Minggu, 06 April 2025

Integritas


Di sebuah kota kecil yang mulai menggeliat mengikuti arus reformasi, nama Dr. Raka Darmawan menyeruak bak embun pagi di tengah ladang penuh debu birokrasi. Ia datang bukan dengan kendaraan dinas mengilap atau rombongan protokoler, tapi dengan sepeda tua berderit yang bannya kempis sebelah—didorongnya sendiri dari kos-kosan mungil dekat pasar pagi. Wajahnya bersih, langkahnya tenang, dan tutur katanya mengandung semacam aura suci yang tak dapat dijelaskan dengan logika manusia biasa.

Orang-orang menyebutnya "Manusia Integritas", kadang dengan decak kagum, kadang pula dengan getir sinis yang mereka sembunyikan di balik senyum.

Ia menolak jabatan rangkap yang ditawarkan padanya dengan satu kalimat pendek yang kemudian viral: “Saya hanya ingin bekerja, bukan menumpuk kekuasaan.”
Ia menolak mobil dinas karena menurutnya lebih baik anggaran itu dipakai memperbaiki jembatan rusak di ujung kecamatan. Bahkan ketika diberi kehormatan membuka rapat koordinasi nasional, ia menolak duduk di kursi paling depan dan memilih berdiri di belakang, “agar tidak menutupi pandangan peserta lain,” katanya.

Media lokal menjadikannya pahlawan.
Mahasiswa menuliskan namanya dalam spanduk pro-reformasi.
Anak-anak muda mengidolakan gaya hidup minimalisnya.

Di meja kerjanya yang polos tanpa ornamen, hanya ada satu tulisan kecil yang digantung dengan benang hitam:
“Jika engkau memakan uang rakyat, sejatinya engkau sedang memakan darah mereka.”
Kaligrafi itu katanya dibuat sendiri, dengan tinta hitam pekat yang diolah dari arang batok kelapa.

Raka bukan hanya bersih, tapi seolah-olah tak punya cela. Tak pernah terlihat marah, tak pernah tertawa keras. Ia tak pernah absen, tak pernah terlambat, tak pernah pulang lebih awal.
Seakan-akan waktu sendiri pun tunduk padanya.

Dan yang paling membuat banyak orang takjub—atau geleng-geleng kepala—ialah kebiasaannya mencatat setiap pengeluaran pribadinya dengan detil luar biasa. Bahkan, saat membeli satu sendok teh kopi sachet dari warung samping kantor, ia tulis dalam catatan: "Kopi, Rp500, dana pribadi, bukan dari kas daerah."

Sejak itulah, legenda Raka mulai tumbuh, liar dan tak terkendali. Ia tak sekadar menjadi simbol integritas—ia adalah integritas itu sendiri, berjalan di atas bumi, makan nasi pecel, dan naik sepeda kempis.

Tapi semua orang lupa satu hal kecil:
Orang yang tampak terlalu sempurna, sering kali menyembunyikan sesuatu yang lebih gelap daripada yang pernah dibayangkan manusia biasa.


 Awalnya semua terasa baik-baik saja. Kehadiran Raka seperti udara segar yang menyusup ke sela-sela kantor penuh aroma map lusuh dan kertas pertanggungjawaban fiktif. Tapi, seperti parfum yang terlalu tajam, lama-lama keharuman itu menyesakkan dada.

Pegawai lain mulai resah.
Bukan karena mereka membenci kejujuran, tetapi karena merasa diawasi tanpa diawasi. Dihakimi tanpa dihakimi. Disalib diam-diam dengan standar moral yang tak mereka sepakati dalam rapat.

Raka mencatat.
Selalu mencatat.
Bukan hanya pengeluarannya, tapi juga hal-hal kecil yang bagi orang lain mungkin sepele:
— Pulpen kantor yang hilang.
— Printer yang tinta warnanya mendadak habis setiap hari Jumat.
— Mobil dinas yang parkir di depan restoran keluarga pejabat.
— Nama-nama tamu yang datang saat jam kerja dan pulang membawa sesuatu dalam kantong kertas cokelat.

Ia tak pernah menunjuk langsung, hanya menatap sebentar—lalu menunduk, mencatat di buku sakunya yang kecil dan berwarna gelap. Buku yang konon katanya akan dibakar setiap akhir bulan, setelah ia salin ulang ke dalam dokumen pribadi dengan kata-kata yang lebih sistematis.

Kepala bidang sempat berkata dalam forum kecil, setengah berbisik:
"Kalau semua orang seperti dia, kantor ini jadi rumah tahanan moral."
Yang lain tertawa lirih, lalu diam cepat-cepat, takut terdengar.

Puncaknya adalah ketika ia menolak menandatangani persetujuan proyek pengadaan komputer yang sudah diatur sedemikian rupa agar semua bagian kebagian jatah—bukan uang suap, tentu saja, hanya “kompensasi loyalitas”.

Raka, dengan wajah netral dan nada datar, hanya berkata,
"Saya tidak bisa menyetujui sesuatu yang tidak sesuai asas manfaat."

Ia bahkan membuat laporan internal ke inspektorat daerah. Tak ada nama yang disebut secara eksplisit, tapi semua orang tahu: itu tentang mereka. Tentang kita. Tentang kita semua.

Lalu muncullah julukan itu:
Gila Integritas.
Disampaikan dengan tawa getir di ruang pantry, atau dengan gumaman pendek di lorong kantor. Sebuah sindiran yang lahir dari rasa bersalah yang gagal diredam.

Yang lebih menyakitkan adalah bahwa Raka tidak peduli.
Ia tetap datang pagi. Tetap naik sepeda. Tetap mencatat. Tetap menolak.
Dan yang paling menyebalkan: tetap terlihat benar.

Sampai seseorang berkata dengan nada putus asa,
"Kita butuh orang baik, bukan nabi. Tuhan saja memaafkan, kenapa dia tidak?"


Waktu berlalu.

Setiap pagi, sepeda kempis Raka tetap muncul di halaman kantor. Helm hitamnya tergantung di stang, wajahnya bersih dari debu dan dosa. Ia datang sebelum satpam membuka pagar, duduk di meja kerjanya seperti biksu yang memulai meditasi.

Namun suasana kantor tidak lagi damai.
Ada mata-mata baru yang diam-diam mulai mengawasi sang malaikat.

Orang-orang yang dulu mengaguminya kini menahan gumaman di tenggorokan. Ada yang tak lagi menyapanya di pagi hari. Ada yang pura-pura sibuk saat ia lewat. Bahkan sekretaris kepala dinas, yang dulu sering menyeduhkan teh hangat untuknya, kini hanya menyuguhkan air putih dingin—tanpa senyum.

Sebab Raka telah mengganggu harmoni diam-diam yang selama ini menyatukan mereka: kesepakatan tak tertulis bahwa integritas hanya dipakai untuk pidato, bukan untuk hidup sehari-hari.


Media pun mulai bergeser.
Dulu, mereka mengutip semua kalimat Raka layaknya firman. Kini, mereka mulai menggali sisi lain:
“Apakah benar Raka Darmawan tidak pernah salah?”
“Manusia atau mesin etika?”
“Mengapa dia tidak menikah?”

Pertanyaan-pertanyaan itu muncul bukan karena ada skandal—melainkan karena ketiadaan cela itu sendiri menimbulkan kecurigaan.

Mahasiswa yang dulu menjunjung namanya di spanduk mulai mengejeknya di Twitter:
"Kita butuh reformis, bukan pendeta."
"Kalau mau bersih total, ya hidup di gua, Bang."

Raka tak merespons. Ia hanya mencatat.

Dan justru di situlah ironi mulai mengendap dalam benak semua orang:
Apakah dia benar-benar manusia jujur, atau hanya aktor besar dalam panggung sunyi yang dia sutradarai sendiri?

Beberapa pegawai mulai berspekulasi:

  • “Dia pasti punya rencana politik.”
  • “Mungkin dia sedang main citra buat nyalon tahun depan.”
  • “Atau jangan-jangan… dia hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengambil semuanya sekaligus.”

Kecurigaan tumbuh bukan dari bukti, tapi dari lelahnya menghadapi moral yang terlalu tinggi untuk dijangkau.
Dan ketika sebuah kebaikan tak bisa disentuh, manusia tak akan menyembahnya selamanya—mereka akan mulai mencari cara untuk menjatuhkannya.

Dan dari situlah semuanya mulai berbalik.
Mereka tidak ingin membuktikan bahwa Raka benar.
Mereka hanya ingin membuktikan bahwa Raka, sama seperti mereka, bisa salah.
Atau lebih baik lagi: telah bersalah, sejak awal.


Hari itu, langit di atas kantor pemerintahan mendung, seolah sudah tahu bahwa sesuatu akan jatuh, bukan dari langit—tapi dari pedestal integritas yang terlalu tinggi dibangun manusia.

Kabar itu meledak tanpa aba-aba.

Satu per satu notifikasi menyentuh layar gawai para pegawai, wartawan, dan pejabat—sebuah tangkapan layar dari aplikasi pemesanan wanita panggilan dengan nama pengguna: "Rakar_47".
Foto profilnya kabur, tapi bayangan wajah dan potongan kemeja batik khas Raka tak bisa disangkal.

Orang-orang tertawa tak percaya, lalu berhenti tertawa. Lalu membaca ulang. Lalu diam.

Tak lama kemudian, portal berita lokal mengunggah berita lanjutan:
“Dr. Raka Darmawan Dilantik Diam-diam Sebagai Komisaris, Ketua Tim Percepatan, dan Penasehat Proyek Jalan Lintas.”
Tiga jabatan dalam satu hari. Semua melalui SK khusus yang ditandatangani langsung oleh Bupati—yang dulu ditolak Raka secara terbuka dengan alasan "tidak sesuai etika jabatan".

Tiga!
Untuk seseorang yang dulunya menolak satu jabatan tambahan saja karena takut dianggap serakah.


Tak cukup di situ.
Rekaman video dari kamera tersembunyi di salah satu mobil ojek daring memperlihatkan Raka duduk di kursi belakang sebuah restoran mahal, berbicara serius dengan pengusaha proyek jembatan.
Suara bising, tapi sempat terekam jelas satu kalimat dari Raka:
"Kontraknya saya jamin lolos, asal tidak ada yang iseng buka mulut sebelum tender diumumkan."

Kegemparan pun pecah.
Para pemuja berubah menjadi pembakar.
Spanduk lama diturunkan, video testimoni dihapus, mural wajah Raka di dinding kampus dicat ulang.

Dan entah kenapa, saat semua orang marah dan bingung, Raka justru tersenyum tenang di depan mikrofon wartawan.

Di tengah kerumunan media yang berlomba bertanya, Raka hanya menatap lensa kamera, lalu bicara perlahan:
"Kalian salah menilai saya. Saya tidak gila integritas. Saya hanya... sangat mengerti cara kerja persepsi."

"Integritas yang kalian lihat hanyalah lampion. Cahaya yang kutaruh di depan, agar kalian tak sempat melihat bayangan di belakangku."

"Aku bukan yang paling bersih. Aku hanya paling cerdik menulis cerita hidupku."

Dan saat ia melangkah pergi dari konferensi pers, satu kalimat terakhirnya terekam jelas dan membekas seperti pahatan di dinding:
"Yang paling suci bukan yang paling benar. Kadang, ia hanya yang paling tak tersentuh—karena ia tahu cara memegang sapu tanpa menyentuh kotoran."


Hari itu, kota kehilangan panutannya.
Atau mungkin, kehilangan ilusi panutan yang terlalu lama dipertahankan.

Dan Raka? Ia tak lari.
Ia tidak sembunyi.
Ia justru dipanggil menghadap gubernur—bukan untuk dipecat, tapi dipromosikan menjadi ketua lembaga etik provinsi.

Integritas, rupanya, bukan soal isi.
Tapi soal kemasan.

Dan Raka—adalah kemasan terbaik yang pernah dibuat zaman ini.


Pekan berikutnya, ruang sidang kehormatan etika digelar terbuka.

Bukan untuk mengadili, tapi untuk “mendengarkan klarifikasi” dari tokoh yang sempat dianggap malaikat oleh negeri mini itu.

Dr. Raka Darmawan duduk sendirian di kursi tengah, mengenakan batik cokelat yang sama seperti yang ada di foto aplikasi cewek panggilan. Tak ada kegugupan. Tak ada pengacara. Tak ada permintaan maaf.

Ia membuka bicara bahkan sebelum dipersilakan.
Dan kata-katanya menyentuh langit-langit ruangan seperti asap dupa yang tenang tapi menyesakkan.

“Kalian pikir saya khianat? Tidak. Kalian yang terlalu naif menelan citra tanpa pencernaan.”

Semua terdiam. Ketua dewan etika yang tadinya hendak membuka daftar pertanyaan memilih menutup mapnya perlahan.

“Saya tidak pernah mengaku suci. Kalian yang mengangkat saya seperti itu.
Saya hanya menjalani apa yang kalian ingin lihat.
Sepeda? Citra.
Menolak jabatan? Strategi.
Tidak menikah? Kalkulasi.
Semua kalian makan mentah-mentah.
Karena kalian haus simbol. Dan saya, Tuan dan Nyonya, hanya menjual simbol itu… lebih laris dari nasi bungkus di pinggir jalan.”

Salah satu anggota dewan bangkit berdiri, ingin membantah, namun mulutnya tertahan oleh tatapan Raka yang dingin dan tajam.

“Kalian tidak marah karena saya bersalah.
Kalian marah karena saya berhasil.
Kalau saya gagal, kalian akan bilang saya korban sistem.
Tapi karena saya naik, kalian sebut saya licik.
Bedanya bukan moral. Bedanya hanya hasil.”

Seseorang di pojok ruangan berbisik, “Ini bukan klarifikasi. Ini khotbah iblis.”
Yang lain diam. Tak tahu harus menentang atau kagum.


Setelah sidang, seorang wartawan muda nekat mengikuti Raka keluar gedung.
Ia mengejar dari belakang dan dengan gemetar bertanya,
"Apakah Anda tidak merasa bersalah sedikit pun… setelah semua kepercayaan itu?”

Raka menoleh pelan.
Lalu tersenyum, untuk pertama kalinya dalam cerita ini—senyum tipis seperti pisau cukur.

“Integritas bukan tentang benar atau salah, Nak.
Ini tentang siapa yang lebih dulu mendefinisikannya… dan siapa yang cukup cerdas untuk menjualnya sebelum kedaluwarsa.”

“Dan saya, Alhamdulillah… tidak pernah kehabisan stok.”


Hari itu, publik kehilangan kata-kata.
Tapi tidak kehilangan arah.
Mereka tetap bergerak, karena hidup harus berjalan.
Dan di pinggir kota, sebuah baliho besar dipasang:
“Dr. Raka Darmawan — Menuju Provinsi Bersih dan Profesional.”

Dengan logo: Etika Adalah Pilihan.


Waktu berjalan.

Kasus Raka perlahan dilupakan, seperti semua skandal yang pernah menggelegar lalu tenggelam di kolam amnesia kolektif. Media mengganti narasi, masyarakat mengganti topik, dan pemerintah mengganti baliho dengan wajah-wajah baru—yang belum tentu lebih baik, hanya belum ketahuan.

Raka sendiri tidak menghilang.
Ia justru bersinar lebih terang. Diangkat menjadi Kepala Lembaga Etika Provinsi, dipercayakan menangani reformasi ASN se-NTB, dan disebut-sebut akan maju sebagai calon wakil gubernur.

Ironisnya, semua pencapaian itu tetap dikaitkan dengan satu hal: integritas.

Ya, integritas—kata yang dulu bermakna suci, kini terasa getir seperti kertas pujian yang basah oleh air liur penipuan.
Integritas yang dulu menjadi pedoman, kini jadi produk.
Dan Raka—adalah penjual paling larisnya.


Di dalam ruang kerjanya yang baru—lebih luas, ber-AC sentral, dan menghadap taman gubernuran—Raka masih menyimpan satu benda yang sama:
Buku kecil bersampul gelap.
Isinya tetap catatan.
Tapi kini bukan lagi pengeluaran pribadi, melainkan nama-nama pejabat yang bisa dijadikan alat tukar bila perlu.

Suatu malam, ketika semua staf sudah pulang, ia duduk di depan cermin.
Bukan untuk bercermin, tapi untuk menatap matanya sendiri.
Dan perlahan ia bertanya, dengan suara nyaris tak terdengar:

“Raka, apakah kau masih tahu siapa dirimu sebelum semua ini dimulai?”

Tak ada jawaban.
Hanya bayangan dirinya sendiri, duduk di kursi empuk, dikelilingi lemari penuh piagam, dan satu foto besar dirinya menerima penghargaan:
“Tokoh Integritas Nasional.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar