Minggu, 30 November 2025

Hipotesis dan Tesis: Dua Nadi yang Hilang dalam Tulisan Ilmiah

Banyak orang percaya bahwa menulis ilmiah hanyalah persoalan “mencari masalah” dan “memilih metode.” Seolah-olah dua hal itu sudah cukup untuk menghasilkan karya ilmiah yang berkualitas. Padahal, cara pandang seperti ini membuat tulisan ilmiah terasa datar, kering, dan kehilangan roh berpikir kritis. Menulis ilmiah bukan sekadar ritual antara latar belakang, metode, dan hasil. Ada sesuatu yang lebih dalam dan lebih fundamental yang sering dilupakan.

Itulah hipotesis dan tesis. Keduanya adalah nadi yang memompa kehidupan ke seluruh tulisan ilmiah. Tanpa memahami keduanya, seseorang mungkin tetap mampu menyelesaikan skripsi atau laporan penelitian, tetapi ia tidak pernah benar-benar menulis sebagai seorang pemikir. Ia hanya menyusun laporan teknis.

Hipotesis adalah keberanian untuk menduga. Di sinilah proses ilmiah benar-benar dimulai: pada saat peneliti berkata, “Aku punya dugaan, dan aku siap diuji.” Hipotesis adalah tindakan intelektual pertama yang membuka pintu kemungkinan-kemungkinan baru. Ia lahir bukan dari metode, tetapi dari rasa ingin tahu yang kritis.

Tesis adalah keberanian untuk mengambil posisi. Setelah gagasan diuji, teori ditimbang, dan data dianalisis, penulis ilmiah harus berkata, “Ini kesimpulanku, dan aku siap mempertahankan.” Tanpa tesis, penelitian hanya menghasilkan rangkaian data tanpa makna. Tesis-lah yang membuat penelitian memiliki arah dan dampak intelektual.

Kesalahpahaman terbesar dalam dunia akademik adalah menganggap kajian literatur hanya sebagai formalitas; seolah-olah ia hanya perlu panjang dan lengkap. Padahal literatur adalah ladang tempat ide-ide beradu, tempat penulis menambang gagasan dan menemukan celah. Dari sanalah hipotesis bisa tumbuh: dari ketidakkonsistenan teori, dari anomali yang menggelitik, dari percikan gagasan yang muncul saat membaca.

Sebaliknya, banyak yang mengira penelitian empiris hanyalah soal mengumpulkan data sebanyak-banyaknya. Padahal data itu tidak berdiri sendiri. Yang diuji bukan angka-angka itu, tetapi hipotesis yang tersembunyi di baliknya. Dan yang lahir bukan sekadar hasil, tetapi tesis yang dipertanggungjawabkan dengan argumen.

Menulis ilmiah adalah perjalanan dari dugaan menuju posisi. Dari hipotesis menuju tesis. Dari ketidakpastian menuju keberanian mengambil sikap. Inilah inti penelitian yang sering tertutup oleh ketebalan bab metode.

Ketika penulis terlalu fokus pada masalah dan metode, ia kehilangan inti filosofis dari penelitian. Ia mungkin pandai mengambil sampel, tetapi tidak tahu apa makna sampel itu. Ia mungkin mahir menghitung regresi, tetapi tidak tahu apa yang sedang ia pertaruhkan. Penelitiannya menjadi mekanik, bukan intelektual.

Tanpa hipotesis yang jelas, metode terbaik pun kehilangan sasaran. Tanpa tesis yang kokoh, masalah yang menarik pun kehilangan tujuan. Dua hal inilah yang melepaskan tulisan ilmiah dari sekadar laporan dan menjadikannya karya pemikiran.

Dalam tradisi filsafat ilmu, hipotesis tidak harus lahir dari literatur semata. Ia bisa berasal dari observasi lapangan, intuisi ilmiah, pengalaman hidup, atau anomali yang memancing keheranan. Justru inilah keunikan ilmu: ia sering dimulai dari sesuatu yang tampak sederhana namun mengusik pikiran.

Tesis pun tidak selalu berbasis empiris. Ia bisa lahir dari argumen konseptual, refleksi normatif, analisis logis, atau sintesis teori. Yang menjadikannya tesis adalah kekuatan argumennya, bukan sumber datanya. Sebuah tesis adalah pernyataan yang siap dipertahankan secara rasional.

Memahami hipotesis dan tesis membuat seluruh struktur tulisan ilmiah terlihat berbeda. Pendahuluan berubah menjadi arena pembentukan dugaan. Kajian pustaka berubah menjadi pertemuan gagasan. Metode berubah menjadi strategi pembuktian. Hasil berubah menjadi evaluasi dugaan. Pembahasan berubah menjadi medan argumentasi. Kesimpulan berubah menjadi pernyataan posisi.

Dengan memahami esensi ini, penulis ilmiah tidak lagi berperan sebagai pengisi formulir bab demi bab. Ia menjadi pemikir, pengambil risiko intelektual yang tidak bersembunyi di balik prosedur. Ia memakai metode untuk membuktikan idenya, bukan memakai ide untuk mengisi metode.

Hipotesis dan tesis juga mengajarkan tanggung jawab intelektual. Seorang peneliti tidak hanya meminjam teori, tetapi menguji dan menyusunnya kembali. Ia tidak hanya membaca literatur, tetapi melahirkan posisi baru. Ia tidak hanya menyusun data, tetapi memberi makna pada data tersebut.

Akhirnya, kita perlu mengguncang cara berpikir lama tentang penelitian ilmiah. Masalah dan metode hanyalah kerangkanya. Isinya adalah hipotesis dan tesis. Jika dua nadi ini kembali dipahami, tulisan ilmiah kembali hidup: penuh gairah, tajam, dan mampu mengubah cara kita melihat dunia.

Jumat, 07 November 2025

Harga Pembelian Pemerintah Adalah Mesin Ekonomi


Setiap mesin ekonomi besar selalu bergerak dari komponen kecil yang bekerja dengan teratur. Dalam konteks Indonesia, komponen kecil itu bernama petani, dan bahan bakarnya adalah harga yang adil.
Ketika pemerintah menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah menjadi Rp 6.500/kg dan jagung menjadi Rp 5.500/kg, sesungguhnya yang digerakkan bukan hanya harga, melainkan mesin ekonomi nasional yang bertumpu pada produksi pangan.

Kebijakan ini, yang diumumkan oleh Badan Pangan Nasional (Bapanas) pada awal 2025, bukan sekadar revisi harga beli pemerintah. Ia adalah strategi ekonomi riil yang berpihak pada para produsen primer—para petani yang selama ini menopang ketahanan pangan, tetapi kerap menjadi pihak yang paling rapuh ketika harga jatuh di musim panen【badanpangan.go.id】.
Dengan menaikkan HPP, pemerintah tidak sedang menyalakan subsidi, melainkan menyalakan semangat produksi dan memutar roda konsumsi di perdesaan.

Makna penting dari kebijakan ini ada pada logikanya: bahwa ekonomi nasional tidak hanya bisa didorong dari pusat-pusat industri dan pasar modal, tetapi juga dari desa-desa yang memproduksi bahan pangan. Ketika harga gabah dan jagung naik, daya beli petani meningkat. Ketika daya beli meningkat, konsumsi tumbuh. Ketika konsumsi tumbuh, ekonomi bergerak.

Langkah ini juga menjadi bagian dari visi swasembada pangan 2025, yang tidak bisa dicapai hanya dengan produktivitas, tetapi harus disertai kepastian harga sebagai insentif produksi【indonesia.go.id】.
Kenaikan HPP adalah bentuk rational policy, bukan populist maneuver. Ia menjawab realitas biaya produksi yang naik akibat pupuk, BBM, dan ongkos tenaga kerja. Pemerintah dengan sadar memilih untuk memperkuat akar ekonomi ketimbang menambal gejalanya di permukaan.

Dalam kacamata ekonomi rakyat, HPP adalah denyut nadi pertumbuhan yang paling jujur.
Ketika harga dasar ditegakkan, petani punya alasan untuk terus menanam, pasar punya alasan untuk terus menyerap, dan negara punya alasan untuk optimis.
Inilah momen ketika HPP tidak lagi dipandang sebagai kebijakan administratif, melainkan sebagai mesin ekonomi yang bekerja dari sawah, bukan dari gedung tinggi.

Rasional Ekonomi di Balik Kenaikan HPP

Sebuah mesin tidak akan hidup tanpa bahan bakar, dan bahan bakar ekonomi rakyat adalah harga yang memihak produksi.
Ketika pemerintah menetapkan HPP padi Rp 6.500/kg dan HPP jagung Rp 5.500/kg, negara sebenarnya sedang mengisi tangki energi ekonomi di lapisan paling bawah—para petani.
Kebijakan ini tidak muncul tiba-tiba; ia merupakan respons terhadap kenaikan ongkos produksi yang terus menekan margin petani, mulai dari harga pupuk, tenaga kerja, hingga transportasi【badanpangan.go.id】.

Bapanas menegaskan bahwa penetapan HPP baru mempertimbangkan struktur biaya usaha tani agar petani tidak rugi di musim panen. Dengan kata lain, pemerintah sedang memperbaiki rasio keadilan antara biaya dan hasil.
Begitu harga di tingkat petani menjadi layak, maka keseimbangan baru tercipta: petani punya margin, pasar punya pasokan, dan negara punya pertumbuhan.

Kenaikan HPP ini memiliki multiplier effect yang luar biasa.
Tambahan Rp 1.000/kg bagi petani padi skala kecil dengan hasil panen tiga ton berarti tambahan Rp 3 juta per musim—uang yang akan berputar di toko pertanian, bengkel, dan warung desa.
Perputaran uang di desa-desa inilah yang menggerakkan ekonomi riil Indonesia, jauh lebih nyata daripada angka-angka investasi yang kadang hanya berpindah di layar monitor.

Menurut data Kementerian Pertanian, produksi jagung pipilan kering kadar air 14 % tahun 2025 diproyeksikan mencapai 16,55 juta ton【pertanian.go.id】.
Dengan HPP Rp 5.500/kg, nilai transaksi dari sektor ini dapat menembus Rp 91 triliun.
Sedangkan produksi beras nasional pada awal 2025 diperkirakan mencapai lebih dari 8,5 juta ton【indonesia.go.id】, dengan potensi nilai ekonomi di atas Rp 55 triliun.
Ini bukan angka abstrak—ini adalah arus uang nyata yang bergerak dari hasil kerja tangan manusia dan tanah Indonesia.

Kebijakan HPP juga menjadi insentif psikologis bagi petani.
Dengan kepastian harga, mereka berani berinvestasi pada benih unggul, teknologi irigasi, dan pola tanam berkelanjutan.
Artinya, HPP tidak hanya menjaga pendapatan, tapi juga menumbuhkan produktivitas dan keberanian berinovasi.
Di titik ini, HPP bekerja seperti mesin yang terus memompa kepercayaan—dan dari kepercayaan itulah tumbuh investasi.

Langkah ini menandai perubahan paradigma ekonomi:
dari model yang bergantung pada pertumbuhan kota ke model yang menumbuhkan desa sebagai pusat energi ekonomi.
Karena sejatinya, mesin ekonomi Indonesia bukan berputar di kantor menteri, tapi di pematang sawah dan ladang jagung.

Efek Rantai terhadap Pertumbuhan Nasional

Ketika mesin ekonomi bekerja, getarannya tidak hanya terdengar di ruang mesin, tetapi menjalar hingga ke seluruh kendaraan. Begitu pula HPP: ia dimulai di sawah, tapi gema ekonominya sampai ke ruang rapat kebijakan nasional.

Kenaikan HPP padi dan jagung menghidupkan rantai ekonomi berlapis: produksi, konsumsi, distribusi, industri, hingga stabilitas fiskal.
Saat petani mendapatkan harga Rp 6.500/kg untuk gabah dan Rp 5.500/kg untuk jagung, pendapatan mereka naik, dan uang itu tidak berhenti di dompet mereka. Ia berputar — menjadi belanja di warung, ongkos anak sekolah, cicilan pupuk, serta tabungan untuk musim tanam berikutnya.
Setiap rupiah yang mengalir di desa menyalakan putaran ekonomi kota.

Menurut BPS, konsumsi rumah tangga masih menyumbang lebih dari 50% terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Artinya, ketika petani bisa membeli lebih banyak, ekonomi nasional ikut tumbuh lebih cepat.
Kebijakan HPP yang tampak sederhana ini justru bekerja seperti pompa hidrolik ekonomi nasional — menekan dari bawah untuk mengangkat beban besar di atas.

Dampaknya juga terasa di sektor industri.
Harga jagung Rp 5.500/kg memperkuat pasokan bahan baku industri pakan ternak, sementara harga gabah Rp 6.500/kg menjaga ketersediaan beras berkualitas bagi industri makanan dan minuman, yang menyumbang sekitar 6,5% PDB nonmigas menurut Kementerian Perindustrian.
Artinya, stabilitas harga di petani adalah jaminan pasokan bagi pabrik.
Ketika pasokan stabil, rantai pasok tidak terguncang, dan inflasi bisa dikendalikan dari sisi produksi, bukan sekadar dari intervensi moneter.

Efek berikutnya terjadi di sektor logistik dan jasa perdesaan.
Kenaikan harga menstimulasi aktivitas transportasi hasil panen, perdagangan antar desa, bahkan meningkatkan kebutuhan modal mikro dari lembaga keuangan desa.
Semua ini menciptakan ripple effect ekonomi yang nyata: pekerjaan bertambah, barang bergerak, dan uang berputar.
Inilah saat ketika ekonomi nasional benar-benar tumbuh dari tanah, bukan dari tabel.

Jika dikonversi ke nilai makro, efek ini menakjubkan.
Produksi jagung nasional 16,55 juta ton【pertanian.go.id】dengan HPP Rp 5.500/kg menghasilkan nilai ekonomi sekitar Rp 91 triliun, sedangkan produksi beras nasional lebih dari 8,5 juta ton【indonesia.go.id】menyumbang sekitar Rp 55 triliun hanya dalam tiga bulan pertama tahun 2025.
Lebih dari Rp 146 triliun uang riil beredar dari dua komoditas yang tumbuh di bawah sinar matahari dan kerja tangan manusia.

Dari sini terlihat bahwa kenaikan HPP adalah pertumbuhan yang bisa disentuh.
Ia bukan angka di layar, tapi padi di lumbung, jagung di gudang, dan uang di tangan rakyat.
Ketika petani sejahtera, desa menjadi kuat; dan ketika desa kuat, Indonesia tumbuh dari bawah ke atas — seperti akar yang menyuplai batang dan daun hingga negara ini kokoh berdiri.

Dengan demikian, HPP bukan hanya alat stabilisasi harga, tetapi mesin pemerataan pertumbuhan ekonomi nasional.
Dan mesin ini, jika dirawat dengan kebijakan yang konsisten dan kejujuran di lapangan, akan terus berdentum halus: dari gemerisik padi di pematang hingga perputaran angka PDB di meja pemerintah.

Tantangan Implementasi dan Keseimbangan Kebijakan

Setiap mesin, sekuat apa pun, akan kehilangan tenaga bila perawatannya buruk. Begitu pula HPP sebagai mesin ekonomi — ia hanya akan menggerakkan bangsa bila komponennya disetel dengan presisi: regulasi, birokrasi, dan moral pelaksana.

Tantangan pertama ada di efektivitas penyerapan.
Badan Pangan Nasional dan Bulog memang telah menyiapkan mekanisme pembelian sesuai HPP, bahkan untuk jagung pemerintah menargetkan penyerapan 1 juta ton dengan anggaran Rp 5 triliun【bbppbatangkaluku.bppsdmp.pertanian.go.id】.
Namun, di lapangan, mesin ini kerap tersendat karena terbatasnya gudang penyimpanan, logistik yang belum merata, dan keterlambatan pembayaran.
Jika rantai serapan terputus, maka tenaga penggerak HPP hilang di jalan — petani tetap menjual di bawah harga dasar, dan kepercayaan pada negara mulai aus.

Tantangan kedua adalah keseimbangan antara harga produsen dan harga konsumen.
Kenaikan HPP meningkatkan pendapatan petani, tapi berpotensi menekan harga eceran beras dan pakan.
Kebijakan ini harus dijalankan dengan prinsip hulu-hilir equilibrium, agar inflasi tidak menjadi efek samping dari niat baik.
Sebab mesin ekonomi bukan hanya tentang putaran tenaga, tapi juga tentang keseimbangan torsi — terlalu kuat di satu sisi, sistem bisa patah.
Koordinasi antara Kementerian Pertanian, Bapanas, Kemendag, dan Kemenkeu menjadi krusial untuk menahan gejolak harga sambil memastikan keuntungan tetap di tangan petani.

Tantangan ketiga adalah asimetris informasi harga.
Di banyak wilayah, petani masih belum mengetahui berapa HPP yang sebenarnya.
Akibatnya, tengkulak dan pedagang besar bisa menekan harga jauh di bawah nilai resmi.
Padahal pemerintah sudah menghapus rafaksi harga gabah【indonesia.go.id】—pemotongan harga karena alasan kadar air—agar petani memperoleh nilai jual yang utuh.
Namun tanpa informasi yang transparan, kebijakan adil bisa berubah menjadi kebijakan semu.
Di sinilah peran penyuluh pertanian dan koperasi desa menjadi penting sebagai transmisi informasi ekonomi dari negara ke rakyat.

Tantangan keempat adalah sinkronisasi data antar lembaga.
Kebijakan harga pangan melibatkan banyak institusi dengan data yang sering kali tidak seragam:
Kementan bicara produksi, Bapanas bicara stok, Bulog bicara serapan, dan BPS bicara konsumsi.
Tanpa data yang selaras, mesin HPP akan seperti kendaraan yang berjalan dengan indikator bensin dan suhu mesin yang saling bertentangan.
Diperlukan dashboard pangan nasional berbasis data real-time agar kebijakan harga tak hanya reaktif, tetapi prediktif dan presisi.

Namun semua tantangan ini bukanlah alasan untuk berhenti, melainkan peringatan agar mesin dijaga.
Kebijakan HPP telah terbukti memberi tenaga pada ekonomi rakyat; tinggal bagaimana negara menjaga oli kebijakan tetap bersih—tanpa kebocoran anggaran, tanpa permainan tengkulak, tanpa distorsi niat.
Karena mesin ekonomi yang besar tidak butuh operator banyak, ia butuh operator yang jujur.

Dengan demikian, tantangan HPP bukan pada rumus harga, tapi pada integritas pelaksanaan.
Selama semangat gotong royong antara petani, penyuluh, koperasi, dan pemerintah terjaga, mesin ini akan terus berputar dengan halus, memompa pertumbuhan dari akar.
Dan bila suatu hari ekonomi nasional melaju kencang, sejarah akan mencatat: ia dimulai dari tangan-tangan yang menanam dan kebijakan yang mendengarkan.

Dari Harga ke Harapan

Setiap mesin besar selalu dimulai dari suara kecil yang berputar.
Begitu juga dengan kebijakan HPP: ia bukan ledakan sesaat, melainkan dengungan panjang dari mesin ekonomi rakyat yang mulai bekerja teratur.
Di tangan yang menanam, keputusan menaikkan harga pembelian gabah menjadi Rp 6.500/kg dan jagung Rp 5.500/kg terasa bukan sebagai angka, melainkan sebagai pengakuan atas jerih payah.
Bagi negara, kebijakan ini adalah cara paling konkret untuk mengatakan: kami percaya kepada yang menanam.

Ketika harga dasar ditegakkan, maka dasar ekonomi ikut tegak.
Petani punya alasan untuk menanam lagi, desa punya alasan untuk hidup lagi, dan pasar punya alasan untuk berputar lagi.
Inilah bentuk pembangunan yang paling jujur — bukan karena bantuan, tapi karena keadilan.
Negara tidak sedang memberi belas kasihan, tetapi memberi kepastian: bahwa setiap tetes keringat akan dibayar dengan harga yang layak.

Namun, mesin ekonomi tidak boleh hanya berputar di awal kebijakan. Ia harus dirawat: dengan pengawasan yang bersih, data yang jujur, dan penyuluh yang sabar mengawal jalannya di lapangan.
Karena tanpa perawatan moral, mesin sebesar apa pun akan kehilangan tenaganya.
Harga bisa naik, tapi keadilan bisa bocor.
Oleh sebab itu, integritas pelaksana kebijakan adalah oli yang menjaga putaran HPP tetap halus dan berumur panjang.

Kita belajar satu hal penting:
Bahwa pertumbuhan ekonomi bukan selalu lahir dari investor besar, melainkan dari petani kecil yang tidak lagi takut jatuh harga.
Mereka adalah piston-piston kecil yang mendorong bangsa ini maju; dan ketika negara menambah bahan bakarnya lewat kebijakan yang adil, maka seluruh mesin ekonomi nasional ikut berdentum.

Karena itulah, HPP bukan sekadar singkatan dari Harga Pembelian Pemerintah — ia juga bisa dibaca sebagai “Harapan Para Petani.”
Dan ketika harapan itu menyala, mesin ekonomi Indonesia tidak lagi berjalan karena perintah, tetapi karena keyakinan.
Keyakinan bahwa bangsa yang menghargai hasil tanamnya sendiri, tidak akan pernah kekurangan bahan bakar untuk tumbuh.


Rabu, 05 November 2025

Istilah ‘Beras Busuk’ Hanyalah Muncul di Majalah Busuk”

Ada yang aneh dengan zaman ini. Petani di lapangan sibuk menjemur gabah, memeriksa kadar air, mengusir tikus, dan memastikan tidak ada jamur yang tumbuh di karung, sementara di kota sana, ada meja redaksi yang bisa menentukan beras mana yang busuk—tanpa pernah mencium baunya, apalagi menimbang kadar airnya. Rupanya, hari ini beras tidak perlu diuji di laboratorium; cukup dilihat di foto, lalu disimpulkan dari aroma politiknya.

Di majalah yang katanya pembela kebenaran itu, kata busuk muncul begitu saja. Mungkin lahir dari tumpukan kertas lama yang lembap di ruangan redaksi yang ventilasinya jarang dibuka. Mereka tidak tahu, di dunia kami, kata busuk punya harga. Ia tidak bisa diucapkan sebelum data bicara. Kami para penyuluh harus menunggu angka kadar air, uji mikotoksin, hingga hasil pemeriksaan mikroba sebelum boleh menulis kata itu di laporan mutu. Tapi rupanya di kota besar, cukup dengan niat dan sedikit bumbu ideologis, kata busuk bisa terbit setiap Senin.

Kalau saja Tempo mau turun ke sawah, barangkali mereka akan tahu bahwa beras yang mereka sebut busuk itu hanyalah beras yang lelah. Ia disimpan terlalu lama, menunggu kebijakan yang datang terlambat, seperti rakyat menunggu keadilan yang selalu diundur. Tapi lelah bukan berarti busuk. Sama seperti bangsa ini—sering lelah, tapi tidak pernah busuk.

Ironinya, istilah beras busuk itu kini malah menempel di majalahnya sendiri. Bukan karena baunya, tapi karena sikapnya yang mulai kehilangan kesegaran logika. Ketika fakta diabaikan dan data ditinggalkan, majalah mana pun bisa berubah jadi gudang beras yang lembap: penuh opini, sedikit verifikasi.

Saya membayangkan, di masa depan, mungkin kita perlu SNI baru: Standar Nasional Integritas. Supaya media yang menulis tentang beras juga diuji kadar airnya—apakah masih jernih atau sudah keruh oleh prasangka. Karena kalau integritas itu lembap, apa pun yang dihasilkannya akan berbau sama: busuk.

Jadi, kalau ada yang bertanya siapa sebenarnya yang busuk, jangan buru-buru menunjuk beras di gudang Bulog. Cobalah buka halaman majalah yang menulisnya—barangkali aromanya lebih kuat daripada beras mana pun di republik ini.

Kamis, 05 Juni 2025

Dana Turun, Curiga Naik: Riak di Balik Koperasi Merah Putih Desa?


Dana Turun, Curiga Naik

Di Desa LS, suara kentongan sore itu bukan panggilan gotong royong seperti biasa. Warga berkerumun di balai desa, sebagian duduk di kursi plastik yang mulai reyot, sebagian berdiri menunggu giliran bicara. Di ujung meja, kepala desa duduk kaku, berhadapan dengan ketua BPD yang menatapnya tajam.

“Kenapa semua pengurus koperasi orang-orang rumahmu, Pak?” tanya seorang pemuda yang mulai vokal sejak dana koperasi Merah Putih cair tiga hari lalu.

Dana sebesar Rp3 miliar telah masuk ke rekening koperasi desa. Tapi bukan kegembiraan yang menyebar. Justru desas-desus dan kecurigaan meledak di mana-mana. Ada yang menyebut koperasi hanya kamuflase proyek elite desa. Ada pula yang meyakini koperasi ini akan bernasib seperti KUD di masa lalu—besar di papan nama, bangkrut dalam kepercayaan.

Di pojok ruangan, seorang ibu yang sehari-hari berjualan nasi bungkus menghela napas panjang. “Dulu kami diajak rapat waktu koperasi dibentuk, tapi sekarang kami tak tahu siapa yang pegang uangnya,” gumamnya.

Warga lain bahkan menyebut bahwa pengangkatan pengurus koperasi dilakukan dini hari, dalam rapat kecil tanpa notulen, tanpa undangan terbuka. Dan ketika ditanya ke balai desa, jawabannya berulang: "Itu sudah sesuai prosedur."

Tapi di desa, prosedur tidak selalu identik dengan keadilan.


Mimpi Nasional, Pelaksana Desa

Di atas kertas, Koperasi Desa Merah Putih tampak menjanjikan. Program ini diluncurkan sebagai bagian dari agenda besar Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka: mengangkat ekonomi rakyat dari akar rumput. Targetnya tidak main-main—sebanyak 80.000 koperasi akan berdiri di seluruh desa dan kelurahan, dengan mimpi membangun poros ekonomi kerakyatan dari pinggiran.

“Bayangkan jika setiap desa memutar uang Rp7 miliar per tahun. Ekonomi nasional akan bergerak dari bawah,” ujar Menteri Desa dalam pidato peluncuran di Jakarta, yang disambut tepuk tangan panjang.

Pemerintah menyiapkan dana awal hingga Rp3 miliar per koperasi, yang dikucurkan melalui pinjaman bank pemerintah (Himbara), dengan jaminan skema kemitraan. Pemerintah desa didorong menjadi fasilitator dan penggerak, musyawarah desa ditetapkan sebagai mekanisme utama pengambilan keputusan, dan warga menjadi anggota sekaligus pemilik koperasi.

Dalam dokumen panduan yang dibagikan ke seluruh kepala desa, istilah seperti partisipasi kolektif, transparansi, dan manfaat langsung ke masyarakat tertulis tebal. Koperasi tidak hanya menjual beras atau telur, tapi juga menjadi tempat simpan pinjam, gudang logistik, hingga pusat distribusi hasil tani.

Namun, kenyataan di desa berbeda dengan bahasa di brosur. Di lapangan, banyak desa belum memahami model koperasi modern. Sebagian bahkan belum selesai membentuk BUMDes, sudah dituntut membentuk badan hukum koperasi. Waktu pelaksanaan yang mepet, kombinasi antara euforia dan tekanan pusat, membuat banyak proses terburu-buru. Dana turun lebih dulu, sistem menyusul nanti.

“Yang kami tahu, harus bentuk koperasi, bikin pengurus, dan siapkan rekening. Kalau lambat, kami dianggap tidak mendukung program nasional,” kata seorang kepala desa di Kab. L.

Di desa-desa, program ini menjelma menjadi proyek yang mengejar tenggat. Bukan partisipasi yang lahir, tapi kecurigaan.


Babak Awal Kecurigaan

Di Desa PK, musyawarah desa khusus—yang disebut sebagai forum tertinggi pengambilan keputusan koperasi—dilaksanakan secara diam-diam. Undangan hanya tersebar lewat pesan pribadi WhatsApp dan kabarnya hanya beredar di antara kerabat perangkat desa. Tak ada pengumuman di masjid. Tak ada baleho ajakan partisipasi. Ketika salah satu anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) bertanya kenapa tidak diumumkan secara terbuka, jawabannya datar, “Waktu kami mepet, itu perintah atasan.”

Beberapa hari kemudian, nama-nama pengurus koperasi resmi diumumkan di papan informasi desa. Ketua koperasi: Arfan, anak kandung kepala desa. Bendahara: Nurlela, adik ipar kepala dusun. Sekretaris: istri dari kepala unit ekonomi BUMDes yang lama. Tidak ada wajah baru. Tidak ada representasi dari kelompok tani, pedagang, apalagi pemuda desa.

“Kami bukan menolak programnya,” ujar Pak Habib, tokoh masyarakat yang pernah menjabat sebagai kepala desa dua periode. “Tapi dari awal kami merasa ini hanya dikondisikan untuk mereka-mereka saja.”

Kekisruhan tak berhenti di susunan pengurus. Dalam beberapa desa, dokumen pembentukan koperasi seperti berita acara Musdesus dan daftar hadir disiapkan belakangan—setelah pengurus terbentuk. Bahkan ada desa yang menggunakan stempel dan tanda tangan warga tanpa izin, hanya agar laporan cepat dikirim ke kabupaten.

Ketika dana koperasi akhirnya cair dan belanja dimulai—truk barang masuk, gudang disewa, papan nama dicat—ketegangan menguat. Sejumlah warga mempertanyakan dasar pembelian, siapa yang merencanakan, dan bagaimana pertanggungjawaban keuangannya.

Kepala desa merasa diserang. Pengurus koperasi merasa dijegal. Sementara masyarakat mulai menaruh curiga terhadap segalanya—termasuk terhadap siapa pun yang diam.

Di warung kopi, kata ‘koperasi’ bukan lagi identik dengan semangat gotong royong. Ia berubah jadi bisik-bisik tentang siapa dapat apa, siapa bawa masuk barang, dan siapa yang paling diuntungkan.


Suara-Suara yang Bertentangan

Tidak semua pihak merasa sedang berada dalam kekisruhan. Bagi pengurus koperasi, langkah mereka sudah sesuai petunjuk teknis dari pemerintah pusat. “Kami ini cuma menjalankan,” kata Arfan, ketua koperasi Desa PL yang juga anak kepala desa. Ia menyodorkan map biru berisi daftar kegiatan, tanda bukti belanja, dan salinan struktur organisasi. “Kami sudah rapat, lengkap dengan daftar hadir dan dokumentasi. Kalau warga merasa tak dilibatkan, mungkin karena mereka tidak datang,” ujarnya, tenang tapi defensif.

Di ruang kepala desa, pernyataan serupa bergema. “Kalau semua mau cepat berjalan, ya kami pilih yang bisa kerja, bukan yang cuma bisa bicara,” kata Kepala Desa Haris. Baginya, penunjukan kerabat bukan nepotisme, melainkan efisiensi. Ia berdalih, sulit mencari orang yang siap kerja tanpa pamrih. “Lagi pula, koperasi ini bukan milik pribadi. Semua warga boleh beli dan jual di sini.”

Namun, suara dari bawah terdengar lain.

Pak Mul, seorang petani jagung yang tinggal di ujung kampung, mengaku tak pernah tahu ada rapat pembentukan koperasi. Ia hanya mendengar dari tetangganya bahwa ada “koperasi baru yang akan jual pupuk murah dan ambil hasil panen.” Ketika ia bertanya ke balai desa bagaimana cara bergabung sebagai anggota, ia diminta menunggu info lanjutan.

“Sampai sekarang nggak ada kabarnya. Tapi truk koperasi sudah ambil jagung milik orang-orang dekat desa duluan,” keluhnya.

Di sisi lain, BPD justru berada di posisi yang terjepit. Beberapa anggotanya merasa disingkirkan dari proses. Surat permintaan klarifikasi kepada pengurus koperasi tak dibalas. Usulan Rapat Anggota Tahunan (RAT) luar biasa untuk mengevaluasi kinerja pun dianggap ‘mengganggu stabilitas’.

“Yang mengkhawatirkan itu bukan cuma uangnya, tapi hubungan sosial di kampung ini yang mulai retak,” ujar Ketua BPD, yang menolak namanya disebut karena takut tekanan.

Kegelisahan itu juga sampai ke kelompok perempuan desa. Ibu-ibu dari kelompok pengajian mengaku tak tahu-menahu soal koperasi, meski sebagian dari mereka pernah aktif di simpan pinjam desa. Mereka hanya melihat koperasi datang membeli beras warga—tapi dengan harga lebih rendah dari pasar. “Ini koperasi rakyat atau tengkulak baru?” tanya Bu Sari, juru masak tetap di acara desa.

Yang menyedihkan, bahkan orang yang tak bicara pun mulai dicurigai. “Kalau diam, dianggap berpihak. Kalau banyak bertanya, dibilang menghasut,” kata Pak Lukman, guru honorer yang dulu rajin mengurus data kelompok tani.

Koperasi yang seharusnya menjadi wadah kebersamaan, kini menyisakan suara-suara yang tidak sinkron. Suara pengurus, suara warga, dan suara formal desa berjalan di jalur sendiri-sendiri—bertemu hanya dalam kecurigaan.


Aroma Bahaya: Uang yang Masuk Sebelum Tata Kelola Siap

Di bulan pertama setelah dana Rp3 miliar itu masuk ke rekening koperasi, pengeluaran melonjak seperti air bah yang lepas bendungan. Dalam catatan pembelanjaan yang diperoleh Media dari salah satu desa di Nusa Tenggara Barat, tercatat pembelian truk pick-up bekas senilai Rp210 juta, lemari pendingin untuk produk pertanian Rp130 juta, dan pembelian sembako dalam jumlah besar—tanpa rencana distribusi yang jelas.

“Kami harus segera belanja. Kalau tidak, uang itu dianggap mengendap dan bisa ditarik balik,” kata ketua koperasi di desa tersebut. Ia menambahkan bahwa tekanan datang bukan hanya dari bank penyalur, tapi juga dari oknum pendamping desa yang membawa pesan-pesan ‘dari atas’.

Di desa lain, dana koperasi digunakan untuk menyewa gudang yang ternyata masih sengketa. Barang-barang sembako menumpuk di pojok ruang balai desa, ditutupi terpal biru, menunggu ‘momentum jual’ yang tak kunjung datang. Beberapa barang bahkan sudah mulai rusak karena kelembapan. Tak ada tim inventarisasi. Tak ada SOP. Tidak ada sistem pencatatan digital.

Sebagian besar pengurus koperasi adalah orang-orang yang baru kali ini bersentuhan dengan laporan keuangan formal. Di satu desa, bendahara koperasi mengaku menyusun laporan keuangan di buku tulis biasa, tanpa memahami konsep neraca atau arus kas. “Saya kira tinggal catat keluar-masuk saja,” ujarnya polos.

Di sinilah bahaya itu mengintai: uang besar yang tiba-tiba mengalir ke tempat yang belum siap. Koperasi, yang seharusnya menjadi lembaga kolektif dengan pengawasan dan manajemen rapi, menjelma menjadi semacam ‘unit darurat distribusi dana’ tanpa perangkat pendukung. Tak ada pelatihan akuntansi. Tak ada aplikasi pencatatan. Tak ada kontrol silang dari pihak luar.

Dari desa ke desa, muncul pola yang sama: uang yang dipaksa cepat dipakai, sistem yang belum siap, dan pengurus yang bingung antara menjalankan tanggung jawab atau menyelamatkan diri sendiri.

“Saya takut kami nanti yang dipenjara,” kata salah satu ketua koperasi di Kecamatan Z, yang kini mengusulkan agar dana tidak ditambah dulu sampai mereka paham betul sistem pelaporannya.

Namun permintaan itu seperti berbicara ke ruang kosong. Program tetap berjalan. Dana tetap turun. Dan tekanan tetap datang.


Jejak di Tempat Lain

Apa yang terjadi di Desa ABC bukan cerita tunggal. Tempo menemukan pola serupa di sejumlah desa lain di tiga provinsi: N, J, dan S. Desa-desa yang berbeda wilayah, tetapi mengalami gejala yang sama—dana koperasi mengalir deras sebelum pemahaman dan kesepahaman tumbuh di antara warganya.

Di sebuah desa di Kab R, Prop K, ketua kelompok tani mendatangi balai desa dengan setumpuk proposal. Ia berharap koperasi Merah Putih bisa membantu pemasaran hasil panennya. Namun, permintaannya ditolak mentah-mentah. “Kami tidak bisa bantu kalau tidak lewat vendor koperasi,” jawab pengurus koperasi yang baru saja membeli mobil operasional dari Ibukota.

Vendor koperasi? Rupanya koperasi di desa itu sudah menjalin kerja sama dengan pihak ketiga—dalam bentuk kemitraan logistik, penyedia pupuk, dan bahkan sistem aplikasi daring—tanpa sepengetahuan masyarakat. Semuanya diputuskan oleh pengurus dan kepala desa atas nama “kecepatan program”. Masyarakat hanya melihat hasil akhirnya: ada orang luar yang membawa pupuk dan mengambil hasil panen.

Di Kabupaten G, seorang pendeta desa merasa terusik saat mengetahui bahwa pengurus koperasi meminjam dana atas nama koperasi tanpa melalui musyawarah anggota. Ia mengusulkan agar gereja desa membuat koperasi tandingan berbasis komunitas. “Kami lebih percaya saling bantu di antara kami sendiri daripada koperasi yang tak tahu siapa pemiliknya.”

Sementara itu di Propinsi S, Ketua BPD Desa AM berinisiatif mengumpulkan bukti-bukti kejanggalan pengelolaan koperasi. Ia mengadukan masalah ini ke dinas koperasi kabupaten. Namun belum sempat proses berjalan, rumahnya dilempari batu pada malam hari. Ia tak bisa membuktikan siapa pelakunya, tapi ia paham betul bahwa langkahnya membuat banyak pihak gerah.

Bahkan LSM lokal yang dulu aktif mendampingi program pemberdayaan desa mulai angkat suara. Mereka menilai program Koperasi Merah Putih menyisakan “arus dana cepat tanpa sistem rem”. Beberapa menyebut ini sebagai KUD jilid dua, di mana koperasi bukan alat pemberdayaan, melainkan proyek berbaju kerakyatan.

Yang mencemaskan, keretakan sosial mulai muncul. Kelompok pemuda yang menolak keterlibatan dalam koperasi dicap sebagai penghambat pembangunan. Ibu-ibu kelompok dasawisma tak lagi bersatu dalam forum masak bersama karena beda sikap terhadap pengurus koperasi. Bahkan di beberapa tempat, masjid dan gereja memisahkan diri dari kegiatan koperasi yang dianggap beraroma politis.

Program yang dimaksudkan untuk mempersatukan dan memajukan desa, malah membuka luka lama: siapa punya kuasa, siapa hanya jadi penerima keputusan.


Pembiaran Struktural dan Potensi Risiko

Ketika ratusan koperasi desa terbentuk dalam waktu serentak, pemerintah pusat tampak percaya bahwa partisipasi masyarakat dan kesiapan pemerintah desa sudah mapan. Namun di balik pencapaian angka-angka—80 ribu koperasi terbentuk, puluhan ribu badan hukum disahkan—tersimpan masalah mendasar yang tak diselesaikan dari awal: ketimpangan kapasitas dan absennya mekanisme kontrol independen.

“Yang sedang dibangun itu bukan koperasi dalam arti sejati. Ini koperasi dadakan,” kata BY, direktur sebuah LSM di Jakarta. Ia menyebut program ini rawan menjadi proyek politik dengan aroma korporatisme desa, karena dikawal oleh pemerintah desa, dibiayai oleh negara, tapi tidak diawasi secara kritis oleh masyarakat.

Dari hasil survei lembaga C terhadap lebih dari 200 kepala desa dan perangkat desa, ditemukan bahwa 65% responden mencium potensi korupsi dalam program Koperasi Desa Merah Putih. Tak hanya karena besarnya dana yang mengalir tanpa prosedur pengawasan ketat, tetapi juga karena hubungan kuasa yang timpang antara pengurus koperasi dan masyarakat desa yang seharusnya menjadi pemilik sejati.

Potensi risiko lain datang dari skema pembiayaan koperasi. Alih-alih hibah, dana yang digunakan bersumber dari pinjaman bank pemerintah, yang akan dibayar kembali melalui mekanisme bisnis koperasi. Artinya, koperasi tak boleh rugi. Namun, dengan pengurus yang belum paham tata kelola usaha, koperasi bisa menjadi beban keuangan desa, bukan solusi.

“Kami bisa-bisa ditagih bank untuk kegiatan yang sejak awal pun kami tak dilibatkan,” kata seorang anggota BPD dari Kab. L. Ia menyebut bahwa belum ada simulasi risiko, belum ada SOP krisis, dan belum ada skenario gagal bayar—semuanya mengandalkan optimisme semu bahwa koperasi akan langsung untung.

Dalam banyak kasus, pemerintah desa merasa didorong untuk mengejar target, bukan membangun fondasi. Pendampingan pelatihan terbatas. Mekanisme pengaduan hampir tak ada. Bahkan ketika masyarakat mulai mempertanyakan transparansi, pemerintah daerah cenderung defensif.

Akademisi Universitas H, Prof. R S., menilai program ini akan menciptakan luka sosial di banyak desa jika tidak segera dibenahi. “Dana boleh turun cepat, tapi kepercayaan itu dibangun lambat. Kalau program tidak sabar menunggu tumbuhnya kepercayaan, maka yang panen nanti adalah kecurigaan.”

Program ini, katanya, seharusnya bukan sekadar proyek ekonomi, tapi pembelajaran sosial. Namun kini, desa-desa dipaksa mengelola koperasi seperti perusahaan, tapi dengan perangkat hukum dan budaya gotong royong yang belum disesuaikan.


Sebuab refleksi

Senja jatuh di Desa PK. Balai desa yang tadi siang riuh kini sunyi, hanya tersisa lampu neon yang berkedip tak pasti. Di papan pengumuman, masih terpampang foto-foto kegiatan koperasi: potret pembagian sembako, penandatanganan MoU, pengangkutan hasil panen ke gudang. Semuanya tampak megah. Tapi wajah-wajah yang terpampang di sana hanyalah sebagian kecil dari mereka yang hidup di desa.

Di warung kopi ujung gang, percakapan masih berputar-putar: siapa yang pegang kas? ke mana sembako dijual? kapan warga bisa ikut rapat? Koperasi belum dirasakan sebagai milik bersama, melainkan sebagai lapisan baru kekuasaan yang sulit disentuh. Dalam ruang sempit ini, kecurigaan tumbuh lebih cepat dari panen. Kepercayaan menjadi barang langka.

Program nasional ini tidak sepenuhnya salah. Ia membawa semangat keberdayaan, membangunkan potensi ekonomi desa, dan mencoba menyusun ulang peta distribusi dari bawah. Tapi dalam pelaksanaannya, ia lupa satu hal penting: membangun kepercayaan lebih dulu, sebelum mengalirkan dana.

Desa bukan sekadar unit administratif. Ia adalah simpul sosial, di mana silaturahmi, kekerabatan, dan reputasi menjadi mata uang. Ketika program pemerintah datang seperti badai—cepat, besar, dan bersyarat—ia bisa membelah desa, bukan menyatukannya.

Kini, koperasi yang membawa nama “Merah Putih” justru menjadi cermin rapuhnya persatuan. Bukan karena ideologinya keliru, tapi karena pelaksanaannya menyepelekan hal paling mendasar dalam pembangunan: rasa memiliki.

Dan ketika koperasi tak lagi terasa milik semua, yang tersisa hanya papan nama di dinding dan pertanyaan yang menggantung di udara: “Untuk siapa koperasi ini sebenarnya?”

Sabtu, 31 Mei 2025

Sumitronomics: Jalan Lama yang Baru Diingat


Sumitronomics: Jalan Lama yang Baru Diingat

Di sebuah forum ekonomi awal tahun ini, seorang pejabat tinggi dengan nada penuh harap menyebut kata yang terasa asing namun agung: Sumitronomics. Ruang pun riuh. Para peserta manggut-manggut, seolah menemukan mantra penyelamat dari kekacauan ekonomi global yang menggoyang harga beras, melemahkan rupiah, dan membayangi industri dalam negeri.

“Ini saatnya kembali ke Sumitro,” ucap sang pejabat, merujuk pada Prof. Sumitro Djojohadikusumo — ekonom yang jejaknya berserakan dalam sejarah pembangunan Indonesia. Tak lama, istilah itu menjalar ke berbagai kanal diskusi, masuk ke meme-meme politik, dan jadi pembuka pidato-pidato kampanye: industrialisasi, kemandirian, dan peran aktif negara—semuanya digulung dalam satu nama, Sumitro.

Tapi di antara tepuk tangan dan sorak sorai itu, terselip satu pertanyaan kecil dari rakyat yang puluhan tahun jadi penonton pembangunan: bukankah negara memang seharusnya seperti itu sejak dulu?

Di dusun-dusun yang tanahnya mengering dan sawahnya dililit pupuk mahal, di pabrik-pabrik kecil yang tak mampu bersaing dengan barang impor, atau di kios-kios yang kalah dari jaringan ritel raksasa, nama Sumitro mungkin asing. Tapi semangat yang dibawa oleh nama itu — agar negara tak absen dari hidup rakyat — justru adalah sesuatu yang sudah lama mereka tunggu.

Maka ketika Sumitronomics dielu-elukan seakan wahyu baru, bagi rakyat kecil ia terdengar seperti ironi: mengapa jalan yang seharusnya ditempuh sejak lama kini justru dianggap penemuan?


Gagasan Lama dalam Bungkus Baru

Jauh sebelum istilah Sumitronomics muncul di podium dan layar televisi, Sumitro Djojohadikusumo telah menuliskan gagasannya dalam lembar-lembar kebijakan ekonomi Indonesia pascakemerdekaan. Ia bukan hanya seorang ekonom, tetapi juga arsitek arah pembangunan yang sadar betul bahwa kemerdekaan politik tak ada artinya tanpa kemandirian ekonomi.

Sumitro bukan penganut tunggal ide negara besar atau pasar bebas. Ia seorang realis yang menggabungkan keduanya dengan sentuhan pragmatis. Dalam beberapa dokumen dan pidato, ia menekankan pentingnya industrialisasi sebagai mesin pertumbuhan nasional. Menurutnya, selama Indonesia hanya menjadi pengekspor bahan mentah—seperti karet, kopi, atau timah—maka kita akan selalu menjadi bangsa pelengkap, bukan pemain utama.

Pada era 1950-an, Sumitro ikut menggagas berdirinya perusahaan-perusahaan negara strategis, termasuk dalam sektor baja, pupuk, semen, dan energi. Ia juga yang pertama kali memopulerkan istilah “ekonomi terpimpin dalam konteks pembangunan” — bukan dalam pengertian ideologis totaliter, melainkan strategi negara untuk mengatur laju pertumbuhan sektor-sektor prioritas.

Namun, sejarah juga mencatat betapa ide-ide Sumitro seringkali bentrok dengan realitas politik. Ia sempat dua kali diasingkan secara politik—oleh Sukarno karena perbedaan visi, dan oleh Soeharto karena kedekatannya dengan kubu lama. Namun ide-idenya tak pernah benar-benar mati. Ia kembali mengisi ruang-ruang akademik dan menyusup ke dalam kebijakan Orde Baru, bahkan tanpa menyebut namanya.

Kini, ketika kata Sumitronomics dimunculkan kembali, seolah kita tengah membuka kembali buku tua berdebu di rak perpustakaan negara. Padahal isinya telah lama dikutip diam-diam—dan sayangnya, juga dikhianati berkali-kali oleh para pemegang kuasa yang gemar menjual jargon tapi alergi pada pelaksanaan.


Negara-Negara Maju Melakukannya Juga

Apa yang dalam Sumitronomics disebut sebagai industrialisasi strategis, kemandirian ekonomi, dan peran aktif negara, sesungguhnya bukanlah warisan eksklusif Indonesia. Ia bukan barang langka di rak ideologi dunia. Justru sebaliknya, ide-ide semacam ini pernah menjadi naskah utama dalam pembangunan negara-negara yang kini disebut maju.

Lihatlah Amerika Serikat, negara yang kerap digambarkan sebagai surga kapitalisme. Di balik citra pasar bebasnya, Amerika pernah sangat proteksionis. Pada akhir abad ke-18, Alexander Hamilton merancang cetak biru pembangunan industri dengan menyarankan perlindungan bagi sektor dalam negeri, subsidi untuk manufaktur, dan pembangunan infrastruktur negara. Washington pun mematuhinya. Inilah pondasi industri Amerika yang kini mendominasi dunia.

Jerman? Di bawah Otto von Bismarck, negara bukan hanya campur tangan dalam politik luar negeri dan perang, tetapi juga dalam perekonomian. Ia menciptakan sistem asuransi sosial pertama di dunia—bukan karena semata peduli, tetapi karena negara menyadari bahwa produktivitas buruh adalah kekuatan industri. Negara kuat hanya bisa berdiri di atas industri kuat, dan industri kuat hanya mungkin dengan peran negara.

Jepang pasca-Meiji menjalankan strategi serupa. Mereka mengirim ratusan pemuda belajar ke luar negeri, mempelajari teknik, industri, dan manajemen Barat. Sekembalinya, negara mendampingi pertumbuhan industri lokal dengan pinjaman murah, riset, dan proteksi. Di era modern, MITI (Ministry of International Trade and Industry) menjadi institusi legendaris yang mengarahkan keajaiban ekonomi Jepang.

Dan tentu saja Korea Selatan. Negeri yang pada 1960-an lebih miskin dari Indonesia itu hari ini berdiri tegak sebagai negara industri maju. Mereka tidak menyerahkan diri pada mekanisme pasar begitu saja. Pemerintah Korea menunjuk langsung konglomerat seperti Hyundai dan Samsung untuk fokus pada industri strategis, memberi dukungan penuh, dan melindungi mereka dari kompetisi global hingga siap bertarung di luar negeri.


Dari semua itu, satu pelajaran mencuat: negara-negara maju tidak menjadi kuat karena membiarkan pasar liar, tetapi karena mereka memanfaatkan negara sebagai alat pembangunan. Pasar hanya diberi ruang setelah fondasi industri lokal cukup kokoh untuk bertarung.

Dalam konteks itu, Sumitronomics bukan barang baru. Ia hanya tampak asing karena terlalu lama diabaikan. Justru keganjilan terbesar ada pada kita: mengapa ide yang menjadi norma di banyak negara, justru kita rayakan seolah wahyu baru yang turun dari langit?


Sumitronomics dan Ironi Kita Hari Ini

Yang ironis dari euforia Sumitronomics bukan terletak pada gagasannya, melainkan pada kenyataan bahwa ide dasar itu baru dianggap penting setelah kita terlalu lama tersesat dalam pasar bebas yang kebablasan. Sejak reformasi bergulir, negara cenderung mengambil posisi sebagai wasit yang tidak berani meniup peluit. Pasar dipuja, intervensi dianggap dosa, dan kata “negara” dijauhkan dari urusan produksi, distribusi, hingga konsumsi.

Selama dua dekade terakhir, industri manufaktur kita justru menyusut. Kontribusi sektor industri terhadap PDB menurun. Pabrik-pabrik tekstil berguguran. Mesin-mesin tua dibiarkan megap-megap bersaing melawan barang impor dari Tiongkok dan Vietnam. Sementara itu, ekspor kita tetap bertumpu pada batu bara, kelapa sawit, dan bahan mentah lainnya — komoditas yang tak mengantarkan negara manapun menjadi maju.

Layanan publik dikomersialkan. Petani mencari pupuk bersubsidi seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Nelayan kecil bertarung dengan kapal besar yang memegang izin dari pusat. Anak-anak muda bermimpi jadi konten kreator ketimbang teknisi mesin, karena negara sendiri tak yakin pada masa depan industrinya.

Dalam konteks seperti ini, munculnya istilah Sumitronomics justru terasa getir. Ia seperti obat lama yang baru diambil dari laci setelah penyakitnya menjalar ke seluruh tubuh. Lebih dari itu, ia juga menjadi cermin betapa kita selama ini kehilangan akal sehat dalam bernegara: membiarkan mekanisme pasar menjadi ideologi, bukan alat.

Kini, ketika Sumitronomics kembali dibicarakan oleh elite, publik bertanya-tanya: benarkah negara akan benar-benar hadir, ataukah ini sekadar slogan baru dalam kemasan lama? Apakah ini pertobatan kolektif dari mereka yang selama ini menari bersama logika pasar? Atau hanya gincu kebijakan agar tampak memihak rakyat?

Sebab rakyat sudah kenyang dengan jargon. Mereka tak butuh teori besar, cukup kebijakan yang membumi: pupuk yang sampai, harga yang stabil, dan industri lokal yang dilindungi.

Jika negara benar-benar ingin kembali pada semangat Sumitro, maka jalan satu-satunya adalah turun dari menara gading, masuk ke dapur rakyat, dan membuat ekonomi terasa di piring nasi mereka. Bukan sekadar di slide presentasi menteri.


Harapan dan Tantangan di Era Baru

Membangkitkan kembali Sumitronomics di abad ke-21 tentu tak bisa sekadar menyalin buku catatan lama dan berharap hasilnya sama. Dunia sudah berubah. Kita hidup dalam era ekonomi digital, perubahan iklim, disrupsi teknologi, dan ketegangan geopolitik global. Namun justru dalam lanskap baru itulah, gagasan negara yang berperan aktif menjadi semakin relevan.

Kemandirian hari ini tidak hanya berarti membangun pabrik baja atau pupuk, tetapi juga mengembangkan chipset, kendaraan listrik, kecerdasan buatan, dan ketahanan pangan berbasis riset lokal. Negara tak lagi cukup menjadi regulator, melainkan harus menjadi fasilitator ekosistem inovasi. Ia perlu menghubungkan laboratorium kampus dengan dapur UMKM, dan menyambungkan petani dengan pasar lewat infrastruktur digital dan logistik modern.

Namun, di sinilah tantangannya. Apakah kita punya keberanian politik untuk menolak kenyamanan status quo yang selama ini terlalu bergantung pada ekspor bahan mentah dan impor barang jadi? Apakah kita bersedia membayar harga jangka pendek dari industrialisasi yang membutuhkan proteksi, subsidi, dan reformasi kebijakan fiskal?

Negara juga harus berhenti memandang intervensi sebagai pemborosan. Selama intervensi itu menghasilkan daya saing, pekerjaan, dan nilai tambah dalam negeri, maka itu bukan pemborosan—itu investasi. Namun investasi itu harus disertai akuntabilitas. Kita tidak ingin Sumitronomics berubah jadi proyek rente baru dengan label nasionalis semu.

Lebih jauh lagi, Sumitronomics tidak boleh berhenti di tataran elite. Ia harus menjadi kesadaran kolektif. Artinya, negara perlu mengajak masyarakat berpikir ulang tentang apa artinya produk lokal, apa artinya berdikari, dan mengapa tidak semua barang murah itu berkah. Pendidikan, media, dan kebijakan harus bergerak serentak membentuk kesadaran baru: bahwa kemandirian ekonomi adalah fondasi kemerdekaan sejati.

Jika semua itu dilakukan bukan karena popularitas, melainkan karena kesadaran sejarah, maka kita boleh berharap: mungkin kali ini Sumitronomics bukan sekadar jargon. Tapi sungguh-sungguh menjadi jalan baru yang membawa kita kembali ke akar—dengan pandangan yang lebih tajam, dan langkah yang lebih terarah.


Sebuah Refleksi

Setelah berpuluh tahun terombang-ambing dalam arus pasar bebas, Indonesia kini tampak hendak menoleh ke belakang — atau barangkali, justru menatap ke depan dengan memakai kacamata lama yang telah dibersihkan dari debu ideologis. Sumitronomics, dengan segala kesederhanaan prinsipnya, kembali menjadi bahan pembicaraan. Ia datang bukan sebagai pengetahuan baru, melainkan sebagai pengingat: bahwa negara tidak bisa berdiri berpangku tangan dalam membangun ekonomi bangsanya sendiri.

Namun sejarah selalu mengajarkan satu hal: gagasan hanya akan berarti bila dijalankan dengan konsistensi, bukan dijadikan simbol kampanye. Kita tidak butuh lagi pemujaan terhadap nama besar tanpa keberanian mewujudkan ide-idenya secara konkret.

Sumitro Djojohadikusumo barangkali sudah tiada, tetapi semangat yang ia titipkan pada lembar-lembar ekonomi nasional masih hidup: bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang berani mengendalikan nasib ekonominya sendiri, tanpa menunggu dikasihani pasar global. Bahwa negara bukan pelengkap, melainkan pengarah.

Kini bola ada di tangan generasi pemimpin baru. Apakah Sumitronomics akan menjadi fondasi kebijakan ekonomi yang sungguh-sungguh dijalankan dengan keberpihakan kepada produksi dalam negeri, pekerja lokal, dan industri strategis? Atau hanya akan jadi jargon pengisi spanduk, yang luntur begitu pemilu usai?

Sebab rakyat tak lagi percaya pada kata-kata. Mereka hanya percaya pada apa yang terasa nyata: pada harga sembako yang stabil, pada lapangan kerja yang tumbuh, dan pada mimpi yang bisa dibangun dengan tangan sendiri. Jika Sumitronomics bisa menjawab itu semua, maka barulah ia layak disebut sebagai jalan masa depan—meski berasal dari masa lalu.


Selasa, 20 Mei 2025

Provinsi Pulau Sumbawa: Antara Mimpi Otonomi dan Realitas Fiskal

Denting Harapan dari Timur

Di suatu pagi yang cerah di Pelabuhan Poto Tano, anak-anak sekolah berseragam putih biru berbaris membawa spanduk bertuliskan "Selamat Datang Provinsi Pulau Sumbawa." Angin laut membawa semangat, dan gendang tradisional ditabuh mengiringi iring-iringan warga yang datang dari lima penjuru: Sumbawa, Dompu, Bima, Kota Bima, dan Sumbawa Barat. Mereka tidak sedang menyambut tamu, tapi sedang menyambut mimpi mereka sendiri—mimpi menjadi tuan rumah bagi tanah mereka sendiri.

Sudah lebih dari dua dekade harapan itu mengendap, mengendap bersama debu jalanan dan peluh petani yang merasa terlalu jauh dari pusat kekuasaan. Nama “Provinsi Pulau Sumbawa” bukan sekadar wacana politik, tapi gema hati yang menyuarakan satu hal: kami ingin menentukan masa depan sendiri.

Namun di balik euforia itu, ada pertanyaan sunyi yang belum banyak terdengar:
“Setelah bendera dikibarkan, dari mana kita membiayai semua ini?”

Pertanyaan ini bukanlah upaya meredam semangat, tapi justru menantang kita untuk menakar kesiapan. Sebab otonomi tanpa kemandirian fiskal, ibarat kapal megah tanpa cadangan bahan bakar. Terlihat gagah, namun takkan melaju jauh.

Di sinilah cerita kita dimulai. Tidak hanya menarasikan hasrat rakyat untuk merdeka dari ketimpangan, tetapi juga menyelami denyut fiskal dan kemungkinan ekonomi yang akan menopang atau mungkin menjatuhkan Provinsi Pulau Sumbawa pada tiga tahun pertamanya.

Apakah harapan ini akan tumbuh jadi kenyataan yang lestari, ataukah layu sebelum berkembang?
Mari kita telusuri bersama dalam denyut angka, kebijakan, dan suara hati rakyat.

Anak Timur yang Ingin Dewasa.

Pulau Sumbawa bukanlah tanah yang asing dalam peta Indonesia, tapi sering terasa seperti halaman belakang dari provinsi yang menaunginya: Nusa Tenggara Barat. Dalam bingkai pemerintahan provinsi yang berpusat di Lombok, Pulau Sumbawa ibarat anak timur yang tumbuh tanpa cukup sorotan. Jalan-jalan rusak yang lambat diperbaiki, sekolah-sekolah yang belum merata infrastrukturnya, serta layanan kesehatan yang jauh dari memadai telah menjadi narasi harian warga dari Bima hingga Taliwang.

Aspirasi pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa (PPS) bukanlah letupan semalam. Ia mulai tumbuh sejak awal tahun 2000-an, ketika wacana desentralisasi membuka pintu bagi daerah untuk bermimpi lebih besar. Dari sana, berbagai forum masyarakat, aliansi tokoh adat, hingga anggota legislatif dari dapil Sumbawa mulai merapikan langkah: mengumpulkan dokumen administratif, membentuk panitia, menyusun naskah akademik, dan menebar kampanye publik.

Salah satu narasi yang kuat adalah soal ketimpangan pembangunan. Dalam satu dekade terakhir, investasi dan program strategis nasional lebih banyak mengalir ke wilayah Lombok sebagai pusat provinsi. Sementara itu, Sumbawa yang kaya akan emas, laut, dan pertanian justru menyumbang banyak tapi menerima sedikit. “Kami seperti pohon besar yang buahnya dipetik orang lain,” ujar seorang tokoh masyarakat di Sumbawa Barat.

Selain soal keadilan pembangunan, faktor identitas juga ikut menyulut semangat. Warga Pulau Sumbawa memiliki ciri budaya, bahasa, dan struktur sosial yang khas. Dompu dengan bahasa Mbojo-nya, Bima dengan kerajaannya, dan Sumbawa dengan kesultanan serta tradisi barapan kebo yang legendaris—semua ingin dipersatukan dalam payung provinsi sendiri yang memahami nuansa lokal mereka lebih dalam.

Dan kini, ketika isu pemekaran kembali mengemuka seiring pernyataan Mendagri bahwa moratorium bisa dibuka untuk wilayah prioritas, nama Pulau Sumbawa kembali naik ke permukaan. Dukungan terbuka datang dari anggota DPR, gubernur, hingga masyarakat sipil.

Namun seperti anak muda yang bersemangat meninggalkan rumah untuk membangun hidup sendiri, Pulau Sumbawa kini berdiri di titik krusial: mimpi otonomi akan segera diuji oleh realitas tanggung jawab. Di balik perjuangan pembentukan provinsi baru, ada tugas besar yang menunggu—mengelola anggaran, menata pemerintahan, dan menjawab pertanyaan: mampukah kita membiayai diri sendiri?

Dan pertanyaan itu hanya bisa dijawab jika kita berani membuka lembar berikutnya—lembar skenario fiskal tiga tahun pertama.

Harta di Bawah Kaki Sendiri.

Jika hanya melihat bentang alamnya, Pulau Sumbawa seharusnya tidak pernah merasa kekurangan. Dari ujung barat ke timur, pulau ini menyimpan kekayaan yang tak sedikit: tambang emas kelas dunia di Batu Hijau, peternakan kerbau di Dompu, jagung dan bawang merah di Bima, kopi dan durian di Sumbawa, hingga kekayaan laut di Teluk Saleh dan Samudera Hindia.

Namun, kekayaan itu belum sepenuhnya menjadi kekuatan fiskal. Seolah pepatah lama kembali bergema: “Bagai ayam mati di lumbung padi.”

Mari kita buka data yang tersedia. Bila digabungkan, pendapatan asli daerah (PAD) dari lima wilayah administratif yang akan menjadi bagian Provinsi Pulau Sumbawa hanya berkisar di angka Rp 600–700 miliar per tahun. Jumlah ini masih sangat kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan belanja minimum sebuah provinsi yang idealnya mencapai Rp 2 triliun per tahun. Itu pun untuk operasional dasar—bukan pembangunan besar-besaran.

Sumber kekuatan utama fiskal PPS justru berasal dari transfer dana pusat, yang selama ini memang menjadi penyangga utama anggaran daerah. Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH)—terutama dari sektor tambang—menjadi “infus” vital. Dalam estimasi konservatif, calon PPS bisa menerima sekitar Rp 7–8 triliun dana transfer pusat per tahun di tiga tahun awal, termasuk afirmasi untuk daerah otonomi baru.

Namun angka besar itu bukan tanpa jebakan. Dana transfer sangat bergantung pada kebijakan pusat. Ia bisa berkurang drastis jika fiskal nasional terganggu. Artinya, jika PPS tidak memperkuat PAD sejak awal, maka akan tumbuh sebagai provinsi “bergantung permanen”—sebuah ironi dari semangat berdikari.

Sementara itu, sektor potensial seperti pertambangan, perikanan, pertanian, dan pariwisata masih perlu digarap serius. Belum ada BUMD besar yang mengelola komoditas unggulan secara modern. Pajak daerah seperti pajak kendaraan bermotor, retribusi tambat labuh, atau kontribusi sektor wisata, masih belum optimal ditarik. Semua ini adalah “emas di bawah kaki sendiri” yang belum digali maksimal.

Pulau Sumbawa sejatinya punya bekal. Tapi apakah bekal ini cukup untuk membangun jalan provinsi, mendirikan kantor gubernur, membayar ASN, menyediakan rumah sakit regional, hingga menyusun RPJMD?

Jawabannya akan mulai terlihat ketika kita masuk ke tahap paling kritis: bagaimana skenario fiskal akan berjalan di tahun-tahun awal berdirinya Provinsi Pulau Sumbawa.

Itulah ujian pertama sebuah provinsi muda: bukan hanya bisa berdiri, tapi bisa berjalan sendiri.

Berjalan di Atas Angka dan Harapan.

Banyak yang berpikir bahwa membentuk provinsi baru cukup dengan semangat dan peresmian. Padahal, pekerjaan sejatinya baru dimulai justru setelah bendera dikibarkan. Anggaran, birokrasi, pelayanan publik, hingga infrastruktur—semuanya harus hadir, lengkap, dan berfungsi, sejak hari pertama. Di sinilah perencanaan fiskal tiga tahun pertama Provinsi Pulau Sumbawa menjadi penentu: apakah provinsi ini akan tumbuh kuat atau rapuh sejak dalam kandungan.

Tahun I – Tahun Transisi dan Penataan: Membentuk Raga

Pada tahun pertama, tantangan terbesar adalah membentuk raga pemerintahan. Mulai dari kantor Gubernur, DPRD provinsi, OPD, inspektorat, dinas-dinas teknis, hingga rumah dinas. Sebagian besar akan menumpang sementara di bangunan kabupaten atau sewa gedung, sambil menunggu pembangunan fisik.

Dengan proyeksi pendapatan total Rp 7,8 triliun—mayoritas dari transfer pusat—belanja difokuskan pada:

  • Pegawai dan operasional: ±Rp 1,1 triliun
  • Belanja modal (kantor, kendaraan, peralatan IT, layanan dasar): ±Rp 800 miliar

Meski terlihat surplus, anggaran tahun pertama sebenarnya sangat ketat secara teknis. Karena belanja rutin harus berjalan tanpa gangguan. Semua ini berpacu dengan waktu dan kesiapan sumber daya manusia.

Tahun II – Tahun Konsolidasi dan Pelayanan: Membangun Fungsi

Tahun kedua adalah waktu pengujian. Jika tahun pertama adalah soal berdiri, maka tahun kedua adalah soal berfungsi.

Dengan asumsi PAD meningkat menjadi Rp 700 miliar, dan transfer pusat tetap stabil di atas Rp 7 triliun, PPS mulai menjalankan:

  • Fungsi pendidikan menengah (SMA/SMK)
  • Pelayanan kesehatan provinsi (rumah sakit rujukan, laboratorium)
  • Dinas pertanian, perhubungan, ketenagakerjaan, pariwisata tingkat provinsi
  • Pengawasan tata ruang dan lingkungan

Belanja meningkat menjadi ±Rp 2,3 triliun, karena pemenuhan fungsi publik semakin nyata. Tahun ini juga akan menjadi penentu apakah struktur birokrasi PPS mampu menyerap dan mengelola anggaran dengan efisien.

Tahun III – Tahun Akselerasi dan Mandiri Awal: Menanam Kaki Sendiri

Tahun ketiga menjadi momen penguatan kapasitas fiskal lokal. PPS ditantang untuk tidak lagi hanya mengandalkan pusat, tapi mulai menanam kaki di bumi sendiri.

PAD ditargetkan menyentuh Rp 900 miliar, dari:

  • Pajak kendaraan bermotor dan BBN-KB
  • Retribusi pertambangan dan tambat labuh
  • Awal pendapatan dari BUMD (air, logistik, pariwisata)
  • Potensi pajak hotel dan restoran (dari kawasan pariwisata Teluk Saleh, Tambora, Pantai Maluk)

Belanja meningkat ke Rp 2,7 triliun, dengan prioritas pembangunan jalan provinsi, pelabuhan perintis, serta perluasan layanan pendidikan dan kesehatan.

Jika PPS berhasil melewati tahun ketiga ini dengan disiplin fiskal, akuntabilitas tinggi, dan pertumbuhan PAD berkelanjutan—maka langkah menuju provinsi yang benar-benar mandiri bukan sekadar angan. Ia akan benar-benar lahir sebagai entitas baru yang tidak hanya memisah secara administratif, tetapi juga berdiri di atas kaki ekonominya sendiri.

Namun jika tidak—jika fiskal dikelola sembarangan, korupsi merajalela, dan struktur birokrasi mengulang kesalahan lama—maka PPS hanya akan menjadi bayi prematur yang tumbuh besar dengan ketergantungan, tanpa daya saing.

Dan itulah titik kritis tiga tahun pertama. Sebuah pertaruhan antara masa depan dan pengulangan masa lalu.

Bukan Soal Angka Semata.

Banyak yang berpikir bahwa tantangan fiskal hanya soal cukup atau tidaknya dana. Padahal, dalam realitas pemerintahan, uang bukan satu-satunya persoalan. Uang bisa dicairkan, tetapi kemampuan mengelolanya—itulah yang seringkali menjadi kendala terbesar daerah baru.

Pulau Sumbawa akan menghadapi tantangan-tantangan fiskal yang kompleks, tidak hanya dari sisi pendapatan, tetapi juga dari sisi tata kelola dan daya serap.

1. Ketergantungan pada Transfer Pusat

Selama ini, lima wilayah yang akan bergabung dalam PPS sangat tergantung pada dana pusat. Lebih dari 85% belanja daerah berasal dari DAU, DAK, atau DBH. Jika kebijakan pusat berubah atau fiskal nasional tertekan (misalnya karena krisis ekonomi global), maka aliran dana ke PPS bisa terganggu. Provinsi ini akan rentan goyah jika tidak segera membangun sumber PAD yang stabil dan mandiri.

2. Lemahnya Kapasitas Birokrasi Daerah

Membentuk provinsi bukan hanya membangun gedung, tapi juga membangun sistem dan budaya kerja. Banyak daerah baru di Indonesia yang pada awalnya justru menambah beban negara karena lemahnya birokrasi: lambat menyusun perencanaan, gagal menyerap anggaran, dan rawan penyimpangan dana.

PPS pun tidak kebal dari risiko ini. Sebagian besar SDM ASN berasal dari kabupaten/kota, dan belum tentu siap menjalankan fungsi-fungsi baru tingkat provinsi. Kelemahan dalam perencanaan dan penganggaran bisa berdampak pada rendahnya realisasi program prioritas.

3. Risiko Politik dan Kepentingan Elite

Semangat masyarakat bisa saja tulus, tapi begitu daerah baru terbentuk, dinamika politik bisa berubah. Siapa yang jadi Gubernur pertama? Siapa ketua DPRD? Bagaimana pembagian jabatan eselon?

Jika PPS terjebak dalam tarik-menarik kepentingan elite lokal yang hanya mengejar kekuasaan dan proyek, maka anggaran bisa terserap bukan untuk pelayanan rakyat, tapi untuk pemenuhan kepentingan kelompok tertentu. Sejarah daerah pemekaran lainnya menunjukkan, tidak sedikit provinsi baru yang gagal karena elite-nya lebih sibuk berperang daripada membangun.

4. Ketimpangan Wilayah Dalam Provinsi Baru

PPS juga menghadapi tantangan ketimpangan internal: antara wilayah timur (Bima-Dompu) dan barat (Sumbawa-Sumbawa Barat). Kota Bima, sebagai satu-satunya kota madya, bisa menjadi poros pertumbuhan baru—tapi bisa juga menciptakan ketimpangan baru jika tak diimbangi dengan pemerataan belanja infrastruktur.

Jika ketimpangan ini tak dikelola dengan bijak, maka justru PPS bisa mengalami konflik horizontal antarwilayah, bahkan rasa tidak puas dari kabupaten tertentu.


Tantangan-tantangan ini bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk membuka mata. Otonomi bukan hadiah. Ia adalah ujian. Dan ujian fiskal adalah salah satu yang paling menentukan apakah Provinsi Pulau Sumbawa lahir sebagai entitas kuat atau hanya nama baru di peta yang membawa masalah lama dengan baju baru.

Untuk itu, PPS tidak hanya butuh dana, tapi juga integritas, perencanaan yang matang, kolaborasi antarwilayah, dan—di atas segalanya—kemauan kolektif untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Bertumbuh dengan Akar Sendiri.

Ketika sebuah provinsi baru lahir, ia ibarat anak muda yang mulai belajar berjalan tanpa pegangan. Ia bisa jatuh, ia bisa goyah, tapi juga bisa berlari jika diberi bekal yang benar. Bagi Provinsi Pulau Sumbawa (PPS), harapan bukan sekadar bisa berdiri, melainkan tumbuh menjadi provinsi yang kuat secara fiskal, adil secara sosial, dan berkelanjutan secara ekonomi.

Lalu, apa strategi yang bisa ditempuh agar PPS tidak tumbuh menjadi provinsi yang rapuh?


1. Meningkatkan PAD dengan Inovasi dan Kemauan

Langkah pertama yang paling realistis adalah menggali potensi PAD dari sektor-sektor yang selama ini belum maksimal. Pajak kendaraan bermotor, retribusi pertambangan, dan pajak daerah lainnya harus dibenahi dengan sistem yang transparan dan berbasis digital. PPS perlu menghindari jebakan PAD ilusi—PAD yang hanya bersumber dari denda, sumbangan, atau jual-beli aset yang tidak berkelanjutan.

Lebih jauh, PPS harus mulai membentuk BUMD strategis. Bayangkan jika Sumbawa memiliki BUMD pariwisata yang mengelola Kawasan Teluk Saleh dan Tambora secara profesional, atau BUMD logistik yang mengelola rantai pasok pertanian dan peternakan secara modern. PAD tidak lagi menjadi sisa, tapi buah dari kreativitas.


2. Menyusun RPJMD yang Visioner, Terukur, dan Berbasis Data

Langkah kedua adalah menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang realistis namun progresif. PPS harus fokus pada kekuatan unggulan: pertanian organik, peternakan, tambang berkelanjutan, energi terbarukan, dan wisata budaya. Jangan terjebak pada proyek-proyek besar berbiaya tinggi namun minim manfaat.

Indikator kinerja pemerintahan harus dibuat spesifik: peningkatan PAD per tahun, jumlah desa wisata aktif, jumlah BUMDes terhubung pasar digital, atau peningkatan nilai ekspor hasil laut. PPS harus belajar dari daerah lain yang gagal karena rencana pembangunan terlalu elitis dan jauh dari kebutuhan rakyat.


3. Membangun SDM dan Sistem Pemerintahan yang Lincah

Sebuah provinsi hanya akan setangguh orang-orang yang mengelolanya. PPS harus menjadi contoh provinsi baru yang berani membangun birokrasi meritokratik. ASN dipilih dan dipromosikan karena kapasitas, bukan karena koneksi. Pelatihan, pendidikan kepemimpinan daerah, dan pertukaran pengalaman antarprovinsi harus menjadi agenda tetap.

Selain itu, PPS bisa memanfaatkan teknologi untuk memangkas birokrasi lamban: e-budgeting, e-planning, dan sistem pengawasan publik berbasis komunitas. Ini bukan mimpi, tapi kebutuhan.


4. Menjaga Persatuan Wilayah dan Menghindari Politik Transaksional

Pembangunan tidak akan berjalan jika provinsi terpecah oleh ego sektoral. PPS harus menjaga agar tidak ada kabupaten yang merasa dianaktirikan. Transparansi dalam alokasi anggaran, rotasi jabatan provinsi yang adil antarwilayah, serta forum koordinasi antar-Bupati/Walikota harus diperkuat sejak awal.

Dan tentu saja, politik transaksional harus dicegah. Jika PPS dibangun hanya untuk menciptakan ruang baru bagi elite mengejar kekuasaan, maka semua yang diperjuangkan rakyat selama 20 tahun akan berubah menjadi kesia-siaan.


Harapan itu masih hidup. Seperti benih jagung yang tumbuh di tanah Dompu, seperti emas yang terkandung di batuan Sumbawa Barat, seperti senyum anak sekolah di pesisir Teluk Saleh—Provinsi Pulau Sumbawa bisa tumbuh. Tapi tidak dengan asal-asalan. Ia harus ditanam dengan visi, disiram dengan kerja keras, dan dijaga dari hama keserakahan.

Karena menjadi provinsi bukan akhir dari perjuangan, tapi permulaan dari tanggung jawab.

Menjadi Provinsi Bukan Soal Status, Tapi Soal Siapa yang Kita Pilih untuk Menjadi.

Mimpi mendirikan Provinsi Pulau Sumbawa bukan sekadar peristiwa administratif, melainkan tonggak sejarah yang mencerminkan harga diri, identitas, dan hasrat kolektif sebuah pulau yang selama ini merasa berada di pinggiran. Dalam ingatan masyarakatnya, provinsi baru ini adalah janji atas layanan yang lebih dekat, pembangunan yang lebih merata, dan kebijakan yang lebih memahami denyut lokal.

Namun, seperti halnya setiap janji, ia akan diuji.
Diuji bukan oleh musuh dari luar, melainkan oleh diri sendiri.

Apakah provinsi ini akan menjadi simbol kemajuan, atau hanya menjadi replika dari sistem yang sudah usang—yang hanya berganti baju, tapi masih membawa cara kerja yang sama: lamban, boros, dan tak berpihak?

Apakah PPS akan menjadi rumah baru bagi generasi muda untuk bermimpi, atau malah menjadi tempat baru untuk memperpanjang daftar kekecewaan?

Jawabannya tidak hanya ada di tangan pemerintah pusat. Tidak juga hanya di pundak gubernur dan DPRD terpilih kelak. Tapi juga di tangan setiap warga Pulau Sumbawa: petani di Alas, nelayan di Kilo, guru di Woha, bidan di Tambora, hingga anak sekolah di Poto Tano yang pernah berdiri membawa spanduk harapan.

Mereka semua, secara diam-diam, sedang bertanya:

“Kalau nanti kita punya provinsi sendiri, apakah hidup kami sungguh akan lebih baik?”

Tulisan ini bukan hendak memberi jawaban yang pasti. Tapi ia hendak mengajak kita semua—terutama mereka yang akan memimpin PPS nantinya—untuk sadar, bahwa provinsi adalah alat, bukan tujuan.

Tujuan sejatinya adalah keadilan, kesejahteraan, dan martabat.

Dan sejarah akan mencatat—bukan siapa yang pertama mengusulkan Provinsi Pulau Sumbawa, tapi siapa yang benar-benar menghidupkan provinsi ini dengan hati dan akal sehat.

Senin, 19 Mei 2025

Langkah yang Pertama

Prolog – Dua Jalan Pulang

Hujan baru saja reda ketika dua anak kecil itu berjalan pulang dari sekolah dasar satu-satunya di lembah. Tanah masih basah, daun pisang meneteskan sisa gerimis, dan kabut tipis menggantung di atas sawah yang mulai menguning. Jalan pulang mereka satu, tapi kaki mereka tak pernah melangkah di jejak yang sama.

Tua, dengan wajah serius dan baju seragam yang tak pernah luput dari kancing paling atas, memilih jalan yang lebih berat: menyusuri jalur setapak yang licin di antara batu-batu. Ia meniti setiap batu dengan hati-hati, memastikan kakinya tidak menginjak lumpur. Baginya, lumpur adalah masalah, dan setiap masalah harus dihindari atau diatasi dengan akal. “Kalau ada jalan kering, kenapa harus basah-basahan?” begitu katanya, penuh keyakinan.

Juana, sebaliknya, menyusuri pinggir sawah sambil melepas sepatunya. Kakinya bermain-main di lumpur yang hangat, dan tangannya memetik ilalang sembari bersenandung lagu yang ia karang sendiri. Ia sesekali berhenti, menatap langit, atau sekadar menggambar bentuk awan di udara dengan jari telunjuknya. “Lumpur bukan masalah, hanya bagian dari perjalanan,” ujarnya sambil tertawa ketika Tua mencibir.

Di persimpangan menjelang rumah, mereka selalu bertemu kembali. Kadang dengan sepatu kotor, kadang dengan baju basah. Tapi mereka tak pernah saling meninggalkan. Mereka saling melengkapi.

Dan desa pun mencatat langkah mereka, tanpa tahu bahwa kelak dua anak kecil itu akan menjadi dua arah dalam satu rencana: satu dari batu yang dipijak, satu dari langit yang ditatap.

“Langkah pertama mereka berbeda,” tulis seseorang di dinding balai desa bertahun-tahun kemudian,
“tapi mereka selalu tiba bersama.”


Desa Pasca Bencana

Setahun yang lalu, tanah bergerak tanpa suara. Sebuah lereng bukit yang selama ini tumbuh subur dengan jagung dan pisang runtuh perlahan, lalu menelan separuh desa dalam diam yang memekakkan hati. Tak ada gempa. Hanya hujan yang tak henti selama tujuh hari tujuh malam. Hujan yang membawa air. Air yang membawa tanah. Tanah yang membawa rumah. Rumah yang membawa kenangan.

Sejak hari itu, desa Lereng Timur seperti kehilangan detaknya. Anak-anak bermain lebih dekat dengan rumah. Sawah-sawah di bawah longsoran menjadi danau baru yang tak bernama. Tiang listrik berdiri miring, seperti sedang berpikir keras apakah masih layak menyalurkan cahaya. Warga berhitung bukan dengan angka, tapi dengan kenangan yang masih bisa diselamatkan.

Namun manusia, seperti juga rerumputan yang muncul kembali di tanah yang terluka, memiliki naluri bangkit.

Pemerintah kabupaten mengirim surat. Isinya: “Desa Lereng Timur diharapkan menyusun Rencana Pembangunan Mandiri Berbasis Komunitas untuk lima tahun ke depan.”

Surat itu dibacakan di balai desa oleh Kepala Desa Mahfud, seorang lelaki yang rambutnya sudah sepenuhnya putih meski usianya belum genap enam puluh. Suaranya gemetar, tapi bukan karena usia—melainkan karena tanggung jawab yang terlalu besar untuk pundak yang sudah lelah menatap kehancuran.

“Ini kesempatan kita. Tapi ini juga tantangan. Siapa di antara kalian yang bersedia memimpin penyusunan rencana ini?”

Sunyi. Lalu terdengar dua suara hampir bersamaan:

“Saya.”
“Saya juga.”

Semua menoleh. Satu suara datang dari seorang pemuda bersarung dengan map lusuh penuh catatan: Tua.
Satu lagi dari seorang gadis berkerudung kain tenun, memegang gulungan kertas bergambar pohon, jembatan, dan aula bambu: Juana.

Mereka berdiri berseberangan di ruangan yang sama. Seperti dua jalan yang pernah mereka lalui pulang dari sekolah dulu—berbeda arah, tapi selalu mengarah ke satu titik pertemuan.


Dua Pendekatan, Dua Dokumen

Hari-hari berikutnya diisi oleh kesibukan yang berbeda namun berjalan beriringan. Balai desa menjadi ruang yang terbagi tak kasat mata: di sisi kiri duduk Tua dan para sukarelawan yang ia bentuk sendiri, dengan laptop tua, kertas kalkir, dan denah rumah yang mereka ukur ulang dari puing-puing. Di sisi kanan, Juana dan beberapa pemudi menggambar dengan pensil warna di gulungan kertas manila, membicarakan hal-hal yang belum ada di desa—tapi sangat mungkin hadir.

Tua bekerja dari kenyataan. Ia mendatangi rumah-rumah warga, mencatat keretakan tembok, jembatan bambu yang separuh patah, dan irigasi sawah yang kini hanya tinggal genangan. Ia menyusun tabel kebutuhan, tingkat kerusakan, proyeksi biaya, dan durasi pengerjaan. “Kalau ini tidak diperbaiki, warga tidak bisa menanam musim depan,” katanya sambil mengetuk-ngetuk grafik dengan bolpoin.

Juana bekerja dari harapan. Ia mengundang anak-anak untuk menggambar rumah impian, minta para ibu menjelaskan kegiatan yang mereka inginkan jika punya ruang berkumpul, dan bertanya pada pemuda apakah mereka ingin belajar keterampilan lain selain bertani. Di tangannya, lahir peta visual desa masa depan: taman belajar terbuka, perpustakaan pohon, pusat data desa, warung daring milik bersama. “Kalau kita hanya membangun kembali apa yang pernah ada, lalu di mana letak tumbuhnya?” bisiknya pada seorang ibu yang menatap kagum.

Setelah dua minggu, dua dokumen lahir. Dua dunia dalam bentuk yang sangat berbeda.

  • Dokumen Tua diberi nama: "Laporan Kerusakan dan Rekomendasi Teknis Rehabilitasi Fisik Desa Lereng Timur."
    Tebal, sistematis, penuh angka, dan disusun dengan metodologi yang rapi.

  • Dokumen Juana ia beri nama: "Peta Desa Harapan 2030: Sebuah Mimpi yang Bisa Dibangun."
    Tipis, penuh warna, ilustratif, dan disertai narasi personal dari warga.

Hari musyawarah pun tiba. Balai desa penuh. Laki-laki bersarung duduk sejajar dengan perempuan membawa anak. Di dinding, digantung dua dokumen besar: satu di sebelah kiri, satu di sebelah kanan. Di tengahnya, tergantung spanduk: “Langkah Pertama Menuju Masa Depan”

Tua maju pertama.

Dengan suara tegas ia berkata,

“Saya tidak membawa mimpi. Saya membawa apa yang rusak, dan bagaimana memperbaikinya. Jika kita ingin makan tahun depan, kita harus mulai dari sawah, bukan dari sketsa taman.”

Juana menyusul, tak kalah mantap.

“Saya tidak mengabaikan kerusakan. Tapi saya percaya, kalau kita tidak tahu ke mana kita ingin melangkah, kita akan tersesat meski semua jalan sudah diperbaiki.”

Ruangan sunyi. Lalu gemuruh pelan mulai terdengar—bukan tepuk tangan, bukan cemooh. Tapi bisik-bisik warga yang mencoba memahami: apakah benar harus memilih satu? Atau justru… mencari cara agar keduanya saling menunjang?


Warga Terbelah

Musyawarah itu tidak selesai dalam satu malam. Bahkan setelah listrik padam dan balai desa hanya disinari lampu minyak, perdebatan tetap menggantung seperti kabut yang turun dari lereng.

Di warung kopi, di pos ronda, bahkan di sawah—warga mulai terbelah, bukan karena kebencian, tapi karena keyakinan yang saling bertolak belakang.


Kelompok Tua menyuarakan urgensi:

“Apa gunanya taman kalau dapur masih bocor?”
“Juana itu bermimpi terlalu tinggi. Kita belum bisa bangun apa-apa kalau tanah ini belum bisa ditanami lagi.”
“Jangan-jangan semua itu hanya buang anggaran!”

Mereka adalah para petani tua, tukang kayu, dan buruh tani harian yang hidup dari apa yang nyata. Mereka tahu betul: jika pipa rusak tak diperbaiki, air tak akan sampai. Jika sawah dibiarkan tanpa saluran, maka musim tanam bisa gagal lagi. Mereka melihat rencana Juana seperti langit: indah, tapi jauh.


Kelompok Juana bicara tentang harapan:

“Kalau kita terus-terusan hidup dari memperbaiki, kapan kita mulai bermimpi?”
“Anak-anak butuh ruang belajar, bukan hanya atap rumah yang kembali berdiri.”
“Kalau kita bangun hanya dari rasa takut longsor, kita akan tumbuh dalam ketakutan selamanya.”

Mereka adalah pemuda, ibu rumah tangga muda, dan anak-anak yang mulai mengenal dunia di luar desa lewat ponsel dan radio. Mereka terpesona oleh warna, ingin lebih dari sekadar selamat—mereka ingin maju.


Kepala Desa Mahfud mulai merasa terjebak di antara dua tembok:
Di satu sisi ada realitas keras, di sisi lain ada impian yang melambung. Ia tahu desa ini tak bisa bertahan hanya dari tambalan, tapi ia juga takut mimpi besar membuat mereka lupa bahwa pondasi rumah mereka masih retak.

Malam itu, di dalam rumahnya yang remuk sebagian dan ditutup terpal biru, Mahfud duduk di depan dua dokumen itu lagi. Ia menatap satu per satu. Di antara angka-angka Tua dan gambar-gambar Juana, ia menuliskan satu kalimat di secarik kertas:

“Apa yang terjadi jika kita tanam mimpi di tanah yang belum sembuh?”

Kalimat itu ia bawa esok paginya ke papan pengumuman desa. Tak ada pengumuman resmi. Hanya satu kalimat, ditulis dengan tangan gemetar, dan dibiarkan terbaca siapa saja.


Tua membaca kalimat itu sambil diam. Juana membaca kalimat itu sambil tersenyum.

Keduanya belum tahu, bahwa tak lama lagi, tanah yang belum sembuh itu akan kembali bicara—bukan lewat kata, tapi lewat badai yang datang kedua kalinya.


Badai Kedua

Langit desa Lereng Timur gelap seperti arang tua yang belum padam. Angin malam membawa bau basah yang menusuk, seolah tanah ingin berkata: “Aku belum selesai dengan kalian.”

Hujan pertama turun dengan malu-malu, hanya gerimis. Tapi pada hari kedua, langit membuka cengkeramannya. Petir menyambar, air turun deras, dan tanah yang belum pulih mulai berderak kembali.

Warga panik. Sebagian mengungsi ke balai desa, sebagian terjebak di rumah-rumah yang dibangun terburu-buru dari papan bekas bantuan bencana pertama. Irigasi yang diperbaiki belum sepenuhnya kuat. Tanah yang retak mulai meluas.

Dan inilah saatnya yang tak pernah mereka kira—visi Juana yang selama ini dianggap melambung, justru menyelamatkan langkah pertama mereka dari kehancuran berikutnya.


Di dalam peta Desa Harapan milik Juana, ia menggambar jalur evakuasi alternatif yang tidak melewati jalan utama, yang justru sekarang tertutup longsoran.
Ia pernah menyarankan pembangunan pos pemantau hujan dan retakan tanah di bukit atas—yang kebetulan sudah didirikan oleh para pemuda desa sebagai bagian dari program belajar sambil praktik.
Ia juga mencantumkan titik kumpul dan pusat koordinasi darurat di belakang balai desa yang tadinya dianggap “tidak realistis”.

Semua ini kini menjadi nyata—bukan sebagai mimpi, tapi sebagai rencana penyelamatan hidup.


Tua tak banyak bicara. Ketika warga mulai panik dan tidak tahu harus ke mana, dialah yang pertama kali mengangkat pengeras suara, memanggil warga ke titik kumpul yang pernah ia ragukan.
Ia mengatur giliran evakuasi, meminjam sepeda motor dan truk warga, membuka jalur dari batu-batu besar yang pernah ia petakan saat survei longsor.
Dan ia—dengan tenang—mengatakan kepada Mahfud:

“Ternyata, Juana sudah melihat yang tak bisa kulihat.”

Malam itu, desa tidak selamat karena hanya satu dokumen. Ia selamat karena dua langkah yang berbeda akhirnya saling menyeberang.


Ketika fajar muncul dari balik kabut, Tua duduk di samping Juana yang menatap sisa hujan di dedaunan. Ia membuka catatannya yang basah, lalu menyobek halaman pertama. Ia menulis ulang di halaman berikutnya:

“Rencana tidak hanya bicara tentang apa yang rusak. Tapi tentang apa yang ingin kita jaga sebelum rusak.”

Juana menambahkan satu kalimat di bawahnya:

“Dan impian tidak harus menunggu semua sempurna, cukup ditanam di tanah yang mau belajar tumbuh.”


Rekonsiliasi dan Kesadaran

Tiga hari setelah badai kedua, matahari muncul dengan malu-malu dari balik sisa awan. Desa Lereng Timur seperti baru dilahirkan kembali, lebih basah, lebih rapuh, tapi juga lebih sadar akan siapa dirinya. Tak ada yang meninggal. Tak satu pun rumah rubuh total. Ini bukan karena keberuntungan, melainkan karena kerja diam-diam dua arah yang dulu saling menolak.

Balai desa menjadi tempat pengakuan yang tak direncanakan. Kepala Desa Mahfud memanggil seluruh warga untuk berkumpul. Tak ada musyawarah. Tak ada agenda.

Hanya sebuah kursi kayu di tengah ruangan, dan dua nama yang disebut:

“Tua dan Juana, berdirilah di depan.”

Tua berdiri dengan ragu. Juana bangkit dengan pelan.

Lalu Mahfud berkata:

“Kita semua pernah berpikir bahwa harus memilih. Tapi ternyata kita selamat bukan karena kita memilih satu, melainkan karena kita menggabungkan keduanya.
Tua membawa kita melihat yang ada. Juana membawa kita melihat yang mungkin. Dan kita—desa ini—selamat karena kalian berdua tidak saling meniadakan.”

Suasana hening. Lalu, perlahan-lahan, warga berdiri satu per satu.
Buruh sawah bertepuk tangan. Anak-anak menabuh galon bekas. Ibu-ibu membawa bingkisan kecil dari dapur umum.

Di tengah semua itu, Tua menoleh ke Juana.

“Aku belajar satu hal,” katanya pelan.
“Masalah bisa membuat kita bertahan. Tapi tujuanlah yang membuat kita berjalan.”

Juana tersenyum, matanya basah.

“Dan aku juga belajar,” bisiknya.
“Tujuan tanpa mengerti luka hanya akan membuat kita melayang. Kita butuh kaki-kaki setegas kamu, Tua.”

Mereka berdiri bersama di tengah aula bambu sederhana yang dibangun dari rancangan Juana dan didanai dari laporan Tua. Di dindingnya tergantung dua kutipan:

  • “Bangun dari apa yang ada.”
  • “Menuju apa yang kita inginkan.”

Di bawah kutipan itu, tertulis dengan kapur putih:

“Langkah pertama memang berbeda, tapi langkah kedua kita ambil bersama.”


Epilog – Langkah yang Kedua

Beberapa tahun berlalu.

Lereng Timur tak lagi dikenal sebagai “desa bekas longsor.” Kini, ia muncul di halaman-halaman akhir brosur pariwisata kabupaten dengan judul kecil: “Desa Harapan di Perbukitan.” Bukan karena gemerlap. Bukan karena mewah. Tapi karena ia berdiri di antara dua dunia: dunia yang tahu luka, dan dunia yang berani bermimpi.

Di pinggir jalan setapak yang dulu licin dan terjal, berdiri aula bambu yang kini menjadi pusat kegiatan warga. Di sana ada perpustakaan mini di antara batang-batang bambu, ada jaringan internet dari satelit kecil yang dipasang oleh anak-anak muda desa, dan ada kalender kegiatan yang tak pernah kosong dari pelatihan, pertunjukan, hingga kelas daring.

Di dekat aula itu, di atas batu besar yang selamat dari dua longsoran, ada plakat kecil bertuliskan:

“Langkah pertama mereka berbeda, tapi langkah kedua mereka ambil bersama.”

Hari itu, Tua dan Juana duduk di bangku kayu di belakang aula. Mereka sudah tidak muda lagi. Rambut Tua mulai memutih di sisi, dan Juana mengenakan selendang tenun yang sudah mulai memudar warnanya.

Di hadapan mereka, sekelompok anak-anak baru saja selesai menggambar peta impian desa versi mereka. Ada yang menggambar kolam ikan bersama, pusat pengolahan hasil panen, dan bahkan ada yang menggambar stasiun kereta kecil yang katanya akan datang ke desa suatu hari nanti.

Tua menatap gambar-gambar itu dan terkekeh pelan.

“Mereka menggambar stasiun… di bukit,” gumamnya.

Juana menoleh dan tersenyum.

“Dulu kamu juga tertawa waktu aku menggambar aula bambu di atas tanah longsoran.”

Tua mengangguk. Kali ini ia tidak menertawakan. Ia menatap anak-anak itu dengan harapan diam-diam.

“Mungkin... tugas kita sekarang bukan memilih jalan siapa yang benar, Juana.”

“Tapi memastikan,” lanjut Juana, “bahwa mereka tidak takut memilih langkah pertamanya.”

Di atas mereka, matahari sore memantul di atap bambu. Angin dari lembah naik perlahan, membawa suara anak-anak yang saling bercanda. Dan di titik itu, di bangku tua dan tenang itu, dua sahabat akhirnya menyadari:

Langkah pertama mungkin berbeda, tapi arah hidup tidak pernah benar-benar sendiri.


Selesai.