Sekarang saya tinggal di Yogyakarta, terkait dengan naiknya harga kedelai saya melihat bahwa kehidupan sehari-hari masyarakat jawa banyak yang mengkonsumsi tempe. Tempe telah menjadi menu wajib yang harus ada dimeja makan. Begitu pula dengan orang jawa yang ada dikampung halaman saya SumbawaNusa Tenggara Barat, mereka telah hidup dan besar dengan mengkonsumsi tempe. Jika kepada mereka ditanyakan mana yang lebih bergizi antara tempe dengan daging ayam? Tentulah mereka menjawab daging ayam, tetapi jika ditanyakan mana yang lebih enak antara tempe dengan daging ayam, maka mereka akan segera mengkonversi kata “enak”tadi dalam kepala mereka menjadi kata “murah”, lalu segera mereka menjawab tempe. Nah seperti itulah masyarakat kita, menjatuhkan pilihan pada sesuatu karena harganya yang murah, kemudian karena keseringan mengkonsumsi pilihan tersebut, mereka kemudian menyukainya. Bahkan dari “suka” ini kemudian berkembang menjadi “fanatik”.
Makan tempe dipraktekkan setiap harinya, dari generasi
ke generasi, dan sekarang telah membudaya.
Boleh dibilang bangsa kita ini bangsa tempe, itu karena saking
fanatiknya pada benda yang bernama tempe.
Namun ini menjadi dilematis, karena sejak awal agustus ini hingga
sekarang berarti sudah sebulan tempe ini bermasalah, masyarakat dijawa
meributkan tempe karena harganya tiba-tiba saja melambung tinggi. Untuk sekilo tempe yang biasa dihargai Rp.
8000 sekarang naik menjadi Rp. 14.000, pantas saja mereka menjerit. Ibu ibu itu kalap, bagaimana menghadirkan
menu wajibitu di meja makan?
Setiap tahun pada bulan agustus hingga oktober selalu
saja terjadi peningkatan harga tempe karena kedelai domestik dalam keadaan
peceklik. Walaupun begitu, peningkatan
harga kedelai impor juga ikut naik akibat permainan para kartel disaat pasokan
kedelai dalam negeri menipis. Seharusnya
kedelai impor jauh lebih murah dibandingkan kedelai dalam negeri karena
teknologi yang digunakan untuk memproduksinya diluar negeri jauh lebih efisien
dibandingkan teknologi petani didalam negeri.
Fanatisme memang telah membutakan mata kita untuk
melihat makanan yang dapat mengganti tempe, fanatisme ini yang membuat kita
disebut-sebut oleh produsen kedelai luar negeri sebagai bangsa tempe. Setiap hari makan tempe entah dirumah,
dijalan, dikantor, ada yang dioseng-oseng, disayur, disarden, digoreng, dibakar,
semuanya berciri khas tempe. Betul-betul masyarakat yang beridentitas tempe.
Sajian dari bahan tempe
Dalam keadaan yang seperti itu ada saja segelintir
orang memanfaatkan fanatisme tersebut, mereka adalah para kartel kedelai yang menimbun kedelai
sebanyak-banyaknya lalu menjualnya hanya ketika musim paceklik tiba. Maksud mereka untuk mengambil keuntungan
sebanyak-banyaknya. Masyarakat kita
tetap saja melakukan permintaan akan kedelai dalam jumlah yang banyak walaupun
produksi dalam negeri sedang menurun.
Selain melepas timbunan itu, Impor menjadi satu-satunya jalan untuk
memenuhi permintaan para bangsa tempe ini.
Para kartel memiliki hubungan yang kuat dengan asosiasi petani kedelai
diluar negeri, mereka punya lobi untuk menembus secara langsung para pengambil
kebijakan agar segera melakukan impor kedelai.
Untuk menanggulangi kelangkaan itu kita perlu menilik
jenis lauk lainnya yang lebih murah atau relatif sama dengan tempe. Dalam mencari alternatif pengganti
tempesebenarnya ada jenis lauk pengganti yang harganya relatif sama yaitu
seharga Rp. 19.000 setiap kilonyadan kandungan gizinyajauh lebih baik
dibandingkan tempe, komoditi itu adalah daging ayam. Selain kandungan
gizinya yang lebih baik, dapat juga ditilik dari proses produksinya. Untuk memproduksi seekor ayam jauh lebih
mudah dari memproduksi segenggam kedelai.
Ayam dapat diproduksi dalam waktu 30 – 40 hari saja sedangkan kedelai
diproduksi paling cepat dalam waktu 90 hari.
Kapang yang tumbuh
pada kedelai menghidrolisis senyawa-senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana
yang mudah dicerna oleh manusia. Tempe kaya akan serat pangan,
kalsium,
vitamin B
dan zat besi.
Berbagai macam kandungan dalam tempe mempunyai nilai obat, seperti antibiotika
untuk menyembuhkan infeksi dan antioksidan pencegah penyakit degeneratif. Namun pada Daging Ayam adalah bahan makanan hewani unggas-unggasan yang biasa
dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Daging Ayam mengandung energi
sebesar 302 kilokalori, protein 18,2 gram, karbohidrat 0 gram, lemak 25 gram,
kalsium 14 miligram, fosfor 200 miligram, dan zat besi 2 miligram. Selain
itu di dalam Daging Ayam juga terkandung vitamin A sebanyak 810 IU, vitamin B1
0,08 miligram dan vitamin C 0 miligram. Hasil tersebut didapat dari
melakukan penelitian terhadap 100 gram Daging Ayam, dengan jumlah yang dapat
dimakan sebanyak 58 %. Dengan melihat
perbandingan tersebut kandungan gizi ayam lebih unggul dibandingkan tempe.
Mengapa mereka mengkonsumsi tempe hingga batas
berlebihan seperti itu? Berikut saya
merunut bagaimana sejarah makan tempe orang-orang jawa baik yang berada dijawa
maupun yang berada seluruh kepulauan nusantara. Tempe berasal
dari Indonesia.
Tidak jelas kapan pembuatan tempe
dimulai. Namun demikian, makanan tradisonal ini sudah dikenal sejak berabad-abad
lalu, terutama dalam tatanan budaya makan masyarakat Jawa, khususnya di Yogyakarta
dan Surakarta.
Dalam bab 3 dan bab 12 manuskrip Serat
Centhini dengan seting Jawa abad ke-16
(Serat Centhini sendiri ditulis pada awal abad ke-19) telah ditemukan kata
"tempe", misalnya dengan penyebutan nama hidangan jae santen tempe (sejenis masakan tempe
dengan santan) dan kadhele tempe
srundengan. Hal ini dan catatan sejarah yang tersedia lainnya
menunjukkan bahwa mungkin pada mulanya tempe
diproduksi dari kedelai hitam,
berasal dari masyarakat pedesaan tradisional Jawa—mungkin dikembangkan di
daerah Mataram, Jawa Tengah,
dan berkembang sebelum abad ke-16.
Kata "tempe" diduga
berasal dari bahasa Jawa Kuno. Pada zaman Jawa Kuno terdapat
makanan berwarna putih terbuat dari tepung sagu yang disebut tumpi. Tempe segar yang juga berwarna putih terlihat
memiliki kesamaan dengan makanan tumpi
tersebut.
Selain itu
terdapat rujukan mengenai tempe
dari tahun 1875
dalam sebuah kamus bahasa Jawa-Belanda.
Sumber lain mengatakan bahwa pembuatan tempe
diawali semasa era Tanam Paksa di Jawa. Pada saat itu, masyarakat
Jawa terpaksa menggunakan hasil pekarangan, seperti singkong,
ubi dan kedelai,
sebagai sumber pangan. Selain itu, ada pula pendapat yang mengatakan bahwa tempe mungkin
diperkenalkan oleh orang-orang Tionghoa yang memproduksi makanan sejenis, yaitu koji kedelai yang difermentasikan
menggunakan kapang Aspergillus.
Selanjutnya, teknik pembuatan tempe menyebar ke
seluruh Indonesia,
sejalan dengan penyebaran masyarakat Jawa yang bermigrasi ke seluruh penjuru Tanah Air.
Pada
tahun 1992 produksi kedelai nasional telah mencapai swasembada kedelai, luasan
penanaman pada waktu itu mencapai 1,6 juta hektar, sehingga bahan baku
pembuatan tempe dapat dipenuhi dalam jumlah banyak dan harganyapun murah. Itulah mungkin salah satu penyebab penyebaran
tempe yang semakin murah biaya produksinya.
Sekarang produksi kedelai mengalami penurunan,
sedangkan permintaan tetap tinggi.
Kedelai diusahakan pada luasan
700 ribu hektar, yang artinya dibawah separuh luasan pada saat swasembada itu
terjadi, saat swasembada luas areal kedelai 1,6 juta Ha. Para ahli agronomi banyak mengungkapkan,
bahwa produksi kedelai sebenarnya dapat meningkat jika ditambah luasan tanam
sebanyak dua juta hektar dan menggunakan teknologi benih yang dapat memproduksi
3-4 ton perhektar dari produksi sekarang yang hanya berkisar 1,3 ton per
hektar. Namun lagi lagi pada tingkat
petani benih yang digunakan tetap saja benih yang tidak unggul dan penambahan
luas tanam sebanyak 2 juta hektar tidak pernah terjadi. Menurut informasi yang berkembang tentang
lahan ini, sebenarnya dari 7 juta hektar lahan terlantar dinegeri ini ada 4
juta hektar yang dapat ditanami dan 2 juta diantaranya layak untuk mengejar ketertinggalan
swasembada kedelai. Lagi lagi lahan itu
lemah dalam eksekusinya.
Masalah tidak tersedianya lahan selalu menjadi
penyebab mandegnya produksi kedelai nasional, selain perluasan areal melalui
pemanfaatan lahan terlantar telah gagal dilaksanakan, perebutan kembali lahan
kedelai dari komoditi lainnya juga tidak berhasil mengingat kebijakan impor
yang mengenakan tarif nol persen, membuat kedelai impor gampang masuk ke dalam
negeri, kedelai dalam negeri tidak dapat bersaing melawan kedelai impor. Harga kedelai impor betul-betul murah. Pada kalangan masyarakat petani ada yang
disebut sebagai tanaman primadona, yaitu tanaman yang gencar dibudidayakan
karena hasilnya lebih besar dibandingkan
komoditi lainnya. Kedelai untuk sekarang
ini bukanlah komoditi primadona karena harganya jauh dibawah harga jagung,
keuntungannya pun demikian, dalam setiap hektar kedelai hanya menghasilkan Rp.
1.800.000 sedangkan jagung dapat menghasilkan belasan juta rupiah
perhektarnya. Maka pantas saja kedelai
kalah dalam merebut lahan melawan jagung.
Jagung bagi pemerintah juga memiliki nilai yang
strategis karena efek berganda yang terjadi lebih besar dibandingkan kedelai,
suatu komoditi dikatakan berefek ganda pada masyarakat jika komoditi itu
mengalami proses pengolahan menjadi sesuatu yang baru lagi ditingkatan
masyarakat (berulang-ulang), sebelum akhirnya sampai kepada konsumen
akhir. Ini yang istilahnya peningkatan
nilai suatu produk melalui tahap produksi kembali menjadi sesuatu yang
baru. Dalam proses produksi kembaliitu
banyak pihak yang dilibatkan sehingga akan memunculkan lapangan usaha dan
lapangan kerja baru bagi masyarakat.
Mengenai halnya tentang tempe dan ayam pedaging,
Berikut saya membandingkan bagaimana rantai-rantai bisnis yang terlibat dalam
budidaya kedelai hingga kemudian menjadi tempe, dan bagaimana rantai bisnis
dalam membudidayakan jagung hingga menjadi
ayam pedaging. Tempe diproduksi
dengan bahan baku utama kedelai. Setelah
panen, kedelai langsung dapat diolah menjadi tempe dan kemudian dapat dijual
kepada konsumen akhir. Efek berganda
kedelai hanya sekali ketika pengolahan menjadi tempe.
Sedangkan jagung setelah panen dapat diolah terlebih
dahulu menjadi pakan ternak, baru kemudian pakan ternak tersebut digunakan
untuk beternak ayam. Ayam inilah yang
selanjutnya dijual kekonsumen akhir.Efek berganda yang terjadi pada jagung
yaitu ketika pembuatan pakan ternak dan pembudidayaan ayam. Pembuatan pakan ternak dilakukan secara
besar-besaran yang melibatkan banyak sekali subsistem agribisnis baik itu
subsistem on farm maupun sub sistem pendukung.
Dan ketika pakan tersebut menjadi bahan utama peternakan ayam, akan
banyak dibutuhkan keterlibatan komponen komponen sub sistem agribisnis lainnya
didalam peternakan. Tentunya efek
berganda yang dihasilkan jauh lebih banyak dan berlipat lipat. Efek berganda ini diharapkan membuka peluang
usaha dan peluang kerja baru bagi masyarakat.
Peternakan ayam pedaging, pakan utamanya dari jagung.
Kita boleh berbangga sebagai bangsa yang telah
menemukan tempe. Tetapi apakah
kebanggaan itu patut dipertahankan ketika data-data yang muncul mengenai
produksi kedelai, lahan kedelai, kartel kedelai, dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan kedelai sudah sangat buruk dimata para analis. Dengan harga kacang kedelai yang terjepit
bukankah kita sebaiknya melirik paha ayam yang terbuka.
Yogyakarta, 14 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar