Ilustrasi Ibrahim dan Ismail
Pada tempat dan hari yang telah ditentukan,
sang ayah menghunus pedang dengan asahan yang sangat menyilaukan. Dalam hati kecilnya mantap untuk melakukan
sebuah ritus pengurbanan dari hamba untuk Tuhan, pengurbanan yang tidak
tanggung-tanggung yaitu seorang anak satu-satunya yang paling ia kasihi setelah
penantian panjang atas kelahirannya.
Hari itu sang ayah ikhlas sebagai konsekuensi keimanan untuk memenuhi
wahyu ilahi, leher si anak telah siap diatas kayu talenan sesembelihan,
algojonya adalah seorang ayah………………………….
Lalu ditengah suasana bathin para penyaksi yang tidak tega, gemuruh harapan
dalam panjat doa kepada Tuhan sekilat menjadi hening seperti bisunya gunung, tiba
tiba seekor gibas menjelma sesaat sebelum pedang yang diayunkan menyayati leher
si anak. Akhirnya semua lega, tampak dari hela nafas kepuasan para penyaksi.
Apa yang hendak diperlihatkan Tuhan
dalam kisah dramatis yang memilukan itu, namun berujung pada sebentuk proklamasi pembebasan manusia dalam ritus pengurbanan manusia untuk Tuhan. Kita tidak akan tahu benar kehendak yang ada
dalam benak Tuhan, namun dalam sejarah panjang umat manusia setelah kejadian,
setidaknya benang hikmah telah dapat ditarik sebagai pelajaran berharga dari
kisah. Beruntunglah kita terlahir dengan
jeda yang jauh dari kisah, sehingga dapat memanen hikmah yang lebih variatif.
Penggantian Ismail dengan gibas
merupakan bentuk lecehan Tuhan kepada manusia, bahwa manusia sudah tidak layak
untuk dikurbankan. Daripada manusia lebih baik gibas.
Itulah slogan yang tepat untuk meremehkan manusia dimuka bumi. Manusia tidak lebih berharga dari seekor
gibas yang didatangkan dari surga. Darah
gibas lebih “biru” dibandingkan darah merah manusia. Padahal menurut penuturan ismail sebelumnya,
ia merasa sangat bahagia karena mendapatkan kesempatan dikurbankan atas
perintah Tuhan secara langsung melalui sang ayah, sang nabi. Ia sebenarnya berharap segera memenuhinya dan
menjumpai keabadian yang jauh lebih bahagia.
Pencarian keabadian telah menjadi
sejarah tersendiri umat manusia hingga berujung pada kepasrahan manusia dalam
pencariannya. Manusia tidak lagi mencari
keabadian dimuka bumi karena naskah tentang keabadian telah rampung dalam
ajaran-ajaran nabi yang datang silih berganti.
Mereka mengabarkan keabadian sebagai bentuk lanjutan dari kehidupan
setelah bumi. Ambisi manusia untuk abadi
diakhirat meredam ambisi untuk mengejar keabadian dibumi. Manusia tidak cinta dunia lagi, manusia
banyak berdoa untuk menemukan keabadian diakhirat. Tentu saja Keabadian yang membahagiakan,
dalam surga, seperti yang ismail inginkan.
Kehidupan dunia sangatlah
singkat, tidak ada alasan untuk memperpanjangnya. Para jin juga pesimis kepada manusia, jin
berkeluh kepada Tuhan bahwa manusia hanya akan menimbulkan kerusakan di bumi. Manusia tak lebih baik dari jin, bahkan jin
menyarankan kepada Tuhan agar manusia lebih baik tidak diciptakan. Namun Tuhan punya alasan sendiri yang tidak
diungkapkan hingga nabi terakhir diutus dimuka bumi.
Mengapa Tuhan memperlihatkan
solusi yang datang dari luar batas nalar fikir manusia? Mendatangkan gibas
dalam waktu sekejap mata dari surga.
Mengapa skenarionya bukan gibas dari bumi saja? Supaya ada peran manusia dalam perjuangan
kemanusiaan mereka dimuka bumi. Suatu
saat ada yang bertanya seperti ini: “siapakah pahlawan yang menyelamatkan
ismail dari kilauan pedang Ibrahim?”. Jawabnya: “Tuhan.”. Bukan manusia. Karena Tuhan yang melakukannya hal itu tentu menjadi
biasa saja.
Gibas dan Manusia dua makhluk
yang datangnya dari surga. Gibas adalah representasi hewan yang
susah diatur, sedangkan manusia telah membuktikan ketidakpatuhannya dalam kasus
nabi adam sebelum dilemparkan ke bumi. Tuhan
maha cerdik dalam mengambil gibas sebagai qurban, karena susah diatur maka ia
diqurbankan. Sekarang ini banyak sekali
orang-orang yang susah diatur lalu dikurbankan oleh komunitas mereka. Bisa jadi orang susah diatur itu adalah orang
benar, sedangkan komunitasnya yang salah. Mengapa manusia mesti berqurban jika dengan
tidak berqurbanpun manusia bisa bergembira?
Apa manusia memang butuh kisah dramatis seperti kisah Ibrahim dan Ismail
yang memilukan itu?
Menilik kehidupan kurban mengkurbankan
orang lain dalam perpolitikan tanah air tentulah kita mengira bahwa akar
sejarahnya berasal dari kisah Ibrahim dan Ismail. Dalam perkorupsian telah dirancang sedemikian
rupa tingkatan kelas para pemain sehingga dalam keadaan terdesak ada beberapa
orang yang diskenariokan untuk dapat mengurban dirinya. Jika tidak dapat
mengurbankan dirinya maka dikurbankan adalah satu satunya alasan untuk
menyelamatkan kepentingan jahat yang lebih besar.
Ternyata bukan hanya dalam ihwal
ketuhanan sehingga manusia berkurban demi kebaikan. Namun dalam ihwal jahatpun, qurban telah
disalahgunakan oleh para koruptor tanah air.
Bahasa agama “qurban” telah terpeleset maknanya menjadi bahasa koruptor
“kurban”. Dalam bahasa yang lebih keren
“kambing hitam”. Nazarudin telah “dikambing hitamkan” wow keren bukan sebagai
pengganti kata “ dikurbankan”. Nazarudin
telah dikurbankan.
Kambing juga menjadi simbol qurban
pada hari raya qurban. Banyak masyarakat
muslim tanah air yang menggunakan kambing sebagai hewan qurbannya. Maka semakin jelaslah bahwa dalam
perkorupsian ada yang berperan sebagai kambing, pembeli kambing, penjual
kambing, makelar kambing, iklan kambing, kandang kambing. Yah kelas kambing
dalam perkorupsian adalah kelas yang terendah. Baru baru ini Akil Mukhtar mengurbankan Sopirnya yang
sering disuruh menagih jasa kepada klien sogoknya.
Pada hari jumat lalu, penulis
melihat selebaran qurban on line diseputaran kampus Universitas Gadjah Mada. Qurban on line, lama kelamaan akan diadopsi
kembali oleh para koruptor kelas kakap yang tidak tersentuh, menjadi Kurban On
line. Terus berkembang menjadi kambing on line.
Jika hal ini betul-betul terjadi maka yang dipersalahkan adalah mesin
ATM, SMS Banking, dan Internet Banking.
Terkait dengan bunda putri,
penulis rasa ini adalah bos besar para makelar kambing, bos para penjual
kambing, dan bos yang punya banyak kandang kambing. Sebagai bos kambing jelaslah kalo kambing
tidak mengetahui identitas bosnya. “Diistilahkan
saja bos, lha wong kita cuman kambing.”. aku para koruptor dipersidangan.
Dalam persaksian Suswono yang mengetahui tentang bunda
putri tetapi tidak mengetahui identitasnya menjadi jelas bahwa siapa kambing
dan siapa bos kambing dalam era baru pengurbanan dikalangan para koruptor. LHI
juga menyebut nyebut tentang bunda putri namun tidak diketahui identitas bunda
putri. Sebelumnya juga ada yang mengakui
keberadaan istilah bunda putri dalam persidangan tapi penulis lupa nama kambing
itu .
Ah… Banyak hikmah yang dapat
dipetik dari Qurban, saya sudah memetik beberapa, maka selamat hari raya qurban
14….. H. Yang haji semoga mabrur, yang ditanah air semoga rukun dalam pembagian
daging qurban. Awas ada nenek nenek yang kegenjet hingga tewas lho….
Yogyakarta,
15 Oktober 2013
10 Dzulhijjah 14…. H
Termenung dalam lebaran
yang kembali sunyi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar