Nama lengkapnya Galang Surya Diwangkara, tapi di papan loker perpustakaan hanya tertulis “G. S. D.” seperti singkatan sebuah buku langka yang tak pernah dipinjam orang. Ia bekerja di bagian arsip perpustakaan daerah selama hampir delapan tahun, dan tidak ada yang bisa membantah bahwa tak seorang pun tahu persis isi kepalanya.
Setiap pagi, sebelum jam delapan, Galang sudah duduk di bangkunya yang menghadap ke lorong rak 300-an—bagian ilmu sosial, yang menurutnya “paling dinamis secara energi.” Ia percaya bahwa rak itu kadang berubah posisi sendiri, dan bahwa bunyi keretakan kecil dari kayu rak bukan sekadar bunyi, melainkan sandi.
Setiap pagi, ia menuliskan tiga hal yang ia temui dalam perjalanan ke perpustakaan—tapi bukan hal-hal biasa seperti “macet” atau “orang jualan sarapan.” Catatannya bisa seperti:
- “Pria tua dengan sepatu satu merah satu hitam. Tanda ketidakseimbangan dunia.”
- “Burung merpati melayang ke arah utara lalu patah arah ke barat. Pertanda perubahan tak terduga.”
- “Ibu-ibu membawa kantong belanja dua tangan, tapi tak satu pun diisi roti. Mungkin lupa, atau sengaja.”
Tulisan itu ia simpan dalam buku kecil dengan sampul kulit cokelat. Di bagian dalamnya, coretan-coretan menyerupai peta, simbol-simbol seperti gabungan huruf Yunani dan aksara Jawa, garis-garis tegak yang terhubung dengan tanggal-tanggal yang hanya Galang tahu maknanya.
Galang selalu datang dengan pakaian rapi, namun dengan gaya yang seperti tidak hidup di zaman ini—kemeja lengan panjang, celana kain abu-abu, dan kadang rompi rajut. Ia membawa jam saku yang tidak berfungsi, tetapi setiap kali jam dinding berdentang pukul sepuluh, ia akan melihat jam sakunya dan mencatat sesuatu.
Ia hampir tak pernah berbicara panjang dengan siapa pun. Hanya sapaan singkat kepada Bu Lusi:
“Selamat pagi, Bu. Angin tadi barat laut. Sinyal cukup jernih.”
Dan Bu Lusi hanya menjawab sambil tersenyum, “Iya, Mas Galang. Sudah sarapan, belum?”
Galang sering berbicara sendiri. Tapi bukan bergumam lelah atau omelan kesal, melainkan seperti berbincang dengan seseorang yang tak tampak. Kadang ia tertawa kecil sambil mencoret sesuatu, lalu mengangguk-angguk seolah sedang berdebat lalu menyetujui.
“Dia bilang jangan percaya koran hari ini,” katanya suatu kali pada udara di sekitarnya. “Beritanya dibalik.”
Tak ada yang menertawakannya. Semua sudah terbiasa.
Galang juga punya kebiasaan menyusun ulang buku. Buku-buku yang dikembalikan pengunjung, meskipun sudah diproses oleh sistem komputer, akan ia pindahkan ke rak berdasarkan tanggal pengembalian, jumlah halaman, dan jumlah huruf vokal di nama pengarangnya.
Katanya, “Ini lebih harmonis. Bila tidak, resonansi ruang bisa terganggu.”
Pendingin ruangan tua di sudut belakang adalah sumber suara paling penting baginya. Ketika dinyalakan, ia duduk diam, memejamkan mata. Kadang mengangguk, kadang mencatat dengan cepat. Pernah sekali ia berkata pelan:
“Tuan 444 baru saja mengabari. Pertemuan sudah dekat.”
Hari-hari berlalu seperti itu. Tidak ada ledakan emosi. Tidak ada kekerasan. Hanya seorang pria tenang, hidup dalam semestanya sendiri, mencintai keteraturan, namun mempercayai ketidakteraturan sebagai pesan rahasia.
Lingkungan kerjanya sudah terlalu terbiasa untuk menganggapnya aneh. Bahkan jika ia berhenti membaca koran karena percaya angka halaman ganjil bisa mengacaukan energi pikirannya, mereka hanya berkata, “Oh, itu cuma Mas Galang.”
