Senin, 07 April 2025

Kemenyan

Di sebuah kampung subur bernama Tembiring, dua keluarga besar hidup berdampingan.

Keluarga Prasaja tinggal di rumah-rumah kayu tua yang masih menempelkan pecahan cermin di dinding depan—konon untuk menangkal mata jahat.

Keluarga Lodra, sebaliknya, mendiami rumah-rumah besar berdinding bata dengan cat putih gading dan jendela-jendela kaca patri berbingkai emas kusam, konon bekas rumah bangsawan Hindia Belanda.

Kampung ini seperti dua dunia dalam satu ruang. Pagar kayu tipis memisahkan halaman kedua keluarga, tapi ketimpangan begitu terasa. Di satu sisi, keluarga Prasaja hidup dari bertani dan beternak ala kadarnya, sedangkan keluarga Lodra mengelola koperasi simpan pinjam, toko pupuk, gudang beras, dan bahkan satu-satunya ‘dukun sakti’ kampung berasal dari garis keturunan Lodra.

Yang menarik, hubungan mereka tampak akrab dan rukun. Anak-anak Prasaja sering bermain bola bambu di halaman keluarga Lodra. Setiap hajatan besar, dua keluarga saling bantu. Bila ada kematian, dukun Lodra memimpin prosesi ritual pelepasan roh, dan keluarga Prasaja menyediakan tenaga kerja dan makanan.

Namun, di balik keramahan itu, ada sesuatu yang tidak pernah dibicarakan:

  • Mengapa setiap kali keluarga Prasaja hendak menanam di sawah selatan, selalu muncul larangan “hari buruk”?
  • Mengapa ternak mereka sering hilang atau mati mendadak setelah menolak ikut ritual “nyewu penunggu kali”?
  • Mengapa tanah yang dijual oleh warga kampung selalu berujung dibeli murah oleh keluarga Lodra melalui orang kepercayaannya?

Orang tua Prasaja hanya menggeleng dan bilang, “Jangan banyak bertanya. Kita ini hanya numpang hidup di tanah leluhur orang.”

Sementara itu, langit kampung selalu tampak tenang. Ayam berkokok di pagi hari. Sesajen ditaruh di sudut kebun setiap Jumat Kliwon. Dan pada malam-malam tertentu, terdengar gamelan halus dari rumah keluarga Lodra—padahal tidak ada yang menikah ataupun meninggal.

Tak ada yang mencurigai apapun. Sampai satu orang pulang dari kota membawa buku-buku aneh, mengenakan kemeja abu-abu dan tas punggung lusuh. Ia datang bukan dengan semangat memberontak, tapi dengan tatapan kosong... seolah telah melihat dunia yang lain.


Nama pemuda itu Tama Prasaja. Ia baru saja pulang dari Yogyakarta setelah menyelesaikan kuliah filsafatnya. Rambutnya agak gondrong, sorot matanya tenang tapi menusuk. Ia menyapa warga satu per satu seperti biasa, namun diam-diam mengamati satu hal yang selama ini tak pernah ia perhatikan dengan serius: setiap jengkal tanah di kampung ini, seperti punya aturan gaib yang anehnya hanya dimengerti oleh keluarga Lodra.

Tama mulai membuat catatan harian kecil.

“Tanah sebelah barat rumah Pak Gun—katanya ada ular penunggu. Tidak boleh dibajak sebelum upacara bubur merah-putih. Kalau dilanggar, bisa ketiban sial. Tahun lalu, Pak Gun menolak ritual itu, dan paginya ayam-ayamnya mati. Yang datang membantu? Dukun Lodra. Dan kemudian tanah itu dijual ke menantu Lodra.”

“Sawah milik Mbok Sarti tiba-tiba macet irigasinya karena bendungan ditutup sepihak. Alasan dari ketua RT: ada pertanda lewat mimpi dukun. Lagi-lagi, orang Lodra yang akhirnya 'menyewa' sawah itu.”

Tama tak langsung mengajak konfrontasi. Ia mulai mengajak ngobrol para petani satu per satu. Beberapa mengangguk pelan saat ia menceritakan pola-pola aneh tadi. Tapi semua mengakhiri dengan kalimat,

“Tapi jangan bilang siapa-siapa ya, Tam. Saya takut anak saya kena sakit aneh...”

Semakin dalam Tama menyelidik, semakin kuat satu kesimpulan: budaya mistis telah menjadi alat kekuasaan yang tak kelihatan.
Ritual-ritual yang terlihat “menghormati leluhur” sebenarnya telah dimanfaatkan sebagai instrumen kontrol yang membuat warga kampung tunduk dan menyerahkan akses mereka pada satu keluarga.

Yang paling mengejutkan, Tama menemukan satu dokumen tua di lemari kakeknya: sebuah peta tanah warisan dari masa kolonial, lengkap dengan batas-batas hak milik warga sebelum era kemerdekaan. Di situ tertulis bahwa ladang di sisi timur sungai—yang kini disebut “tanah keramat” dan tidak boleh digarap kecuali keluarga Lodra—dulu milik buyut Tama.

Puncaknya terjadi saat anak sulung keluarga Lodra, Mas Ranu, tiba-tiba datang ke rumah Prasaja malam-malam, membawa sebakul makanan dan senyum lebar.

“Adik Tama, saya dengar kamu suka membaca buku-buku dari kota. Tapi jangan terlalu percaya dengan logika. Di kampung ini, yang menjaga keseimbangan bukan akal, tapi rasa... dan rasa itu sudah ada sejak sebelum kita lahir.”

Senyumnya mengembang, tapi ada tekanan tak terlihat dalam kata-katanya. Tama hanya mengangguk dan mencatat satu hal:
“Rasa,” baginya, hanyalah rasa takut yang diwariskan dan dijaga agar tetap hidup.


Tama berdiri di tepi tanah keramat di timur sungai—wilayah yang selama ini ditabukan oleh warga. Tempat itu tak pernah disentuh cangkul sejak bertahun-tahun, hanya dikunjungi untuk menaruh bunga tujuh rupa dan sesekali dupa. Namun Tama kini membawa cangkul, bibit jagung, dan satu kamera kecil yang ia gantungkan di pohon jambu.

Satu per satu ayunan cangkul menghantam tanah. Tak ada gempa. Tak ada angin ribut. Hanya peluh dan tanah yang harum basah. Beberapa warga mengintip dari kejauhan, sebagian bahkan melempar tatapan takut.

"Tama gila," kata Mbok Sarti.
"Dia sudah tidak hormat pada leluhur," bisik Pak RT sambil menyembunyikan wajah di balik kerah.

Namun malam harinya, Tama tak diserang demam, tak melihat bayangan hitam, dan tak mimpi buruk. Yang terjadi justru ia mulai tidur dengan lebih nyenyak dari biasanya. Di siang berikutnya, ia menancapkan papan di tepi ladang:
“Ini bukan tanah keramat. Ini tanah kita.”

Minggu berganti minggu. Tanaman jagung tumbuh subur. Beberapa anak muda mulai datang diam-diam membantu menyiram. Bahkan anak lelaki Mas Ranu, yang biasanya dijaga ketat dari “pengaruh rasionalisme”, suatu sore terlihat mencabut gulma di pojok ladang.

Titik balik sebenarnya datang dari seorang yang tak disangka: Mbah Menir, dukun tua dari keluarga Lodra yang selama ini dianggap “penjaga keseimbangan spiritual kampung”. Ia datang diam-diam ke rumah Tama, meminjam buku catatan harian Tama, membacanya dengan mata yang bergetar.

“Aku hanya perantara. Tapi kalau perantara dipakai untuk membungkam yang lemah, itu bukan warisan, itu jebakan...”
“Kau benar, Nak. Banyak yang kami lakukan bukan untuk melindungi kampung ini... tapi untuk mengikatnya.”
“Tapi awas, anakku. Tak semua dari kami akan senang kau membuka mata orang.”

Esok paginya, Mbah Menir ditemukan meninggal di bale bambu rumahnya, dengan senyuman yang aneh dan bau dupa yang lebih tajam dari biasanya. Kampung gempar. Keluarga Lodra menangis histeris, menyebut ini sebagai “tanda murka leluhur atas pelanggaran Tama.”

Namun warga tidak lagi sepenuhnya percaya.

Dalam tujuh hari berikutnya, beberapa orang tua yang dulu keras, mulai bertanya pelan, “Tam, bagaimana caramu tahu tanah itu masih subur?”

Dan untuk pertama kalinya, ritual sedekah bumi diubah—bukan dengan pembakaran kemenyan, tapi dengan membaca nama-nama nenek moyang yang dulu pernah punya tanah di peta warisan. Air mata banyak warga jatuh malam itu. Bukan karena takut—tapi karena sadar: mereka telah lupa siapa mereka sebenarnya.


Tama mulai menggelar Diskusi Sabtu Malam di bale dusun. Tak lagi menggunakan bahasa akademis, ia berbicara dengan perumpamaan-perumpamaan kampung.

“Jika satu pohon kelapa dibilang angker, dan orang takut mengambil buahnya, siapa yang paling sering dapat untung?”
“Yang paling keras bilang itu angker.”

Semakin banyak warga yang hadir. Ada yang diam saja, ada yang bertanya, ada pula yang menangis sambil menggenggam catatan warisan dari kakek mereka yang selama ini mereka anggap tak penting. Di antara mereka, Pak Suryono, pensiunan kepala dusun, membuka rahasia lama:

“Dulu kita pernah punya musyawarah adat untuk membagi lahan bersama. Tapi setelah kebakaran misterius tiga puluh tahun lalu, semua peta tanah hilang... dan Lodra mulai menyusun ulang batas-batas kampung dengan nama mereka sendiri.”

Keesokan harinya, bale dusun dibakar.

Orang tak tahu siapa pelakunya. Tapi malam itu juga, pamflet-pamflet kecil muncul di pagar rumah warga:

"Siapa menolak leluhur, akan dicabut akarnya."
"Yang membakar dupa, diselamatkan. Yang membakar tanah, dikutuk."

Desas-desus menyebar. Ayah Tama, Pak Wiryo, jatuh sakit tiba-tiba. Banyak warga menganggap itu akibat perlawanan Tama terhadap adat. Bahkan ada yang menyarankan Tama membawa ayahnya ke rumah dukun Lodra, Ibu Raras, istri Mas Ranu.

Namun Tama menolak. Ia merawat ayahnya dengan pengobatan medis sederhana, sambil terus mendorong kampung untuk menggali catatan sejarah mereka yang tersisa.

Plot twist muncul ketika Pak Wiryo sadar dan bercerita lirih:

“Dulu aku tahu semuanya, Tam. Aku ikut diam karena aku takut kamu tidak bisa tumbuh kalau kita dimusuhi banyak orang... Tapi sekarang aku sadar, diamku adalah perpanjangan dari kekuasaan mereka...”

Di tengah kampung, konflik makin terbuka. Beberapa pemuda mulai menyuarakan revolusi. Namun Mas Ranu bertindak cepat—mengumumkan rencana pembangunan rumah adat spiritual kampung di atas ladang jagung Tama. Ia mengklaim mendapat "bisikan mimpi" dari leluhur yang marah atas "pencemaran kesucian".

Pemerintah desa pun ikut campur, tapi lebih memihak keluarga Lodra, karena Lodra-lah penyumbang utama kegiatan-kegiatan desa dan pemilik mayoritas surat-surat tanah yang “sah” secara hukum.

Namun di sinilah twist terbesar muncul: anak Mas Ranu sendiri, Raka, yang sejak kecil dilatih jadi pewaris kuasa keluarga, justru berdiri mendukung Tama.
Dalam sebuah rapat kampung, Raka membuka suara:

“Ayahku bahkan tidak pernah percaya pada semua ini. Ia hanya teruskan tradisi sebagai alat. Aku tahu karena aku ikut dengar semua rapat rahasia. Semua ini... palsu. Leluhur kami bukan penjajah—tapi kami telah menjadikan nama mereka sebagai senjata.”

“Mulai malam ini, aku letakkan nama keluargaku.”

Raka membuka ikat kepala hitam yang menjadi simbol garis Lodra dan meletakkannya di tanah. Warga terdiam. Mas Ranu pucat. Ibu Raras jatuh pingsan.

Dan Tama berdiri... tak untuk menang, tapi untuk memaafkan.


Paska peristiwa pelepasan ikat kepala oleh Raka, suasana kampung Tembiring tak lagi sama. Untuk pertama kalinya dalam puluhan tahun, tidak ada upacara bakar dupa di malam Jumat Kliwon. Sebagian warga merasa hampa, sebagian merasa lega, dan sebagian lain... menangis dalam diam.

Namun Tama tidak menekan. Ia justru memfasilitasi “Malam Tumbuk Warisan”, sebuah acara baru di mana warga kampung menceritakan kenangan, trauma, dan pengorbanan leluhur mereka. Di bale dusun yang kini dibangun ulang secara gotong royong, para tetua dan anak muda duduk bersila bersama.

Pak Suryono membaca puisi:

“Kami ditundukkan oleh rasa yang kami kira suci.
Tapi ternyata, rasa itu dibentuk oleh suara yang takut kehilangan kuasa.”

Mbok Sarti membawa naskah doa dari neneknya, yang dulu dibaca sebelum menanam, tapi tanpa unsur mistik. Hanya syukur dan harapan.

Sementara itu, keluarga Lodra mengalami perpecahan.
Mas Ranu memilih meninggalkan kampung, menyerahkan seluruh dokumen kepemilikan lahan kepada forum adat baru. Ia hanya berpesan:

“Aku bukan penjahat. Tapi aku telah diwarisi alat penindasan dan memilih memakainya. Sekarang biarkan aku diam di luar batas.”

Namun tak semua keluarga Lodra seperti dia. Beberapa masih mencoba mempengaruhi warga lewat jalur hukum formal—mengklaim hak atas beberapa lahan produktif. Tapi warga kini sudah belajar membaca dokumen, memahami hukum tanah, dan bahkan membentuk kelompok advokasi kampung yang terdiri dari anak-anak muda lulusan SMA dan kuliah, termasuk Tama dan Raka.

Tama tidak menjadi pemimpin. Ia justru mendorong pemuda lain untuk mengambil peran, karena katanya:

“Kalau pembebasan hanya bergantung pada satu orang, maka ia bisa dijatuhkan kapan saja. Tapi kalau kesadaran tumbuh di banyak kepala, tak ada dupa yang cukup untuk membuat kita takut lagi.”

Pada akhirnya, ladang jagung di tepi timur sungai kini menjadi kebun pendidikan.
Setiap Sabtu, anak-anak kampung datang ke sana belajar tentang tanah, sejarah, dan juga... filsafat. Mereka tidak diajari untuk membenci masa lalu, tapi untuk memahami akar-akar yang membelit dan membedakan mana akar yang menumbuhkan, dan mana yang mencekik.


Beberapa bulan telah berlalu sejak dupa terakhir padam di kampung Tembiring.

Di sebuah ruang kecil di samping rumah kayu keluarga Prasaja, tergantung sebuah peta kampung baru, digambar tangan oleh anak-anak muda kampung, dilengkapi dengan legenda warna:

  • Merah untuk tanah yang dulu ditabukan.
  • Hijau untuk lahan yang telah dibebaskan dan dibudidayakan bersama.
  • Kuning untuk situs-situs budaya yang kini tidak lagi dijaga dengan rasa takut, tapi dijaga dengan rasa hormat.

Tama menatap peta itu sambil duduk bersama Raka, yang kini tinggal di rumah kecil di pinggiran hutan, menanam kopi dan menulis jurnal tentang transformasi budaya kampungnya.

“Dulu, kita takut membuka tanah karena katanya ada penunggu,” kata Raka.
“Sekarang kita jaga tanah itu karena tahu, kalau kita biarkan rusak, tak ada yang bisa ditunggu.”

Mereka tertawa pelan. Di kejauhan, suara gamelan terdengar dari balai dusun—bukan untuk upacara gaib, tapi untuk perayaan panen raya yang pertama sejak kampung sepenuhnya mengelola lahannya sendiri. Orang-orang berkumpul, bernyanyi, menari, dan membaca puisi.

Di antara anak-anak kecil yang berlarian, ada seorang bocah perempuan menggambar lingkaran dengan kapur putih di tanah.

Tama menghampirinya dan bertanya, “Apa itu?”

Bocah itu menjawab, “Ini tempat duduk untuk kakek buyutku. Katanya dulu dia pernah menanam jagung di sini, tapi disuruh berhenti.”

“Sekarang aku undang dia duduk lagi. Biar dia lihat, kita sudah berani menanam lagi.”

Tama menatap tanah yang bersih. Tak ada dupa, tak ada sesajen. Hanya jejak kaki kecil dan bayangan langit yang memantul di air irigasi baru buatan warga.

Ia tahu revolusi tak pernah selesai. Tapi jika anak kecil sudah bisa menggambar lingkaran sebagai ajakan untuk berkumpul, bukan pagar untuk memisah, maka kampung ini sedang menempuh jalan pulang menuju akarnya yang sejati.

Di balik peta kampung itu, terselip catatan tangan Tama:

“Kita tidak menolak masa lalu. Kita hanya memilih untuk tidak dijajah olehnya.”