Sabtu, 14 September 2013

PILIH MANA? KACANG KEDELAI YANG TERJEPIT ATAU PAHA AYAM YANG TERBUKA



Sekarang saya tinggal di Yogyakarta, terkait dengan naiknya harga kedelai saya melihat bahwa kehidupan sehari-hari masyarakat jawa banyak yang mengkonsumsi tempe.  Tempe telah menjadi menu wajib yang harus ada dimeja makan.  Begitu pula dengan orang jawa yang ada dikampung halaman saya SumbawaNusa Tenggara Barat, mereka telah hidup dan besar dengan mengkonsumsi tempe.  Jika kepada mereka ditanyakan mana yang lebih bergizi antara tempe dengan daging ayam? Tentulah mereka menjawab daging ayam, tetapi jika ditanyakan mana yang lebih enak antara tempe dengan daging ayam, maka mereka akan segera mengkonversi kata “enak”tadi dalam kepala mereka menjadi kata “murah”, lalu segera mereka menjawab tempe.  Nah seperti itulah masyarakat kita, menjatuhkan pilihan pada sesuatu karena harganya yang murah, kemudian karena keseringan mengkonsumsi pilihan tersebut, mereka kemudian menyukainya.  Bahkan dari “suka” ini kemudian berkembang menjadi “fanatik”.


Makan tempe dipraktekkan setiap harinya, dari generasi ke generasi, dan sekarang telah membudaya.  Boleh dibilang bangsa kita ini bangsa tempe, itu karena saking fanatiknya pada benda yang bernama tempe.  Namun ini menjadi dilematis, karena sejak awal agustus ini hingga sekarang berarti sudah sebulan tempe ini bermasalah, masyarakat dijawa meributkan tempe karena harganya tiba-tiba saja melambung tinggi.  Untuk sekilo tempe yang biasa dihargai Rp. 8000 sekarang naik menjadi Rp. 14.000, pantas saja mereka menjerit.  Ibu ibu itu kalap, bagaimana menghadirkan menu wajibitu di meja makan?

Setiap tahun pada bulan agustus hingga oktober selalu saja terjadi peningkatan harga tempe karena kedelai domestik dalam keadaan peceklik.  Walaupun begitu, peningkatan harga kedelai impor juga ikut naik akibat permainan para kartel disaat pasokan kedelai dalam negeri menipis.  Seharusnya kedelai impor jauh lebih murah dibandingkan kedelai dalam negeri karena teknologi yang digunakan untuk memproduksinya diluar negeri jauh lebih efisien dibandingkan teknologi petani didalam negeri.

Fanatisme memang telah membutakan mata kita untuk melihat makanan yang dapat mengganti tempe, fanatisme ini yang membuat kita disebut-sebut oleh produsen kedelai luar negeri sebagai bangsa tempe.  Setiap hari makan tempe entah dirumah, dijalan, dikantor, ada yang dioseng-oseng, disayur, disarden, digoreng, dibakar, semuanya berciri khas tempe. Betul-betul masyarakat yang beridentitas tempe.
 Sajian dari bahan tempe

Dalam keadaan yang seperti itu ada saja segelintir orang memanfaatkan fanatisme tersebut, mereka adalah para  kartel kedelai yang menimbun kedelai sebanyak-banyaknya lalu menjualnya hanya ketika musim paceklik tiba.  Maksud mereka untuk mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya.  Masyarakat kita tetap saja melakukan permintaan akan kedelai dalam jumlah yang banyak walaupun produksi dalam negeri sedang menurun.  Selain melepas timbunan itu, Impor menjadi satu-satunya jalan untuk memenuhi permintaan para bangsa tempe ini.  Para kartel memiliki hubungan yang kuat dengan asosiasi petani kedelai diluar negeri, mereka punya lobi untuk menembus secara langsung para pengambil kebijakan agar segera melakukan impor kedelai.

Untuk menanggulangi kelangkaan itu kita perlu menilik jenis lauk lainnya yang lebih murah atau relatif sama dengan tempe.  Dalam mencari alternatif pengganti tempesebenarnya ada jenis lauk pengganti yang harganya relatif sama yaitu seharga Rp. 19.000 setiap kilonyadan kandungan gizinyajauh lebih baik dibandingkan tempe, komoditi itu adalah daging ayam.  Selain kandungan gizinya yang lebih baik, dapat juga ditilik dari proses produksinya.  Untuk memproduksi seekor ayam jauh lebih mudah dari memproduksi segenggam kedelai.  Ayam dapat diproduksi dalam waktu 30 – 40 hari saja sedangkan kedelai diproduksi paling cepat dalam waktu 90 hari.

Kapang yang tumbuh pada kedelai menghidrolisis senyawa-senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana yang mudah dicerna oleh manusia. Tempe kaya akan serat pangan, kalsium, vitamin B dan zat besi. Berbagai macam kandungan dalam tempe mempunyai nilai obat, seperti antibiotika untuk menyembuhkan infeksi dan antioksidan pencegah penyakit degeneratif.  Namun pada Daging Ayam adalah bahan makanan hewani unggas-unggasan yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.  Daging Ayam mengandung energi sebesar 302 kilokalori, protein 18,2 gram, karbohidrat 0 gram, lemak 25 gram, kalsium 14 miligram, fosfor 200 miligram, dan zat besi 2 miligram.  Selain itu di dalam Daging Ayam juga terkandung vitamin A sebanyak 810 IU, vitamin B1 0,08 miligram dan vitamin C 0 miligram.  Hasil tersebut didapat dari melakukan penelitian terhadap 100 gram Daging Ayam, dengan jumlah yang dapat dimakan sebanyak 58 %.  Dengan melihat perbandingan tersebut kandungan gizi ayam lebih unggul dibandingkan tempe.

Mengapa mereka mengkonsumsi tempe hingga batas berlebihan seperti itu?  Berikut saya merunut bagaimana sejarah makan tempe orang-orang jawa baik yang berada dijawa maupun yang berada seluruh kepulauan nusantara. Tempe berasal dari Indonesia. Tidak jelas kapan pembuatan tempe dimulai. Namun demikian, makanan tradisonal ini sudah dikenal sejak berabad-abad lalu, terutama dalam tatanan budaya makan masyarakat Jawa, khususnya di Yogyakarta dan Surakarta. Dalam bab 3 dan bab 12 manuskrip Serat Centhini dengan seting Jawa abad ke-16 (Serat Centhini sendiri ditulis pada awal abad ke-19) telah ditemukan kata "tempe", misalnya dengan penyebutan nama hidangan jae santen tempe (sejenis masakan tempe dengan santan) dan kadhele tempe srundengan. Hal ini dan catatan sejarah yang tersedia lainnya menunjukkan bahwa mungkin pada mulanya tempe diproduksi dari kedelai hitam, berasal dari masyarakat pedesaan tradisional Jawa—mungkin dikembangkan di daerah Mataram, Jawa Tengah, dan berkembang sebelum abad ke-16.


Kata "tempe" diduga berasal dari bahasa Jawa Kuno. Pada zaman Jawa Kuno terdapat makanan berwarna putih terbuat dari tepung sagu yang disebut tumpi. Tempe segar yang juga berwarna putih terlihat memiliki kesamaan dengan makanan tumpi tersebut.

Selain itu terdapat rujukan mengenai tempe dari tahun 1875 dalam sebuah kamus bahasa Jawa-Belanda. Sumber lain mengatakan bahwa pembuatan tempe diawali semasa era Tanam Paksa di Jawa. Pada saat itu, masyarakat Jawa terpaksa menggunakan hasil pekarangan, seperti singkong, ubi dan kedelai, sebagai sumber pangan. Selain itu, ada pula pendapat yang mengatakan bahwa tempe mungkin diperkenalkan oleh orang-orang Tionghoa yang memproduksi makanan sejenis, yaitu koji kedelai yang difermentasikan menggunakan kapang Aspergillus. Selanjutnya, teknik pembuatan tempe menyebar ke seluruh Indonesia, sejalan dengan penyebaran masyarakat Jawa yang bermigrasi ke seluruh penjuru Tanah Air.

Pada tahun 1992 produksi kedelai nasional telah mencapai swasembada kedelai, luasan penanaman pada waktu itu mencapai 1,6 juta hektar, sehingga bahan baku pembuatan tempe dapat dipenuhi dalam jumlah banyak dan harganyapun murah.  Itulah mungkin salah satu penyebab penyebaran tempe yang semakin murah biaya produksinya.

Sekarang produksi kedelai mengalami penurunan, sedangkan permintaan tetap tinggi.  Kedelai  diusahakan pada luasan 700 ribu hektar, yang artinya dibawah separuh luasan pada saat swasembada itu terjadi, saat swasembada luas areal kedelai 1,6 juta Ha.  Para ahli agronomi banyak mengungkapkan, bahwa produksi kedelai sebenarnya dapat meningkat jika ditambah luasan tanam sebanyak dua juta hektar dan menggunakan teknologi benih yang dapat memproduksi 3-4 ton perhektar dari produksi sekarang yang hanya berkisar 1,3 ton per hektar.  Namun lagi lagi pada tingkat petani benih yang digunakan tetap saja benih yang tidak unggul dan penambahan luas tanam sebanyak 2 juta hektar tidak pernah terjadi.  Menurut informasi yang berkembang tentang lahan ini, sebenarnya dari 7 juta hektar lahan terlantar dinegeri ini ada 4 juta hektar yang dapat ditanami dan 2 juta diantaranya layak untuk mengejar ketertinggalan swasembada kedelai.  Lagi lagi lahan itu lemah dalam eksekusinya.

Masalah tidak tersedianya lahan selalu menjadi penyebab mandegnya produksi kedelai nasional, selain perluasan areal melalui pemanfaatan lahan terlantar telah gagal dilaksanakan, perebutan kembali lahan kedelai dari komoditi lainnya juga tidak berhasil mengingat kebijakan impor yang mengenakan tarif nol persen, membuat kedelai impor gampang masuk ke dalam negeri, kedelai dalam negeri tidak dapat bersaing melawan kedelai impor.  Harga kedelai impor betul-betul murah.  Pada kalangan masyarakat petani ada yang disebut sebagai tanaman primadona, yaitu tanaman yang gencar dibudidayakan karena hasilnya  lebih besar dibandingkan komoditi lainnya.  Kedelai untuk sekarang ini bukanlah komoditi primadona karena harganya jauh dibawah harga jagung, keuntungannya pun demikian, dalam setiap hektar kedelai hanya menghasilkan Rp. 1.800.000 sedangkan jagung dapat menghasilkan belasan juta rupiah perhektarnya.  Maka pantas saja kedelai kalah dalam merebut lahan melawan jagung.

Jagung bagi pemerintah juga memiliki nilai yang strategis karena efek berganda yang terjadi lebih besar dibandingkan kedelai, suatu komoditi dikatakan berefek ganda pada masyarakat jika komoditi itu mengalami proses pengolahan menjadi sesuatu yang baru lagi ditingkatan masyarakat (berulang-ulang), sebelum akhirnya sampai kepada konsumen akhir.  Ini yang istilahnya peningkatan nilai suatu produk melalui tahap produksi kembali menjadi sesuatu yang baru.  Dalam proses produksi kembaliitu banyak pihak yang dilibatkan sehingga akan memunculkan lapangan usaha dan lapangan kerja baru bagi masyarakat.
Jagung dalam gudang siap diolah menjadi pakan ternak

Mengenai halnya tentang tempe dan ayam pedaging, Berikut saya membandingkan bagaimana rantai-rantai bisnis yang terlibat dalam budidaya kedelai hingga kemudian menjadi tempe, dan bagaimana rantai bisnis dalam membudidayakan jagung hingga menjadi  ayam pedaging.  Tempe diproduksi dengan bahan baku utama kedelai.  Setelah panen, kedelai langsung dapat diolah menjadi tempe dan kemudian dapat dijual kepada konsumen akhir.  Efek berganda kedelai hanya sekali ketika pengolahan menjadi tempe.

Sedangkan jagung setelah panen dapat diolah terlebih dahulu menjadi pakan ternak, baru kemudian pakan ternak tersebut digunakan untuk beternak ayam.  Ayam inilah yang selanjutnya dijual kekonsumen akhir.Efek berganda yang terjadi pada jagung yaitu ketika pembuatan pakan ternak dan pembudidayaan ayam. Pembuatan pakan ternak dilakukan secara besar-besaran yang melibatkan banyak sekali subsistem agribisnis baik itu subsistem on farm maupun sub sistem pendukung.  Dan ketika pakan tersebut menjadi bahan utama peternakan ayam, akan banyak dibutuhkan keterlibatan komponen komponen sub sistem agribisnis lainnya didalam peternakan.  Tentunya efek berganda yang dihasilkan jauh lebih banyak dan berlipat lipat.  Efek berganda ini diharapkan membuka peluang usaha dan peluang kerja baru bagi masyarakat.

 Peternakan ayam pedaging, pakan utamanya dari jagung.

Kita boleh berbangga sebagai bangsa yang telah menemukan tempe.  Tetapi apakah kebanggaan itu patut dipertahankan ketika data-data yang muncul mengenai produksi kedelai, lahan kedelai, kartel kedelai, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kedelai sudah sangat buruk dimata para analis.  Dengan harga kacang kedelai yang terjepit bukankah kita sebaiknya melirik paha ayam yang terbuka. 

Yogyakarta, 14 September 2013  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar