Senin, 07 April 2025

Ku Tulis Dunia


Aku tinggal di lantai tiga belas, di apartemen tua yang terlalu sepi bahkan untuk seekor kelelawar. Setiap pagi aku membuka jendela, bukan untuk menyapa matahari, tapi untuk memastikan dunia masih ada. Aku butuh melihatnya hidup, berdenyut, menyapa dengan ritme yang bisa kutebak. Karena sekali saja dunia lupa caranya mengulang kebiasaannya, aku tahu: ada yang bocor dari ceritaku.

Aku pernah menulis novel. Bahkan empat. Satu di antaranya laris sampai cetakan kelima. Namaku pernah disebut dalam satu wawancara mingguan sebagai “penjahit realitas.” Aku tidak bangga. Aku hanya merasa itu cukup benar. Karena memang begitu adanya—aku menulis, dan dunia mengikuti. Dulu.

Lalu istriku mati. Dan anakku ikut menyusulnya, dengan cara yang tak tertulis di naskah mana pun. Mobil putih, hujan sore, rem blong, jalan menurun. Aku tak pernah menulis bab itu.

Sejak hari itu, aku berhenti menulis. Tapi dunia tak ikut berhenti. Itu yang membuatku curiga. Karena semestinya ia tidak bisa berjalan tanpa penulisnya.

Maka aku mulai mencatat. Bukan fiksi, bukan narasi, tapi logika tersembunyi. Hal-hal yang tak tampak bagi mereka yang terlalu percaya pada akal sehat.

Misalnya, tetanggaku di unit 1304, pria botak bertubuh tambun, selalu batuk tiga kali pukul tujuh malam. Selalu. Tiga kali. Tidak dua. Tidak empat. Tiga.
Lalu ada kucing hitam yang muncul hanya di hari Rabu. Bukan Senin. Bukan Jumat.
Lampu lorong selalu berkedip dua kali tepat pukul 02.12, sebelum mati sejenak dan menyala kembali. Aku mencatatnya. Aku mengarsipkan semua pola ini.

Awalnya kupikir dunia ini hanya meniruku secara kebetulan. Tapi semakin lama, aku yakin: dunia menungguku menulis ulang dirinya. Ia kacau, ia bocor, dan ia meminta bantuanku memperbaikinya.

Aku memiliki satu buku catatan besar. Kulit hitam, kertasnya kasar. Setiap malam, aku duduk di bawah lampu kuning yang temaram, dan mulai menyusun ulang fragmen dunia. Kadang aku menulis:

“Besok, hujan tidak jadi turun. Langit hanya mendung. Rafka akan duduk diam di jendela.”

Dan benar. Keesokan harinya, langit hanya mendung. Tidak ada hujan. Bahkan kucing hitam itu menatapku lebih lama dari biasanya. Seolah ingin berkata, “Lanjutkan. Kau sedang di jalur yang benar.”

**

Apartemen ini tidak pernah benar-benar diam. Ia seperti makhluk tua yang bergumam dari balik dinding. Dan aku mendengarnya. Kadang aku balas berbicara, hanya satu-dua kata. Bukan berarti aku gila. Aku hanya tidak ingin tidak sopan kepada arsitektur tempat tinggal.

Ada tetangga baru pindah ke unit 1302. Perempuan. Langkahnya ringan. Seperti karakter fiksi yang belum ditentukan alurnya. Aku mencatatnya juga. Siapa tahu ia penting. Atau justru... terlalu bebas untuk dunia yang sedang kutulis ulang.

**

Orang-orang bilang aku penyendiri. Mereka tak tahu: aku bukan menghindari dunia. Aku hanya menjaga jarak agar tidak mencampur draf cerita yang sedang kutulis. Setiap percakapan bisa mengubah jalannya realitas. Setiap senyum bisa menjadi titik koma yang tak diinginkan.

Karena itu, aku hidup di batas. Antara cerita dan nyata. Antara naskah dan napas.

Dan aku tahu satu hal dengan sangat pasti:

Jika aku berhenti menulis, dunia akan runtuh. Tapi jika aku menulis tanpa benar-benar memahami logikanya, dunia akan meledak.

Jadi aku menunggu. Menganalisis. Mencatat.

Dan malam ini, setelah sekian waktu... dunia mengedipkan matanya sedikit lebih cepat. Ada sesuatu yang akan berubah.

Aku menyalakan lampu. Membuka halaman kosong di buku catatanku. Ujung penaku menggantung seperti pedang takdir.

Saat itu aku belum tahu... bahwa yang akan berubah bukan dunia,
melainkan aku sendiri.



Aku mulai bereksperimen.

Bukan dengan tinta, tapi dengan kenyataan.

Aku menulis bahwa akan ada tukang sayur lewat pukul 09.17 pagi, membawa dua ikat kangkung dan satu bungkusan tahu. Lalu kubuka jendela. Kudengar roda gerobak dari ujung jalan. Tepat pukul 09.17. Tahu dan kangkung.

Keesokan harinya, kutulis bahwa ibu-ibu berambut keriting dari unit 1306 akan terjatuh di depan lift karena sandal sebelah kirinya putus. Dan benar, pukul 10 lewat sedikit, terdengar teriakan pendek. Kulihat dari lubang intip—dan ya, sandal kirinya terputus. Ia terduduk, bingung, seperti karakter yang lupa naskahnya sendiri.

Aku semakin yakin, aku telah menemukan struktur realitas. Dunia ini memang cerita. Tapi tulisannya ada di kepalaku, bukan di buku manapun.

**

Beberapa kali aku menulis bahwa hujan tidak turun, dan langit patuh. Aku menulis bahwa kucing hitam takkan datang, dan lorong tetap kosong. Kadang-kadang ada ketidaktepatan. Tapi itu bukan kesalahan. Itu hanya... improvisasi tokoh-tokoh minor.

Aku menganggap mereka makhluk liar yang kadang keluar dari naskah, tapi tidak berbahaya. Aku menyebut mereka "karakter glitch." Mereka muncul, melakukan sesuatu yang tak terduga, lalu menghilang kembali.

Salah satu dari mereka adalah Pak Harun, petugas kebersihan lantai tiga belas. Ia tak pernah bicara. Tapi seminggu lalu, ia menatapku lama. Terlalu lama. Tatapannya seperti menembus halaman kosong di dalam diriku. Aku menulis di catatan:

“Pak Harun adalah penyusup. Ia bukan dari naskahku. Awasi.”

Sejak itu aku tak lagi keluar saat dia bersih-bersih.

**

Kadang aku mendengar suara dari unit sebelah, seperti orang sedang bicara sendiri. Tapi tidak pernah ada balasan. Suara itu kadang seperti membaca. Kadang menyanyi. Kadang tertawa lalu terdiam mendadak. Aku mencatat ritmenya. Mungkin karakter itu belum menemukan alurnya.

Aku juga menyadari bahwa cermin kamar mandiku mulai menampakkan bayangan yang sedikit berbeda. Tidak mencolok. Hanya... sedikit lebih cepat saat mengedipkan mata. Pernah sekali, aku mencoba mengetesnya: aku angkat tangan kanan. Refleksnya tak ikut bergerak. Hanya menatap. Lalu tersenyum samar. Aku lemparkan handuk untuk menutupnya. Cermin tak boleh mendahului cerita.

**

Satu sore, aku menulis:

“Pukul lima lewat lima, lampu lorong padam selama delapan menit. Dunia mencoba menyembunyikan babak berikutnya.”

Dan memang begitu. Lampu padam. Delapan menit. Aku berdiri di balik pintu, menunggu. Tapi tak ada yang datang. Hanya hening yang sangat dalam, seperti halaman kosong sebelum sebuah kalimat penting ditulis.

Malam itu aku menyalakan lilin. Aku menulis:

“Besok, akan ada kunjungan.”

Tapi aku belum tahu siapa yang akan datang. Mungkin seseorang yang bisa membantuku menyempurnakan cerita ini. Mungkin seorang pembaca, atau... seorang penyunting.

Yang pasti, aku merasa babak baru akan dimulai. Dunia sedang bergerak, dan aku berada di titik tengah porosnya.

**

Aku menutup buku catatan, menatap pena dengan khidmat. Di luar, angin berbisik pelan seperti menyetujui tulisanku.

Lalu aku berbisik pelan ke udara:

“Panggung telah disiapkan. Skenario sudah mengalir. Karakter baru, silakan masuk.”

Dan saat aku mematikan lampu, aku yakin... besok akan terjadi sesuatu.

Bukan karena takdir.
Tapi karena aku yang menulisnya.



Hari itu langit tidak memutuskan warnanya. Ia menggantung di antara biru pagi dan abu-abu sore, seperti enggan memilih sisi. Udara terasa lebih pekat. Seperti ada sesuatu yang belum dinyatakan dunia, tapi tertahan di antara kisi-kisi kenyataan.

Aku duduk di meja, menghadap buku catatan yang sudah terbuka sejak fajar. Tangan kananku memegang pena, tapi belum bergerak. Hari ini berbeda. Karena dalam mimpiku semalam, seseorang mengetuk pintu.

“Karakter utama telah datang,” tulis mimpi itu di dinding ruang tamu.

Dan kini aku menunggu. Detik berjalan lambat, seperti menunggu aba-aba dari naskah rahasia yang hanya aku yang punya salinannya.

**

Tepat pukul 16.44—angka yang kutulis malam sebelumnya—suara ketukan itu datang.

Tiga kali. Lalu jeda. Lalu dua kali lagi.

Aku berdiri perlahan. Detak jantungku mengikuti pola ketukan. Aku membuka pintu dengan hati-hati, seperti membuka halaman baru dari novel yang sudah lama tak kusentuh.

Di sana berdiri seorang perempuan. Rambut hitam dikuncir rendah, mengenakan jas tipis berwarna abu, mata gelap yang memendarkan kesabaran dan kecemasan sekaligus. Ia tersenyum, lembut, dan tak tergesa-gesa.

“Selamat sore, Rafka,” katanya. Suaranya seperti suara halaman yang dibalik pelan.

Aku mengerutkan dahi. “Siapa kamu?”

“Namaku Alia. Aku psikiater. Aku sudah mencoba menghubungi kamu beberapa kali. Tapi kamu... selalu menutup diri. Aku ke sini bukan untuk memaksamu. Hanya ingin berbicara.”

Aku menatapnya dalam-dalam. Wajahnya tak kukenal, tapi entah kenapa... terasa familiar. Terlalu pas. Terlalu rapi. Terlalu sesuai untuk seseorang yang muncul tiba-tiba di tengah dunia yang sedang kutulis ulang.

Aku melangkah mundur. “Kamu... karakter liar, ya? Kamu bukan bagian dari naskah.”

Ia menghela napas. “Kamu masih meyakini itu, ya?”

“Bukan keyakinan,” jawabku. “Fakta. Kamu datang karena aku menulisnya. Aku menulis tentang kunjungan hari ini. Kamu hanya... respons dari dunia.”

Alia masuk perlahan tanpa aku undang. Ia menatap sekeliling apartemen, matanya menyapu buku-buku bertumpuk, dinding penuh coretan, cermin tertutup handuk, dan satu buku catatan besar di atas meja. Ia duduk. Tangannya ragu menyentuh pena yang tergeletak.

“Aku pernah membaca tulisanmu dulu,” katanya. “Tentang tokoh yang menciptakan dunia melalui fiksinya. Ia mulai kehilangan batas antara cerita dan kenyataan. Tapi yang paling menyentuh... adalah saat ia menyadari, bahwa yang ia lawan selama ini bukan dunia, tapi dirinya sendiri.”

Aku menatapnya. “Kamu mengutip karangan fiksi. Kamu tak nyata.”

Alia menoleh padaku. Tatapannya tak menghakimi. Tak menantang. Justru... penuh iba.

“Rafka,” ucapnya lembut. “Istrimu dan anakmu... kecelakaan itu sangat traumatis. Dan kamu menghilang. Dalam arti sesungguhnya. Lima tahun ini, kamu hidup dalam naskah yang kamu buat agar mereka tak perlu benar-benar pergi.”

Aku menggertakkan gigi. “Diam. Aku menulis semua ini untuk menyeimbangkan dunia. Dunia yang rusak. Dunia yang salah naskah.”

Alia berdiri. Mengambil buku catatanku. Aku hampir mencegahnya, tapi tangannya sangat pelan, sangat tenang, seperti sedang membuka lembar kehidupan yang tak ingin dituduh bersalah.

Ia membukanya.

Halaman pertama:
“Jika dunia lupa siapa penulisnya, biar aku yang menulis ulang.”

Lalu kosong.

Halaman kedua, kosong. Halaman ketiga, kosong. Semuanya.
Putih. Tak berisi.

Aku membeku.

“Tapi... aku menulis... aku menulis... aku menulis...”

Alia menatapku dengan mata berkaca.
“Tidak, Rafka. Kamu berpikir kamu menulis. Tapi selama ini... kamu hanya bicara dengan rasa kehilanganmu.”

**

Aku terduduk. Kursi terasa dingin. Kepalaku berdenyut seperti bom waktu. Mataku menyapu dinding, cermin, langit-langit. Dunia tak lagi terasa seperti halaman. Dunia terasa seperti ruangan.

Dan ruangan terasa... seperti sangkar.

**

Alia berdiri, mengambil tas kecilnya. Ia tak memaksa. Tak menyeretku. Hanya satu kalimat sebelum ia melangkah pergi:

“Kalau kamu mau, kami bisa bantu kamu mulai menulis kembali. Tapi bukan tentang dunia. Tentang kamu.”

Pintu tertutup pelan.

Dan aku tinggal sendiri.
Di tengah naskah yang tak pernah kutulis.
Dalam dunia yang ternyata tidak pernah kutentukan.



Sejak Alia pergi, waktu tak lagi terasa bergerak maju. Hari tak berubah warna. Malam tak membawa dingin. Semua terasa rata. Seperti kertas kosong yang terlalu bersih untuk disentuh.

Aku tak membuka jendela. Tak menyentuh pena. Tak menyalakan lampu. Apartemen ini menjelma seperti kotak cerita yang tak jadi ditulis. Sunyi. Terjaga. Menunggu.

Sesekali, aku memandangi buku catatan itu. Lembar-lembar putihnya bukan lagi lahan kuasa, tapi cermin. Dan cermin paling menyakitkan bukan yang memantulkan wajah—melainkan yang memantulkan kekosongan.

Aku mencoba menulis. Tapi tak ada kata yang keluar. Otakku penuh... tapi kosong. Semua suara di kepalaku seakan mati mendadak, seperti pemain drama yang lupa skripnya dan membisu di tengah panggung. Aku merasa dunia berhenti menunggu. Ia kini melanjutkan hidupnya sendiri. Tanpa aku.

**

Pukul tiga pagi, aku terbangun. Tapi bukan oleh mimpi.
Oleh kenyataan.
Aku mendengar langkah kaki. Satu… dua… lalu berhenti di depan pintuku.
Ketukan itu lagi.

Tiga kali. Jeda. Dua kali.

Aku tidak membuka. Aku hanya menempelkan telinga ke daun pintu.

Suara perempuan. Lembut. Alia?

“Rafka, kamu tidak harus menulis dunia. Cukup hidup di dalamnya.”

Aku menahan napas. Tapi suara itu... tak berasal dari luar. Itu dari dalam kepalaku.

**

Aku ke cermin. Melepas handuk yang menutupinya.
Dan aku melihat seseorang di sana.

Diriku—tapi bukan diriku.
Rambutnya lebih tipis. Kulitnya lebih pucat. Tapi matanya tajam.
Ia menatapku seperti penulis yang kecewa pada tokoh yang tak berkembang.

Lalu, ia berkata—tanpa membuka mulut—
“Kalau kamu bukan yang menulis semua ini… kenapa kamu masih di sini?”

Aku menjerit. Melempar handuk ke cermin. Pecah.
Kepingan kaca berceceran di lantai seperti kutipan dari bab yang terhapus.

**

Aku gemetar. Duduk di pojok ruangan. Menarik napas pendek-pendek.
Dan untuk pertama kalinya, aku tidak tahu apakah aku sedang menulis dunia
atau dunia sedang menulisku.

Aku buka lagi buku catatan itu. Halaman pertama tetap ada—tulisan tangan yang mulai pudar.
Tapi halaman kedua…

Ada goresan samar.

Kalimat pendek. Tertulis seperti ditulis seseorang saat gemetar:

“Kau bukan Tuhan. Dan itu tidak apa-apa.”

Tanganku mengusap kata-kata itu. Aku tak ingat menulisnya.

Atau mungkin... itu bukan aku.
Atau mungkin... itu aku yang lain—yang akhirnya bicara.

**

Aku menutup buku perlahan.

Dan untuk pertama kalinya sejak istriku dan anakku pergi, aku menangis.

Tanpa kalimat. Tanpa narasi.
Hanya air mata.
Seperti tinta yang akhirnya jatuh dari pena tanpa dipaksa menjadi kata.



Sudah tiga hari sejak cermin itu pecah.

Sudah tiga hari pula sejak aku tak lagi menulis.
Dan anehnya... dunia tidak runtuh.

Langit tetap berganti warna. Kucing tetap melintas di lorong. Lift tetap berbunyi di lantai-lantai lain. Tidak ada ledakan realitas. Tidak ada kebocoran logika. Tidak ada keruntuhan.
Hanya sunyi yang perlahan menjadi suara baru.

Malam ini aku membuka jendela.
Udara dingin menyapa wajahku seperti halaman yang belum dibaca.
Dan untuk pertama kalinya, aku tidak merasa perlu mencatat arah angin.

**

Alia datang lagi siang tadi. Tapi bukan sebagai karakter. Ia datang sebagai manusia.
Tanpa jas. Tanpa clipboard. Hanya dirinya.

Kami duduk berhadapan. Aku menyeduh teh untuknya. Tanganku masih gemetar, tapi ia pura-pura tak melihat.

“Kamu kelihatan lebih... ringan,” katanya sambil menatap mataku, bukan pikiranku.

Aku tertawa kecil. “Mungkin karena aku menyerah jadi Tuhan.”

Ia tersenyum. Lalu menyodorkan sesuatu.
Sebuah buku bersampul biru tua. Kosong. Baru.

“Kalau nanti kamu ingin menulis lagi,” katanya, “biarkan kali ini kamu menulis hidupmu. Bukan hidup dunia.”

Aku mengangguk. Kupeluk buku itu. Tapi tidak kubuka. Belum.

**

Malam turun perlahan. Aku menyalakan lampu kamar, lalu duduk di depan cermin yang kini tinggal separuh bentuknya. Bayanganku tak lagi tersenyum sinis. Tak lagi terlambat mengedip. Ia hanya... menjadi bayangan.

Aku mengambil pena. Tak menulis apa-apa.

Aku hanya membiarkannya menggantung di antara jari-jari, seperti seorang petani yang memegang biji benih tapi belum tahu musim.

Lalu, entah dari mana datangnya, sebuah pikiran melintas:

“Jika aku tidak menulis dunia ini, jika semua ini bukan karanganku…
maka siapa yang menulis aku?”

Aku menoleh ke langit-langit. Hening.
Seolah ada sepasang mata yang sedang membaca kisahku dari dimensi yang tak terjangkau.

Dan tiba-tiba aku sadar:
Mungkin kita semua bukan penulis.
Mungkin kita hanya karakter—yang diberi cukup kesadaran untuk merasa sedang menulis.

Mungkin rasa ingin tahu itu…
bukan tanda kekuasaan,
tapi tanda kerendahan hati di tengah naskah yang lebih besar dari logika.

**

Aku menutup mata.

Lalu, untuk pertama kalinya,
aku tertidur tanpa rasa takut dunia akan kacau tanpaku.

Dan di luar jendela,
bulan menggantung seperti tanda baca—
mungkin titik.
mungkin koma.
tapi jelas bukan akhir.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar