Mudik. Sebuah kata sederhana, namun sarat makna bagi jutaan perantau di negeri ini. Setiap menjelang hari raya, arus manusia mengalir deras ke arah berlawanan dari kota: menuju desa, menuju kampung halaman. Di sana, peluk tawa menyambut mereka yang kembali. Rumah-rumah dibersihkan, dapur kembali menghangat, dan cerita-cerita keberhasilan menjadi menu utama di meja makan. Mudik, bagi banyak orang, adalah perayaan atas keberhasilan bertahan di perantauan.
Namun tidak bagi semua orang.
Bagi sebagian lainnya, mudik justru menjadi cermin yang menyakitkan. Seorang perantau yang pernah bermimpi besar kini duduk di kamar kontrakan sempit, menimbang-nimbang: pulang atau tidak? Bukan karena tak cinta kampung halaman, tapi karena takut tak diakui, takut pertanyaan basa-basi berubah jadi penghakiman. “Kerja di mana sekarang?”, “Sudah punya mobil?”, “Kapan bangun rumah di sini?” — kalimat-kalimat sederhana yang menyayat diam-diam.
Dalam sunyi itu, ia pun bertanya pada dirinya sendiri: apakah pulang harus selalu disambut kemenangan?
Albert Camus pernah menulis, "In the depth of winter, I finally learned that within me there lay an invincible summer." Tapi bagaimana jika musim dingin itu terus bertahan di dalam dada, dan kampung halaman tak lagi membawa kehangatan?
Esai ini adalah renungan seorang perantau yang tak menemukan kemenangan dalam petualangannya. Tentang luka diam-diam yang membuatnya ragu untuk kembali. Tentang kampung halaman yang dulu dirindukan, kini terasa terlalu terang untuk luka-luka yang ingin disembunyikan.
Aku datang ke kota dengan ransel berisi harapan. Selembar ijazah, sejumlah doa dari ibu, dan keyakinan naif bahwa kerja keras pasti berbuah manis. Aku kira, kota akan menyambut siapa saja yang punya tekad. Aku kira, hidup hanya perlu dilawan dengan semangat. Aku salah.
Tahun-tahun berlalu. Pekerjaan datang dan pergi seperti hujan di musim pancaroba — tak pasti, kadang deras tapi sebentar. Gajiku tak pernah cukup untuk ditabung, apalagi dikirim sebagai kabar baik ke kampung. Aku berpindah dari satu kamar kontrakan ke kamar lain yang lebih sempit. Dari satu janji ke janji lain yang tak pernah menjadi kenyataan.
Sementara itu, teman-teman seperjuangan satu per satu pulang membawa cerita sukses. Ada yang buka toko, ada yang bawa mobil, ada yang membangun rumah dua lantai untuk orang tuanya. Mereka pulang dengan dada tegak, disambut dengan senyum, dan dielu-elukan sebagai bukti bahwa merantau itu pilihan yang benar. Aku diam-diam merasa seperti noda di antara keberhasilan itu.
Ada malam-malam ketika aku bicara sendiri di balik jendela, menatap lampu-lampu kota yang tak ramah. Aku bertanya-tanya, mungkinkah aku yang terlalu lemah? Ataukah memang dunia ini tidak adil? Dalam pikiranku, aku mengulang-ulang kutipan dari Winston Churchill:
“Success is not final, failure is not fatal: it is the courage to continue that counts.”
Tapi apa gunanya keberanian untuk terus melangkah, jika setiap langkah hanya membuatku semakin jauh dari siapa yang dulu aku ingin jadi?
Aku pernah percaya bahwa kerja keras akan selalu menemukan jalannya. Kini aku mulai ragu — jangan-jangan, aku telah salah jalan sejak awal.
Dan saat musim mudik kembali datang, aku mulai merasa: kota ini memang menyiksaku, tapi kampung halaman pun bukan tempat untuk bersembunyi.
_____________________________________
Kampung halaman, dalam ingatan masa kecilku, adalah tempat yang ramah dan teduh. Di sanalah aku pertama kali belajar berjalan, belajar mengeja, dan belajar bermimpi. Tapi entah sejak kapan, kampung itu berubah dari rumah menjadi ruang penghakiman.
Setiap kali aku pulang, ada perasaan tercekik yang datang bersama senyum-senyum basa-basi. Pertanyaan-pertanyaan ringan yang dilemparkan dengan nada ramah, tapi jatuhnya seperti peluru pelan:
“Kerja di mana sekarang?”
“Kapan bawa calon istri ke sini?”
“Sudah bisa bangun rumah buat orang tua, belum?”
Pertanyaan-pertanyaan yang mengandung asumsi: bahwa perantauan harus menghasilkan. Bahwa mereka yang pulang harus membawa kabar baik. Bahwa sukses punya bentuk yang bisa dilihat mata dan ditimbang tetangga.
Terkadang aku ingin menjawab jujur. Ingin bilang kalau hidupku tidak baik-baik saja, bahwa aku lelah, bahwa aku sedang belajar bertahan — tapi kata-kata itu terasa terlalu asing di tengah euforia mudik yang penuh syukur dan prestasi. Aku memilih diam. Tersenyum seolah semua baik-baik saja. Seolah aku bagian dari cerita keberhasilan yang mereka ingin dengar.
Di tengah keramaian itu, aku merasa asing. Seperti penonton dalam panggung yang tak pernah kupahami naskahnya. Aku mulai bertanya: apakah kampung halaman ini benar-benar tempat untuk pulang, atau hanya panggung seleksi diam-diam — siapa yang layak dielu-elukan dan siapa yang pantas dilupakan?
Aku teringat kutipan dari Naguib Mahfouz, sastrawan Mesir peraih Nobel:
“Home is not where you were born; home is where all your attempts to escape cease.”
Tapi mengapa di kampung sendiri, aku justru ingin kabur?
Mungkin bukan kampung ini yang berubah. Mungkin aku yang sudah tak lagi punya tempat di dalam definisi mereka tentang “anak rantau yang berhasil”. Mungkin luka itu memang tak bisa disembunyikan, meski aku pulang dengan senyum dan tangan penuh oleh-oleh.
Dan mungkin, untuk yang seperti aku, mudik bukanlah pulang — melainkan ujian tentang betapa jauh jarak antara rumah dan penerimaan.
Setelah musim mudik berlalu, aku duduk sendiri di kamar kontrakan yang kembali sepi. Tak ada lagi deru kendaraan di stasiun, tak ada lagi kiriman foto-foto keluarga besar berpose di ruang tamu. Aku hanya punya cermin kecil, secangkir kopi yang mulai dingin, dan pertanyaan yang tak kunjung mendapat jawaban: untuk apa pulang jika hanya untuk merasa lebih kecil dari yang lain?
Aku mulai mempertanyakan makna pulang. Apakah pulang itu harus membawa kisah sukses, atau cukup membawa kejujuran tentang siapa diri kita sebenarnya? Mengapa kebanyakan dari kita menyamakan mudik dengan pertunjukan kemenangan — seolah hidup harus dikisahkan seperti cerita dongeng yang berakhir bahagia?
Ada keinginan untuk tak pulang tahun depan. Bukan karena aku tak mencintai tanah kelahiran, tapi karena aku sedang belajar mencintai diriku sendiri — yang gagal, yang goyah, yang belum menjadi siapa-siapa. Aku ingin berhenti memaksakan diri untuk menyenangkan ekspektasi orang-orang yang bahkan tak tahu bagaimana sulitnya hari-hariku di perantauan.
Di tengah renungan itu, aku teringat kutipan dari Marcel Proust:
“The real voyage of discovery consists not in seeking new landscapes, but in having new eyes.”
Mungkin selama ini, aku terlalu sibuk membuktikan sesuatu, hingga lupa memaknai apa yang benar-benar penting: kejujuran, ketulusan, dan keberanian untuk menerima diri. Mungkin pulang tidak selalu berarti kembali ke tempat, tapi kembali ke hati yang mau berdamai dengan luka-lukanya.
Aku pun mulai memandang ulang arti sukses. Apakah sukses itu benar-benar tentang pekerjaan tetap, rumah besar, dan pujian tetangga? Ataukah tentang bertahan saat semuanya nyaris runtuh, tentang bangkit meski tertatih, tentang masih mampu tersenyum ketika tak ada satu pun alasan untuk itu?
Sunyi ini memberiku ruang untuk mendengar suara hati — suara yang sering kalah oleh kebisingan dunia. Dan suara itu berkata: jangan ukur nilai hidupmu dari tatapan orang lain.
Tahun ini mungkin aku tak akan mudik. Tidak ada tiket kereta yang dipesan, tidak ada koper yang dikemas, tidak ada oleh-oleh yang dibeli. Tapi bukan berarti aku tak pulang.
Aku sedang mempersiapkan pulang yang lain — pulang yang tidak disambut sorak-sorai atau tepuk tangan, tapi disambut oleh ketenangan dalam dada. Pulang kepada diri sendiri yang utuh, meski belum jadi siapa-siapa. Pulang kepada kesadaran bahwa nilai hidup tidak ditentukan oleh seberapa banyak pujian yang kita terima, tapi seberapa jujur kita menjalani tiap langkah.
Aku mulai memahami, bahwa kampung halaman sejati bukan hanya soal tempat lahir atau alamat KTP, tapi tempat di mana kita bisa berhenti berpura-pura. Tempat di mana keberanian untuk gagal tidak dianggap aib. Tempat di mana kejujuran disambut dengan pelukan, bukan penilaian.
Carson McCullers pernah menulis,
“We are homesick most for the places we have never known.”
Dan mungkin itulah pulang yang kucari: bukan kembali ke rumah, tapi menuju tempat di mana aku tidak harus membuktikan apa-apa. Tempat yang bisa memelukku, meski aku datang dengan tangan kosong.
Sampai saat itu tiba, biarkan aku tinggal di kota ini — menata ulang serpih-serpih harapan, menyulam ulang makna hidup, dan merangkai pulang versiku sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar