungkin tidak akan ditulis di buku nikah.

Tapi akan terus hidup di ingatan orang-orang yang percaya bahwa menunggu bukan soal waktu, tapi soal keteguhan arah hati.


Musim Boleh Berganti

Cinta mereka tidak meledak seperti kembang api di malam tahun baru.

Ia lebih mirip lentera kecil di jendela—tak menyala terang, tapi cukup bagi seseorang yang tersesat untuk tahu ke mana pulang.

Mereka tak bersatu dalam satu rumah, mungkin juga tidak dalam satu masa depan. Tapi mereka pernah memilih arah yang sama, dan meski waktu menarik langkah ke tempat berbeda, mereka tidak pernah benar-benar mengingkari langkah pertama itu.

Dan barangkali, itu cukup.


Tara kini lebih tenang menghadapi hidup, bukan karena semua sudah sempurna, tapi karena ia pernah mencintai dengan cara yang tidak egois. Ia tahu rasanya bertahan, juga tahu rasanya melepaskan tanpa membenci.

Galang pun tetap menulis. Bukan lagi surat tiap Senin, tapi catatan harian tentang manusia-manusia yang memilih tetap, meski dunia terus mendesak mereka untuk pindah haluan.


Di luar sana, musim akan terus berganti: hujan yang datang tiba-tiba, panas yang membakar, angin yang mengacak arah. Tapi bagi mereka berdua, satu hal tak pernah berubah:

Arah cinta itu tidak diukur dari siapa yang paling dekat, tapi dari siapa yang tetap mengarah, meski tak lagi bersebelahan.

Dan dalam arah itulah, mereka bertumbuh—masing-masing.


TAMAT



Tidak ada komentar:

Posting Komentar