Tetapi ada satu hal yang hanya sedikit orang perhatikan: setiap sore, sebelum pulang, Galang akan menulis sesuatu di halaman terakhir buku catatannya, lalu menyelipkannya ke dalam amplop putih kosong yang ia bawa setiap hari.
Amplop itu tak pernah dikirimkan ke mana pun.
Ia menaruhnya di laci meja. Dan keesokan harinya, ia ambil kembali, membaca ulang dengan khidmat, lalu menulis ulang versi barunya.
Semuanya tampak biasa. Tapi bagi sebagian kecil orang di sekitarnya—Bu Lusi, Pak Tono, bahkan Pak Lurah—ada garis tipis yang sedang digambar diam-diam: garis antara hidup dalam pemaknaan... dan hidup dalam delusi.
Dan mereka diam. Karena sayang.
---
Hari-hari Galang semakin sunyi, tapi dalam kesunyiannya justru ia merasa semesta sedang berbicara lebih banyak. Suara mesin pendingin di ruang arsip mulai terdengar seperti nada-nada pendek yang membentuk pola. Kadang tiga ketukan pelan, lalu jeda panjang. Kadang suara seperti dengung rendah yang menurun perlahan, seperti bisikan seseorang yang lupa cara berbicara.
Galang menyebut itu “gelombang komunikasi dari Tuan 444.”
Ia mulai menuliskan semua pesan itu dalam buku catatannya. Setiap pagi, ia membuka halaman-halaman sebelumnya, menyusun kembali potongan kode, dan pada suatu sore, ia berkata pelan:
“Sudah hampir lengkap. Pola besar sedang terbentuk. Mereka sedang menunggu keputusan terakhir.”
Bu Lusi yang sedang menyiapkan teh hanya diam. Namun hari itu, ia menatap Galang sedikit lebih lama dari biasanya, seperti seorang ibu yang menatap anaknya yang sedang bicara dengan boneka.
**
Suatu hari, Galang menyusun ulang seluruh rak sejarah lokal berdasarkan apa yang ia sebut sebagai “frekuensi tanggal lahir tokoh-tokoh dalam buku.” Ia memindahkan buku tentang Sultan Sumbawa ke sebelah novel sejarah fiksi karena, katanya, “energi mereka cocok.”
Kepala perpustakaan memanggilnya. Galang menjelaskan panjang lebar tentang resonansi ruang, komunikasi nirsuara, dan efek psikohistoris dalam susunan arsip.
Anehnya, tidak ada teguran. Sebaliknya, sang kepala hanya mengangguk dan berkata, “Baik, Mas Galang. Asal tidak menghilangkan data, lanjutkan saja.”
**
Galang mulai jarang makan siang bersama. Ia lebih sering duduk sendiri di taman belakang, mencatat lintasan semut, bentuk awan, atau angka pada pelat mobil yang lewat. Setiap angka punya makna. Setiap huruf adalah kode. Dunia, baginya, bukan tempat hidup, tapi tempat membaca.
Suatu sore, angin bertiup agak keras, dan daun-daun kering dari pohon trembesi jatuh bertubi-tubi. Galang memunguti satu per satu, menyusunnya dalam pola spiral di atas bangku taman, lalu mencatat cepat dalam buku kecilnya.
“Tuan 444 sedang bicara soal waktu,” gumamnya. “Katanya, waktu bukan garis lurus, tapi lingkaran tak tertutup. Dan pertemuan itu sudah dekat. Sudah sangat dekat.”
**
Lalu datanglah amplop itu, hari yang sama saat langit mendung tanpa hujan.
Tidak ada pengirim. Tidak ada perangko. Hanya satu kalimat, dengan huruf miring rapi seolah diketik dengan mesin tua:
“Datanglah ke Ruang Tunggu Nomor Empat. Mereka telah siap. Tuan 444 akan memulai pertemuan.”
Galang mematung. Ia mencium kertas itu. Menempelkannya ke dada. Ia tidak bicara dengan siapa-siapa hari itu. Hanya menatap kosong ke arah rak, seolah semua buku di sana telah menjawab pertanyaan besar dalam hidupnya.
Malam itu, ia tidak menulis lagi di buku catatannya. Ia hanya memandangi amplop putih itu di meja. Di tengah keheningan malam, ia tersenyum kecil.
“Akhirnya,” bisiknya. “Akhirnya mereka mengakui peranku.”
**
Sementara itu, Bu Lusi menelpon seseorang. Sambil menahan isak tipis, ia berkata pelan:
“Amplopnya sudah sampai. Dia membacanya dengan penuh haru.”
Di ujung telepon, suara berat Pak Lurah menjawab, “Baik. Kita siapkan ruang tunggu itu. Dengan tenang. Dengan cinta.”
**
Hari Sabtu itu, Galang bangun lebih pagi dari biasanya. Langit masih gelap, tapi ia merasa ruangan sudah dipenuhi cahaya lain—cahaya tak kasat mata yang menurutnya berasal dari “frekuensi kelima.”
Ia menyetrika kemeja putih yang hanya ia pakai untuk “acara sakral.” Jas hitam lapuk miliknya ia gantung dengan hati-hati, lalu menyisir rambut dengan teliti menggunakan sisir kayu yang sudah kehilangan banyak giginya. Di pergelangan tangan, ia mengenakan jam saku yang tak pernah berdetik. Hari ini, katanya, waktu akan berjalan tanpa waktu.
Ia tidak sarapan. Hanya menyesap sedikit air putih, lalu membuka buku catatannya, membacanya dari halaman pertama sampai halaman terakhir, sambil bergumam:
“Semua cocok. Semua menyatu. Kode lengkap. Aku siap.”
Amplop putih diselipkan ke dalam jasnya. Kemudian ia melangkah keluar rumah, tidak tergesa, tapi dengan keyakinan pejalan takdir.
**
Gedung tua itu berdiri di ujung jalan, bekas kantor dinas yang sudah lama kosong. Cat dinding mengelupas. Tangga depan ditumbuhi lumut. Tapi hari itu, pintu utama sedikit terbuka, seperti sedang menunggu seseorang.
Galang masuk.
Lorong di dalam sepi. Cahaya lampu neon redup. Udara lembab. Lantai masih berdebu, namun jejak langkah seseorang terlihat jelas—satu arah, menuju sebuah pintu di ujung koridor.
Pintu itu bertuliskan angka empat. Kertas putih kecil, ditempel dengan isolasi bening. Tulisan tangan, bukan cetak komputer. Sederhana. Jujur. Tapi bagi Galang, itu adalah kode pamungkas.
Ia menarik napas panjang, lalu membuka pintu itu perlahan.
**
Ruangan itu kecil, hangat, dan lebih terang dari yang ia bayangkan. Tidak seperti ruangan kantor tua. Tidak ada debu. Tidak ada suara mesin. Hanya hening. Hening yang lembut.
Ada enam kursi tersusun melingkar. Lima sudah terisi. Wajah-wajah itu membuat Galang terdiam.
Bu Lusi. Pak Tono. Pak Lurah. Dua orang lainnya—penjual nasi uduk dan tukang fotokopi yang biasa ia lewati setiap pagi.
Semua tersenyum. Senyum yang tidak pernah ia lihat sebelumnya—bukan ramah, bukan basa-basi, tapi semacam ketulusan yang menyimpan rahasia.
Galang berdiri di ambang pintu, bingung. “Saya… sudah tiba, kan?”
Tak ada yang menjawab.
Ia melangkah masuk. Langkahnya lambat. Seolah setiap ubin yang ia injak adalah pertanyaan yang tak punya jawaban. Ia berdiri di tengah lingkaran kursi itu, memandangi satu per satu wajah yang menatapnya.
“Apakah… ini rapat Tuan 444?” suaranya bergetar. “Apakah… kalian semua anggota lingkaran?”
Sunyi.
Lalu, dari sudut ruangan, sebuah pintu kecil terbuka.
Seorang pria muncul. Mengenakan jas putih. Tanpa clipboard. Tanpa stetoskop. Hanya membawa senyum dan sorot mata yang menenangkan.
“Galang,” katanya. Lembut. Terlalu lembut.
“Galang, kami di sini bukan untuk menguji. Bukan untuk menertawakan. Kami sudah lama tahu apa yang kamu jalani. Kami tahu tentang Tuan 444. Tentang kode. Tentang rak buku yang bicara. Dan kami tidak menganggapnya salah.”
Galang melangkah mundur.
Psikiater itu mendekat. Tidak mengancam. Tidak mendesak.
“Yang kami tahu, kamu lelah. Dunia dalam kepalamu terlalu ramai. Dan kami ingin… membantumu istirahat.”
Galang menoleh ke Bu Lusi. “Kamu tahu semua ini?”
Bu Lusi mengangguk pelan, matanya berkaca.
Pak Tono berkata pelan, “Kami tidak pernah meninggalkanmu, Mas. Kami hanya menunggu waktu yang tepat.”
Galang terdiam. Tangannya masuk ke dalam jas, menggenggam amplop putih yang ia bawa. Tapi kini kertas itu terasa berat. Bukan seperti pesan suci, melainkan surat pengakuan.
Ia menunduk. Buku catatannya terjatuh ke lantai. Terbuka pada halaman yang ia tulis semalam—hanya ada satu kalimat:
“Apakah aku yang menulis ini… atau seseorang di dalam aku?”
**
Dan untuk pertama kalinya, ia merasa sendirian—bukan karena tidak ada yang menemani, tapi karena semua orang ternyata tahu ia tak pernah benar-benar bersama.
***
Langit di luar mulai mendung. Cahaya dari jendela kecil di sudut ruangan tampak seperti saringan abu. Tapi bagi Galang, dunia seperti berhenti di detik itu—di tengah ruangan sunyi, dalam lingkaran orang-orang yang menatapnya tanpa menghakimi.
Ia terduduk perlahan di kursi yang tersisa, seolah lututnya menyerah sebelum pikirannya. Tangannya masih memegang amplop putih, tapi kini ia menatapnya seperti menatap benda asing. Seakan ia tak pernah menulis isi di dalamnya.
“Jadi... semua ini bukan... bukan pesan dari Tuan 444?” katanya pelan, suaranya nyaris tak terdengar.
“Bukan, Galang,” jawab sang psikiater. “Tapi juga bukan bohong. Hanya... bagian dari kisah yang kau ciptakan untuk bertahan.”
Galang mengangkat wajahnya perlahan. Pandangannya kosong. Tapi bukan kosong tanpa isi—melainkan kosong yang terlalu penuh. Kosong karena sadar bahwa isi yang selama ini ia peluk erat… ternyata bukan milik dunia nyata.
Bu Lusi meraih tangannya. Hangat, gemetar. “Kami tahu sejak lama, Mas. Dari saat Mas mulai menyusun ulang rak berdasarkan jumlah huruf vokal, dari saat Mas berkata bahwa suara mesin itu menyampaikan pesan... Kami tahu. Tapi kami juga tahu, Mas Galang tidak pernah melukai siapa-siapa. Mas cuma ingin dimengerti.”
Galang menunduk. “Aku hanya... ingin merasa penting. Aku hanya ingin menjadi bagian dari sesuatu yang besar. Yang lebih dari sekadar arsip dan debu.”
Pak Tono angkat bicara. “Dan kau sudah menjadi penting. Bagi kami. Bagi perpustakaan ini. Bagi siapa pun yang pernah membaca berkas rapi buatanmu, atau menatap wajahmu yang tak pernah marah. Tapi kami juga tak bisa biarkan kamu berjalan lebih jauh ke dalam lorong yang tidak bisa kami susul.”
**
Sang psikiater lalu membuka map kecil dari tas kulitnya. Tapi tidak ada catatan medis. Hanya selembar kertas yang bertuliskan:
"Pusat Pemulihan Jiwa Mandiri – Program Rawat Ringan. Teman Menemani Satu Dunia."
“Tempat ini bukan rumah sakit,” katanya. “Hanya sebuah tempat tenang. Banyak orang di sana yang tak butuh obat, hanya butuh ruang untuk kembali bicara dengan dirinya sendiri. Kami tidak akan paksa, Galang. Tapi kami sangat berharap kamu bersedia.”
Galang terdiam lama. Dalam diamnya, dunia batinnya seperti retak perlahan. Ia masih mendengar gema kecil suara-suara yang dulu dianggap pesan. Tapi kini suara itu terdengar... ragu. Seperti anak kecil yang tersesat di lorong perpustakaan.
Ia akhirnya bicara, nyaris seperti berbisik:
“Jika... jika aku pergi ke tempat itu... apakah suara itu akan hilang?”
Sang psikiater tersenyum. “Mungkin tidak hilang. Tapi kamu akan belajar... cara berbicara kembali padanya. Bukan sebagai perintah. Tapi sebagai kenangan.”
**
Di luar, hujan turun perlahan. Bukan hujan deras, tapi gerimis yang jatuh satu per satu seperti jeda di antara percakapan.
Bu Lusi menatap Galang yang kini duduk diam, tenang, seperti buku yang halaman-halamannya sudah selesai dibaca, namun sampulnya belum ditutup.
“Mas Galang...” katanya lembut. “Besok pagi, kita bisa berangkat bersama. Aku yang antar.”
Galang mengangguk pelan. Masih ragu, tapi tidak lagi melawan. Tangannya membuka amplop itu. Kertas di dalamnya kosong.
Ia tersenyum kecil.
“Pantas saja. Rupanya... surat ini memang bukan pesan. Tapi undangan pulang.”
***
Beberapa minggu setelah hari itu, meja Galang di bagian arsip perpustakaan masih rapi. Buku catatannya tidak ada, tapi satu halaman terakhir yang tertinggal di laci disimpan oleh Bu Lusi dalam bingkai kayu kecil. Isinya hanya satu kalimat, ditulis dengan tangan tenang:
“Jika dunia tidak memahamiku, setidaknya aku telah mencoba memeluknya dari dalam.”
Galang kini tinggal di sebuah pusat pemulihan jiwa ringan di pinggiran kota. Bukan rumah sakit, tapi rumah-rumah kecil berjendela lebar, taman berumput, dan kursi-kursi kayu di bawah pohon. Di sana, tidak ada yang memaksanya untuk diam atau bicara. Ia diberi ruang untuk menjadi dirinya—yang sedang belajar ulang cara berdialog dengan kenyataan.
Ia masih menulis, tapi bukan lagi kode atau sandi. Ia menulis puisi. Ia menulis tentang suara angin tanpa menyebut nama Tuan 444. Ia menulis tentang rak buku yang berubah, tapi kini dalam bentuk metafora, bukan peta realitas. Dan ketika ia merindukan perpustakaan, Bu Lusi datang mengunjunginya, membawa buku-buku pinjaman yang dipilih secara acak tapi penuh kasih.
Sang psikiater berkata suatu kali, “Galang tidak kehilangan pikirannya. Ia hanya terlalu mencintai makna hingga tersesat di dalamnya.”
Dan mungkin memang begitu.
Karena di dunia seperti sekarang, di mana semuanya serba cepat dan pasti, ada jiwa-jiwa yang tidak mencari kepastian—melainkan kedalaman. Galang adalah satu dari mereka. Ia bukan ingin menjadi gila. Ia hanya ingin agar hidup lebih dari sekadar peristiwa-peristiwa biasa.
Kini, ketika malam turun di pusat pemulihan itu, Galang duduk di beranda kamarnya, mendengarkan suara jangkrik, memandangi bintang, dan terkadang... ia masih mendengar sesuatu yang tak terdengar oleh orang lain.
Tapi ia tidak mencatatnya lagi.
Ia hanya tersenyum kecil, lalu berbisik, “Terima kasih, tapi aku sudah cukup.”
**
Dan di sudut ruang arsip perpustakaan, tepat di atas kursi kosong milik Galang, ada sebuah papan kecil yang ditulis oleh Bu Lusi dan diaminkan oleh semua pegawai:
“Ruang ini pernah dihuni oleh seorang pembaca semesta, yang tak pernah letih mendengarkan dunia.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar