Bersama Instruktur pelatihan BBPP Kupang
Beberapa bulan lalu tepatnya april tahun ini, penulis
dalam kapasitas sebagai Penyuluh Pertanian asal Kabupaten Sumbawa Propinsi Nusa
Tenggara Barat, mendapatkan undangan untuk mengikuti kegiatan pelatihan pembuatan
pakan ternak ruminansia di Balai Besar Pelatihan Peternakan (BBPP) Noelbaki
Kupang Nusa Tenggara Timur . Dalam
pelatihan tersebut penulis diperkenalkan tentang fasilitas standar pembuatan
pakan ternak mulai dari hay, silase, permen sapi, amoniasi, dan banyak macam
lainnya. Dalam instalasi kandang yang
cukup memadai, perhatian penulis justru tertuju pada sebuah instalasi pembuatan
biogas milik BBPP yang berada tidak jauh dari instalasi kandang tersebut. Selama ini biogas hanya menjadi wacana dalam
benak kami sebagai penyuluh pertanian lapangan, tanpa pernah melihat langsung
bagaimana gas dapat dihasilkan dari kotoran sapi. Karena rasa ingin tahu yang besar, penulis
melakukan pendekatan pada seorang instruktur yang masih sangat muda. Beliau adalah Pak Marten (40), Berperawakan sederhana dan lugas dalam
menyampaikan materi pelatihan, bersedia meluangkan waktu mengupas habis tentang
Biogas untuk penulis dan beberapa rekan yang tertarik mendalaminya.
Mikroba
dalam aktifitas anaerobik sudah sangat populer digunakan untuk mengolah limbah biodegradable, bahan bakar dapat
dihasilkan sambil menghancurkan bakteri patogen dan sekaligus mengurangi volume
limbah buangan. Energi biogas dapat
berfungsi sebagai energi pengganti bahan bakar fosil sehingga akan menurunkan
gas rumah kaca di atmosfer dan emisi lainnya.
Metana merupakan salah satu gas rumah kaca yang keberadaannya diatmosfer
akan meningkatkan temperatur, dengan menggunakan biogas sebagai bahan bakar
maka akan mengurangi gas metana di udara.
Limbah berupa sampah kotoran hewan dan manusia merupakan material yang
tidak bermanfaaat, bahkan bisa mengakibatkan racun yang sangat berbahaya jika
dibiarkan dalam keadaan mencemari lingkungan.
Secara
teknis beliau jelaskan bahwa material organik yang terkumpul pada digester
(reaktor) akan diuraikan melalui 3 tahap dengan bantuan dua jenis bakteri
berdasarkan cara kerjanya. Tahap I Hidrolisis : Hidrolisa substrat utama seperti karbohidrat,
lemak, dan protein dalam limbah ternak menjadi senyawa-senyawa sederhana,
seperti asam asetat, alkohol, CO2, NH3, dan sulfida. Bakteri yang berperan Clostridium acteinum,
Bacteriodes ruminicola, Bifidobacterium sp, Eschericia sp,
Enterobacter sp, dan Desulfobio sp. Tahap
2 Acidogenesis-Asetogenesis. Bakteri
mengoksidasi asam berantai karbon panjang, seperti asetat dan alkohol yang
dilakukan oleh Lactobacillus sp, Streptococcus sp. Tahap
3 Metanogenesis Bakteri
methanogenik menggunakan H2, CO2, dan asetat untuk
pertumbuhannya, serta memproduksi CH4 dan CO2. Urea yang
berasal dari protein dihidrolisa oleh bakteri menjadi gas metan (CH4)
dan NH4+. Asam
asetat serta asam propionat dari lemak difermentasi menjadi gas metan dan CO2
CO2 yang dihasilkan direduksi
menjadi CH4 dan H2O. Bakteri yang berperan pada tahap ini
adalah Methanobacterium melianskii, Methanococcus sp, dan Methanosarcina
sp. 70% metan dihasilkan dari asam asetat, 15% dari H2 dan CO2,
15% lagi dari reduksi metanol .
Berdasarkan
3 tahapan diatas, beliau membeberkan Kandungan
energi biogas berkisar antara 20.000 sampai 26.000 kJ/m3
bergantung pada jumlah kandungan metan, sedangkan untuk metan murni adalah
35.000 kJ/m3. Nilai
kalor yang dihasilkan berkisar 4800–6700 Kcal/m3 setara ± 0.48 kg
gas LPG atau ± 0.62 liter minyak tanah
Metana
dalam biogas, bila terbakar akan relatif lebih bersih daripada batu bara, dan menghasilkan energi yang lebih besar dengan emisi karbondioksida
yang lebih sedikit. Pemanfaatan biogas
memegang peranan penting dalam manajemen limbah karena metana merupakan gas rumah kaca yang lebih berbahaya dalam pemanasan global bila dibandingkan dengan karbon dioksida. Itulah paparan tambahan beliau menutupi kelas
tambahan dalam pelatihan pakan ternak di BBPP Kupang.
Sepulang dari pelatihan, penulis melakukan telusur lapangan
pada beberapa desa di Kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat yang telah memanfaatkan biogas sebagai pengganti bahan
bakar minyak tanah, desa yang penulis datangi ini pernah mengikuti pelatihan
pembuatan biogas dibawah instruktur Pak Marten BBPP Kupang. Tujuan pertama yaitu Desa Kokarlian Kecamatan
Poto Tano Kabupaten Sumbawa Barat merupakan sebuah desa transmigrasi lahan
kering, penduduknya kebanyakan berasal dari pulau Bali. Program biogas masuk ke desa ini karena
besarnya potensi ternak yang diusahakan oleh masyarakat transmigrasi di desa
ini. Ternak sapi menjadi penghasilan
utama setelah budidaya jagung dan kacang tanah yang diusahakan dilahan
kering. Berkat keuletan masyarakatnya,
desa ini selain mampu menghasilkan biogas juga menjadi produsen pupuk organik.
Isu penolakan oleh pihak luar negeri terhadap ternak asal tanah
air merupakan momentum mendasar yang melandasi program biogas di Nusa Tenggara
Barat termasuk salah satunya Desa Kokarlian yang penulis ungkapkan ini. Peternakan tanah air dituding sebagai
penyebab berkembangnya gas metan sebagai pelaku terjadinya efek rumah
kaca. Program rumah biogas diharapkan dapat
mengurangi gas metan serta menjawab kelangkaan minyak tanah dibanyak wilayah
NTB. Pada waktu bersamaan gairah
beternak sapi NTB didukung oleh program Bumi Sejuta Sapi (BSS). Sekedar diketahui BSS adalah program unggulan
untuk meningkatkan populasi sapi hingga satu juta ekor pada 2014 dengan
melakukan upaya perlindungan dan penyehatan sapi betina produktif dan
pengkondisian pedet baru lahir agar selamat hingga dewasa. Programnya banyak
menyentuh pada kesehatan hewan dan perbaikan mutu pakan. Namun hingga sekarang program itu dinilai oleh
banyak kalangan belum memenuhi target.
Petani Desa Kokarlian sukses mengembangkan biogas karena
mereka memang membutuhkan upaya efisiensi anggaran keluarga. Semakin bergeliatlah usaha peternakan mereka karena
efek samping usahanya membawa kemudahan dalam pembuatan bahan bakar rumah
tangga secara mandiri dan tentunya penghasilan tambahan dari pupuk organik yang
dihasilkan. Belakangan saya mendengar,
bahwa mereka mulai menukarkan biogas yang dihasilkan dengan volume tertentu
Hijauan Makanan Ternak (HMT). Artinya
mereka mulai membisniskan biogas.
Perlu diketahui, masyarakat Desa Kokarlian senantiasa
mengandangkan ternaknya bahkan pada musim kemarau sekalipun, kemajuan mereka dapat
penulis rasakan karena selama tahun 2007 hingga 2010 penulis melewati jalanan
desa itu setiap minggunya. Tampak
ditahun pertama, mereka mengangkut HMT dimusim kering menggunakan sepeda atau
berjalan kaki, tahun berikutnya mereka mengangkut HMT menggunakan sepeda motor,
pada tahun keempat beberapa diantara mereka telah menggunakan mobil bak
terbuka. Inilah sebentuk kemajuan mereka
dalam beternak sapi.
Lokasi lain yang penulis kunjungi yaitu Desa Penyaring
Kecamatan Moyo Utara Kabupaten Sumbawa.
Desa ini telah mengembangkan sapi hissar putih yang bibitnya pernah
didatangkan dari india
beberapa tahun silam. Sapi hisar berkembang pesat hingga sekarang ini. Potensi yang besar dari sapi hisar ini
dianggap sesuai untuk pengembangan program rumah biogas. Namun kemudian yang menjadi persoalan dalam pengembangan biogas
di desa ini adalah teknik pemeliharaan sistem lar (lepas) yang telah membudaya
sebagai teknik yang paling efisien menurut penuturan para peternak, dengan
sistem lar kotoran sapi tidak dapat dikumpulkan dalam jumlah yang banyak pada
siang hari karena terhampar dipadang pengembalaan.
Bukan hanya dua
desa itu keberadaan biogas NTB pernah diterapkan, dikabupaten dompu, Bima, Kota
Bima, Pulau Lombok mulai dari Lombok Timur, Tengah, Barat, Utara dan Kota
Mataram memiliki kisah kisah tertentu yang cukup unik tentang sekelumit
permasalahan kebiogasan. Ada yang gagal dan ada kisah
sukses . Bahkan dipropinsi lain luar NTB
memiliki cerita tersendiri tentang para pejuang kemandirian energi perdesaan. Menelisik melalui google.com, informasi
tentang biogas Indonesia
cukup beragam baik dari bahan dasar, teknik memerangkap gas, maupun peralatan
yang mereka gunakan. Berbagai inovasi telah
dimunculkan sebagai apresiasi yang mendalam terhadap pengembangan biogas
ditanah air oleh beberapa putra bangsa yang peduli dengan pemanasan global dan
kelangkaan energi.
Pada Tanggal 26 September 2013 kemarin, penulis sempat
mengikuti Gelar Teknologi Tepat Guna XV di Kota Padang Sumatera Barat. Dalam perhelatan nasional itu, Biogas masih
menjadi teknologi unggulan yang ditonjolkan pada beberapa daerah pengembangan
ternak sapi. Hal ini terlihat pada
standing officer daerah Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara yang memajang
peralatan biogas dari daerahnya untuk dipamerkan di kegiatan itu. Semangat mereka dalam menjelaskan inovasi
yang mereka temukan sangat penulis sukai. Semangat mereka menyala, sebiru api
kompor biogas.
Selain telusur lapangan, penulis juga mencoba melakukan
penelurusan pustaka atas kebijakan biogas dimasyarakat perdesaan. Singkatnya penulis menemukan beberapa latar
belakang pemikiran kebijakan seperti
ini: Menurut data ESDM (2006) cadangan minyak Indonesia hanya
tersisa sekitar 9 milliar barel. Apabila terus dikonsumsi tanpa ditemukannya
cadangan minyak baru, diperkirakan cadangan minyak ini akan habis dalam dua
dekade mendatang. Konsumsi
BBM yang mencapai 1,3 juta barel tidak seimbang dengan produksinya yang
nilainya sekitar 1 juta barel sehingga terdapat defisit yang harus dipenuhi
melalui impor.
Roadmap biogas Indonesia telah diupayakan pelaksanaannya
sejak tahun 2007 ketika Program
Desa mandiri Energi (DME) secara resmi diluncurkan oleh Presiden pada tanggal
14 Februari 2007 dengan konsep kemandirian energi berbasis pemanfaatan energi
terbarukan dan pemberdayaan masyarakat setempat. Berdasarkan bahan baku sumber energi yang
digunakan, ada dua jalur DME yaitu 1) DME berbasis sumber energi non pertanian
dan 2) DME berbasis sumber energi pertanian/bahan bakar nabati/bioenergi (DME
Bioenergi). Pembangunan energi perdesaan melalui program DME diantaranya adalah
energi berbasis mikrohidro, energi berbasis tenaga surya, energi berbasis
biomassa, dan energi berbasis biogas.
Hasil
pelaksanaan DME khususnya DME Bioenergi sejak tahun 2007 hingga tahun 2011,
ternyata DME berbasis bioenergi dari biogas kotoran hewan memiliki tingkat
keberhasilan dan keberlanjutan terbesar. Hal tersebut didukung oleh tingginya
potensi jumlah hewan, teknologi biogas relatif sederhana, dan manfaatnya dapat
langsung dirasakan masyarakat. Sayangnya pengembangan bioenergi berbasis biogas
kotoran hewan tersebut belum didukung oleh kesiapan pendanaan di tingkat pusat
dan kemampuan sumberdaya manusia baik di pusat maupun daerah dalam hal
monitoring dan evaluasi (Bappenas 2009). Sehingga diperlukan upaya-upaya yang
tepat untuk mempercepat dan memperluas pola pembangunan dan pemanfaatan biogas
dari kotoran hewan di seluruh wilayah yang memiliki potensi hewan ternak untuk mendukung
kemandirian energi khususnya di daerah perdesaan. Menjawab hal itu pemerintah mengeluarkan
kredit ketahanan pangan dan energi (KKPE) yang diperuntukkan untuk petani dan
peternak yang mendedikasikan feses ternaknya untuk biogas. Namun lagi-lagi petani sasaran tidak
mengetahui prosedur untuk mendapatkan dana tersebut.
Sebagai
perbandingan bagaimana besaran dana yang layak untuk pengembangan biogas, kita
dapat bercermin pada negara tirai bambu, China. Negara itu telah mengeluarkan begitu banyak
anggaran untuk mengurusi masalah energi khususnya biogas. Beberapa waktu lalu china telah mengoperasikan
sebuah reaktor biogas berkapasitas besar yang dapat menyuplai biogas untuk
lebih dari 20.000 kepala keluarga.
Kebijakan ini merupakan solusi efisien yang berkelanjutan dalam
menghadapi isu pemanasan global dan kelangkaan energi. Keseriusan China
tampak dalam visi dan program “China’s
2003-2010 National Rural Biogas Construction Plan” yang mulai diluncurkan
tahun 2003. Tujuannya untuk meningkatkan penggunaan
biogas, dengan target 11 juta untuk total 20 juta rumah tangga pada tahun 2005,
dan membuat satu dari sepuluh rumah tangga petani sebagai pengguna biogas Pada tahun 2010, China meningkatkan
penggunaan biogas skala rumah tangga lebih dari 31 juta untuk total 50
juta rumah tangga, sehingga tingkat penggunaan meningkat sampai 35 persen. Subsidi pemerintah China untuk setiap digester biogas sebesar
1000 yuan (sekitar US $ 150).
Bukan
hanya di China, India sudah sejak lama
mengembangkan biogas sebagai salah satu solusi dari kelangkaan energi yang
menerpa negara padat penduduk tersebut. Tahun 1981 mulai dikembangkan instalasi
biogas di India.
Pengembangan instalasi biogas dilakukan oleh Departemen Sumber Energi
non-Konvensional melalui program “The National Project on Biogas Development”
dengan melakukan riset terhadap pengembangan model instalasi biogas. Tahun 1999, sekitar tiga juta rumah tangga di
India
telah menggunakan instalasi biogas.
Peluang
pengembangan biogas di Indonesia
sesungguhnya sangat prospektif. Pada tahun 2011, Indonesia memiliki 16,7 juta ekor
hewan besar (sapi potong, sapi perah, dan kerbau) dan 36,6 juta
kambing/domba/babi (Ditjennak 2012). Jika diasumsikan setiap ekor hewan besar
menghasilkan 29 kg feses per hari dengan kandungan padatan 14,34 persen maka
potensi kotoran hewan yang berasal dari hewan besar diproyeksikan mencapai
69,45 juta kg total padatan, jika ekuivalensi biogas yang dihasilkan sebesar
0,31 m3/kg padatan, maka akan dapat dihasilkan biogas sebesar 21,5 juta m3 biogas
yang setara dengan penghematan 13,33 juta liter minyak atau 9,89 juta kg gas
LPG atau 75.250 ton kayu bakar.
Tahun 2013 data perkembangan ternak besar berupa sapi
dan kerbau mengalami penurunan sebanyak 2,65 juta ekor. Hal ini karena berkurangnya jumlah impor dan
banyaknya jumlah ternak yang dipotong serta disinyalir adanya upaya perkawinan
silang antar sapi bali dengan sapi Brahman atau hissar yang menyebabkan
kemandulan pada generasi sapi berikutnya.
Namun walaupun begitu, potensi pengembangan biogas menggunakan feses
ternak besar masih terbuka luas karena baru berapa persen saja yang terjamah
selama ini.
Perkembangan biogas di tanah air ternyata tidak hanya
pada wilayah pedesaan yang menggunakan feses ternak. Satu bentuk pemanfaatan feses manusia telah
berkembang pada beberapa pondok pesantren dipulau jawa. Beberapa waktu lalu penulis sempat bertandang
pada salah satu pesantren di jawa timur yang menggunakan feses santri untuk
biogas dan suplai listriknya. Pesantren itu
adalah Pondok Pesantren Riyadlul Ulum di Condong Cibeureum
Tasikmalaya. setelah berbincang dengan salah satu staf yang bertugas
pada bagian yang mengurusi masalah biogas disebutkan bahwa pondok ini
adalah salah satu pondok dengan jumlah santri lebih dari 2500 orang,
cukup untuk memproduksi biogas dari tinja, sampah sisa makanan, serasah
halaman dan biomassa lainnya yang terdapat di lingkungan pesantren
seluas 5 Ha sekitar 125 m3 biogas per hari. Perolehan
hasil listrik dari biogas murni (mendekati kandungan CH4 100 %) bisa
menggerakkan genset Bio Elektrik 1000 watt secara terus menerus selama 4
hingga 5 jam atau setara dengan 5 KWH (kilo watt hour). Ketika
digunakan pada kompor, biogas murni sebanyak itu bisa menyalakan kompor
lebih dari 7 jam.
Mengurai cara budidaya ternak yang masih banyak
menggunakan sistem Lar di Propinsi NTB, dan lemahnya dukungan pembiayaan
pemerintah dalam membiayai program Biogas yang sebelumnya dinilai paling sukses
dalam mengembangkan Desa Mandiri Energi,
mengisyaratkan bahwa perjuangan para instruktur di Balai Pelatihan
kebiogasan masih jauh dari harapan. Tampaknya
Impian ibu-ibu diperdesaan untuk merubah sistem antrian panjang minyak tanah
dengan sistem saluran pipa biogas tak akan pernah terjadi selama regulasi belum
mendukung sepenuhnya pengembangan biogas.
Persentase konversi minyak ke gas dikegiatan dapur masih sangat
rendah. Diperkotaan mungkin saja itu
terlaksana lantaran agenda politik perkotaan cenderung lebih riuh dibanding
perdesaan yang sunyi. Diperkotaan pernah
ada program konversi minyak tanah ke gas dengan memperkenalkan tabung gas 3
kilo warna kuning yang sering meledak saat pertama kali diluncurkan. Sedangkan di perdesaan, masyarakat desa diupayakan
oleh pemerintah untuk mandiri dalam menghasilkan biogasnya sendiri.
Entah telah berapa banyak orang yang dilatih oleh
seorang bernama Marten dalam mengolah kotoran sapi menjadi gas. Jelasnya, wilayah kerja NTT, NTB dan Bali belum memperlihatkan hasil yang signifikan dari
perjuangannya. Kira-kira jika kita
bertanya, apa yang patut diberikan untuk membantu perjuangan seorang Marten
dari provinsi terkering Indonesia,
Nusa Tenggara Timur itu?
Yogyakarta,
14 Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar