Dana Turun, Curiga Naik
Di Desa LS, suara kentongan sore itu bukan panggilan gotong royong seperti biasa. Warga berkerumun di balai desa, sebagian duduk di kursi plastik yang mulai reyot, sebagian berdiri menunggu giliran bicara. Di ujung meja, kepala desa duduk kaku, berhadapan dengan ketua BPD yang menatapnya tajam.
“Kenapa semua pengurus koperasi orang-orang rumahmu, Pak?” tanya seorang pemuda yang mulai vokal sejak dana koperasi Merah Putih cair tiga hari lalu.
Dana sebesar Rp3 miliar telah masuk ke rekening koperasi desa. Tapi bukan kegembiraan yang menyebar. Justru desas-desus dan kecurigaan meledak di mana-mana. Ada yang menyebut koperasi hanya kamuflase proyek elite desa. Ada pula yang meyakini koperasi ini akan bernasib seperti KUD di masa lalu—besar di papan nama, bangkrut dalam kepercayaan.
Di pojok ruangan, seorang ibu yang sehari-hari berjualan nasi bungkus menghela napas panjang. “Dulu kami diajak rapat waktu koperasi dibentuk, tapi sekarang kami tak tahu siapa yang pegang uangnya,” gumamnya.
Warga lain bahkan menyebut bahwa pengangkatan pengurus koperasi dilakukan dini hari, dalam rapat kecil tanpa notulen, tanpa undangan terbuka. Dan ketika ditanya ke balai desa, jawabannya berulang: "Itu sudah sesuai prosedur."
Tapi di desa, prosedur tidak selalu identik dengan keadilan.
Mimpi Nasional, Pelaksana Desa
Di atas kertas, Koperasi Desa Merah Putih tampak menjanjikan. Program ini diluncurkan sebagai bagian dari agenda besar Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka: mengangkat ekonomi rakyat dari akar rumput. Targetnya tidak main-main—sebanyak 80.000 koperasi akan berdiri di seluruh desa dan kelurahan, dengan mimpi membangun poros ekonomi kerakyatan dari pinggiran.
“Bayangkan jika setiap desa memutar uang Rp7 miliar per tahun. Ekonomi nasional akan bergerak dari bawah,” ujar Menteri Desa dalam pidato peluncuran di Jakarta, yang disambut tepuk tangan panjang.
Pemerintah menyiapkan dana awal hingga Rp3 miliar per koperasi, yang dikucurkan melalui pinjaman bank pemerintah (Himbara), dengan jaminan skema kemitraan. Pemerintah desa didorong menjadi fasilitator dan penggerak, musyawarah desa ditetapkan sebagai mekanisme utama pengambilan keputusan, dan warga menjadi anggota sekaligus pemilik koperasi.
Dalam dokumen panduan yang dibagikan ke seluruh kepala desa, istilah seperti partisipasi kolektif, transparansi, dan manfaat langsung ke masyarakat tertulis tebal. Koperasi tidak hanya menjual beras atau telur, tapi juga menjadi tempat simpan pinjam, gudang logistik, hingga pusat distribusi hasil tani.
Namun, kenyataan di desa berbeda dengan bahasa di brosur. Di lapangan, banyak desa belum memahami model koperasi modern. Sebagian bahkan belum selesai membentuk BUMDes, sudah dituntut membentuk badan hukum koperasi. Waktu pelaksanaan yang mepet, kombinasi antara euforia dan tekanan pusat, membuat banyak proses terburu-buru. Dana turun lebih dulu, sistem menyusul nanti.
“Yang kami tahu, harus bentuk koperasi, bikin pengurus, dan siapkan rekening. Kalau lambat, kami dianggap tidak mendukung program nasional,” kata seorang kepala desa di Kab. L.
Di desa-desa, program ini menjelma menjadi proyek yang mengejar tenggat. Bukan partisipasi yang lahir, tapi kecurigaan.
Babak Awal Kecurigaan
Di Desa PK, musyawarah desa khusus—yang disebut sebagai forum tertinggi pengambilan keputusan koperasi—dilaksanakan secara diam-diam. Undangan hanya tersebar lewat pesan pribadi WhatsApp dan kabarnya hanya beredar di antara kerabat perangkat desa. Tak ada pengumuman di masjid. Tak ada baleho ajakan partisipasi. Ketika salah satu anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) bertanya kenapa tidak diumumkan secara terbuka, jawabannya datar, “Waktu kami mepet, itu perintah atasan.”
Beberapa hari kemudian, nama-nama pengurus koperasi resmi diumumkan di papan informasi desa. Ketua koperasi: Arfan, anak kandung kepala desa. Bendahara: Nurlela, adik ipar kepala dusun. Sekretaris: istri dari kepala unit ekonomi BUMDes yang lama. Tidak ada wajah baru. Tidak ada representasi dari kelompok tani, pedagang, apalagi pemuda desa.
“Kami bukan menolak programnya,” ujar Pak Habib, tokoh masyarakat yang pernah menjabat sebagai kepala desa dua periode. “Tapi dari awal kami merasa ini hanya dikondisikan untuk mereka-mereka saja.”
Kekisruhan tak berhenti di susunan pengurus. Dalam beberapa desa, dokumen pembentukan koperasi seperti berita acara Musdesus dan daftar hadir disiapkan belakangan—setelah pengurus terbentuk. Bahkan ada desa yang menggunakan stempel dan tanda tangan warga tanpa izin, hanya agar laporan cepat dikirim ke kabupaten.
Ketika dana koperasi akhirnya cair dan belanja dimulai—truk barang masuk, gudang disewa, papan nama dicat—ketegangan menguat. Sejumlah warga mempertanyakan dasar pembelian, siapa yang merencanakan, dan bagaimana pertanggungjawaban keuangannya.
Kepala desa merasa diserang. Pengurus koperasi merasa dijegal. Sementara masyarakat mulai menaruh curiga terhadap segalanya—termasuk terhadap siapa pun yang diam.
Di warung kopi, kata ‘koperasi’ bukan lagi identik dengan semangat gotong royong. Ia berubah jadi bisik-bisik tentang siapa dapat apa, siapa bawa masuk barang, dan siapa yang paling diuntungkan.
Suara-Suara yang Bertentangan
Tidak semua pihak merasa sedang berada dalam kekisruhan. Bagi pengurus koperasi, langkah mereka sudah sesuai petunjuk teknis dari pemerintah pusat. “Kami ini cuma menjalankan,” kata Arfan, ketua koperasi Desa PL yang juga anak kepala desa. Ia menyodorkan map biru berisi daftar kegiatan, tanda bukti belanja, dan salinan struktur organisasi. “Kami sudah rapat, lengkap dengan daftar hadir dan dokumentasi. Kalau warga merasa tak dilibatkan, mungkin karena mereka tidak datang,” ujarnya, tenang tapi defensif.
Di ruang kepala desa, pernyataan serupa bergema. “Kalau semua mau cepat berjalan, ya kami pilih yang bisa kerja, bukan yang cuma bisa bicara,” kata Kepala Desa Haris. Baginya, penunjukan kerabat bukan nepotisme, melainkan efisiensi. Ia berdalih, sulit mencari orang yang siap kerja tanpa pamrih. “Lagi pula, koperasi ini bukan milik pribadi. Semua warga boleh beli dan jual di sini.”
Namun, suara dari bawah terdengar lain.
Pak Mul, seorang petani jagung yang tinggal di ujung kampung, mengaku tak pernah tahu ada rapat pembentukan koperasi. Ia hanya mendengar dari tetangganya bahwa ada “koperasi baru yang akan jual pupuk murah dan ambil hasil panen.” Ketika ia bertanya ke balai desa bagaimana cara bergabung sebagai anggota, ia diminta menunggu info lanjutan.
“Sampai sekarang nggak ada kabarnya. Tapi truk koperasi sudah ambil jagung milik orang-orang dekat desa duluan,” keluhnya.
Di sisi lain, BPD justru berada di posisi yang terjepit. Beberapa anggotanya merasa disingkirkan dari proses. Surat permintaan klarifikasi kepada pengurus koperasi tak dibalas. Usulan Rapat Anggota Tahunan (RAT) luar biasa untuk mengevaluasi kinerja pun dianggap ‘mengganggu stabilitas’.
“Yang mengkhawatirkan itu bukan cuma uangnya, tapi hubungan sosial di kampung ini yang mulai retak,” ujar Ketua BPD, yang menolak namanya disebut karena takut tekanan.
Kegelisahan itu juga sampai ke kelompok perempuan desa. Ibu-ibu dari kelompok pengajian mengaku tak tahu-menahu soal koperasi, meski sebagian dari mereka pernah aktif di simpan pinjam desa. Mereka hanya melihat koperasi datang membeli beras warga—tapi dengan harga lebih rendah dari pasar. “Ini koperasi rakyat atau tengkulak baru?” tanya Bu Sari, juru masak tetap di acara desa.
Yang menyedihkan, bahkan orang yang tak bicara pun mulai dicurigai. “Kalau diam, dianggap berpihak. Kalau banyak bertanya, dibilang menghasut,” kata Pak Lukman, guru honorer yang dulu rajin mengurus data kelompok tani.
Koperasi yang seharusnya menjadi wadah kebersamaan, kini menyisakan suara-suara yang tidak sinkron. Suara pengurus, suara warga, dan suara formal desa berjalan di jalur sendiri-sendiri—bertemu hanya dalam kecurigaan.
Aroma Bahaya: Uang yang Masuk Sebelum Tata Kelola Siap
Di bulan pertama setelah dana Rp3 miliar itu masuk ke rekening koperasi, pengeluaran melonjak seperti air bah yang lepas bendungan. Dalam catatan pembelanjaan yang diperoleh Media dari salah satu desa di Nusa Tenggara Barat, tercatat pembelian truk pick-up bekas senilai Rp210 juta, lemari pendingin untuk produk pertanian Rp130 juta, dan pembelian sembako dalam jumlah besar—tanpa rencana distribusi yang jelas.
“Kami harus segera belanja. Kalau tidak, uang itu dianggap mengendap dan bisa ditarik balik,” kata ketua koperasi di desa tersebut. Ia menambahkan bahwa tekanan datang bukan hanya dari bank penyalur, tapi juga dari oknum pendamping desa yang membawa pesan-pesan ‘dari atas’.
Di desa lain, dana koperasi digunakan untuk menyewa gudang yang ternyata masih sengketa. Barang-barang sembako menumpuk di pojok ruang balai desa, ditutupi terpal biru, menunggu ‘momentum jual’ yang tak kunjung datang. Beberapa barang bahkan sudah mulai rusak karena kelembapan. Tak ada tim inventarisasi. Tak ada SOP. Tidak ada sistem pencatatan digital.
Sebagian besar pengurus koperasi adalah orang-orang yang baru kali ini bersentuhan dengan laporan keuangan formal. Di satu desa, bendahara koperasi mengaku menyusun laporan keuangan di buku tulis biasa, tanpa memahami konsep neraca atau arus kas. “Saya kira tinggal catat keluar-masuk saja,” ujarnya polos.
Di sinilah bahaya itu mengintai: uang besar yang tiba-tiba mengalir ke tempat yang belum siap. Koperasi, yang seharusnya menjadi lembaga kolektif dengan pengawasan dan manajemen rapi, menjelma menjadi semacam ‘unit darurat distribusi dana’ tanpa perangkat pendukung. Tak ada pelatihan akuntansi. Tak ada aplikasi pencatatan. Tak ada kontrol silang dari pihak luar.
Dari desa ke desa, muncul pola yang sama: uang yang dipaksa cepat dipakai, sistem yang belum siap, dan pengurus yang bingung antara menjalankan tanggung jawab atau menyelamatkan diri sendiri.
“Saya takut kami nanti yang dipenjara,” kata salah satu ketua koperasi di Kecamatan Z, yang kini mengusulkan agar dana tidak ditambah dulu sampai mereka paham betul sistem pelaporannya.
Namun permintaan itu seperti berbicara ke ruang kosong. Program tetap berjalan. Dana tetap turun. Dan tekanan tetap datang.
Jejak di Tempat Lain
Apa yang terjadi di Desa ABC bukan cerita tunggal. Tempo menemukan pola serupa di sejumlah desa lain di tiga provinsi: N, J, dan S. Desa-desa yang berbeda wilayah, tetapi mengalami gejala yang sama—dana koperasi mengalir deras sebelum pemahaman dan kesepahaman tumbuh di antara warganya.
Di sebuah desa di Kab R, Prop K, ketua kelompok tani mendatangi balai desa dengan setumpuk proposal. Ia berharap koperasi Merah Putih bisa membantu pemasaran hasil panennya. Namun, permintaannya ditolak mentah-mentah. “Kami tidak bisa bantu kalau tidak lewat vendor koperasi,” jawab pengurus koperasi yang baru saja membeli mobil operasional dari Ibukota.
Vendor koperasi? Rupanya koperasi di desa itu sudah menjalin kerja sama dengan pihak ketiga—dalam bentuk kemitraan logistik, penyedia pupuk, dan bahkan sistem aplikasi daring—tanpa sepengetahuan masyarakat. Semuanya diputuskan oleh pengurus dan kepala desa atas nama “kecepatan program”. Masyarakat hanya melihat hasil akhirnya: ada orang luar yang membawa pupuk dan mengambil hasil panen.
Di Kabupaten G, seorang pendeta desa merasa terusik saat mengetahui bahwa pengurus koperasi meminjam dana atas nama koperasi tanpa melalui musyawarah anggota. Ia mengusulkan agar gereja desa membuat koperasi tandingan berbasis komunitas. “Kami lebih percaya saling bantu di antara kami sendiri daripada koperasi yang tak tahu siapa pemiliknya.”
Sementara itu di Propinsi S, Ketua BPD Desa AM berinisiatif mengumpulkan bukti-bukti kejanggalan pengelolaan koperasi. Ia mengadukan masalah ini ke dinas koperasi kabupaten. Namun belum sempat proses berjalan, rumahnya dilempari batu pada malam hari. Ia tak bisa membuktikan siapa pelakunya, tapi ia paham betul bahwa langkahnya membuat banyak pihak gerah.
Bahkan LSM lokal yang dulu aktif mendampingi program pemberdayaan desa mulai angkat suara. Mereka menilai program Koperasi Merah Putih menyisakan “arus dana cepat tanpa sistem rem”. Beberapa menyebut ini sebagai KUD jilid dua, di mana koperasi bukan alat pemberdayaan, melainkan proyek berbaju kerakyatan.
Yang mencemaskan, keretakan sosial mulai muncul. Kelompok pemuda yang menolak keterlibatan dalam koperasi dicap sebagai penghambat pembangunan. Ibu-ibu kelompok dasawisma tak lagi bersatu dalam forum masak bersama karena beda sikap terhadap pengurus koperasi. Bahkan di beberapa tempat, masjid dan gereja memisahkan diri dari kegiatan koperasi yang dianggap beraroma politis.
Program yang dimaksudkan untuk mempersatukan dan memajukan desa, malah membuka luka lama: siapa punya kuasa, siapa hanya jadi penerima keputusan.
Pembiaran Struktural dan Potensi Risiko
Ketika ratusan koperasi desa terbentuk dalam waktu serentak, pemerintah pusat tampak percaya bahwa partisipasi masyarakat dan kesiapan pemerintah desa sudah mapan. Namun di balik pencapaian angka-angka—80 ribu koperasi terbentuk, puluhan ribu badan hukum disahkan—tersimpan masalah mendasar yang tak diselesaikan dari awal: ketimpangan kapasitas dan absennya mekanisme kontrol independen.
“Yang sedang dibangun itu bukan koperasi dalam arti sejati. Ini koperasi dadakan,” kata BY, direktur sebuah LSM di Jakarta. Ia menyebut program ini rawan menjadi proyek politik dengan aroma korporatisme desa, karena dikawal oleh pemerintah desa, dibiayai oleh negara, tapi tidak diawasi secara kritis oleh masyarakat.
Dari hasil survei lembaga C terhadap lebih dari 200 kepala desa dan perangkat desa, ditemukan bahwa 65% responden mencium potensi korupsi dalam program Koperasi Desa Merah Putih. Tak hanya karena besarnya dana yang mengalir tanpa prosedur pengawasan ketat, tetapi juga karena hubungan kuasa yang timpang antara pengurus koperasi dan masyarakat desa yang seharusnya menjadi pemilik sejati.
Potensi risiko lain datang dari skema pembiayaan koperasi. Alih-alih hibah, dana yang digunakan bersumber dari pinjaman bank pemerintah, yang akan dibayar kembali melalui mekanisme bisnis koperasi. Artinya, koperasi tak boleh rugi. Namun, dengan pengurus yang belum paham tata kelola usaha, koperasi bisa menjadi beban keuangan desa, bukan solusi.
“Kami bisa-bisa ditagih bank untuk kegiatan yang sejak awal pun kami tak dilibatkan,” kata seorang anggota BPD dari Kab. L. Ia menyebut bahwa belum ada simulasi risiko, belum ada SOP krisis, dan belum ada skenario gagal bayar—semuanya mengandalkan optimisme semu bahwa koperasi akan langsung untung.
Dalam banyak kasus, pemerintah desa merasa didorong untuk mengejar target, bukan membangun fondasi. Pendampingan pelatihan terbatas. Mekanisme pengaduan hampir tak ada. Bahkan ketika masyarakat mulai mempertanyakan transparansi, pemerintah daerah cenderung defensif.
Akademisi Universitas H, Prof. R S., menilai program ini akan menciptakan luka sosial di banyak desa jika tidak segera dibenahi. “Dana boleh turun cepat, tapi kepercayaan itu dibangun lambat. Kalau program tidak sabar menunggu tumbuhnya kepercayaan, maka yang panen nanti adalah kecurigaan.”
Program ini, katanya, seharusnya bukan sekadar proyek ekonomi, tapi pembelajaran sosial. Namun kini, desa-desa dipaksa mengelola koperasi seperti perusahaan, tapi dengan perangkat hukum dan budaya gotong royong yang belum disesuaikan.
Sebuab refleksi
Senja jatuh di Desa PK. Balai desa yang tadi siang riuh kini sunyi, hanya tersisa lampu neon yang berkedip tak pasti. Di papan pengumuman, masih terpampang foto-foto kegiatan koperasi: potret pembagian sembako, penandatanganan MoU, pengangkutan hasil panen ke gudang. Semuanya tampak megah. Tapi wajah-wajah yang terpampang di sana hanyalah sebagian kecil dari mereka yang hidup di desa.
Di warung kopi ujung gang, percakapan masih berputar-putar: siapa yang pegang kas? ke mana sembako dijual? kapan warga bisa ikut rapat? Koperasi belum dirasakan sebagai milik bersama, melainkan sebagai lapisan baru kekuasaan yang sulit disentuh. Dalam ruang sempit ini, kecurigaan tumbuh lebih cepat dari panen. Kepercayaan menjadi barang langka.
Program nasional ini tidak sepenuhnya salah. Ia membawa semangat keberdayaan, membangunkan potensi ekonomi desa, dan mencoba menyusun ulang peta distribusi dari bawah. Tapi dalam pelaksanaannya, ia lupa satu hal penting: membangun kepercayaan lebih dulu, sebelum mengalirkan dana.
Desa bukan sekadar unit administratif. Ia adalah simpul sosial, di mana silaturahmi, kekerabatan, dan reputasi menjadi mata uang. Ketika program pemerintah datang seperti badai—cepat, besar, dan bersyarat—ia bisa membelah desa, bukan menyatukannya.
Kini, koperasi yang membawa nama “Merah Putih” justru menjadi cermin rapuhnya persatuan. Bukan karena ideologinya keliru, tapi karena pelaksanaannya menyepelekan hal paling mendasar dalam pembangunan: rasa memiliki.
Dan ketika koperasi tak lagi terasa milik semua, yang tersisa hanya papan nama di dinding dan pertanyaan yang menggantung di udara: “Untuk siapa koperasi ini sebenarnya?”