Selasa, 15 Oktober 2013

Qurban, Kurban, Manusia, Kambing




Ilustrasi Ibrahim dan Ismail


Pada tempat dan hari yang telah ditentukan, sang ayah menghunus pedang dengan asahan yang sangat menyilaukan.  Dalam hati kecilnya mantap untuk melakukan sebuah ritus pengurbanan dari hamba untuk Tuhan, pengurbanan yang tidak tanggung-tanggung yaitu seorang anak satu-satunya yang paling ia kasihi setelah penantian panjang atas kelahirannya.  Hari itu sang ayah ikhlas sebagai konsekuensi keimanan untuk memenuhi wahyu ilahi, leher si anak telah siap diatas kayu talenan sesembelihan, algojonya adalah seorang ayah………………………….     Lalu ditengah suasana bathin para penyaksi yang tidak tega, gemuruh harapan dalam panjat doa kepada Tuhan sekilat menjadi hening seperti bisunya gunung, tiba tiba seekor gibas menjelma sesaat sebelum pedang yang diayunkan menyayati leher si anak. Akhirnya semua lega, tampak dari hela nafas kepuasan para penyaksi.


Apa yang hendak diperlihatkan Tuhan dalam kisah dramatis yang memilukan itu, namun berujung pada  sebentuk proklamasi  pembebasan manusia dalam ritus  pengurbanan manusia untuk Tuhan.  Kita tidak akan tahu benar kehendak yang ada dalam benak Tuhan, namun dalam sejarah panjang umat manusia setelah kejadian, setidaknya benang hikmah telah dapat ditarik sebagai pelajaran berharga dari kisah.  Beruntunglah kita terlahir dengan jeda yang jauh dari kisah, sehingga dapat memanen hikmah yang lebih variatif.

Penggantian Ismail dengan gibas merupakan bentuk lecehan Tuhan kepada manusia, bahwa manusia sudah tidak layak untuk dikurbankan.  Daripada manusia lebih baik gibas.  Itulah slogan yang tepat untuk meremehkan manusia dimuka bumi.  Manusia tidak lebih berharga dari seekor gibas yang didatangkan dari surga.  Darah gibas lebih “biru” dibandingkan darah merah manusia.  Padahal menurut penuturan ismail sebelumnya, ia merasa sangat bahagia karena mendapatkan kesempatan dikurbankan atas perintah Tuhan secara langsung melalui sang ayah, sang nabi.  Ia sebenarnya berharap segera memenuhinya dan menjumpai keabadian yang jauh lebih bahagia.

Pencarian keabadian telah menjadi sejarah tersendiri umat manusia hingga berujung pada kepasrahan manusia dalam pencariannya.  Manusia tidak lagi mencari keabadian dimuka bumi karena naskah tentang keabadian telah rampung dalam ajaran-ajaran nabi yang datang silih berganti.  Mereka mengabarkan keabadian sebagai bentuk lanjutan dari kehidupan setelah bumi.  Ambisi manusia untuk abadi diakhirat meredam ambisi untuk mengejar keabadian dibumi.  Manusia tidak cinta dunia lagi, manusia banyak berdoa untuk menemukan keabadian diakhirat.  Tentu saja Keabadian yang membahagiakan, dalam surga, seperti yang ismail inginkan.

Kehidupan dunia sangatlah singkat, tidak ada alasan untuk memperpanjangnya.  Para jin juga pesimis kepada manusia, jin berkeluh kepada Tuhan bahwa manusia hanya akan menimbulkan kerusakan di bumi.  Manusia tak lebih baik dari jin, bahkan jin menyarankan kepada Tuhan agar manusia lebih baik tidak diciptakan.  Namun Tuhan punya alasan sendiri yang tidak diungkapkan hingga nabi terakhir diutus dimuka bumi.

Mengapa Tuhan memperlihatkan solusi yang datang dari luar batas nalar fikir manusia? Mendatangkan gibas dalam waktu sekejap mata dari surga.  Mengapa skenarionya bukan gibas dari bumi saja?  Supaya ada peran manusia dalam perjuangan kemanusiaan mereka dimuka bumi.  Suatu saat ada yang bertanya seperti ini: “siapakah pahlawan yang menyelamatkan ismail dari kilauan pedang Ibrahim?”. Jawabnya: “Tuhan.”.  Bukan manusia.  Karena Tuhan yang melakukannya hal itu tentu menjadi biasa saja.

Gibas dan Manusia dua makhluk yang datangnya dari surga.  Gibas adalah representasi hewan yang susah diatur, sedangkan manusia telah membuktikan ketidakpatuhannya dalam kasus nabi adam sebelum dilemparkan ke bumi.  Tuhan maha cerdik dalam mengambil gibas sebagai qurban, karena susah diatur maka ia diqurbankan.  Sekarang ini banyak sekali orang-orang yang susah diatur lalu dikurbankan oleh komunitas mereka.  Bisa jadi orang susah diatur itu adalah orang benar,  sedangkan komunitasnya yang salah.  Mengapa manusia mesti berqurban jika dengan tidak berqurbanpun manusia bisa bergembira?  Apa manusia memang butuh kisah dramatis seperti kisah Ibrahim dan Ismail yang memilukan itu?

Menilik kehidupan kurban mengkurbankan orang lain dalam perpolitikan tanah air tentulah kita mengira bahwa akar sejarahnya berasal dari kisah Ibrahim dan Ismail.  Dalam perkorupsian telah dirancang sedemikian rupa tingkatan kelas para pemain sehingga dalam keadaan terdesak ada beberapa orang yang diskenariokan untuk dapat mengurban dirinya. Jika tidak dapat mengurbankan dirinya maka dikurbankan adalah satu satunya alasan untuk menyelamatkan kepentingan jahat yang lebih besar.

Ternyata bukan hanya dalam ihwal ketuhanan sehingga manusia berkurban demi kebaikan.  Namun dalam ihwal jahatpun, qurban telah disalahgunakan oleh para koruptor tanah air.  Bahasa agama “qurban” telah terpeleset maknanya menjadi bahasa koruptor “kurban”.  Dalam bahasa yang lebih keren “kambing hitam”.  Nazarudin telah “dikambing hitamkan” wow keren bukan sebagai pengganti kata “ dikurbankan”.  Nazarudin telah dikurbankan.

Kambing juga menjadi simbol qurban pada hari raya qurban.  Banyak masyarakat muslim tanah air yang menggunakan kambing sebagai hewan qurbannya.  Maka semakin jelaslah bahwa dalam perkorupsian ada yang berperan sebagai kambing, pembeli kambing, penjual kambing, makelar kambing, iklan kambing, kandang kambing. Yah kelas kambing dalam perkorupsian adalah kelas yang terendah. Baru baru ini Akil Mukhtar mengurbankan Sopirnya yang sering disuruh menagih jasa kepada klien sogoknya.

Pada hari jumat lalu, penulis melihat selebaran qurban on line diseputaran kampus Universitas Gadjah Mada.  Qurban on line, lama kelamaan akan diadopsi kembali oleh para koruptor kelas kakap yang tidak tersentuh, menjadi Kurban On line. Terus berkembang menjadi kambing on line.  Jika hal ini betul-betul terjadi maka yang dipersalahkan adalah mesin ATM, SMS Banking, dan Internet Banking.

Terkait dengan bunda putri, penulis rasa ini adalah bos besar para makelar kambing, bos para penjual kambing, dan bos yang punya banyak kandang kambing.  Sebagai bos kambing jelaslah kalo kambing tidak mengetahui identitas bosnya.  “Diistilahkan saja bos, lha wong kita cuman kambing.”. aku para koruptor dipersidangan.

Dalam persaksian Suswono yang mengetahui tentang bunda putri tetapi tidak mengetahui identitasnya menjadi jelas bahwa siapa kambing dan siapa bos kambing dalam era baru pengurbanan dikalangan para koruptor.  LHI juga menyebut nyebut tentang bunda putri namun tidak diketahui identitas bunda putri.  Sebelumnya juga ada yang mengakui keberadaan istilah bunda putri dalam persidangan tapi penulis lupa nama kambing itu .

Ah… Banyak hikmah yang dapat dipetik dari Qurban, saya sudah memetik beberapa, maka selamat hari raya qurban 14….. H. Yang haji semoga mabrur, yang ditanah air semoga rukun dalam pembagian daging qurban. Awas ada nenek nenek yang kegenjet hingga tewas lho….

Yogyakarta, 15 Oktober 2013
10 Dzulhijjah 14…. H

Termenung dalam lebaran yang kembali sunyi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar