Selasa, 15 Oktober 2013

PARA PEJUANG ENERGI BARU TERBARUKAN


 
Bersama Instruktur pelatihan BBPP Kupang

Beberapa bulan lalu tepatnya april tahun ini, penulis dalam kapasitas sebagai Penyuluh Pertanian asal Kabupaten Sumbawa Propinsi Nusa Tenggara Barat, mendapatkan undangan untuk mengikuti kegiatan pelatihan pembuatan pakan ternak ruminansia di Balai Besar Pelatihan Peternakan (BBPP) Noelbaki Kupang Nusa Tenggara Timur .  Dalam pelatihan tersebut penulis diperkenalkan tentang fasilitas standar pembuatan pakan ternak mulai dari hay, silase, permen sapi, amoniasi, dan banyak macam lainnya.  Dalam instalasi kandang yang cukup memadai, perhatian penulis justru tertuju pada sebuah instalasi pembuatan biogas milik BBPP yang berada tidak jauh dari instalasi kandang tersebut.  Selama ini biogas hanya menjadi wacana dalam benak kami sebagai penyuluh pertanian lapangan, tanpa pernah melihat langsung bagaimana gas dapat dihasilkan dari kotoran sapi.  Karena rasa ingin tahu yang besar, penulis melakukan pendekatan pada seorang instruktur yang masih sangat muda.  Beliau adalah Pak Marten (40),  Berperawakan sederhana dan lugas dalam menyampaikan materi pelatihan, bersedia meluangkan waktu mengupas habis tentang Biogas untuk penulis dan beberapa rekan yang tertarik mendalaminya.

         Pada hari yang ditentukan, setelah mengikuti peribadatan di Gereja, beliau datang melunasi hutang janjinya. Beliau mengungkapkan bahwa Biogas adalah gas yang dihasilkan oleh aktifitas anaerobik atau fermentasi dari bahan-bahan organik termasuk diantaranya; kotoran manusia dan hewan, limbah domestik (rumah tangga), sampah biodegradable (dapat didegradasi secara biologis) atau setiap limbah organik yang biodegradable dalam kondisi anaerobik. Kandungan utama dalam biogas yang dihasilkan adalah metana dan karbon dioksida. Secara lengkap komposisi biogas adalah Methan (CH4)= 54-70%, Karbon dioksida (CO2) = 27-45%, Nitrogen (N2) = 0.5-3%, Oksigen (O2) = 0.1%, Hidrogen sulfida (H2S) < 0.1%.

Mikroba dalam aktifitas anaerobik sudah sangat populer digunakan untuk mengolah limbah biodegradable, bahan bakar dapat dihasilkan sambil menghancurkan bakteri patogen dan sekaligus mengurangi volume limbah buangan.  Energi biogas dapat berfungsi sebagai energi pengganti bahan bakar fosil sehingga akan menurunkan gas rumah kaca di atmosfer dan emisi lainnya.  Metana merupakan salah satu gas rumah kaca yang keberadaannya diatmosfer akan meningkatkan temperatur, dengan menggunakan biogas sebagai bahan bakar maka akan mengurangi gas metana di udara.  Limbah berupa sampah kotoran hewan dan manusia merupakan material yang tidak bermanfaaat, bahkan bisa mengakibatkan racun yang sangat berbahaya jika dibiarkan dalam keadaan mencemari lingkungan.

Secara teknis beliau jelaskan bahwa material organik yang terkumpul pada digester (reaktor) akan diuraikan melalui 3 tahap dengan bantuan dua jenis bakteri berdasarkan cara kerjanya.  Tahap I Hidrolisis : Hidrolisa substrat utama seperti karbohidrat, lemak, dan protein dalam limbah ternak menjadi senyawa-senyawa sederhana, seperti asam asetat, alkohol, CO2, NH3, dan sulfida.  Bakteri yang berperan Clostridium acteinum, Bacteriodes ruminicola, Bifidobacterium sp, Eschericia sp, Enterobacter sp, dan Desulfobio sp.  Tahap 2 Acidogenesis-Asetogenesis.  Bakteri mengoksidasi asam berantai karbon panjang, seperti asetat dan alkohol yang dilakukan oleh Lactobacillus sp, Streptococcus sp.  Tahap 3 Metanogenesis  Bakteri methanogenik menggunakan H2, CO2, dan asetat untuk pertumbuhannya, serta memproduksi CH4 dan CO2. Urea yang berasal dari protein dihidrolisa oleh bakteri menjadi gas metan (CH4) dan NH4+.  Asam asetat serta asam propionat dari lemak difermentasi menjadi gas metan dan CO2  CO2 yang dihasilkan direduksi menjadi CH4 dan H2O. Bakteri yang berperan pada tahap ini adalah Methanobacterium melianskii, Methanococcus sp, dan Methanosarcina sp. 70% metan dihasilkan dari asam asetat, 15% dari H2 dan CO2, 15% lagi dari reduksi metanol .

Berdasarkan 3 tahapan diatas, beliau membeberkan Kandungan  energi biogas berkisar antara 20.000 sampai 26.000 kJ/m3 bergantung pada jumlah kandungan metan, sedangkan untuk metan murni adalah 35.000 kJ/m3.  Nilai kalor yang dihasilkan berkisar 4800–6700 Kcal/m3 setara ± 0.48 kg gas LPG atau ± 0.62 liter minyak tanah

Metana dalam biogas, bila terbakar akan relatif lebih bersih daripada batu bara, dan menghasilkan energi yang lebih besar dengan emisi karbondioksida yang lebih sedikit.  Pemanfaatan biogas memegang peranan penting dalam manajemen limbah karena metana merupakan gas rumah kaca yang lebih berbahaya dalam pemanasan global bila dibandingkan dengan karbon dioksida.  Itulah paparan tambahan beliau menutupi kelas tambahan dalam pelatihan pakan ternak di BBPP Kupang.

Sepulang dari pelatihan, penulis melakukan telusur lapangan pada beberapa desa di Kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat  yang telah  memanfaatkan biogas sebagai pengganti bahan bakar minyak tanah, desa yang penulis datangi ini pernah mengikuti pelatihan pembuatan biogas dibawah instruktur Pak Marten BBPP Kupang.  Tujuan pertama yaitu Desa Kokarlian Kecamatan Poto Tano Kabupaten Sumbawa Barat merupakan sebuah desa transmigrasi lahan kering, penduduknya kebanyakan berasal dari pulau Bali.  Program biogas masuk ke desa ini karena besarnya potensi ternak yang diusahakan oleh masyarakat transmigrasi di desa ini.  Ternak sapi menjadi penghasilan utama setelah budidaya jagung dan kacang tanah yang diusahakan dilahan kering.  Berkat keuletan masyarakatnya, desa ini selain mampu menghasilkan biogas juga menjadi produsen pupuk organik.

Isu penolakan oleh pihak luar negeri terhadap ternak asal tanah air merupakan momentum mendasar yang melandasi program biogas di Nusa Tenggara Barat termasuk salah satunya Desa Kokarlian yang penulis ungkapkan ini.  Peternakan tanah air dituding sebagai penyebab berkembangnya gas metan sebagai pelaku terjadinya efek rumah kaca.  Program rumah biogas diharapkan dapat mengurangi gas metan serta menjawab kelangkaan minyak tanah dibanyak wilayah NTB.  Pada waktu bersamaan gairah beternak sapi NTB didukung oleh program Bumi Sejuta Sapi (BSS).  Sekedar diketahui BSS adalah program unggulan untuk meningkatkan populasi sapi hingga satu juta ekor pada 2014 dengan melakukan upaya perlindungan dan penyehatan sapi betina produktif dan pengkondisian pedet baru lahir agar selamat hingga dewasa. Programnya banyak menyentuh pada kesehatan hewan dan perbaikan mutu pakan.  Namun hingga sekarang program itu dinilai oleh banyak kalangan belum memenuhi target.

Petani Desa Kokarlian sukses mengembangkan biogas karena mereka memang membutuhkan upaya efisiensi anggaran keluarga.  Semakin bergeliatlah usaha peternakan mereka karena efek samping usahanya membawa kemudahan dalam pembuatan bahan bakar rumah tangga secara mandiri dan tentunya penghasilan tambahan dari pupuk organik yang dihasilkan.  Belakangan saya mendengar, bahwa mereka mulai menukarkan biogas yang dihasilkan dengan volume tertentu Hijauan Makanan Ternak (HMT).  Artinya mereka mulai membisniskan biogas.

Perlu diketahui, masyarakat Desa Kokarlian senantiasa mengandangkan ternaknya bahkan pada musim kemarau sekalipun, kemajuan mereka dapat penulis rasakan karena selama tahun 2007 hingga 2010 penulis melewati jalanan desa itu setiap minggunya.  Tampak ditahun pertama, mereka mengangkut HMT dimusim kering menggunakan sepeda atau berjalan kaki, tahun berikutnya mereka mengangkut HMT menggunakan sepeda motor, pada tahun keempat beberapa diantara mereka telah menggunakan mobil bak terbuka.  Inilah sebentuk kemajuan mereka dalam beternak sapi.  

Lokasi lain yang penulis kunjungi yaitu Desa Penyaring Kecamatan Moyo Utara Kabupaten Sumbawa.  Desa ini telah mengembangkan sapi hissar putih yang bibitnya pernah didatangkan dari india beberapa tahun silam.  Sapi hisar  berkembang pesat hingga sekarang ini.  Potensi yang besar dari sapi hisar ini dianggap sesuai untuk pengembangan program rumah biogas.  Namun kemudian yang  menjadi persoalan dalam pengembangan biogas di desa ini adalah teknik pemeliharaan sistem lar (lepas) yang telah membudaya sebagai teknik yang paling efisien menurut penuturan para peternak, dengan sistem lar kotoran sapi tidak dapat dikumpulkan dalam jumlah yang banyak pada siang hari karena terhampar dipadang pengembalaan.

Bukan hanya dua desa itu keberadaan biogas NTB pernah diterapkan, dikabupaten dompu, Bima, Kota Bima, Pulau Lombok mulai dari Lombok Timur, Tengah, Barat, Utara dan Kota Mataram memiliki kisah kisah tertentu yang cukup unik tentang sekelumit permasalahan kebiogasan.  Ada yang gagal dan ada kisah sukses .  Bahkan dipropinsi lain luar NTB memiliki cerita tersendiri tentang para pejuang kemandirian energi perdesaan.  Menelisik melalui google.com, informasi tentang biogas Indonesia cukup beragam baik dari bahan dasar, teknik memerangkap gas, maupun peralatan yang mereka gunakan.  Berbagai inovasi telah dimunculkan sebagai apresiasi yang mendalam terhadap pengembangan biogas ditanah air oleh beberapa putra bangsa yang peduli dengan pemanasan global dan kelangkaan energi.

Pada Tanggal 26 September 2013 kemarin, penulis sempat mengikuti Gelar Teknologi Tepat Guna XV di Kota Padang Sumatera Barat.  Dalam perhelatan nasional itu, Biogas masih menjadi teknologi unggulan yang ditonjolkan pada beberapa daerah pengembangan ternak sapi.  Hal ini terlihat pada standing officer daerah Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara yang memajang peralatan biogas dari daerahnya untuk dipamerkan di kegiatan itu.    Semangat mereka dalam menjelaskan inovasi yang mereka temukan sangat penulis sukai. Semangat mereka menyala, sebiru api kompor biogas.

Selain telusur lapangan, penulis juga mencoba melakukan penelurusan pustaka atas kebijakan biogas dimasyarakat perdesaan.  Singkatnya penulis menemukan beberapa latar belakang pemikiran kebijakan  seperti ini:  Menurut data ESDM (2006) cadangan minyak Indonesia hanya tersisa sekitar 9 milliar barel. Apabila terus dikonsumsi tanpa ditemukannya cadangan minyak baru, diperkirakan cadangan minyak ini akan habis dalam dua dekade mendatang. Konsumsi BBM yang mencapai 1,3 juta barel tidak seimbang dengan produksinya yang nilainya sekitar 1 juta barel sehingga terdapat defisit yang harus dipenuhi melalui impor.

Roadmap biogas Indonesia telah diupayakan pelaksanaannya sejak tahun 2007 ketika Program Desa mandiri Energi (DME) secara resmi diluncurkan oleh Presiden pada tanggal 14 Februari 2007 dengan konsep kemandirian energi berbasis pemanfaatan energi terbarukan dan pemberdayaan masyarakat setempat.  Berdasarkan bahan baku sumber energi yang digunakan, ada dua jalur DME yaitu 1) DME berbasis sumber energi non pertanian dan 2) DME berbasis sumber energi pertanian/bahan bakar nabati/bioenergi (DME Bioenergi). Pembangunan energi perdesaan melalui program DME diantaranya adalah energi berbasis mikrohidro, energi berbasis tenaga surya, energi berbasis biomassa, dan energi berbasis biogas.

Hasil pelaksanaan DME khususnya DME Bioenergi sejak tahun 2007 hingga tahun 2011, ternyata DME berbasis bioenergi dari biogas kotoran hewan memiliki tingkat keberhasilan dan keberlanjutan terbesar. Hal tersebut didukung oleh tingginya potensi jumlah hewan, teknologi biogas relatif sederhana, dan manfaatnya dapat langsung dirasakan masyarakat. Sayangnya pengembangan bioenergi berbasis biogas kotoran hewan tersebut belum didukung oleh kesiapan pendanaan di tingkat pusat dan kemampuan sumberdaya manusia baik di pusat maupun daerah dalam hal monitoring dan evaluasi (Bappenas 2009). Sehingga diperlukan upaya-upaya yang tepat untuk mempercepat dan memperluas pola pembangunan dan pemanfaatan biogas dari kotoran hewan di seluruh wilayah yang memiliki potensi hewan ternak untuk mendukung kemandirian energi khususnya di daerah perdesaan.  Menjawab hal itu pemerintah mengeluarkan kredit ketahanan pangan dan energi (KKPE) yang diperuntukkan untuk petani dan peternak yang mendedikasikan feses ternaknya untuk biogas.  Namun lagi-lagi petani sasaran tidak mengetahui prosedur untuk mendapatkan dana tersebut.

Sebagai perbandingan bagaimana besaran dana yang layak untuk pengembangan biogas, kita dapat bercermin pada negara tirai bambu, China.  Negara itu telah mengeluarkan begitu banyak anggaran untuk mengurusi masalah energi khususnya biogas.  Beberapa waktu lalu china telah mengoperasikan sebuah reaktor biogas berkapasitas besar yang dapat menyuplai biogas untuk lebih dari 20.000 kepala keluarga.  Kebijakan ini merupakan solusi efisien yang berkelanjutan dalam menghadapi isu pemanasan global dan kelangkaan energi.  Keseriusan China tampak dalam visi dan program  “China’s 2003-2010 National Rural Biogas Construction Plan” yang mulai diluncurkan tahun 2003.  Tujuannya untuk meningkatkan penggunaan biogas, dengan target 11 juta untuk total 20 juta rumah tangga pada tahun 2005, dan membuat satu dari sepuluh rumah tangga petani sebagai pengguna biogas  Pada tahun 2010, China  meningkatkan  penggunaan biogas skala rumah tangga lebih dari 31 juta untuk total 50 juta rumah tangga, sehingga tingkat penggunaan meningkat sampai 35 persen.  Subsidi pemerintah  China untuk setiap digester biogas sebesar 1000 yuan (sekitar US $ 150).

Bukan hanya di China, India sudah sejak lama mengembangkan biogas sebagai salah satu solusi dari kelangkaan energi yang menerpa negara padat penduduk tersebut. Tahun 1981 mulai dikembangkan instalasi biogas di India. Pengembangan instalasi biogas dilakukan oleh Departemen Sumber Energi non-Konvensional melalui program “The National Project on Biogas Development” dengan melakukan riset terhadap pengembangan model instalasi biogas.  Tahun 1999, sekitar tiga juta rumah tangga di India telah menggunakan instalasi biogas.

Peluang pengembangan biogas di Indonesia sesungguhnya sangat prospektif. Pada tahun 2011, Indonesia memiliki 16,7 juta ekor hewan besar (sapi potong, sapi perah, dan kerbau) dan 36,6 juta kambing/domba/babi (Ditjennak 2012). Jika diasumsikan setiap ekor hewan besar menghasilkan 29 kg feses per hari dengan kandungan padatan 14,34 persen maka potensi kotoran hewan yang berasal dari hewan besar diproyeksikan mencapai 69,45 juta kg total padatan, jika ekuivalensi biogas yang dihasilkan sebesar 0,31 m3/kg padatan, maka akan dapat dihasilkan biogas sebesar 21,5 juta m3 biogas yang setara dengan penghematan 13,33 juta liter minyak atau 9,89 juta kg gas LPG atau 75.250 ton kayu bakar.

Tahun 2013 data perkembangan ternak besar berupa sapi dan kerbau mengalami penurunan sebanyak 2,65 juta ekor.  Hal ini karena berkurangnya jumlah impor dan banyaknya jumlah ternak yang dipotong serta disinyalir adanya upaya perkawinan silang antar sapi bali dengan sapi Brahman atau hissar yang menyebabkan kemandulan pada generasi sapi berikutnya.  Namun walaupun begitu, potensi pengembangan biogas menggunakan feses ternak besar masih terbuka luas karena baru berapa persen saja yang terjamah selama ini.

Perkembangan biogas di tanah air ternyata tidak hanya pada wilayah pedesaan yang menggunakan feses ternak.  Satu bentuk pemanfaatan feses manusia telah berkembang pada beberapa pondok pesantren dipulau jawa.  Beberapa waktu lalu penulis sempat bertandang pada salah satu pesantren di jawa timur yang menggunakan feses santri untuk biogas dan suplai listriknya.  Pesantren itu adalah Pondok Pesantren Riyadlul Ulum di Condong Cibeureum Tasikmalaya.  setelah berbincang dengan salah satu staf yang bertugas pada bagian yang mengurusi masalah biogas disebutkan bahwa pondok ini adalah salah satu pondok dengan jumlah santri lebih dari 2500 orang, cukup untuk memproduksi biogas dari tinja, sampah sisa makanan, serasah halaman dan biomassa lainnya yang terdapat di lingkungan pesantren seluas 5 Ha sekitar 125 m3 biogas per hari. Perolehan hasil listrik dari biogas murni (mendekati kandungan CH4 100 %) bisa menggerakkan genset Bio Elektrik 1000 watt secara terus menerus selama 4 hingga 5 jam atau setara dengan 5 KWH (kilo watt hour). Ketika digunakan pada kompor, biogas murni sebanyak itu bisa menyalakan kompor lebih dari 7 jam.

Mengurai cara budidaya ternak yang masih banyak menggunakan sistem Lar di Propinsi NTB, dan lemahnya dukungan pembiayaan pemerintah dalam membiayai program Biogas yang sebelumnya dinilai paling sukses dalam mengembangkan Desa Mandiri Energi,  mengisyaratkan bahwa perjuangan para instruktur di Balai Pelatihan kebiogasan masih jauh dari harapan.  Tampaknya Impian ibu-ibu diperdesaan untuk merubah sistem antrian panjang minyak tanah dengan sistem saluran pipa biogas tak akan pernah terjadi selama regulasi belum mendukung sepenuhnya pengembangan biogas.  Persentase konversi minyak ke gas dikegiatan dapur masih sangat rendah.  Diperkotaan mungkin saja itu terlaksana lantaran agenda politik perkotaan cenderung lebih riuh dibanding perdesaan yang sunyi.  Diperkotaan pernah ada program konversi minyak tanah ke gas dengan memperkenalkan tabung gas 3 kilo warna kuning yang sering meledak saat pertama kali diluncurkan.  Sedangkan di perdesaan, masyarakat desa diupayakan oleh pemerintah untuk mandiri dalam menghasilkan biogasnya sendiri.

Entah telah berapa banyak orang yang dilatih oleh seorang bernama Marten dalam mengolah kotoran sapi menjadi gas.  Jelasnya, wilayah kerja NTT, NTB dan Bali belum memperlihatkan hasil yang signifikan dari perjuangannya.  Kira-kira jika kita bertanya, apa yang patut diberikan untuk membantu perjuangan seorang Marten dari provinsi terkering Indonesia, Nusa Tenggara Timur itu?

Yogyakarta, 14 Oktober 2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar