Ketika Reformasi 1998 bergulir, satu suara yang paling nyaring terdengar dari masyarakat sipil adalah ini: “Kembalikan militer ke barak!”. Teriakan ini bukan sekadar jargon, tapi representasi kekecewaan atas praktik dwifungsi ABRI selama puluhan tahun yang membekap ruang demokrasi, menekan kebebasan sipil, dan mencampuradukkan peran senjata dan kekuasaan.
Dua puluh lima tahun kemudian, pada Maret 2025, DPR RI mengesahkan revisi Undang-Undang TNI. Sebagian menyebutnya sebagai bentuk adaptasi terhadap ancaman baru seperti siber dan geopolitik internasional. Tapi sebagian lain—termasuk saya—melihat ini sebagai gerbang baru bagi militer untuk kembali masuk ke dalam kekuasaan sipil secara legal.
Revisi ini memperluas ruang prajurit aktif untuk mengisi jabatan sipil dari 10 menjadi 14 kementerian/lembaga, termasuk Kejaksaan, BSSN, dan BNPT. Bahkan tidak ada lagi kewajiban bagi mereka untuk pensiun terlebih dahulu. Ini jelas bukan penguatan TNI sebagai alat pertahanan negara. Ini adalah penguatan militer sebagai aktor pemerintahan.
Lantas, di mana posisi amanat reformasi 1998? Apakah kini hanya menjadi catatan kaki dalam naskah sejarah, bukan sebagai kompas kebijakan?
Bahaya Laten Dwifungsi Gaya Baru
Tak ada satu pun demokrasi mapan yang memberi ruang luas bagi militer aktif menjabat dalam struktur sipil. Mengapa? Karena senjata dan kekuasaan tak boleh menyatu. Ketika tentara menjadi pejabat, netralitas dan akuntabilitasnya runtuh. Ketika komando militer bercampur dengan birokrasi sipil, pengawasan publik lumpuh.
UU TNI yang baru boleh jadi tidak menyebut kata “dwifungsi”, tapi roh-nya terasa menghidupkan kembali praktik itu dalam bentuk yang lebih halus dan legal. Inilah yang disebut oleh banyak pengamat sebagai "dwifungsi bergincu", kelihatan manis tapi mengandung racun demokrasi.
Apakah Kita Sedang Mundur?
Jika reformasi pernah menjadi janji kolektif bangsa, maka revisi UU TNI 2025 tampak seperti sebuah pengkhianatan sunyi. Pelan tapi pasti, militer kembali diundang duduk di meja pemerintahan, bukan untuk menjaga dari luar, tapi untuk ikut mengatur dari dalam.
Apakah ini kebutuhan zaman, atau nafsu lama yang menyamar sebagai kebaruan?
Sebagai rakyat sipil, kita punya hak dan kewajiban untuk bertanya, mengkritik, dan mengingatkan: reformasi tidak boleh dihapus diam-diam hanya karena kita lengah atau lelah.
Jangan sampai senjata kembali memerintah. Jangan sampai kita mengulangi sejarah, hanya karena kita gagal menjaga warisan perjuangan 1998.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar